Pastors

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

paper art of a head's profile with bandaids.
CT Pastors September 29, 2025
kemalbas / Getty

Ada dua kesalahan yang saling berlawanan, yang dapat kita buat berkaitan dengan penggembalaan dan trauma. Yang pertama adalah menganggapnya terlalu membingungkan dan rumit, dan akibatnya tidak melakukan apa pun. Yang kedua adalah terlalu percaya diri terhadap kapasitas kita sebagai agen penyembuhan dan justru menimbulkan kerugian saat kita mencoba menyelesaikan segalanya. Namun ada cara yang jauh lebih baik dan lebih sederhana. Meskipun kita bukanlah ahli, kita dapat mengenali ada banyak cara yang dapat, dan seharusnya, kita lakukan untuk memperlihatkan kepedulian yang penuh kasih dan berpusat pada Kristus.

Pengalaman Trauma

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Trauma adalah kata teknis yang telah menjadi populer dan digunakan secara luas. Kita terkadang kehilangan arah ketika diperhadapkan dengan istilah-istilah teknis, jadi ada baiknya memulai dengan menyadari bahwa trauma selalu merupakan pengalaman penderitaan, dan mereka yang menderita seharusnya selalu menjadi perhatian kita dan gereja kita. Trauma terkadang digambarkan sebagai suatu pengalaman yang membuat seseorang kewalahan, menembus pertahanannya dan menyusup ke bawah kulitnya. Entah melalui pertempuran militer, kecelakaan mobil yang mengancam jiwa, pelecehan di masa kecil yang berkepanjangan, atau beberapa alasan lainnya, pengalaman traumatis meninggalkan jejaknya dalam bentuk dampak masa lalu yang terbawa pada kehidupan saat ini.

Dampak trauma bervariasi. Sering kali, hal itu menghasilkan emosi yang meningkat, terutama dalam situasi yang terasa mengancam. Seseorang mungkin menjadi selalu waspada, bahkan terlalu waspada terhadap bahaya (baik nyata maupun yang dirasakan). Mungkin sulit bagi seseorang untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, dan dengan meningkatnya kecemasan, mereka mungkin mulai merasa terpisah dari lingkungannya.

Oleh karena itu, orang yang pernah mengalami trauma mungkin sensitif terhadap situasi, suara, atau cerita tertentu. Sering kali hal-hal ini memiliki kaitan dengan masa lalu. Misalnya, seorang prajurit yang mengalami trauma di medan perang mungkin merasakan pengalaman itu saat ada suara kembang api. Ini bukan sekadar ia mengingat pengalaman tersebut, melainkan menghidupkannya kembali—emosi dan sensasi fisik yang terkait dengan trauma awal dialami lagi di masa sekarang.

Isolasi Trauma

Mereka yang pernah mengalami trauma sering kali dihantui rasa malu. Mungkin ada sesuatu yang dilakukan kepada mereka yang terasa memalukan (meskipun mereka adalah korbannya). Atau sesuatu yang mereka lakukan, atau gagal mereka lakukan, yang membuat mereka merasa malu. Atau mungkin perasaan tidak mampu mengatasi sesuatu yang tampaknya patut dipermalukan.

Rasa malu mengisolasi kita. Rasa malu membuat kita merasa tidak diterima, dan seolah-olah kita tidak punya tempat dalam komunitas. Rasa malu menyebabkan kita mundur dan menghindari orang lain. Trauma terkadang diartikan sebagai sesuatu yang kita anggap “sangat” mengerikan. Trauma membungkam kita—kita tidak memiliki kata-kata untuk menggambarkan apa yang telah terjadi pada diri kita—yang memperkuat rasa terisolasi.

Harapan Injil

Dalam pelayanan-Nya di bumi, Yesus mendekati mereka yang menderita. Orang-orang sakit dan yang membutuhkan—serta mereka yang menganggap diri mereka terbuang—mereka semua berbondong-bondong datang kepada-Nya (lih. Mrk. 1:32 dan 10:49). Dengan meneladani Yesus, gereja juga diharapkan untuk mendekati mereka yang menderita—“jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita” (1Kor. 12:26). Penerimaan dan kasih terhadap mereka yang menderita berakar pada karya keselamatan Yesus. Yesus “mengabaikan kehinaan tekun memikul salib” (Ibr. 12:2). Kita memiliki pesan yang berbicara kuat tentang penderitaan dan rasa malu.

Lima Prinsip untuk Gereja Kita

  1. Waspadai kemungkinannya. Ketika seseorang bertanya apakah sebuah gereja, atau pelayanan, “memiliki pemahaman trauma,” sering kali yang ingin mereka tanyakan adalah, Apakah Anda bersedia menemui saya? Akankah saya diperhatikan dan disambut, atau akankah saya merasa seolah saya terlalu rumit atau canggung untuk diakui? Kita tidak perlu menjadi ahli, tetapi kita perlu menyadari bahwa di samping kita dalam gereja kita ada orang-orang yang penderitaan masa lalunya terus menciptakan pergumulan saat ini. Itulah sebabnya saya menulis Memahami Trauma —saya ingin memberikan pengantar tentang trauma yang dirancang khusus untuk kehidupan gereja. Kesadaran ini akan membentuk asumsi dan respons alami kita terhadap orang lain. Kita tidak akan, misalnya, berasumsi bahwa individu yang tidak fokus, tidak melakukan kontak mata, atau berbicara tiba-tiba adalah pribadi yang tidak tahu aturan. Kita akan mempertimbangkan kemungkinan bahwa mereka mungkin bergulat dengan rasa cemas saat mereka memberanikan diri memasuki gedung gereja kita alih-alih berbalik dan melarikan diri.
  2. Berikan ruang pada sambutan Anda. Kebanyakan dari kita merasakan kecemasan saat memasuki lingkungan yang tidak dikenal—terutama lingkungan yang membuat semua orang merasa betah—dan kecemasan ini meningkat bagi mereka yang pernah mengalami trauma. Orang-orang mungkin pulang lebih awal atau datang terlambat untuk menghindari kepadatan, dan kita dapat mengakomodasi hal itu. Tata letak pintu masuk dan keluar serta postur orang-orang yang ditempatkan di sana dapat terasa hangat dan ramah sekaligus memberi ruang bagi orang-orang untuk memilih tingkat interaksi mereka sendiri. Lakukan apa yang Anda bisa untuk mengurangi kemacetan di sekitar pintu masuk, dan pastikan ada rute keluar yang jelas dan tidak terhalang. Jika pengalaman traumatis seseorang dikaitkan dengan gereja, aspek-aspek biasa dalam ibadah mungkin dikaitkan dengan ancaman dan bahkan mengejutkan mereka. Sebuah lagu yang bagi banyak orang terasa familier, misalnya, dapat menyebabkan orang lain menghidupkan kembali kenangan mendalam tentang penderitaan dan ketidakberdayaan di masa lalu. Mereka mungkin perlu keluar sebentar dan kemudian masuk kembali. Lindungi kemampuan mereka untuk mundur atau mengambil waktu sejenak, dan buat mereka mudah bergerak bebas tanpa rasa canggung. Kita juga bisa bersikap ringan dalam menawarkan bantuan: “Jika Anda butuh sesuatu, silakan minta saja. Saya akan senang membantu.”
  3. Peringatan. Seorang pengkhotbah tidak mungkin mengetahui, apalagi memperhitungkan, semua kepekaan para pendengarnya. Namun, tekanan berat yang dialami saat menghidupkan kembali trauma patut mendapat perhatian khusus. Topik atau narasi tertentu dapat memicu seseorang yang telah menderita trauma: yaitu ingatan—atau, lebih tepatnya, pengalaman—tentang penderitaan mereka yang mungkin jadi teringat kembali dengan jelas oleh hal-hal tersebut. Alkitab tidak menghindar dari kenyataan pahit tentang dosa dan penderitaan, yang artinya Alkitab memuat beberapa kisah yang tanpa kompromi tentang kebrutalan fisik dan kekerasan seksual. Kita tidak ingin menghindari bagian-bagian ini, tetapi kita harus menyadari dampak yang mungkin ditimbulkannya. Oleh karena itu, kita mungkin mempertimbangkan untuk memberikan pemberitahuan terlebih dahulu kapan bagian tersebut akan dibacakan atau dikhotbahkan. Mungkin penyebutan singkat di awal ibadah sudah cukup. Mengakui bahwa beberapa orang mungkin ingin keluar sebelum pembacaan Firman dan khotbah, akan membuatnya jauh lebih mudah untuk melakukannya. Tindakan ini juga menyampaikan pesan dengan jelas: Kami melihat Anda dan kami peduli terhadap Anda.
  4. Ikutilah petunjuk Kitab Suci. Alkitab umumnya berhati-hati dalam menggambarkan kekerasan dan penderitaan. Jika novel-novel masa kini sering menyajikan kejadian dan emosi secara panjang lebar dan gamblang, maka Alkitab jarang melakukan hal itu. Kita sebaiknya mengikuti contoh itu dan menghindari deskripsi grafis dalam khotbah dan pengajaran kita. Adalah bijaksana jika menghindari upaya yang salah arah untuk “mencairkan suasana.” Apa yang kita maksudkan sebagai ucapan jenaka untuk menghilangkan kecanggungan dalam diskusi topik-topik yang menyakitkan, kemungkinan besar akan berakhir buruk bagi mereka yang telah mengalami trauma. Kemungkinan besar hal itu mengomunikasikan bahwa kita tidak memiliki pemahaman mengenai beratnya situasi yang telah mereka alami, atau bahkan bahwa kita meremehkan dan menyepelekan pengalaman mereka.
  5. Melibatkan dan memiliki. Seiring kita meningkatkan kesadaran dan memberi ruang bagi berbagai kebutuhan orang-orang di antara kita, kita harus menahan diri dari kecenderungan untuk terjebak dalam pola pikir “kita dan mereka.” Seseorang yang mengalami trauma mungkin berasumsi bahwa ada kelompok “kita” yang sudah memiliki segalanya (yang mana tidak mungkin mereka termasuk di dalamnya) dan mereka pasti merupakan bagian dari “mereka” yang sedang bermasalah dan membutuhkan. Kita lebih tahu. Tentu saja, Injil secara langsung menentang pemikiran semacam itu. Kita semua membutuhkan. Dan kita semua berada di luar sampai Kristus membawa kita masuk.

Lebih dari komunitas lainnya, gereja seharusnya menyampaikan sambutan dan penerimaan kepada mereka yang merasa terisolasi, malu, atau bermasalah. Pengalaman kasih karunia yang dibagikan dapat (dan memang) menciptakan komunutas yang luar biasa pandai dalam menggabungkan perbedaan. Umat Kristen tahu bahwa Allah memakai penderitaan dalam rencana dan tujuan-Nya. Dia telah melakukannya di dalam Kristus. Ketika Paulus berbicara tentang berbagi dalam penderitaan Kristus, ia menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman ini telah dipakai oleh Allah untuk membuatnya makin efektif dalam pelayanannya (2Kor. 1:3–7). Mereka yang telah mengalami trauma memiliki banyak hal untuk diajarkan kepada gereja Tuhan, dan kita hendaknya bersemangat untuk menggunakan semua karunia yang Tuhan berikan kepada kita, umat-Nya. Ketika kita memikirkan mereka di antara kita yang mungkin terbebani oleh trauma, kita dapat melihat mereka sebagai “buluh yang patah terkulai” (Mat. 12:20) yang membutuhkan pemeliharaan Kristus dari kita, dan sebagai saudara-saudari yang memiliki banyak kontribusi sebagai anggota tubuh Kristus.

Steve Midgley adalah direktur eksekutif Biblical Counselling UK dan pendeta di Christ Church Cambridge. Dalam bukunya, Understanding Trauma, Steve memberikan panduan bagi gereja tentang cara berjalan dengan kebijaksanaan dan kasih bersama mereka yang sedang berjuang melawan trauma.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube