Church Life

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

A smiling face with a skeleton face revealed underneath.
Christianity Today September 29, 2025
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Getty, Wikimedia Commons, Unsplash

Saya benci papan reklame Pass It On. Anda pasti tahu papan tersebut—yang menampilkan sebuah foto, sering kali seorang selebritas, dan dihiasi dengan nilai budaya yang ringkas, seperti kebaikan atau kegigihan, disertai perintah untuk meneruskannya. Ada papan iklan dengan foto Jane Goodall, misalnya (Stewardship: Pass It On). Ada juga Abraham Lincoln (Civility: Pass It On), William Shatner (Exploring: Pass It On), dan Oprah Winfrey (Encouragement: Pass It On).

Jika menjadi orang Amerika itu adalah sebuah agama, maka papan reklame Pass It On akan menjadi kredo kami. Papan-papan tersebut menunjukkan siapa dan apa yang dianggap inspiratif oleh budaya kami—orang-orang yang kami percaya secara komunal—dan mereka memerintahkan kami untuk menyelaraskan perilaku kami sesuai dengan keyakinan tersebut.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Jika menyangkut keyakinan sekuler, sebenarnya kami bisa mendapat yang jauh lebih buruk. Lagi pula, banyak nilai yang dipromosikan kampanye ini selaras dengan, atau setidaknya tidak bertentangan dengan, nilai-nilai Kristen: kasih, pelayanan, keberanian, kepercayaan diri, kemurahan hati, pengorbanan. Bahkan nilai-nilai yang dipertanyakan, seperti ambisi dan inovasi, masih memiliki sisi positif untuk tujuan yang baik.

Jadi mengapa saya sangat membenci papan-papan reklame ini? Karena dalam “agama” Pass It On, saya akan termasuk golongan yang terkutuk.

Coba perhatikan papan reklame Pass It On yang menampilkan orang-orang dengan penyakit kronis atau disabilitas—orang-orang yang saya, seseorang yang hidup dengan penyakit kronis sejak usia 27 tahun, diminta untuk teladani. Ada satu papan reklame tentang lulusan Harvard yang menderita kuadriplegia (Determination: Pass It On). Yang lain tentang Michael J. Fox (Optimism: Pass It On). Ada yang tentang ketangguhan, dan mengatasi rintangan, dan bangkit, dan menjadi inspirasi—semua kualitas yang tidak saya miliki. Di mana papan reklame yang menampilkan orang sakit yang menangis keras sambil meninju bantal? Coping: Pass It On (Hadapilah Sendiri: Teruskan). Atau orang sakit yang menanti di dekat ponselnya, sangat berharap ada seseorang—siapa pun—yang menghubungi untuk menyapa? Desperation: Pass It On! (Keputusasaan: Teruskan!)

Jika papan reklame Pass It On menjadi indikasinya, masyarakat kita lebih menyukai orang sakit yang kuat dan inspiratif, bukan yang marah dan sedih.

Saya dulu berpikir gereja juga sama saja.

Sebagai contoh, misalnya, konsep Kristen tentang menanggung penderitaan dengan baik. Menurut CEO Desiring God, Marshall Segal, menanggung penderitaan dengan baik berarti mempertahankan iman yang teguh di tengah pencobaan, sembari “melihat kesempatan luar biasa untuk menyemangati dan menginspirasi orang percaya lainnya” melalui situasi Anda. Ketika saya berpikir tentang menanggung penderitaan dengan baik, saya teringat pada orang-orang seperti Joni Eareckson Tada, seorang seniman, penulis yang produktif, dan wanita dengan kuadriplegia yang mendirikan sebuah pelayanan multifaset bagi para penyandang disabilitas, meskipun dirinya sendiri mengalami disabilitas yang parah. Pada awal masa sakit saya, ia menerbitkan kumpulan renungan yang mendorong umat Kristen yang menderita untuk membiasakan diri menaikkan pujian kepada Tuhan. (Ini adalah koleksi yang luar biasa, meskipun hati saya belum siap untuk menerimanya saat itu.)

Menanggung penderitaan dengan baik adalah hal yang mulia, dan gereja benar dalam menghormati mereka yang menanggung masa-masa sulit dengan harapan yang tak tergoyahkan kepada Allah. Bagaimanapun juga, Kristus menanggung penderitaan dengan baik, dengan tunduk pada kehendak Bapa dan “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” dan “taat sampai mati” (Flp. 2:7–8). Menanggung penderitaan dengan baik merupakan inti dari kitab Ayub. Ayub menolak untuk mengutuki Allah sekalipun ia duduk dalam debu dan abu, sambil menggaruk kulitnya yang penuh borok dengan pecahan tembikar.

Namun saya berani bertaruh bahwa tidak ada orang yang setiap saat menanggung penderitaan dengan baik. Ayub sendiri pernah mengalami momen keputusasaan: “Aku berseru minta tolong kepada-Mu, tetapi Engkau tidak menjawab” (Ayb. 30:20). Di sisi yang kurang menginspirasi dari spektrum orang Kristen yang menderita, saya terjatuh dari satu kepanikan yang memalukan ke kepanikan berikutnya. Pengalaman penderitaan saya sehari-hari sama sekali tidak mencerminkan sukacita Paulus dalam kelemahan atau nyanyian pujian Joni Eareckson Tada.

Karena Kristus menyelamatkan kita hanya oleh kasih karunia, maka “menanggung penderitaan dengan baik,” untungnya, bukanlah persyaratan kehidupan Kristen. Tidak apa-apa juga merasa sedih, marah, atau sama sekali tidak menginspirasi saat berjalan di lembah bayang-bayang kematian.

Jadi mengapa saya, saat di dalam gereja, merasa perlu untuk memaksakan senyum? Pada hari Minggu pagi (setidaknya di banyak jemaat di AS), kita menganggap pertanyaan “Apa kabar?” seperti pertanyaan pilihan ganda: Jawabannya bisa “baik,” bisa “lumayan,” atau “oke.” Dan untuk situasi-situasi canggung yang jarang terjadi di mana seseorang benar-benar menyebutkan penderitaannya di gereja, ada jawaban “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan” dan “Orang yang berharap kepada Tuhan akan mendapat kekuatan baru” dan “Tuhan tidak akan memberi pencobaan yang melebihi kemampuanmu” (pernyataan terakhir ini sama sekali tidak alkitabiah dan sering kali salah).

Baru beberapa bulan yang lalu saya sadar betapa dalam tertanamnya sikap positif palsu di gereja dan hati saya sendiri.

Komunitas gereja saya tidak besar—cukup kecil bagi saya untuk berasumsi bahwa saya adalah satu-satunya penyandang disabilitas. Jadi ketika berbicara dengan seseorang sebelum atau sesudah kebaktian, saya berhati-hati untuk selalu berusaha menutupi sisi paling menyedihkan dari pengalaman saya dengan sakit kronis. Lagi pula, saya tidak melihat indikasi bahwa saudara-saudari seiman saya akan memahami kurangnya keinginan saya untuk berdoa, keengganan saya dalam menyembah Allah, atau rasa malu yang terus-menerus karena tidak cukup tangguh. Mereka selalu tampak bahagia—bahkan penuh sukacita. Dan ketika saya bertanya bagaimana kabar mereka, mereka biasanya akan menjawab dengan salah satu dari jawaban yang umum itu.

Namun kemudian, pada suatu hari Minggu, kami mengadakan waktu khusus untuk doa kesembuhan. Saya pikir saya akan menjadi salah satu dari sedikit orang yang maju untuk didoakan. Saya tahu satu atau dua orang lainnya yang berjuang melawan penyakit fisik, tetapi selebihnya, saya memiliki kesan bahwa semua orang baik-baik saja.

Bayangkan betapa terkejutnya saya ketika, setelah saya kembali ke tempat duduk, ada orang lain yang berdiri untuk didoakan. Lalu ada satu lagi. Dan satu lagi. Satu per satu hampir separuh jemaat maju ke depan gereja dan memohon kepada Allah agar menyembuhkan mereka dari sesuatu.

Saya benar-benar kaget. Mungkinkah separuh jemaat di gereja saya sedang bergumul seperti saya? Dan jika memang begitu, apakah saya benar-benar sendirian dalam ketidakmampuan saya untuk menanggung penderitaan dengan baik?

Dalam minggu-minggu berikutnya, beberapa orang di gereja saya mulai terbuka tentang pergumulan mereka. Yang lainnya belum siap. Namun bagi saya, pengalaman itu sungguh membuka mata. Dibandingkan dengan saya, hampir semua orang di gereja saya selalu tampak begitu rapi, begitu beriman, begitu menginspirasi. Namun jika kenyataannya sebagian dari mereka sama putus asanya dan tidak berimannya seperti saya, maka mungkin saya tidak sendirian di komunitas gereja saya seperti yang selalu saya duga. Dan mungkin jika saya berhenti menyembunyikan perjuangan saya dari orang lain, saya bisa menemukan teman seperjalanan dalam penderitaan saya.

Beberapa minggu kemudian, ketika diminta untuk memimpin doa pada hari Minggu, saya memutuskan untuk berhenti berpura-pura bahagia sekali untuk selamanya. Saya membuka waktu doa dengan menceritakan bahwa saya terbangun pagi itu sambil menangis, ketakutan karena rasa nyeri yang saya alami malam sebelumnya. Menakutkan untuk bersikap jujur seperti itu terhadap orang lain dan menghadapi risiko penolakan atau—yang lebih buruk lagi—tanggapan klise.

Akan tetapi, tak satu pun hal itu terjadi. Sebaliknya, banyak orang maju hari itu dengan permohonan doa yang menggemakan ketakutan saya sendiri. Saya akhirnya terlibat dalam banyak percakapan dengan saudara-saudari seiman saya tentang ketidakmampuan kami bersama untuk “menanggung penderitaan dengan baik” yang membuat saya merasa dikuatkan. Allah telah memberikan ruang untuk kejujuran.

Ini bukan berarti kita perlu mengumbar semua aib kita ketika kita datang beribadah di hari Minggu. Dalam banyak situasi, berhati-hati adalah hal yang bijaksana, dan gereja bukanlah pengganti terapi.

Terlebih lagi, ada banyak orang di komunitas saya yang benar-benar merasa damai dengan penderitaan mereka, dan saya bersyukur untuk mereka. Mereka adalah gambaran dari karya yang saya harapkan Allah lakukan juga di dalam hati saya seiring berjalannya waktu.

Namun untuk saat ini, saya merasa cukup menjadi orang Kristen yang tidak menanggung penderitaan dengan baik. Meskipun Anda tidak akan mengetahuinya dari papan reklame, kita hidup di zaman yang penuh kecemasan. Jika gereja ingin menawarkan harapan bagi dunia, kita perlu menanggung derita dengan jujur. Dengan begitu, kita akan menjadi tempat bagi mereka yang tidak hanya berwajah gembira, tetapi juga bagi mereka yang terpuruk, yang ketakutan, dan yang patah hati.

Natalie Mead saat ini sedang menempuh gelar MFA sambil menulis memoar tentang sakit kronis, relasi, dan iman. Baca lebih lanjut tulisannya di nataliemead.com.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube