Pastors

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

CT Pastors August 15, 2025
PBNJ Productions / Getty Images

Salah satu tanaman paling menakjubkan di alam adalah ibervillea sonorae. Tanaman ini dapat hidup tanpa tanah atau air dalam waktu yang tampaknya tak terbatas. Sebagaimana diceritakan Annie Dillard, salah satu tanaman ini disimpan dalam kotak pajangan di Kebun Raya New York selama tujuh tahun tanpa tanah atau air. Selama tujuh musim semi, tanaman ini mengeluarkan tunas-tunas kecil untuk mencari air. Karena tidak menemukannya, tanaman ini pun mengering kembali, berharap akan ada keberuntungan yang lebih baik di tahun depan.

Nah, itulah yang saya sebut termotivasi: Bertahan, terus berjuang meski keadaan tidak mudah.

Namun, motivasi pun dapat habis, bahkan untuk tanaman ibervillea sonorae. Pada tahun kedelapan tanpa tanah dan air, orang-orang di Kebun Raya New York itu mendapati tanaman tersebut mati di tangan mereka.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Sebagian besar pendeta tahu bagaimana rasanya ketika mereka sudah melewati musim ketujuh, kekurangan tanah, kehausan, dan menunggu musim semi kedelapan. Tak ada lagi motivasi; hampir tak cukup energi untuk mengeluarkan tunas baru lainnya. Namun, pada kebanyakan dari kita, hal ini terjadi tujuh atau delapan kali setiap tahun. Andai saja kita bisa bertahan seperti tanaman gurun yang kecil dan tangguh itu.

Dosa kembar dalam pelayanan

Kadang-kadang, kelelahan sederhanalah yang akhirnya berdampak buruk. Terlalu banyak pekerjaan, sakit yang tak kunjung sembuh, atau pola makan yang buruk, dan kita menemukan diri kita dalam keadaan yang sangat butuh istirahat. Kelelahan sederhana, perawatan sederhana, dan kita pulih kembali seperti karet gelang.

Namun mungkin ada makna yang lebih dalam di balik hilangnya motivasi kita. Hal itu dapat disebabkan oleh hilangnya arah dalam pelayanan. Berkhotbah, mengajar, memberi pelatihan, melakukan konseling, dan mengelola administrasi, semua itu dapat menjadi beban yang tak tertahankan karena kita, entah bagaimana, lupa mengapa kita melakukannya. Kelelahan ini mendekati dosa mematikan yaitu kemalasan atau acedia. Kelelahan sederhana berkata, “Saya tahu saya seharusnya melakukan ini, tetapi saya sepertinya tidak dapat menyalurkan energi.” Acedia berkata, “Kenapa? Apa bedanya?”

Acedia adalah seluruh hari Jumat yang dihabiskan untuk menyiapkan buletin Minggu,” kata Richard John Neuhaus dalam Freedom for Ministry. “Acedia adalah tiga jam yang dihabiskan dengan malas-malasan membaca majalah Time, yang kemudian dengan rasa bersalah dianggap sebagai ‘belajar.’ Acedia adalah malam-malam yang tak terhitung jumlahnya yang disita oleh televisi, malam-malam yang bukan untuk hiburan maupun pendidikan, tetapi untuk pertahanan diri yang terbius terhadap waktu dan kewajiban. Di atas segalanya, acedia adalah sikap apatis, penolakan untuk terlibat dalam patos kehidupan orang lain dan kehidupan Tuhan bersama mereka.”

Seorang teman dokter pernah menunjukkan kepada saya sebuah artikel jurnal tentang “sindrom menyerah, sungguh menyerah”—suatu kondisi psikologis yang ditemukan pada orang-orang yang kehilangan alasan untuk hidup. Mereka bertanya, “Mengapa? Apa bedanya?” Dan pertanyaan itu bahkan membuat pendeta rentan terhadap kelelahan dan keletihan mental.

Anehnya, hilangnya motivasi dapat menghasilkan apa yang tampaknya kebalikan dari kemalasan atau acedia: Hiperaktivitas. Namun pada kenyataannya, hal tersebut hanyalah dimensi lain dari hilangnya arah dan rasa “mengapa” yang sama, yang menguras kemampuan kita untuk melakukan “apa” dalam pelayanan. “Hiperaktivitas dan kemalasan adalah dosa kembar,” kata Neuhaus. Satu-satunya perbedaan yang nyata adalah bentuk hiperaktivitas yang membuat cemas dan panik.

Banyak pendeta tidak lagi benar-benar tergerak untuk melakukan pekerjaan bagi Kerajaan Allah. Seperti anak-anak yang tersesat di hutan, semakin mereka merasa tersesat, semakin cepat mereka berlari. Hiperaktivitas bagi motivasi autentik bagaikan makanan cepat saji bagi pola makan yang bergizi. Hal ini memberikan perasaan puas sambil membuat orang tersebut mati kelaparan. Dalam Perjanjian Baru, hal ini disebut “Sindrom Efesus” yang dijelaskan dalam Wahyu 2:17. Kasih yang mula-mula telah sirna, dan kini yang tersisa hanyalah bentuk dan pernak-perniknya. Orang-orang yang lupa akan “mengapa” menjadi terobsesi dengan “bagaimana.”

Pekerjaan rohani yang didasarkan pada rasa benar diri

Dosa kembar acedia dan hiperaktivitas dapat diperluas menjadi tiga bagian dengan penambahan yang ketiga: hubrisHubris, atau kesombongan, adalah kata yang digunakan orang Yunani untuk berbicara tentang kepongahan, kebodohan mencoba menjadi seperti para dewa. Keburukan ini, bukan berasal dari hilangnya arah dalam pelayanan, melainkan merupakan keterhilangan yang paripurna. Bagi orang Kristen, hubris adalah segala sesuatu yang kita lakukan untuk mencoba menyelamatkan diri sendiri. Bagi para pendeta, hal ini adalah segala sesuatu yang kita lakukan untuk mencoba menyelamatkan gereja: jasa akan karya-karya rohani.

Hubris sendiri sudah cukup buruk, tetapi hal ini juga membuat kita rentan terhadap acedia dan hiperaktivitas. Salah satu krisis terbesar yang saya hadapi dalam pelayanan adalah berkaitan dengan khotbah saya. Saya memperhatikan pola yang berkembang dalam minggu-minggu saya. Dari Minggu sore sampai Senin pagi saya merasa depresi. Dari Senin sore sampai Rabu malam saya merasa baik-baik saja. Kamis saya mulai mudah marah. Jumat, perasaan itu semakin memburuk. Sabtu, saya menjadi sulit ditoleransi. Minggu pagi saya dipenuhi energi tetapi terputus dari semua orang. Puncaknya adalah di kebaktian, dan kemudian saya akan hancur.

Minggu demi minggu siklus ini berulang. Setelah beberapa bulan, saya berganti-ganti antara aktivitas yang penuh kesibukan dan kemalasan yang melumpuhkan. Menjadi seorang pendeta tidak lagi menyenangkan. Hal itu sangat mengkhawatirkan karena saya tidak pernah meragukan bahwa Tuhan memanggil saya untuk berkhotbah.

Setelah banyak berdoa dan berpikir keras, saya pun tersadar: Saya tengah berusaha menyampaikan khotbah terbaik yang pernah didengar. Saya tidak puas hanya memberikan yang terbaik untuk Tuhan dan jemaat saya. Saya menuntut ketenaran besar.

Tentu saja, ketenaran besar tidak pernah menghampiri saya. Depresi yang saya alami tiap Minggu sore muncul karena ketidakseimbangan antara apa yang saya cari dan apa yang layak saya dapatkan. Khotbah-khotbah saya adalah pekerjaan rohani yang didasarkan pada rasa benar diri. Hal itu menguras motivasi autentik saya, membuat saya bergantian bertanya “Apa bedanya?” dalam acedia, dan memproklamirkan “Saya termotivasi” dalam hiperaktivitas.

Kecuali kelelahan biasa, segala kehilangan motivasi adalah bentuk dari keterlupaan. Ini berarti kehilangan kontak dengan “mengapa” (alasan) kita melayani, terputus dari Sang Pokok Anggur, dan kemudian tetap cukup sibuk atau cukup berisik sehingga tidak perlu menghadapi ketidakharmonisan dalam hidup kita.

Kebangkitan akan kasih mula-mula

Ingatanlah yang membuat orang Kristen tetap terjaga; dan tindakan ibadah Kristen yang paling utama, Perjamuan Kudus, membawa kita ke dalam persekutuan dengan Kristus dengan mengingat rahmat dan kasih-Nya kepada kita. Itu adalah perayaan kasih yang tersebar di atas ingatan yang ditebus dan dihidupkan kembali.

Ingatanlah yang membuat orang Kristen tetap terjaga; dan tindakan ibadah Kristen yang paling utama, Perjamuan Kudus, membawa kita ke dalam persekutuan dengan Kristus dengan mengenang rahmat dan kasih-Nya.

Oleh karena itu, motivasi untuk melayani hanya dapat diperoleh kembali melalui kasih mula-mula yang dihidupkan lagi sebagai respons terhadap perintah Kristus yang telah bangkit, “Ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh!” (Why. 2:5).

Kadang-kadang mengingat berarti merenung dengan tenang. Lebih sering, mengingat berarti kehidupan yang lebih disiplin dalam berdoa, belajar, dan berpikir keras. Bagi saya, ketika motivasi hilang, ketiga hal ini adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. “Jika saja saya bisa termotivasi,” pikir saya, “maka saya bisa berdoa, belajar, dan berpikir lagi.”

Sepertinya hal itu tidak pernah berjalan seperti demikian. Semakin saya perlu berdoa dan belajar, semakin saya tidak ingin melakukannya. Namun saya harus melakukannya. Seperti lagu yang mengatakan, “Mereka yang memiliki adalah mereka yang mendapat.” Pilihan yang saya buat saat saya tidak merasa termotivasi adalah hal terpenting dalam perjalanan saya. C.S. Lewis menyinggung hal ini ketika dia meminta Screwtape menasihati Wormwood bahwa Tuhan kadang kala akan membanjiri kita dengan kehadiran-Nya di awal pengalaman kita, tetapi Dia tidak pernah membiarkan hal itu berlangsung lama. Tujuannya adalah agar membuat kita bisa berdiri di atas kedua kaki kita sendiri, “untuk melaksanakan tugas-tugas yang sudah kehilangan gairahnya hanya dengan kemauan sendiri.”

Panggilan untuk mengingat adalah panggilan untuk kembali kepada hal yang mendasar dan kembali kepada orang-orang yang telah Tuhan berikan kepada kita. Acedia, hiperaktivitas, dan hubris mengisolasi kita dari jemaat kita.

Setiap minggu saya memimpin sebuah “kelompok khotbah.” Lima atau enam orang bertemu dengan saya untuk dua hal: Mengkritik khotbah terakhir saya dan mendiskusikan teks yang akan saya khotbahkan berikutnya.

Kontak langsung dengan orang-orang yang benar-benar bergumul bersama saya mengenai makna dan penerapan Firman Tuhan sangatlah memotivasi saya; hal itu dapat memotivasi saya ketika saya tidak terlalu bersemangat dalam berkhotbah. Mengetahui bahwa saya akan dikritik mendatangkan semacam ketakutan yang bermanfaat dalam persiapan saya yang biasanya tidak saya alami. Lagipula, hal ini merupakan teologi yang bagus. Khotbah seharusnya selalu tumbuh dari konteks dialog dalam suatu komunitas. Yesus melakukannya. Paulus melakukannya. Apa yang mereka katakan bukanlah pil kecil Injil yang dijatuhkan dari langit kepada khalayak ramai yang tak dikenal, melainkan percakapan yang penuh semangat antara Tuhan dan orang-orang tertentu yang hidup dalam situasi konkret.

Di antara orang-orang yang Tuhan ingin agar kita tetap dekat adalah rekan-rekan sejawat kita dalam pelayanan. Para pria dan wanita ini tahu, lebih dari siapapun, betapa sulitnya mempertahankan motivasi yang murni. Prioritas yang tinggi dalam komitmen saya adalah kelompok doa kovenan bersama para pendeta. Ketika salah satu dari kami sedang “terpuruk,” yang lain akan “bangkit” dan bisa memberikan semangat. Saudara-saudari dalam pelayanan sering kali berperan sebagai agen pengingat bagi saya, mengingatkan saya mengapa saya ada di sini dan apa yang harus saya lakukan.

Motivasi yang rileks

Satu hal terakhir yang perlu dikatakan tentang mengingat. Hal ini ada hubungannya dengan kedaulatan Tuhan.

Martin Luther mengatakan bahwa dia memperoleh penghiburan besar karena mengetahui bahwa saat dia duduk dan menikmati bir Wittenberg, kerajaan Allah terus maju. Keyakinan itu memotivasi dia untuk bekerja keras. Dia bisa bersantai dan beristirahat, lalu kembali bekerja dengan energi yang lebih besar. Yang lebih penting, ketika dia bekerja, dia tahu tidak ada yang sia-sia karena Tuhan berdaulat atas segalanya.

Begitulah seharusnya bagi kita. Seorang Kristen yang termotivasi adalah seorang Kristen yang rileks dan bersyukur: Bersyukur atas apa yang telah Tuhan lakukan dalam kebangkitan Kristus, dan rileks karena pengharapannya pada kesimpulan pasti dari Tuhan atas seluruh sejarah di dalam Anak-Nya. Dengan terbebas dari belenggu masa lalu dan kecemasan akan masa depan, kita akhirnya dapat mulai mengerjakan apa yang ada di masa sekarang.

Ben Patterson adalah seorang pendeta pensiunan, yang pernah melayani sebagai pendeta kampus di Westmont College selama 17 tahun dan sebagai pendeta pendiri gereja di Irvine, California selama 23 tahun. Ia juga pernah menjadi editor kontributor untuk Christianity Today dan The Wittenburg Door dan telah menulis banyak buku.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube