Church Life

Berkhotbah Seperti Sang Penyair

Setelah wafatnya Walter Brueggemann, kita dihadapkan pada tantangannya: Berkhotbah bukan untuk menjelaskan, tetapi untuk menggugah. Bukan untuk menenangkan, melainkan untuk bersaksi.

CT Pastors June 16, 2025
Sojourners / edits by Christianity Today

Walter Brueggemann telah wafat.

Namun, jika Anda pernah menyampaikan khotbah yang dirancang untuk mengejutkan, penuh ketegangan, atau dihantui harapan, maka Anda tahu suara beliau belum punah. Kepergian Brueggemann menandai akhir pelayanannya yang luar biasa di bumi ini, tetapi kata-katanya masih tersebar di dunia. Seperti yang mungkin dikatakan Brueggemann sendiri, kata-katanya masih berbahaya. Karena kata-katanya masih berani berbicara tentang Allah.

Brueggemann tidak pernah memandang khotbah hanya sebagai instruksi atau ceramah penyemangat keagamaan. Dia menegaskan, berulang kali, bahwa khotbah yang sejati adalah sebuah tindakan berpuisi—berbahaya, mengganggu, dan penuh dengan imajinasi akan Allah.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

“Sang penyair/nabi,” tulisnya dalam Finally Comes the Poet “adalah suara yang mengguncang realitas yang mapan dan membangkitkan kemungkinan baru di dalam diri para hadirin yang mendengarkan.” Suara itu, bagi Brueggemann, selalu puitis dalam esensinya—penuh seni, menggugah, dan meresahkan. Dan suara itu tidak pernah jinak.

Finally Comes the Poet adalah buku yang memberikan izin kepada banyak dari kita di mimbar untuk berhenti berkhotbah seperti teknisi dan mulai berkhotbah seperti seniman. Saat garis besar khotbah menjadi tidak bisa dibedakan dari kuliah di perguruan tinggi atau TED Talks, Brueggemann mengingatkan kita bahwa Injil tidak bisa dimasukkan ke dalam tiga poin penting yang diulang-ulang. Injil itu meledak. Injil itu melekat. Injil itu membangun dunia dan mengundang kita untuk masuk.

Bagi Brueggemann, tujuan khotbah bukanlah untuk memberi informasi. Tujuan khotbah adalah untuk mengguncang apa yang sudah stabil. Kata-katanya tidak hanya menjelaskan Kitab Suci—melainkan juga membuat Kitab Suci menjadi hidup. Dia tidak memuji sang penyair/nabi karena gaya penulisannya yang indah, melainkan karena karena kepentingan teologisnya. Dia percaya, seperti para nabi dalam Alkitab, bahwa bahasa dapat membuka atau menutup hati manusia terhadap Allah. Jadi kita harus berbicara dengan hati-hati. Atau lebih tepatnya: dengan berani.

Dalam buku The Prophetic Imagination, Brueggemann memaparkan anatomi pelayanan kenabian. Dia menggambarkan pekerjaan nabi sebagai hal yang menyeimbangkan dua tugas yang bertolak belakang: memicu kesedihan dan membangkitkan harapan. Dalam suatu budaya yang kecanduan penyangkalan dan mati rasa akibat konsumerisme, sang nabi berbicara untuk mematahkan kutukan itu.

“Nabi tidak bertanya apakah visinya dapat diimplementasikan,” tulisnya. “Karena pertanyaan tentang implementasi tidaklah penting sampai visinya dapat dibayangkan. Imajinasi harus ada sebelum implementasi.” Kalimat itu seharusnya ditulis di pintu setiap kantor pendeta. Dalam dunia Brueggemann, imajinasi bukanlah pelarian—melainkan perlawanan. Berkhotbah secara imajinatif berarti menantang kekuasaan yang ada dan menyatakan bahwa ada cara lain yang memungkinkan.

Karena itulah buku A Way Other Than Our Own hadir. Buku kecil itu—yang disusun sebagai buku renungan Prapaskah—adalah karya klasik Brueggemann. Buku tersebut penuh dengan refleksi singkat, frasa-frasa yang tajam, dan pemahaman mendalam tentang Kitab Suci sebagai dasar kehidupan alternatif. “Prapaskah adalah tentang mengenali,” katanya. Mengenali kebohongan yang kita terima. Mengenali ketakutan yang kita anggap benar. Mengenali ilusi yang menyamar sebagai kebenaran. Namun juga—yang sama pentingnya—mengenali karya Allah yang konsisten dan mengejutkan di padang gurun.

Berkhotbah, bagi Brueggemann, adalah pelayanan di padang gurun. Ini bukan soal relevansi. Ini adalah soal perlawanan. Dan nada itu—urgensi itu, puisi itu, perlawanan yang kudus itu—adalah warisan yang harus diteruskan oleh kita. Bukan hanya teologi Brueggemann, melainkan juga cara dia menyampaikannya kepada orang-orang kudus.

Dia memiliki bakat dalam mengutarakan hal-hal dengan cara yang membuat Anda menggeliat tidak nyaman dan tersenyum di saat yang bersamaan. Dia bisa menyeret drama kuno Israel langsung ke ruang tamu Anda. Dia bisa mengutip Yeremia dan membuatnya terdengar seperti dia sedang membacakan berita pagi. Dia bisa membicarakan pemberontakan Firaun dengan begitu jelasnya, sampai-sampai Anda merasa bisa menceritakan ulang.

Di balik sisi tajam itu selalu terdapat sumber kasih pastoral yang mendalam. Itulah sebabnya buku Prayers for a Privileged People masih memukau. Dalam doa-doa itu, Brueggemann berbicara bukan dari kursi seorang cendekiawan, melainkan dari hati seorang gembala. Dia mengaku. Dia memohon. Dia menangis. Doa-doanya penuh luka goresan dan keberanian—penuh dengan iman yang gentar kepada Allah yang mendengarkan dan tetap berani bertindak. Dengan membacanya, Anda akan mendapat kesan bahwa, bagi Brueggemann, khotbah dan doa adalah hal yang sama. Keduanya adalah cara berbicara jujur kepada dan tentang Allah di dunia yang semakin sinis.

Kejujuran itu—penolakan untuk meromantisir Allah—adalah salah satu karunia Brueggemann yang luar biasa bagi gereja. Dia tidak pernah memoles kitab para Nabi. Dia tidak pernah memperhalus Kitab Mazmur. Dia membiarkan penderitaan dalam kitab-kitab itu tetap ada. Dan dia membiarkan pengharapan dalam kitab-kitab itu bangkit dengan kekuatan.

Dalam zaman yang terobsesi dengan metrik dan strategi, Brueggemann mengajak para pengkhotbah untuk kembali merangkul misteri. “Saya ingin menganggap khotbah sebagai penafsiran puitis tentang dunia alternatif,” tulisnya.

Tujuan dari khotbah seperti itu adalah untuk membuat kita menghargai kebenaran, untuk membuka kebenaran dari reduksionisme yang merajalela di masyarakat kita, untuk mematahkan rasionalitas menakutkan yang membuat berita menjadi tidak baru lagi.

Itu kata yang sulit untuk dihidupi. Itu berarti khotbah bukanlah tentang pengendalian. Khotbah adalah tentang kepercayaan. Anda tidak sekadar menyampaikan konten; Anda sedang mengelola sebuah disrupsi yang kudus. Hal itu berisiko. Namun, hal itu juga penuh kesetiaan.

Walter Brueggemann percaya bahwa Alkitab menciptakan dunia melalui perkataan-Nya. Dan khotbah, dalam bentuk terbaiknya, turut serta dalam pidato yang generatif itu. Jadi kita tidak sekadar menjelaskan apa maksud teks tersebut—kita membiarkan teks itu berbicara sekarang. Kita membiarkannya membangkitkan keberanian. Kita membiarkannya menyingkap kerajaan-kerajaan dunia. Kita membiarkannya menamai kesedihan dan menawarkan sukacita yang tak terbayangkan. Itulah yang diajarkan Brueggemann kepada kita.

Bagi kita yang berkhotbah, warisan Brueggemann tidak hanya ada di catatan kaki—melainkan pada tubuh khotbah. Dia mengajari kita untuk berdiri di hadapan teks dengan ketakjuban; Memasuki mimbar dengan kegentaran; Menghormati puisi dari Firman Tuhan, bukan hanya logika kita sendiri. Bukan berarti dia menentang kejelasan—dia menentang penyederhanaan. Dia menentang pengurangan misteri menjadi sekadar teknik. Dia menentang pemberian jawaban, sementara Kitab Suci hanya menawarkan kehadiran.

Dalam dunia di mana kekristenan sering menjual dirinya sebagai suatu sistem kepastian, Brueggemann mengundang kita untuk menemukan kembali iman sebagai disorientasi yang suci. “Injil bukanlah sekumpulan kepastian,” dia mengingatkan kita, “melainkan sebuah undangan untuk berziarah.” Kata-katanya selalu mengarahkan kita ke suatu tempat: ke arah pinggiran, ke arah penderitaan akan pengasingan, ke arah kesetiaan Allah yang tidak jinak.

Itulah sebabnya kematian Brueggemann penting—bukan hanya karena seorang cendekiawan telah tiada, melainkan karena seorang penyair Kerajaan Allah telah wafat. Akan tetapi, kata-katanya masih bergema di mimbar-mimbar dan bangku-bangku gereja di seluruh dunia. Imajinasinya membentuk ulang imajinasi kita. Kesetiaannya yang sangat berani terhadap kesaksian Alkitab memberi kita cara untuk berbicara lagi—bukan sebagai pemasar, bukan sebagai manajer, melainkan sebagai nabi, penyair, dan orang yang berpegang pada Kitab Suci.

Ada jenis khotbah yang menyampaikan kebenaran.

Dan ada khotbah jenis lain yang membiarkan kebenaran.

Brueggemann menunjukkan kepada kita cara melakukan yang kedua.

Dia mengajari kita cara berdiri di antara Firaun dan Tanah Perjanjian serta tetap bernyanyi. Tetap berkhotbah. Tetap percaya.

Dia menunjukkan kepada kita bahwa Injil tidaklah santun. Injil tidak kompromi. Injil memutuskan rantai dan membangun masa depan.

Apa arti warisan Brueggemann bagi khotbah? Artinya, kita harus berhenti puas terhadap perkataan yang aman. Artinya gereja-gereja kita harus memulihkan identitas khotbah, yang adalah puitis dan profetik. Artinya, kita harus percaya lagi bahwa Firman itu hidup, dan jika kita mengucapkannya dengan setia, Firman itu akan membawa kita kepada pembaruan.

Berkhotbah di bawah bayang-bayang kehidupan Brueggemann berarti menerima risiko akan ketakjuban. Ini berarti percaya bahwa Firman Allah bukanlah sebuah peninggalan, melainkan suatu sungai; Bukan rumus, melainkan api.

Dan jika kita berani masuk ke dalamnya, kita mungkin akan keluar berbicara seperti para penyair. Seperti para nabi. Seperti orang-orang yang telah dihancurkan—dan dibentuk kembali—oleh anugerah.

Jadi, tidak, ini bukan sebuah obituari. Ini adalah sebuah ucapan terima kasih. Sebuah janji. Sebuah doa.

Terima kasih, Walter Brueggemann, karena telah mengajarkan kami berbicara dengan imajinasi suci.

Kami berjanji untuk terus berkhotbah dengan api dan puisi.

Dan kami berdoa: Tuhan, biarlah para penyair terus berdatangan.

Sean Palmer adalah pendeta pengajar di Ecclesia Houston, seorang penulis, pelatih berbicara, dan penulis buku Speaking by the Numbers.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube