Lukas 22:14–20
Pada akhirnya, Yesus tiba pada saat klimaks yang menjadi tujuan kelahiran-Nya. Kita selayaknya mengenang kelahiran-Nya dengan perayaan yang membahagiakan. Dan kita juga selayaknya mengenang kematian-Nya dengan penghormatan yang penuh keheningan. Kita sedang berada di tempat yang kudus.
Kita menyebut hari dalam Pekan Suci ini sebagai Kamis Putih karena sabda Tuhan kita pada malam itu: “Aku memberikan perintah [Latin: mandatum] baru kepadamu” (Yoh. 13:34).
Catatan Lukas tentang peristiwa ini mengarahkan kita kepada dua realitas Injil yang menggetarkan hati.
Pertama, Yesus tidak menyelamatkan kita dari jarak yang aman, seolah-olah dengan kendali jarak jauh. Dia menyerahkan diri-Nya untuk keselamatan kita dengan penyerahan diri sepenuh hati. Tubuhnya diremukkan. Darahnya tercurah.
Ketika Yesus dan para murid-Nya merayakan Paskah Yahudi (Passover), Ia menjelaskan betapa panjang dan dalam kasih-Nya sehingga Ia rela mati bagi kita:
“Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: ‘Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.’ Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: ‘Cawan ini, adalah perjanjian baru oleh darah-Ku’” (Luk. 22:19-20).
Perjanjian yang lama bergantung, sebagian, pada ketaatan kita. Itulah sebabnya kata terakhir dalam Perjanjian Lama adalah “musnah” (Mal. 4:6). Kita sangat tidak taat. Namun pengkhianatan kita terhadap perjanjian itu tidak menghentikan Tuhan yang setia dalam perjanjian-Nya. Alih-alih mundur, Ia justru semakin mendekat dengan penuh kesetiaan. Ia mengutus Putra tunggal-Nya sebagai Juru Selamat kita yang sanggup menebus segala dosa. Itulah sebabnya Perjanjian Baru ditutup dengan “Kasih karunia Tuhan Yesus” (Why. 22:21)—firman terakhir dari pengharapan yang tak berkesudahan.
Mari kita perjelas tentang pengaturan perjanjian Allah dengan kita saat ini. Kita bukan sedang membawa kekuatan kita ke meja pertandingan lalu Allah membawa kekuatan-Nya, sehingga kita dapat bersama-sama menciptakan sebuah kemenangan tim. Tidak, perjanjian yang baru ini sepenuhnya merupakan kasih karunia Allah semata. Dan Dia tidak menurunkan standar-Nya. Kasih karunia-Nya menjangkau lebih dalam dengan menaruh hukum-Nya yang kudus dalam akal budi kita dan menuliskannya dalam hati kita (Ibr. 8:8-13). Pembaharuan yang mendalam itu adalah kabar baik bagi siapa saja yang lelah hatinya karena “rawan mengembara,” seperti yang dikatakan dalam sebuah himne lama. Dan Yesus memeteraikan pengharapan kita dalam perjanjian yang baru ini dengan darah-Nya sendiri. Dia memberikan segalanya.
Kedua, Yesus tidak membatasi curahan kasih-Nya hanya pada penderitaan dan salib-Nya di masa lampau. Benar, kematian penebusan-Nya adalah “satu kali untuk selama-lamanya” (Ibr. 7:27). Mengutip dari Book of Common Prayer, Ia mempersembahkan diri-Nya di atas kayu salib “dengan persembahan diri-Nya yang dilakukan satu kali saja, sebagai suatu kurban yang lengkap, sempurna, dan memadai untuk menebus dosa seluruh dunia.”
Finalitas Salib adalah pesan Injil yang senang saya sampaikan sebagai seorang pendeta. Itulah Injil yang suka kita dengarkan.
Namun di samping itu, Juru Selamat kita yang telah bangkit, melalui Roh-Nya, mengunjungi kita dalam Perjamuan Kudus dengan pengalaman yang nyata akan kasih karunia-Nya yang tak berkesudahan. Dengan memanggil kita untuk makan dan minum, seolah Dia berkata, “Kasih-Ku yang rela mati bagimu begitu nyata, sehingga engkau dapat merasakannya! Datanglah. Terimalah. Diperbaharuilah.”
Perjamuan Kudus adalah sebuah pesta perayaan. Yesus memenuhi hati kita terus-menerus, meyakinkan kita bahwa dosa-dosa kita yang berulang kali dalam hidup ini tidak dapat mengurangi karya-Nya yang telah selesai di kayu salib.
Hari ini, saat kita menerima Perjamuan Kudus di gereja kita, momen itu mungkin terasa seperti saat-saat dalam novel Return of the King karya Tolkien, sesaat setelah pengepungan Gondor. Suara terompet dari kejauhan menandakan bahwa Rohan datang untuk menyelamatkan. Kemudian setelah pertempuran dimenangkan, Tolkien memberi tahu kita bahwa, bagi Pippin, “tak pernah lagi selama bertahun-tahun ia mendengar bunyi terompet ditiup dari kejauhan tanpa air mata yang mengalir di matanya.”
Sang Juru Selamat yang menyelamatkan kita merupakan realitas sejarah yang kokoh untuk dikenang dan pengalaman masa kini yang jelas untuk dinikmati. Malam ini kita akan datang kepada-Nya sebagaimana adanya kita, dengan segala kehancuran dan penyesalan atas dosa-dosa kita. Kita akan mengingat, dengan rasa hormat yang mendalam, akan komitmen-Nya yang total untuk menyelamatkan kita dari segala dosa kita. Dan mata kita mungkin akan berlinang air mata.
“Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” mengundang kita ke sana. Mengapa harus menahan diri? Dia tidak pernah menahan diri. Dan sampai sekarang, Dia tetap tidak menahan kasih-Nya.
Pendeta Ray Ortlund adalah presiden Renewal Ministries dan teolog kanon di Gereja Anglikan di Amerika Utara. Ortlund lulus dari Universitas Aberdeen (PhD) dan ditahbiskan dalam pelayanan Kristen oleh Gereja Lake Avenue, Pasadena, pada tahun 1975.
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.