IPada musim panas tahun 2022, saya mengunjungi kota pegunungan yang menawan di Oberammergau, Jerman. Saya menyusuri jalan-jalannya yang rindang, dipenuhi rumah-rumah bercat mural, dan balkon-balkonnya dipenuhi dengan kotak-kotak bunga.
Setelah menikmati es krim dan berbelanja ukiran kayu yang terkenal di kota itu, saya menempati tempat duduk saya untuk menonton pertunjukan selama lima setengah jam tentang minggu terakhir Yesus di bumi. Sejak tahun 1634, Oberammergau telah mementaskan drama Kesengsaraan Yesus yang melibatkan hampir seluruh penduduknya, yang pertama kali dipentaskan sebagai ucapan syukur atas berakhirnya wabah penyakit pes. Biasanya pementasan berlangsung pada tahun pertama dekade baru (2000, 2010, dst.), tetapi wabah COVID-19 menunda pementasan tahun 2020 selama dua tahun.
Puluhan bus membawa para wisatawan dari berbagai negara. Sambil melihat sekeliling, saya menyaksikan rombongan dari Tiongkok, Jepang, dan Korea, selain banyak orang Eropa dan Amerika. Musim panas itu, hampir setengah juta orang melakukan perjalanan ke Jerman yang sekuler untuk menyaksikan pertunjukan Kesengsaraan Yesus, yang diucapkan dan dinyanyikan dalam bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh sangat sedikit orang di antara kerumunan itu.
Apa yang membuat mereka tertarik? Saya penasaran. Pada satu titik, lebih dari seribu aktor memenuhi panggung, berteriak dalam bahasa Jerman yang parau, “ Kreuzige ihn! ” (Salibkan dia!). Para penonton terdiam saat prajurit-prajurit Pilatus menyiksa dan mengejek tawanan mereka.
Beberapa orang dalam kelompok tur saya mengkritik drama itu karena meremehkan peristiwa Kebangkitan; lagipula, hanya 3 dari 132 halaman teks drama musikal itu yang berfokus pada peristiwa penting tersebut. Namun rasio itu mencerminkan kisah-kisah dalam Injil, yang memberi lebih banyak perhatian pada pencobaan dan penyaliban dibandingkan pada akhir yang penuh kemenangan. Namun, kritik itu menimbulkan pertanyaan: Apakah tradisi seperti Oberammergau akan bertahan selama empat abad jika yang diperingati hanyalah kematian seorang tokoh terkenal?
Di Lapangan Tiananmen Beijing dan Lapangan Merah Moskow, saya menyaksikan ribuan orang mengantre untuk melihat jenazah Mao Zedong dan Vladimir Lenin yang diawetkan. Para martir pun dapat memperoleh tempat terhormat dalam ingatan sejarah: Abraham Lincoln, Joan of Arc, Martin Luther King Jr., Gandhi—dan yang terakhir, Alexei Navalny.
Begitukah cara kita mengenang Yesus, selain pada saat Paskah?
Selama perjamuan terakhir Dia bersama para murid sebelum penangkapan-Nya, Yesus mencoba menjelaskan perubahan penting yang sedang terjadi. Yohanes 13–17 mencatat sebagian besar dialog tersebut, di mana Yesus meramalkan masa depan. “Seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku,” kata-Nya, dan Ia juga mengidentifikasi pelakunya (13:21–27). Ia memberi tahu mereka bahwa Dia, pemimpin mereka, akan pergi, tetapi tidak benar-benar pergi; dalam beberapa hal Ia akan semakin dekat. Lebih dari sebelumnya, Ia memperlihatkan identitas-Nya dengan jelas, yang menyebabkan Filipus bingung atas pernyataan sensasionalnya, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (14:9).
Dua pernyataan pada malam itu pasti menghantui para murid di hari-hari berikutnya. Yang pertama: “Dalam dunia kamu akan menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (16:33). Dalam beberapa jam, para murid akan menyaksikan penangkapan Yesus dan serangkaian penyiksaan, serta eksekusi mengerikan yang biasa diperuntukkan bagi penjahat yang paling kejam. Beginikah cara Dia mengalahkan dunia? Hal itu terlalu berat untuk diterima oleh Petrus, yang pertama kali menunjukkan keberaniannya dengan mengacungkan pedang demi Yesus (18:10–11). Namun, tak lama kemudian, ia akan mengikuti Yudas dalam tiga kali pengkhianatan (13:38; 18:27).
Pernyataan kedua yang membingungkan: “Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi” (16:7). Para murid masih menikmati terangnya Minggu Palma, hanya beberapa hari sebelumnya, ketika seruan Hosana! Diberkatilah raja Israel! bergema di jalan-jalan Yerusalem (12:13). Mereka menantikan kejayaan, pahala bagi para loyalis yang telah mempercayakan nasib mereka pada sang pahlawan penakluk. Akan tetapi Yesus tiba-tiba mendefinisikan ulang kemuliaan dengan membasuh kaki mereka—melawan protes Petrus—dan dengan menyebutkan bahwa kasih yang terbesar adalah memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (13:1–17; 15:13).
Saya bersimpati dengan kebingungan para murid. Bukankah akan lebih baik jika Yesus tetap tinggal di bumi? Seberapa berbedakah sejarah Kristen jika kita memiliki seorang Paus Yesus yang memveto Perang Salib dan Inkuisisi, melarang perbudakan, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kita tentang hal-hal etis seperti perang yang adil dan isu-isu gender?
Akan tetapi Yesus menguraikan cara-cara di mana kepergian-Nya dapat ditafsirkan sebagai kebaikan. Ia akan membawa suatu bentuk keintiman yang baru: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba…tetapi Aku menyebut kamu sahabat” (15:15). Dengan menggunakan analogi yang sudah lazim, Ia mengibaratkan kedekatan mereka yang baru seperti hubungan ranting dengan pokok anggur (15:1–16). Singkatnya, Ia mengangkat derajat manusia sehingga para pengikut-Nya akan dapat melakukan pekerjaan Allah, sama seperti yang telah Ia lakukan. Selain itu, dengan meninggalkan bumi, Ia akan membuka jalan bagi Roh Allah, Sang Penghibur, untuk datang menyediakan tuntunan dan hikmat yang mereka butuhkan (14:26; 16:7).
Meskipun duduk bersandar mengelilingi meja yang sama, Yesus dan para murid-Nya memandang realitas dengan cara yang sangat berbeda. Yesus mengenang secara kosmik tentang suatu masa “sebelum dunia dijadikan” (17:24), sementara kedua belas murid (sekarang sebelas) hampir tidak dapat mengingat kehidupan mereka sebelum Sang Rabi unik ini memerintahkan mereka untuk meneladani-Nya. Yesus melihat “penguasa dunia ini” (14:30) akan mendatangi Dia melalui pengkhianatan Yudas, sementara para murid mengira Yudas sedang menjalankan tugas. Yesus menubuatkan penganiayaan yang akan datang, turunnya Dia ke alam maut, kebangkitan-Nya dan kembalinya Dia kepada Bapa; tetapi para murid bergumam di antara mereka sendiri, “Kita tidak tahu apa maksud-Nya” (16:18).
Paskah mengubah segalanya, tetapi tidak sekaligus. Dalam naskah Hollywood, Yesus akan menampakkan diri di beranda Pilatus pada Senin pagi, dengan paduan suara malaikat berseru, “Dia telah kembali!”
Namun Yesus menunjukkan lebih sedikit drama, melainkan Ia memperlihatkan pendekatan yang penuh kerendahan hati seperti yang digambarkan di Oberammergau. Ia mengejutkan para wanita di kubur yang kosong, bergabung dengan beberapa teman lama dalam perjalanan ke Emaus, secara misterius muncul di sebuah ruangan terkunci untuk menjawab keraguan Thomas, dan memberikan pelajaran memancing kepada beberapa murid yang telah kembali ke pekerjaan lama mereka di Galilea.
Setelah sekitar enam minggu penampakan-penampakan yang terjadi secara acak itu, para murid kembali berkumpul, masih belum yakin tentang masa depan. Akankah Yesus tetap berada di bumi? Jika tidak, apa yang Dia harapkan dari mereka? Dalam pertemuan pertama dengan para murid setelah kebangkitan-Nya, Yesus telah mengutus mereka: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21). Kemudian pada saat Kenaikan, Ia benar-benar menyerahkan misi tersebut kepada kelompok orang sederhana yang masih berharap Ia akan menghidupkan kembali impian kejayaan mereka yang telah pudar.
Sekarang terserah padamu, kata-Nya dengan tegas. Yesus telah menyembuhkan penyakit, mengusir setan, dan membawa penghiburan serta menjadi pelipur lara bagi orang-orang miskin, tertindas, dan menderita—tetapi itu hanya terjadi di satu wilayah kecil di kekaisaran Romawi. Sekarang Ia mengutus para pengikut-Nya untuk menyampaikan pesan yang sama ke Yudea, Samaria, dan seluruh penjuru bumi.
Dua ribu tahun kemudian, 3 miliar orang di seluruh dunia mengaku sebagai pengikut Yesus. Pesan yang Ia bawa telah menyebar ke Eropa, Asia, dan setiap benua lainnya. Sangatlah kecil kemungkinan penyebaran itu bisa terjadi jika tanpa peristiwa mengejutkan yang kita rayakan sebagai Paskah. Sebelum kebangkitan-Nya, beberapa pengikut Yesus menyangkali Dia dan bersembunyi dari pengawal Bait Suci. Bahkan sesudahnya, Tomas masih ragu sampai dia melihat buktinya secara nyata dalam bentuk fisik dan bekas luka. Namun saat mereka mulai memahami apa yang terjadi dalam peristiwa Kebangkitan, para murid dapat melihat sekilas pandangan kosmik dari Yesus.
Pada penghujung dari Perjamuan Terakhir yang mengharukan, yang digambarkan dalam Yohanes 13–17, Yesus berdoa untuk semua orang yang akan mengikut Dia. “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku,” kata-Nya. “Agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (17:20–23).
Bagaimana keadaan kita, sebagai pengikut Yesus di abad ke-21 ini? Kita seharusnya dikenal karena kesatuan dan pengharapan kita yang teguh, sebab kita “bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia,” sebagaimana yang didoakan Yesus (17:14). Jika kita sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus telah bangkit dan mengizinkan realitas itu meresap ke dalam diri kita, maka hal itu akan membantu meredakan rasa takut dan kecemasan kita akan berbagai hal seperti ekonomi, pemilu, dan kerusuhan global. Bagi dunia yang menyaksikan, para pengikut Yesus seharusnya tampil sebagai pembawa damai: sebagai orang-orang yang “menjembatani” yang berkomitmen untuk mengasihi, bukan membenci, para penentang kita—bahkan termasuk juga musuh kita.
Seorang teman saya dihentikan langkahnya oleh seseorang yang skeptis. Setelah mendengarkan teman saya menjelaskan imannya, orang skeptis itu berkata seperti ini: “Tetapi kamu tidak bertindak sebagaimana yang kamu percayai bahwa Tuhan itu hidup.”
Saya mencoba untuk mengubah tuduhan orang skeptis itu menjadi sebuah pertanyaan: Apakah saya bertindak sebagaimana yang saya pahami bahwa Tuhan itu hidup? Itu adalah pertanyaan yang bagus, yang harus saya tanyakan kepada diri saya sendiri setiap hari.
Philip Yancey adalah penulis banyak buku termasuk, yang terbaru, memoar Where the Light Fell.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.