Salah satu ayat Alkitab yang paling banyak dikutip sepanjang masa adalah Yohanes 3:16: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Namun penafsirannya sering kali lebih dibentuk oleh sudut pandang kehidupan kita sendiri daripada konteks teologisnya. Bila dibaca menurut kecenderungan modern, ayat ini dapat menuntun pendengarnya untuk percaya bahwa motif utama Allah dalam menciptakan dunia dan mengutus Yesus adalah karena kasih-Nya kepada manusia—dan, lebih jauh lagi, bahwa kisah Allah pada akhirnya adalah tentang kita dan keselamatan kita.
Hal ini secara halus menempatkan kita sebagai subjek utama dalam kisah penebusan, menjadikan kita penulis dan penentu makna serta menempatkan Tuhan sebagai karakter dalam kisah kita—sosok yang dapat kita definisikan agar sesuai dengan narasi kita dan dapat kita gunakan untuk tujuan kita sendiri.
Dalam gereja, hal ini dapat terlihat seperti kebaktian yang berorientasi pada konsumen, lagu-lagu penyembahan yang mementingkan diri sendiri, misi yang dimotivasi oleh angka, pandangan transaksional tentang keselamatan, dan penekanan yang berlebihan pada pertumbuhan rohani individu.
Akan tetapi, Injil yang terutama bukan tentang penebusan kita. Injil tidak berpusat pada diri kita dan apa yang bisa kita peroleh dari Tuhan, melainkan yang terutama, Injil berpusat pada Tuhan Yesus Kristus. Dengan mengalihkan fokus dari diri kita sendiri, kita menemukan kisah yang jauh lebih besar—kisah di mana kasih, kemuliaan, dan tujuan kekal Allah menjadi pusat perhatian, yang mengundang kita untuk menemukan makna dan sukacita sejati kita di dalam Kristus.
Segala ciptaan menjadi ada karena Tuhan, melalui Tuhan, dan untuk Tuhan (Rm. 11:36). Perjanjian Baru menjadikan pokok-pokok ini secara khusus ditujukan kepada Kristus. Segala ciptaan ada di dalam, melalui, dan untuk Kristus (Kol. 1:16), “Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir” (Why. 22:13). Pada akhirnya, Kristus akan memerintah atas seluruh ciptaan “supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor. 15:25–28). Dalam kata-kata teolog David Fergusson, “Dunia diciptakan agar Kristus dapat lahir.”
Jadi, meskipun mungkin terasa seperti pusat dari kisah kita, pengalaman keselamatan pribadi apa pun hanyalah lampiran dari alur kisah utama.
Tujuan rekonsiliasi yang menyeluruh dari Allah jauh melampaui keselamatan individu menuju pemulihan ciptaan di bawah ketuhanan Kristus. Tanpa bermaksud melemahkan perintah-perintah Injil atau mengesampingkan panggilannya akan pertobatan dan pemuridan, pembacaan kisah kosmik Allah ini memperdalam pemahaman kita tentang tempat kita dalam ciptaan Tuhan. Kisah ini mengajak kita untuk menghidupi iman kita dalam terang realitas bahwa tidak ada yang lebih benar, tidak ada yang lebih besar, selain mengikut Kristus.
Untuk menunjukkan betapa besar perbedaannya, kita akan melihat dua cara menceritakan kisah Injil: Yang berpusat pada diri kita dan yang berpusat pada Tuhan. Seperti yang akan kita lihat, makna Paskah berubah secara mendalam tergantung dari kisah mana yang kita pakai.
Ketika berpusat pada kita, kisah ini dimulai dengan memandang ciptaan terutama sebagai rumah bagi umat manusia. Pada mulanya, seluruh ciptaan dinyatakan oleh Tuhan sebagai “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Kita mungkin menyebutnya sebagai “Rencana A” Tuhan. Dalam pandangan ini, Taman Eden merepresentasikan lingkungan surgawi di mana kita dirancang untuk hidup harmonis dengan Tuhan, asalkan kita membuat pilihan yang benar. Namun, kita memilih untuk tidak taat, mengganggu keharmonisan ini dan memaksa Tuhan untuk mengubah rencana-Nya.
Akan tetapi ketika berpusat pada Tuhan, kisah ini dimulai dengan keputusan Tuhan untuk menciptakan dunia—bukan sebagai tujuan akhir, melainkan untuk menemukan tujuannya di dalam Tuhan. Penciptaan bukanlah tentang kita, melainkan tentang pencerminan (atau pencitraan) kemuliaan, kebaikan, dan kasih Allah yang melimpah.
Kemudian, manusia diciptakan menurut gambar Allah—bukan untuk menemukan nilai dan martabatnya yang hakiki, melainkan untuk mencerminkan Allah di dalam dunia. Panggilan ini mengundang kita untuk menantikan kedatangan Sang Anak, “gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol. 1:15). Dengan cara ini, Allah memberkati umat manusia dan menyatakannya sungguh amat baik.
Namun, Allah juga memperingatkan bahwa jika manusia berusaha untuk menjadi seperti Tuhan dengan caranya sendiri, dengan memakan buah dari Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat, mereka akan terpisah dari Tuhan dan kehidupan mereka akan dirusak oleh kematian. Ketika Adam dan Hawa tidak taat, inilah yang terjadi.
Maka dimulailah kisah rekonsiliasi—di mana Tuhan membangunkan para makhluk ciptaan-Nya dari kisah fiksi mereka yang menyesatkan untuk memulihkan keharmonisan mereka dengan kisah Tuhan.
Ketika berpusat pada kita, sejarah Israel adalah tentang Allah yang membuat kesepakatan dengan orang-orang tertentu—kesepakatan yang bergantung pada partisipasi dan respons mereka. Kakek saya, teolog James Torrance, menyebut respons bersyarat semacam ini sebagai “kontrak” dan bukan “kovenan” sejati.
Dalam pandangan ini, kita membaca teks tersebut seolah-olah ada perjanjian kontraktual antara Tuhan dan Abraham: “Jika kamu mau menjadi umat-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu”; “Jika kamu menaati hukum Taurat, maka Aku akan setia kepadamu.” Hal ini membingkai hubungan Tuhan dengan Israel sebagai hubungan yang secara hukum dan moral bergantung pada kesetiaan umat tersebut. Lalu ketika Israel gagal untuk memenuhi janjinya, hubungan itu memburuk, yang mengakibatkan pengasingan dan keterpisahan dari Tuhan.
Ketika berpusat pada Tuhan, hubungan Tuhan dengan Israel melalui Abraham (Kej. 17:7) merupakan perjanjian ilahi karena hal ini berakar pada janji Tuhan yang tanpa syarat: “Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku” (Im. 26:12). Lalu, 430 tahun kemudian (Gal. 3:17), Allah menjelaskan harapan umat pilihan ini—singkatnya, “Akulah Tuhan, Allahmu,” karena itu “peganglah perintah-perintah-Ku” (Kel. 20:2–17; Im. 22:31). Identitas agama Israel tidak dipilih sendiri, melainkan diberikan kepada mereka sebagai karakter dalam narasi Tuhan.
Bahkan di saat terjadi pembangkangan, identitas Israel tetap utuh. Pemberontakan mereka hanya mencerminkan perlawanan terhadap sifat asli mereka, suatu kepura-puraan untuk menjadi orang lain daripada menjadi diri mereka yang sebenarnya.
Hal ini karena, seperti yang ditulis oleh pakar Alkitab, Jon Levenson, sementara “kapasitas Israel untuk berbuat dosa mungkin terbukti lebih kuat daripada kasih mereka kepada Tuhan…namun kasih Allah bagi mereka terbukti lebih kuat daripada dosa.” Rasul Paulus menjelaskan kepada jemaat di Roma bahwa “mengenai pilihan, mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang mereka. Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya” (Rm. 11:28–29).
Namun, pembangkangan Israel mencerminkan kecenderungan manusia yang lebih luas: Dorongan untuk “berperan sebagai Tuhan” dengan mendefinisikan diri kita menurut kisah fiksi kita sendiri, yang bertentangan dengan kisah penciptaan dari Tuhan.
Ketika berpusat pada kita, Yesus dipandang sebagai “Rencana B,” suatu respons terhadap kegagalan manusia dalam menegakkan hubungannya dengan Tuhan. Dalam kerangka ini, Allah Bapa membuat perjanjian dengan Sang Putra untuk menggenapi hukum Taurat demi kepentingan umat manusia yang berdosa. Dengan menjelma menjadi manusia, menderita, dan mati di kayu salib, Sang Anak menanggung hukuman kita, memenuhi keadilan Allah dan memungkinkan terjadinya pengampunan. Tindakan ini menjembatani keterpisahan yang disebabkan oleh dosa, membuka jalan bagi hubungan yang diperbarui antara Allah dan manusia.
Dalam narasi ini, Yesus bukanlah tujuan akhir dari penciptaan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan akhir umat manusia: Kehidupan kekal dalam keadaan sempurna. Namun, untuk mencapai ini, kita harus menerima penebusan melalui iman. Oleh karena itu, kisah penciptaan tidak hanya bergantung pada tindakan Allah, tetapi juga pada pilihan manusia. Untuk memperoleh kehidupan kekal, Tuhan mengharuskan pertobatan dan komitmen untuk beriman kepada Kristus, yang menempatkan puncak dari kisah ini sebagian berada di tangan manusia.
Perspektif ini pada akhirnya membingkai kisah penciptaan sebagai sebuah negosiasi ilahi dengan otonomi manusia. Tuhan menciptakan dunia dengan kapasitas untuk menemukan nilai di dalam dan dari dunia itu sendiri—terlepas dari tujuan Tuhan. Tuhan kemudian menopang dunia ini, membimbing manusia dalam pencarian akan tujuan hidupnya, sambil dengan hati-hati menghormati penentuan nasib kita sendiri. Dengan diciptakan menurut gambar Allah, semua manusia memiliki kapasitas untuk menilai, berkreasi, dan mengarahkan diri sendiri, yang memungkinkan kita untuk mengejar tujuan-tujuan kita sendiri secara mandiri.
Dalam pandangan ini, kisah penciptaan tetap belum selesai sampai manusia menerima Kristus melalui iman untuk mencapai kehidupan kekal dan penggenapan yang sempurna. Di sini, pertanyaan utama dari Paskah adalah “Bagaimana kita mengintegrasikan Kristus ke dalam perjalanan keselamatan pribadi kita?”
Ketika berpusat pada Tuhan, ciptaan bukan tujuan akhir, melainkan bagian dari tujuan kekal Allah, yang berpuncak pada Yesus Kristus. Kristus bukanlah “Rencana B” dalam menanggapi kegagalan manusia; sebaliknya, Ia menyatakan tujuan akhir yang sejati dari ciptaan. Dalam inkarnasi, Firman Tuhan yang hidup memasuki kisah penciptaan sebagai seorang manusia yang mengungkapkan kebenaran kisah Allah dan menjadi sasaran dari narasi-narasi palsu yang dibangun oleh manusia.
Pada satu sisi, Tuhan tidak menyerahkan kisah penciptaan di tangan manusia, melainkan membawa kisah tersebut kepada kesimpulan yang dikehendaki-Nya melalui Sang Anak yang berinkarnasi. Melalui Roh Kudus, kita dipersatukan dengan Kristus, yang mewujudkan kemanusiaan sejati dan mendefinisikan peran, identitas, dan kepemilikan kita yang sesungguhnya dalam kisah Allah. Kristus bukan sekadar jalan menuju hikmat, kebenaran, dan penebusan—Ia mempersonifikasikan kualitas-kualitas ini dan mengundang kita untuk berjalan sebagaimana Ia berjalan (1Kor. 1:30; 1Yoh. 2:6).
Pada sisi lain, Kristus melangkah ke dalam kisah dosa manusia yang penuh dengan kematian dan kekacauan. Ia sepenuhnya merangkul kondisi manusia, menanggung akibatnya yang fatal sebagai “Sang Hakim yang diadili demi menggantikan kita,” meminjam ungkapan dari Karl Barth. Melalui kebangkitan-Nya, narasi palsu kita terungkap sebagai fiksi dan tersapu oleh kuasa penebusan Tuhan.
Dengan demikian, kisah Paskah bukanlah tentang menyeimbangkan atau menetralkan dosa, melainkan tentang runtuhnya narasi palsu dari dosa di hadapan kasih karunia dan kebenaran Tuhan. Di dalam Kristus, ciptaan dibawa kepada kesimpulan kekal yang selalu ditetapkan Allah untuknya.
Kini setelah kita tahu bahwa nyanyian Paskah pada hakikatnya bukan tentang kita, kita diperhadapkan pada pertanyaan penting: Di manakah posisi kita? Lalu, bagaimana Tuhan bagi kita? Jawabannya terletak pada kebenaran yang mendalam namun membingungkan, yaitu bahwa Tuhan ada di pihak kita karena Tuhan ada untuk Tuhan. Bila dilihat melalui sudut pandang Trinitarian, hal ini mulai masuk akal.
Alasan bagi ciptaan berakar pada kasih kekal antara Bapa dan Putra di dalam Roh Kudus. Penciptaan secara alami mengalir dari kasih ini—dimulai dari kasih Bapa kepada Anak dan memperoleh penggenapannya di dalam kasih timbal balik Anak kepada Bapa, semuanya melalui Roh Kudus. Dengan cara ini, baik awal maupun akhir dari ciptaan berakar pada kehidupan kekal dan kasih dari Allah Tritunggal. Hal ini berarti, sebagaimana yang diamati oleh Agustinus, bahwa sementara “setiap[manusia] harus dikasihi sebagai [manusia] demi Tuhan,” “Tuhan harus dikasihi demi diri-Nya sendiri.”
Ciptaan hanya eksis karena Allah telah menetapkan bahwa kasih Allah harus meluap ke dalam sesuatu yang baru—sesuatu yang bukan Tuhan. Dunia tidak dimaksudkan untuk menyatu kembali dengan Tuhan, melainkan dunia ada sebagai suatu pemberian—yang diberikan Bapa kepada Putra dan Putra memberikannya kembali kepada Bapa, semuanya di dalam Roh Kudus.
Pertukaran ilahi ini terjadi di dalam inkarnasi. Bapa mengutus Sang Putra untuk mengidentifikasi diri dengan ciptaan sehingga, di dalam dan melalui Dia, ciptaan dapat kembali kepada Bapa. Dengan cara ini, Allah ada bagi kita di dalam Kristus dengan memampukan kita untuk ada bagi Allah di dalam Kristus. Menurut Agustinus, “melalui [Kristuslah] manusia datang, kepada [Kristuslah] mereka datang, di dalam [Kristuslah] mereka beroleh peristirahatan.”
Inilah cara ciptaan menemukan kesempurnaannya—dengan dipersatukan di dalam Kristus ke dalam pertukaran kehidupan dan kasih dari Allah Tritunggal.
Ketika kita memahami kebenaran ini, kita melihat bahwa ciptaan merupakan bagian dari sesuatu yang jauh lebih agung daripada yang dapat terjadi di dalam dan dari ciptaan itu sendiri. Oleh karena itu, kita tidak dapat menemukan kesempurnaan hanya di dalam sifat intrinsik kita. Jika kita mereduksi tujuan-tujuan Allah dalam Injil menjadi hanya untuk keselamatan dan pembaruan pribadi kita, maka kita kehilangan kisah yang lebih besar. Tujuan utama kita tidak ditemukan di dalam diri kita sendiri, melainkan di dalam Allah, karena kita diundang untuk berbagi dalam pemberian dan penerimaan kasih yang kekal yang menjadi ciri khas dari Allah Tritunggal. Hanya dengan berpartisipasi dalam persekutuan ilahi ini, maka kita dapat menemukan identitas kita yang sejati dan tujuan sempurna yang menjadi alasan mengapa kita diciptakan.
Apa artinya hal ini terhadap cara kita memahami rekonsiliasi saat ini? Terlalu sering, orang Kristen mereduksi makna Injil menjadi hanya cara kita mengamankan tempat di surga setelah kematian. Namun hal ini mengabaikan inti pesan dari Injil. Kehidupan Kristen bukanlah sekadar persiapan untuk suatu pengharapan yang jauh; melainkan sebuah undangan untuk berpartisipasi dalam kerajaan Kristus di sini dan saat ini. Melalui pewahyuan dari Yesus, kita dipanggil untuk merangkul keindahan dan kebaikan dari ciptaan Allah yang baru di masa kini.
Akan tetapi, banyak dari kita yang menolak panggilan ini. Kita mungkin dengan berat hati melayani Tuhan karena kewajiban, berharap untuk memperoleh pahala di masa depan. Namun dalam hati, kita tidak menikmati bagaimana perintah-perintah Yesus—seperti perintah untuk merawat orang sakit, orang lapar, dan orang asing di antara kita (Mat. 25:35–36)—akan menjungkirbalikkan kehidupan kita yang sudah nyaman. Pola pikir ini menyingkapkan suatu pertanyaan yang meresahkan: Jika kita tidak memiliki hasrat untuk hidup di dalam kerajaan Allah hari ini, apa yang membuat kita berpikir bahwa kita akan menginginkannya di hari esok? Tanpa menyadarinya, kita dapat menjadi penipu, mengaku beriman tetapi menentang kuasa transformatif dari iman tersebut.
Jadi di manakah pengharapan kita? Pengharapan itu tidak terletak pada tindakan yang tidak sempurna atau keyakinan yang setengah hati, melainkan sepenuhnya terletak pada Tuhan. Kebangkitan bukan sekadar suatu peristiwa bersejarah, melainkan juga sumber dari semua pengharapan yang sejati dan abadi. Kuasa Tuhan memberi kita kehidupan yang baru, jauh melampaui apa yang dapat kita capai bagi diri kita sendiri.
Injil Yesus mengundang kita untuk terbangun dari kisah-kisah kita yang terbatas menuju realitas kisah Allah—untuk menghirup hidup kebangkitan yang telah dimulai dan berlanjut hingga kekekalan. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan pertanyaan bagi kita: Apakah kita ingin bangun?
Andrew Torrance adalah seorang profesor teologi di Universitas St. Andrews. Buku-buku terbarunya meliputi Accountability to God dan salah satu penulis Beyond Immanence: The Theological Vision of Kierkegaard and Barth.
Artikel ini terdapat dalam edisi Maret/April 2025 dari Christianity Today dengan judul “The Crux of Creation”
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.