Theology

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

Christianity Today September 20, 2024
Source images: Getty

Seorang anak laki-laki bermain di jalan, menendangi debu tanah, dan melompati tembok. Istri saya kebetulan berjalan melewati dia bersama kelima anak kami, yang menarik perhatiannya. Dia memperhatikan dari kejauhan sebentar lalu memberanikan diri untuk berlari kecil menghampiri dan bertanya: “Kalian mau ke pesta?” Istri saya segera menjawab: “Ya, benar!” Kami menyebutnya gereja. Kalau kamu minta izin pada ibumu, kamu bisa ikut dengan kami.”

Anak kecil itu berlari pulang dan kembali beberapa menit kemudian dengan senyum lebar di wajahnya. Hari Minggu itu dia tinggal sebentar untuk minum coklat panas dan pergi sebelum kebaktian dimulai. Namun dia kembali minggu berikutnya dan minggu setelahnya. Tak lama kemudian dia membawa ibunya, saudara laki-lakinya, dan beberapa sepupunya. Delapan tahun kemudian, mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari gereja kami.

Salah satu momen paling mengharukan pada tahun-tahun itu adalah ketika ibu dari anak laki-laki itu dibaptis. Sambil berdiri di dalam air setinggi pinggang, dia menjelaskan sedikit tentang masa kecilnya yang traumatis, tahun-tahun kehidupannya yang sulit, dan sedikit tentang perjuangannya mencoba menyatukan keluarganya. Wajahnya bersinar dan suaranya dengan jelas mengartikulasikan kasihnya kepada Allah yang telah menemukan dia dan menyambutnya.

Pemikiran yang menarik perhatian putranya adalah bahwa gereja seperti sebuah pesta di mana dia dan keluarganya diundang. Yang menyedihkan, mereka telah sering mengalami bagaimana rasanya dikucilkan, tetapi penemuan bahwa gereja bukanlah sekadar acara yang Anda datangi melainkan sebuah keluarga, telah mengubah hidup mereka. Faktanya, hal itu mengubah kehidupan seluruh gereja.

Lebih dari Sekadar Sebuah Acara

Saya telah bertemu banyak pendeta dan anggota gereja yang dapat menceritakan kisah serupa. Saat saya mengunjungi banyak gereja yang merangkul orang-orang yang sangat membutuhkan keluarga, mata saya terus-menerus terbuka bukan saja pada apa sebenarnya arti keluarga, tetapi juga pada apa sebenarnya arti gereja sebagai keluarga. Perubahan persepsi mengenai apa itu gereja, dan untuk apa gereja ada, memiliki implikasi yang besar, tidak hanya bagi pengembangan rohani pribadi kita tetapi juga bagi pemahaman kita mengenai misi, penginjilan, ibadah, keadilan, keramahtamahan, dan pemuridan.

Sayangnya, sebagian besar bahasa kita menyajikan dan memperkuat gagasan bahwa gereja adalah suatu acara di mana barang dan jasa keagamaan dibagikan. Kita lebih sering berbicara tentang “pergi ke gereja” daripada berbicara tentang “menjadi” gereja. Kita mendengar istilah seperti “mencari” gereja atau “berpindah gereja.” Beberapa orang Kristen bahkan bersedia menempuh jarak jauh untuk menghadiri gereja yang cocok bagi mereka.

Ini mungkin berasal dari abad ke-16. Sepengetahuan saya, definisi gereja yang paling sering dikutip berasal dari Pengakuan Iman Augsburg: “Gereja adalah kumpulan orang-orang kudus, yang di dalamnya Injil diajarkan dengan benar dan Sakramen-sakramen diberikan dengan benar.”

Definisi ini, yang awalnya dirumuskan selama Reformasi Protestan, secara khusus dibuat untuk mengecualikan gereja Katolik Roma. Definisi ini berani menantang ajaran sesat pada masanya, tetapi juga bersifat reaksioner dan reduksionis, menggambarkan gereja sebagai suatu peristiwa di mana orang-orang kudus berkumpul untuk mendengar khotbah Injil dan menerima sakramen.

Tambahkan warisan ini pada masyarakat modern yang konsumer, dan pola pikir gereja sebagai sebuah acara menjadi semakin sulit untuk dihindari. Menurut Roger Finke dan Rodney Stark dalam buku mereka The Churching of America, 1776–1990, gereja Amerika pada dasarnya dibentuk oleh kapitalisme pasar bebas. Hal ini juga berlaku di luar batas wilayah AS. Para pemimpin gereja sering bertindak sebagai tenaga penjualan, dan strategi penginjilan sering kali menyerupai kampanye pemasaran. Gereja-gereja akhirnya bersaing satu sama lain untuk mendapatkan jemaat, seperti halnya bisnis bersaing untuk mendapatkan pelanggan.

Anda dapat dengan mudah menemukan pendeta yang frustrasi karena ada gereja baru yang muncul di dekat gerejanya, mengeluhkan banyak jemaatnya yang masih muda atau keluarga-keluarga bergabung dengan acara terbaru di kota itu. Namun, terkadang pendeta yang sama mengakui bahwa hal ini mungkin, setidaknya sebagian, adalah masalah yang mereka buat sendiri.

Lihatlah situs web gereja mana pun dan apa yang diiklankan adalah layanan ibadah untuk kita nikmati, khotbah untuk kita dengarkan, pelayanan Sekolah Minggu untuk anak-anak kita, dan mungkin kelompok kecil yang dapat memenuhi kebutuhan lainnya. Kita mengunggah gambar gedung-gedung canggih, karya-karya inovatif kaum muda kita, dan rangkaian khotbah yang dirancang dengan baik; kita menginvestasikan waktu dan uang untuk membuat citra yang cemerlang serta identitas visual yang trendi. Ini semua memperkuat gagasan bahwa gereja-gereja kita ada terutama sebagai acara bagi konsumen kita, orang Kristen.

Metafora Generatif yang Baru

Filsuf Donald Schön menciptakan istilah “metafora generatif” untuk menggambarkan bagaimana gambaran mental memengaruhi cara kita menangani masalah. Misalnya, jika sebuah perusahaan digambarkan sebagai “terfragmentasi,” maka seorang manajer baru mungkin mencari solusi integratif, sedangkan jika digambarkan sebagai “multifaset,” maka mereka mungkin secara aktif mengejar keberagaman. Pendeskripsian, metafora, dan model konseptual dapat memiliki efek mendalam pada cara kita memahami sesuatu dan cara kita bertindak.

Ketika gereja dipahami sebagai sebuah “acara,” maka masuk akal untuk menerapkan teknik manajemen acara untuk memaksimalkan kehadiran, mendorong kunjungan berulang, dan meningkatkan kepuasan pengunjung. Tidak mengherankan jika hal-hal tersebut kini menjadi standar keberhasilan sebuah gereja, meskipun kita tidak menemukannya dalam standar keberhasilan gereja-gereja di Perjanjian Baru.

Alih-alih terlalu menekankan topik sub-Alkitab yang keliru tentang gereja sebagai suatu acara di mana barang-barang keagamaan dibagikan dalam suatu pengaturan transaksional, apa yang akan terjadi jika kita mengadopsi metafora generatif yang alkitabiah tentang gereja sebagai keluarga, yaitu “rumah tangga Allah,” sebagai pengaruh utama konsepsi dan praktik di gereja kita?

Gereja sebagai keluarga bukanlah metafora baru; tetapi, pemahaman kita tentang gereja sebagai keluarga mungkin telah menjadi sangat terbatas, sempit, dan berat sebelah sehingga perlu segera dikaji ulang. Hal ini khususnya menyentuh hati saya ketika saya berada di Kenya mendengarkan seorang Kristen dari wilayah utara negara itu memberikan kesaksiannya.

Pria ini menjadi seorang Kristen dari latar belakang muslim yang kuat, diusir dari keluarganya, dan akhirnya terpaksa melarikan diri demi keselamatan hidupnya. Dia mencari perlindungan di gereja yang menerimanya dengan tangan terbuka. Mereka memberinya tempat di sudut bangunan, dengan kasur di lantai dan makanan disediakan setiap hari.

Pria itu sangat berterima kasih atas keramah-tamahan mereka. Namun, dia mengaku, bagian tersulit dalam hari-harinya selama seminggu adalah pada Minggu pagi setelah kebaktian gereja, ketika semua orang pulang ke keluarga mereka dan makan siang, dia sendirian. Meskipun dia dipersilakan untuk tinggal di dalam gedung gereja, dia tidak benar-benar merasa diterima di dalam rumah keluarga gereja.

Gereja ini begitu dekat, namun begitu jauh dari keramah-tamahan yang menyerupai Kristus. Bangunan gereja menyediakan tempat berteduh, jemaat gereja menyediakan makanan, dan acara gereja menyediakan sakramen dan pengajaran rohani—tetapi tidak satu pun dari hal-hal ini dapat menggantikan komitmen intim seumur hidup dari sebuah keluarga.

Menjadi Keluarga Allah

Saya percaya ajaran Alkitab dan sakramen merupakan bagian penting dari kehidupan gereja, seperti halnya upacara wisuda dan drama sekolah merupakan bagian penting dari kehidupan keluarga. Namun jika saya hanya muncul pada acara-acara tertentu dalam kehidupan anak-anak saya, Anda akan bertanya-tanya orang tua macam apa saya ini. Jika saya mendefinisikan pengasuhan anak sebagai mengingat untuk hadir dan memotret anak saya ketika sedang berlomba, konser piano, dan pesta ulang tahun, Anda mungkin akan berpendapat bahwa pemahaman saya tentang pengasuhan anak bersifat reduksionis dan terbatas.

Begitu juga, kita salah memahami apa yang dimaksudkan Allah melalui gereja jika kita hanya menghadiri kebaktian hari Minggu, Pendalaman Alkitab, dan pertemuan doa, serta tidak menghiraukan ajaran Alkitab yang jelas tentang tanggung jawab keluarga yang harus diemban oleh anggota gereja, yakni untuk “saling mengasihi,” “saling menanggung beban,” “saling membangun,” dan “saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (Yoh. 13:34, Gal. 6:2, 1Tes. 5:11, Ibr. 10:24).

Ada banyak sekali ajaran Alkitab yang menggambarkan gereja sebagai sebuah keluarga. Misalnya, Paulus memberi instruksi kepada Timotius, sebagai seorang pemimpin muda, bahwa dia harus memperlakukan perempuan yang lebih tua seperti ibu, perempuan yang lebih muda seperti saudara perempuannya, laki-laki yang lebih tua seperti ayah, dan laki-laki yang lebih muda seperti saudara laki-lakinya (1Tim. 5:1–2). Inilah contoh khas pengajaran dan teladan Paulus. Pada akhir suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menyampaikan salam kepada jemaat, khususnya meminta diingat oleh “Febe, saudari kita,” dan ibu Rufus yang “bagiku adalah juga ibu” (Rm. 16:1, 13).

Ada kedalaman keintiman yang ditunjukkan dalam salam-salam ini, yang mungkin saja telah terjalin selama masa-masa penganiayaan yang biasa terjadi pada zaman itu, keterpisahan dari keluarga besar, dan juga pelayanan yang berani bagi Tuhan di masa-masa sulit dan berbahaya.

Penggunaan bahasa kekeluargaan oleh Paulus untuk menggambarkan hubungan antara orang Kristen di komunitas gereja mencerminkan pendekatan yang dilakukan Yesus. Salah satu yang terkenal adalah ketika Yesus sedang mengajar, ibu kandung serta para saudara-Nya berada di luar, menunggu untuk berbicara kepada-Nya dan Dia mengoreksi para murid-Nya dengan menyatakan bahwa anggota keluarga-Nya adalah “siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga” (Mat. 12:49–50).

Yesus tidak dapat dituduh meremehkan pentingnya keluarga—di bagian lain Dia mengkritik orang Farisi yang menolak memberikan bantuan keuangan yang pantas kepada orang tua mereka, dan pada saat kematian-Nya, Dia menjadikan pemeliharaan bagi ibu-Nya sebagai prioritas. Namun, Yesus juga mengajarkan bahwa bahkan hubungan penting itu harus dilihat dalam terang keluarga kekal Allah (Luk. 14:25–27).

Menurut Yesus, mereka yang bertobat dan menjadi orang Kristen dengan membayar harga relasional yang besar akan menerima lebih banyak saudara laki-laki, saudara perempuan, orang tua, dan anak di zaman sekarang (Luk. 18:29–30). Bagaimana mungkin? Melalui keluarga alternatif di gerejalah maka kita menerima hubungan yang dapat menjadi pengganti bagi segala hubungan yang telah kita korbankan.

Ini adalah pemikiran yang sangat mengagumkan. Dan memang metafora generatif tentang gereja sebagai keluarga selalu memiliki konsekuensi yang dahsyat terhadap cara orang Kristen memahami tempat mereka di dunia.

Selamat Datang di Reuni Keluarga

Saat saya pergi ke acara kumpul keluarga, saya tidak berharap saudara perempuan saya menyediakan makanan berstandar restoran, dan saya tidak berharap anak laki-laki saya memilih daftar lagu yang bisa saya nyanyikan. Saya sudah menduga paman saya akan sedikit marah-marah, salah satu anak akan mengamuk, dan rumah akan terasa agak sempit. Meskipun mungkin ada damai dan keharmonisan—bahkan mungkin ada nyanyian gembira—di rumah tetangga saya, tidak mungkin saya akan meninggalkan keluarga saya dan pindah ke rumah sebelah. Bila gereja merupakan keluarga sejati kita, apa yang dikatakan di sini tentang berpindah-pindah gereja?

Meski demikian, saya pikir tantangannya dapat ditekan lebih jauh. Masalah dengan metafora keluarga bagi kita yang terbiasa dengan keluarga inti ala Barat adalah bahwa metafora tersebut seolah-olah menyiratkan bahwa gereja harus menjadi kelompok yang kecil dan nyaman, dengan batasan yang kuat di antara mereka yang diterima dan mereka yang tidak—sebuah komunitas yang berfokus ke dalam dan memerhatikan kebutuhannya sendiri. Namun ini bukanlah model keluarga menurut Alkitab.

Dalam konteks Timur Tengah zaman Perjanjian Baru, keluarga dapat berarti sangat luas dan dalam, mencakup beberapa generasi bahkan termasuk budak, mertua, dan tamu. Dengan perintah Alkitab yang jelas bagi umat Allah untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang yang paling terpinggirkan dan rentan dengan menyediakan perlindungan, makanan, serta merawat janda dan anak yatim piatu, hal ini pasti mematahkan kesibukan yang dianggap penting dan internal yang dimiliki oleh banyak keluarga dan gereja di Barat.

Dengan kata lain, ketika keluarga digunakan sebagai metafora generatif untuk gereja, hal ini dapat mengubah bukan saja prasangka dan harapan kita terhadap gereja, tetapi juga prasangka dan harapan kita terhadap keluarga. Keluarga yang terbuka, ramah, dan beragam dapat membawa perbedaan dalam diri semua orang yang rentan serta menjadi teladan bagi dunia yang semakin terpecah dan terisolasi, memberikan sedikit gambaran tentang Kerajaan Allah yang akan datang.

Gereja sebagai keluarga menawarkan penyeimbang yang sehat terhadap pola pikir gereja sebagai acara. Hal ini dapat menjadi penangkal bagi model partisipasi gereja yang lebih individualistis, bahkan konsumtif, yang umum terjadi saat ini. Keluarga saling menjaga satu sama lain; keluarga berkomitmen satu sama lain untuk jangka panjang. Mereka saling mendukung satu sama lain, baik dalam tragedi maupun kemenangan. Keluarga tidak membuat perhitungan tentang biaya dan manfaatnya—mereka berkomitmen dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin.

Anak laki-laki kecil yang bermain di tengah debu itu baru saja menyelesaikan pendidikannya, meskipun di menghabiskan sebagian besar masa remajanya di panti asuhan. Namun ibunya tetaplah ibunya, dan gerejanya tetaplah gerejanya, dan ketika dia mengunjungi ibunya, dia mengunjungi gerejanya. Kami adalah rumahnya dan keluarganya, dan cara dia disambut dengan tangan terbuka pada hari Minggu pagi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang, selalu membuat saya berpikir bahwa apa yang disebut kebaktian itu bukanlah kebaktian—tidak, itu adalah reuni, kumpul keluarga. Dalam kata-katanya, ini adalah sebuah pesta!

Krish Kandiah adalah pendiri lembaga amal untuk pengasuhan dan adopsi Home for Good dan memberi kuliah tentang keadilan, keramahtamahan, dan misi di Regents Park College, Universitas Oxford, dan Regent College Vancouver. Dia adalah penulis buku God Is Stranger: Finding God in Unexpected Places (IVP, 2018).

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Mengapa Ada Begitu Banyak Teolog yang Marah?

Teologi seharusnya menghasilkan buah Roh, bukan perbuatan daging.

Silsilah Alkitab Memberitakan Kabar Baik

Pohon keluarga Yesus menyampaikan lebih dari sekadar pelajaran sejarah.

Kesengsaraan Perlu menjadi Bagian dalam Khotbah Kita

Matthew D. Kim percaya bahwa membahas tentang penderitaan adalah bagian dari panggilan seorang pengkhotbah.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube