Books

Mengapa Ada Begitu Banyak Teolog yang Marah?

Teologi seharusnya menghasilkan buah Roh, bukan perbuatan daging.

Christianity Today August 21, 2024
Illustration by Chidy Wayne

Ada apa dengan teologi masa kini? Jauh dari apa yang digambarkan sebagai serangkaian kebajikan yang membentuk buah Roh, justru sebagian besar dari apa yang disebut “teologi” adalah rasa tidak aman dan kemarahan yang disamarkan sebagai dialog atau keprihatinan. Bahkan dengan penelusuran sepintas di media sosial saja bisa membawa Anda pada kesimpulan bahwa Anda harus marah dalam berteologi. Pada masa kini, tidak jarang kita melihat teologi digunakan sebagai senjata dan bukan sebagai sumber sukacita.

Mungkin Anda pernah melihat teologi digunakan sebagai instrumen perpecahan. Dalam praktik teologi yang salah ini, kebenaran kristiani digunakan untuk mengadu domba saudara-saudari seiman satu sama lain. Pokok-pokok doktrin menjadi garis pembatas di mana perang “kita melawan mereka” terjadi. Meski memang ada saat-saat yang baik dan tepat untuk menarik garis batas, namun ada juga orang-orang yang batas-batas teologisnya semakin lama semakin menyusut sehingga hanya mereka dan segelintir pengikutnya yang dipandang sebagai orang-orang yang memiliki kebenaran.

Perselisihan muncul ketika teologi digunakan untuk memecah persatuan dengan sesama pembawa gambar dan rupa Allah, yang seharusnya berjalan bergandengan tangan menuju Tanah Perjanjian.

Mungkin Anda pernah melihat teologi dipersenjatai sebagai instrumen kesombongan. Dalam praktik teologi yang salah ini, akumulasi pengetahuan sama dengan ego yang terus membesar dan pencarian kebenaran hanyalah sebuah pegangan untuk mementingkan diri sendiri. Ketika arus arogansi mengalir dari sumber teologi yang disalahgunakan, maka tujuannya adalah demi memperoleh pujian tepuk tangan dari sesama kita, bukan demi kebaikan mereka.

Alih-alih mengarahkan kehidupan intelektual kita ke arah kebutuhan orang lain, kita malah mengarahkan orang lain untuk mengobservasi kemampuan intelektual kita dengan mengharapkan pujian yang seharusnya diberikan kepada Tuhan. Dengan cara ini, teologi dapat menjadi sebuah pertunjukan; para teolog menjadi sekadar aktor di atas panggung doktrinal yang mengharapkan artikulasi mereka tentang konsep teologis atau pergantian frasa mereka dapat menghibur penonton.

Mungkin Anda pernah melihat teologi dipersenjatai sebagai pengganti pengudusan dan hikmat. Ada godaan untuk salah mengartikan kejelasan dan keyakinan teologis sebagai hikmat kristiani. Namun, pengabdian yang tulus kepada Tuhan tidak diukur dari hafalan istilah-istilah teologis dan logikanya.

Tuhan dapat memakai teologi sebagai sarana pengudusan, dan tampaknya Dia sering kali berkenan melakukannya. Namun kecerdasan teologis bukanlah alasan yang valid untuk meremehkan atau mengabaikan peranan penting dari kecerdasan emosional, kecerdasan relasional, kecerdasan budaya, dan sejenisnya.

Pengudusan kristiani bersifat holistik, dan meskipun teologi adalah unsur yang diperlukan, tetapi teologi tidak dengan sendirinya menjadi unsur yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam pengudusan tersebut. Kehidupan Kristen memerlukan kedewasaan dan hikmat yang beraneka ragam, di mana kita dipanggil untuk mengasihi Tuhan tidak hanya dengan segenap pikiran kita, tetapi juga dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap kekuatan kita (Ul. 6:4-7; Mat. 22:37–40).

Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan dari alam pikiran sebenarnya dapat menuntun pada kehidupan dari jiwa dalam manifestasi buah Roh. Tugas mulia dari perenungan kristiani memang harus berujung pada kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Teologi sebagai sarana menumbuhkan kebajikan Kristen, seperti buah Roh, bukanlah sebuah gagasan baru.

Agustinus pernah menyatakan, “Sebab inilah kepenuhan sukacita kita, di mana tidak ada yang lebih besar dari hal ini: menikmati Allah Tritunggal yang menurut gambar-Nya kita diciptakan.” Kita dapat mengobarkan sukacita kita dengan berbagai cara yang tak terhitung banyaknya—keluarga, makanan, pekerjaan, liburan, materi, pengalaman, dan masih banyak lagi. Namun sumber terbesar dalam api sukacita kita adalah Allah Tritunggal “yang menurut gambar-Nya kita diciptakan.”

Kenikmatan akan Allah Tritunggal adalah kenikmatan yang paling murni. Sukacita-sukacita lainnya akan datang dan pergi. Seperti rumput yang menjadi kering dan bunga yang menjadi layu, sukacita hari ini semakin berkurang dan esok pun hilang (Yes. 40:8). Namun Tuhan kita tetap sama, baik kemarin, hari ini, dan selama-lamanya (Ibr. 13:8), sehingga sukacita yang terdapat di dalam Dia adalah sukacita yang tak tergoyahkan dan murni.

Namun, seperti yang dinyatakan dengan luar biasa oleh Jen Wilkin dalam Women of the Word, “Hati tidak dapat mengasihi apa yang tidak diketahui oleh pikiran.” Jika kita ingin memerdekakan hati kita untuk hidup dalam sukacita yang berasal dari mengasihi Allah Tritunggal, kita harus menetapkan pikiran kita untuk mengenal Dia. Pikiran dan afeksi Anda lebih dekat daripada yang Anda sadari, dan Anda akan melihat bahwa apa yang secara konsisten Anda renungkan, akan semakin Anda hargai secara konsisten juga.

Thomas Aquinas pernah menyatakan, “Seluruh hidup kita menghasilkan buah dan meraih pencapaian dalam pengetahuan akan Allah Tritunggal.” Aquinas dalam kutipan ini menunjukkan bahwa ada “buah” karena pencapaian pengetahuan teologi kita. Ada konsekuensi dari meluangkan banyak waktu di kaki Tuhan sambil berpikir: Seluruh kehidupan Anda akan mulai menghasilkan buah.

Merenungkan yang baik, yang benar, yang indah—yang semuanya berpuncak pada Tuhan kita—memiliki kemampuan untuk mengubah kebencian menjadi kasih, keputusasaan menjadi sukacita, perpecahan menjadi perdamaian, kecemasan menjadi kesabaran, permusuhan menjadi keramahan, kejahatan menjadi kebaikan, ketidaktaatan menjadi kesetiaan, kekerasan menjadi kelembutan, dan pemanjaan diri pada pengendalian diri.

Pertanyaan diagnostiknya sederhana: Apakah cara Anda berpikir tentang teologi, cara Anda berteologi, atau cara Anda berbicara tentang teologi biasanya mengarah pada kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri? Atau apakah cara Anda berpikir tentang teologi, cara Anda berteologi, atau cara Anda berbicara tentang teologi biasanya mengarah pada kecemaran moral, penyembahan berhala, kebencian, perselisihan, kecemburuan, ledakan amarah, ambisi yang mementingkan diri sendiri, pertikaian, perpecahan, dan iri hati?

Ketika para teolog mengamuk, amarah mereka ditujukan kepada satu sama lain. Alih-alih bergandengan tangan untuk melaksanakan Amanat Agung sebagai sesama pekerja, mereka malah terlibat dalam perseteruan, berpartisipasi dalam perang yang dibuat-buat tanpa ada yang menang.

Teologi yang dilakukan dalam perbuatan daging ditandai dengan perselisihan, ledakan kemarahan, pertikaian, dan perpecahan. Teologi yang dilakukan dengan cara seperti ini akan berujung pada sikap saling menghancurkan satu sama lain. Sebaliknya, teologi yang dilakukan dalam buah Roh—yang bercirikan kasih, kebaikan, kelemahlembutan, dan sukacita—akan menuntun pada sikap saling menanggung beban dan mengasihi sesama seperti diri sendiri.

Perbedaan drastis dalam hasil yang dicapai ini menunjukkan pentingnya tugas dari teologi: Teologi yang digunakan dengan buruk dapat memberikan hasil yang menyedihkan, tetapi teologi yang dilakukan dengan baik dapat mendorong kebajikan-kebajikan yang membentuk buah Roh jauh di dalam jiwa sehingga kita menjadi orang-orang Kristen yang ditandai oleh hikmat dan stabilitas.

Tiga ayat dari rasul Paulus (Flp. 4:8; Rm. 12:2; 2Kor. 3:18) dapat dirangkum dalam satu kalimat: Renungkanlah kebaikan, kebenaran, dan keindahan di dalam Kristus, dan dengan demikian Anda akan diubahkan oleh pembaharuan budimu dengan memandang Kristus dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat kemuliaan lainnya. Atau, dengan memakai kata-kata Paulus: Pikirkanlah semuanya itu, dan berubahlah dengan memandangnya.

Pikirkanlah semuanya itu (Fil. 4:8). Anda memiliki sesuatu yang sangat berharga—yaitu perhatian Anda. Dunia menginginkannya, dan dunia akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Ada orang-orang yang tugas utamanya adalah terus memelihara dan meningkatkan algoritme canggih untuk menjamin bahwa perhatian Anda tetap tertuju pada ponsel Anda. Neil Postman benar dalam bukunya yang sangat berwawasan luas, Amusing Ourself to Death, ketika dia memperingatkan bahwa kita adalah orang-orang yang berada dalam bahaya karena hanya menjadi penonton. Dunia adalah panggung di mana tatapan dan perhatian Anda adalah komoditasnya.

Untuk alasan ini dan banyak alasan lainnya, kesimpulan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi sama relevannya saat ini seperti halnya pada abad pertama di Filipi. Mengakhiri suratnya, Paulus memberikan instruksi kepada orang-orang kudus di Filipi, dengan berkata, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Fil. 4:8, penekanan ditambahkan).

Apa yang Paulus pahami, dan apa yang harus kita pahami, adalah bahwa apa pun yang menjadi pusat perhatian kita akan membentuk kita sebagai manusia. Jika pikiran kita terus tertuju pada peristiwa-peristiwa budaya yang terus berubah dan semakin dangkal, maka kita akan terus mengalami kemerosotan dalam hal hikmat dan kewajaran kita sebagai pengikut Kristus. Namun, jika kita membiarkan perintah Paulus meresap ke dalam hidup kita dan memiliki penguasaan diri untuk melihat ke atas dan ke luar dari berbagai gangguan yang memusingkan di sekitar kita, dan sebaliknya, mengarahkan pandangan yang tajam dan berkelanjutan pada apa yang baik, benar, dan indah, maka kita akan ditransformasikan menjadi pria dan wanita yang bijaksana dan stabil.

Diubahkanlah (Rm. 12:2). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menulis, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi diubahkanlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm. 12:2, penekanan ditambahkan).

Merenungkan Tuhan dalam teologi Kristen bukan sekadar intelektualisme. Sebaliknya, mengarahkan pikiran kita kepada Tuhan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan, memungkinkan kita untuk memandang pada Dia yang adalah kasih. Dengan demikian, kita akan diubahkan oleh pembaharuan pikiran kita. Pikiran yang penuh dengan kebenaran seharusnya menuntun kepada hati yang penuh kasih dan tangan yang penuh kepedulian.

Memandang (behold) kemuliaan Tuhan (2Kor. 3:18). Dalam pasal yang mulia ini, Paulus membandingkan orang-orang kudus di Perjanjian Lama dengan orang-orang kudus di Perjanjian Baru. Ia mengingat kembali peristiwa di mana Musa, setelah menyaksikan kebaikan Tuhan dalam Keluaran 33, turun dari Gunung Sinai dengan wajah terselubung agar dia tidak mengejutkan orang Israel lainnya. Paulus mengatakan bahwa membaca Perjanjian Lama adalah seperti mencoba melihat Tuhan dengan muka yang terselubung, seperti Musa. Sebaliknya, melihat Tuhan dalam wajah Yesus Kristus ibarat melihat Tuhan dengan muka yang tidak terselubung sehingga kita dapat menyaksikan keindahan dan kemegahan-Nya tanpa halangan.

Paulus menulis, “Dan kita semua memandang kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak terselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya dalam kemuliaan dari satu tingkatan kemuliaan ke tingkatan yang lainnya.” (2Kor. 3:18, penekanan ditambahkan).

Bagian ini penuh dengan keindahan. Meskipun teologi Kristen mempunyai banyak sekali manfaat praktis, salah satu manfaat terbesarnya adalah memandang kemuliaan Tuhan. Salah satu hal yang paling praktis yang dapat Anda lakukan dalam hidup Anda—melawan gagasan bahwa teologi adalah hal yang tidak relevan dan bagai membuang waktu saja—dengan menyaksikan keagungan dan anugerah Allah.

Meskipun kita harus selalu berusaha untuk mengembangkan teologi kita dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting seperti “Bagaimana saya dapat menghidupi kebenaran ini di masa kini?” kita tidak boleh lupa bahwa ada hikmah yang luar biasa hanya dengan memandang Tuhan kita yang agung ini. Ketika kita memandang Dia, kita mulai menjadi serupa dengan-Nya, seraya kita diubahkan dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat kemuliaan lainnya.

Ronni Kurtz adalah seorang penulis dan asisten profesor teologi di Universitas Cedarville. Tulisan ini diadaptasi dari Fruitful Theology: How the Life of the Mind Leads to the Life of the Soul (B&H Publishing, ©2022). Digunakan dengan izin.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Silsilah Alkitab Memberitakan Kabar Baik

Pohon keluarga Yesus menyampaikan lebih dari sekadar pelajaran sejarah.

Kesengsaraan Perlu menjadi Bagian dalam Khotbah Kita

Matthew D. Kim percaya bahwa membahas tentang penderitaan adalah bagian dari panggilan seorang pengkhotbah.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube