Lima Kesalahan yang Harus Dihapus dari Khotbah Natal Anda

Jika Anda ingin menolong jemaat mamahami Natal dengan pandangan yang segar, mulailah dengan menghentikan kekeliruan umum berikut ini.

Christianity Today December 20, 2022
Abraham Bloemaert / Wikimedia Commons

Wahai para pendeta, pengkhotbah, dan pengajar Alkitab: Sudahkah Anda memikirkan tentang khotbah atau pengajaran Natal Anda? Jika Anda ingin menolong jemaat merayakan Natal tahun ini (dan setiap tahun) sesuai dengan fakta yang ada—bukan berdasarkan legenda, tradisi, atau imajinasi populer belakangan ini—mulailah dengan menghindari kesalahan umum berikut ini:

1. Jangan menambahkan detail yang tidak ada di dalam teks.

Hal ini mungkin sudah jelas tetapi tampaknya perlu diulangi karena ini sering terjadi. Semakin banyaknya kartu Natal, dekorasi pajangan seputar kelahiran Yesus, serta tayangan TV spesial Natal secara besar-besaran setiap tahunnya semakin mengabadikan detail-detail tambahan ini dan memberi kesan bahwa semua yang ditampilkan itu adalah fakta.

Dalam Injil, narasi ketika Yesus masih bayi kurang memiliki banyak detail sehingga menjadi dibuat-buat pada abad-abad berikutnya. Misalnya, narasi tersebut tidak memberi tahu kita tentang natur dari kandang yang digunakan saat Yesus lahir (tentang gua, tempat terbuka, kayu, dll.); bahkan apakah sungguh ada kandang; apakah ada hewan di sekitarnya atau tidak; atau jumlah dari orang majus. Para Magoi ini (bukan raja dan belum tentu berjumlah tiga) hampir pasti tidak tiba pada malam kelahiran Yesus seperti yang digambarkan oleh banyak pertunjukan adegan peristiwa palungan. Dan sebuah bintang tidak akan tergantung tepat di atas garis atap. Tanpa menyebutkan kandang, palungan bisa saja berada di tempat terbuka, di dalam kandang hewan dekat rumah, di dalam sebuah gua kecil, atau di area rumah yang digunakan untuk hewan.

Teks dari firman Tuhan tidak menyebutkan Maria dan/atau Yusuf menunggang keledai. Masuk akal juga jika mereka berjalan kaki dari Nazaret ke Bethlehem (70–80 mil; setidaknya 3 hari berjalan kaki dengan kecepatan stabil). Gagasan tentang Maria menunggang keledai berasal dari sebuah catatan apokrifa abad kedua (Protoevangelium of James, bab 17). Sebenarnya, di zaman kuno bukanlah hal yang tidak masuk akal bagi seorang remaja yang sedang hamil dan dengan gaya hidup yang aktif untuk melakukan perjalanan seperti itu.

Terlepas dari apa yang kita lihat di beberapa pertunjukan Natal, tidak ada penyebutan tentang pemilik penginapan (entah sebagai orang yang kejam dan berhati dingin atau yang penuh penyesalan karena kurangnya tempat yang tersedia); Lukas hanya menyebutkan bahwa tidak ada tempat di kataluma (Luk. 2:7). Makna dari Kataluma bukanlah sebuah penginapan yang profesional dan formal yang disertai dengan adanya seorang pemilik penginapan, melainkan dapat mengacu pada tempat bermalam bagi publik (seperti dalam terjemahan Yunani dari Keluaran 4:24) atau ke kamar tamu di rumah pribadi (seperti dalam Lukas 22:11).

Saat berkhotbah dan mengajar, penting bagi kita untuk berpegang teguh pada fakta yang sudah jelas. Tentu saja tidak ada yang salah dengan penggunaan imajinasi sejarah. Akan tetapi penting untuk mempertahankan perbedaan yang jelas antara pengetahuan kita terkait peristiwa yang sebenarnya dan rekonstruksi imajinatif kita terkait bagaimana peristiwa-peristiwa itu dapat terjadi. Kekristenan berakar pada fakta sejarah. Ini berlaku untuk kelahiran Yesus seperti halnya dengan penyaliban dan kebangkitan.

2. Jangan memberikan penjelasan rohani untuk praktik-praktik budaya demi membuatnya terdengar alkitabiah.

Kita senang menemukan—atau bahkan menciptakan—banyak alasan rohani untuk berbagai praktik budaya yang berkaitan dengan Natal. Misalnya, kita memberi hadiah kepada satu sama lain untuk mengingatkan diri kita tentang pemberian dari Yesus yang luar biasa kepada dunia atau pemberian orang majus kepada Yesus. Kedengarannya bagus, tetapi apakah itu alkitabiah? Atau apakah kita sebenarnya memberi hadiah karena itulah yang dilakukan orang tua kita dan yang dilakukan oleh semua orang yang kita kenal (kecuali Saksi-Saksi Yehovah, kaum sekularis fanatik, dan orang-orang yang mempertahankan kemurnian agama)? Akan menjadi orang tua seperti apa jika Anda tidak memberi sebuah hadiah (atau, dalam banyak kasus, satu ruangan penuh hadiah) Natal kepada anak Anda? Atau, bayangkan saja, jika Anda sama sekali tidak merayakan Natal (seperti kaum Puritan)? Kepercayaan-kepercayaan semacam ini sangat sedikit sekali makna rohaninya atau alkitabiahnya. Hal-hal itu hampir seluruhnya bersifat budaya. Bukan berarti semua itu salah, tetapi kita sebaiknya tidak mengarang-ngarang alasan alkitabiah untuk membenarkannya.

Contohnya sangat banyak. Apa hubungannya dekorasi pohon cemara dengan kedatangan Yesus ke bumi untuk menyelamatkan ciptaan Allah? Kita mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa pohon cemara adalah simbol kehidupan abadi karena selalu hijau, tetapi apakah itu benar-benar alasan untuk memasang pohon Natal setiap tahun? Demikian pula, kita dapat menunjuk lilin sebagai simbol Yesus yang adalah terang dunia, hiasan daun holly sebagai simbol mahkota duri yang diletakkan di atas kepala Yesus, warna merah sebagai simbol darah Yesus yang tertumpah di kayu salib, kayu yule sebagai lambang salib, mistletoe sebagai lambang rekonsiliasi, dan lonceng sebagai lambang untuk memberitakan kabar baik. Sekalipun kaitan dan simbol-simbol ini memang sudah ada sejak lama, itu tidak menjelaskan mengapa kita harus memasukkannya dalam perayaan Natal kita di masa kini. Jika kita jujur, seharusnya kita mengakui bahwa kita merayakan Natal dengan cara kita, terutama karena tradisi budaya kita sendiri, meskipun hanya ada sedikit keterkaitan yang nyata antara tradisi ini dan catatan-catatan alkitabiah tentang kedatangan Yesus yang sebenarnya ke dunia ini sebagai seorang bayi.

Bahaya menanamkan pemikiran rohani ke dalam praktik budaya juga terlihat dalam beberapa lagu Natal yang kita nyanyikan di gereja selama bulan Desember. Pelanggaran yang paling mencolok mungkin adalah lagu “O Christmas Tree.” Perlu usaha keras untuk menemukan makna yang berkaitan dengan Yesus di dalam bait-bait dari lagu ini. Kita seharusnya merasa tidak nyaman menyanyikan lagu ini di tengah kerumunan umat Kristen karena pada dasarnya ini adalah lagu penghormatan kepada sebuah pohon. Hanya karena lagu itu secara budaya atau tradisional diasosiasikan dengan Natal, tidak berarti kita harus memasukkannya ke dalam perayaan Natal kristiani kita.

Bahaya utamanya di sini adalah kita menampilkan praktik budaya seolah-olah memiliki bobot atau otoritas alkitabiah. Mengaburkan batas antara praktik budaya dan pengajaran alkitabiah bukan hanya tidak membantu dan membuat bingung, melainkan juga berpotensi membahayakan iman kita. Ketika kita tidak lagi membedakan mana yang alkitabiah dan mana yang kultural, kita berisiko menerima dan menyebarkan ide-ide yang sinkretis dan campur aduk, yang tidak memiliki dasar alkitabiah. Iman kita pun tidak lagi didasarkan pada kebenaran melainkan pada mitos dan legenda.

Tentu saja, tidak perlu meninggalkan semua praktik budaya ini dalam perayaan keluarga kita. Namun kita harus mempertahankan dan mengomunikasikan perbedaan yang jelas antara aspek perayaan Natal kita yang diwarisi dari budaya dan aspek yang jelas didasarkan pada Kitab Suci.

3. Jangan malu dengan keyahudian dari ayat-ayat yang berhubungan dengan kedatangan Yesus.

Dalam Lukas pasal pertama terdapat dua himne panjang yang secara tradisional disebut Magnificat (nyanyian pujian Maria dalam Lukas 1:46–56) dan Benedictus (nyanyian pujian Zakharia dalam Lukas 1:67–79). Judul dari dua perikop itu berasal dari kata pertama himne ini dalam bahasa Latin. Dua perikop ini—atau setidaknya sebagian darinya—terkadang diabaikan karena terlalu panjang dan mengungkapkan pengharapan orang Yahudi akan keselamatan Tuhan tanpa indikasi yang jelas tentang seperti apa keselamatan itu nantinya. Pembebasan ini, seperti yang kita ketahui, datang dalam rupa kematian dan kebangkitan Yesus, penyebaran Injil yang melampaui Israel dan tersebar kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, dan kembalinya Yesus di akhir zaman.

Magnificat merayakan bagaimana Tuhan, melalui anak dari Maria, akan memulihkan dan menolong Israel seraya melawan para musuh dan penindasnya. Benedictus menggambarkan peran Yohanes Pembaptis dalam kaitannya dengan Yesus, sang tokoh utama dalam penggenapan rencana Allah untuk memulihkan Israel. Himne ini memuji tindakan Tuhan dalam melawat dan menebus umat-Nya dengan membangkitkan Mesias keturunan Daud untuk membebaskan umat-Nya. Semua itu dilakukan dalam rangka memenuhi segala janji-Nya kepada Abraham dan umat-Nya melalui para nabi Perjanjian Lama. Pembebasan ini akan memampukan umat Tuhan untuk melayani Tuhan tanpa rasa takut dan dalam kebenaran selamanya.

Mungkin himne-himne ini terkadang diabaikan dalam khotbah Natal kita karena tidak cukup “kristiani.” Namun, pengabaian ini menimbulkan kerugian yang serius. Kedua himne tersebut menggambarkan keselamatan yang akan dihasilkan dari kedatangan Yesus ke bumi. Selama kedatangan-Nya yang pertama, Dia dengan tegas menangani dosa umat-Nya, sehingga menggenapi perikop-perikop seperti Mikha 7:18–20. Kita masih menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali, ketika Dia akan menata segalanya dengan benar—secara politik, ekonomi, sosial, dan rohani—sekali untuk selamanya. Kita masih menunggu penggenapan yang penuh dan final dari deklarasi yang dibuat dalam Magnificat dan Benedictus. Kedua himne tersebut juga merupakan contoh yang kuat tentang bagaimana memuji Allah dengan berfokus pada sifat-sifat Dia—yaitu kuasa, kekudusan, dan belas kasihan—dan segala perbuatan-Nya dalam memenuhi janji-janji Dia di masa lampau kepada umat-Nya, di dalam dan melalui kelahiran Yesus sang Mesias.

Secara tak terpisahkan dan tak terelakkan, iman Kristen berakar dalam keimanan Yahudi. Inilah sebabnya bahkan Lukas, seorang bukan Yahudi, menggambarkan kedatangan Yesus sebagai penggenapan Perjanjian Lama (Luk. 1:1). Seperti Matius, yang menulis Injilnya terutama untuk orang Yahudi, Lukas menyampaikan tentang kedatangan Yesus dalam balutan yang sepenuhnya Yahudi. Jika kita gagal melihat iman Kristen kita berakar sejak lama dalam relasi Allah dengan umat-Nya, Israel, kemungkinan besar iman itu akan tetap dangkal dan hanya menyisakan Injil dan kanon yang terpotong bagi kita, belum lagi pemahaman yang tidak memadai tentang siapa Yesus dan mengapa Dia datang.

4. Jangan terpengaruh dengan tantangan yang meragukan terhadap kesaksian alkitabiah tentang kelahiran Yesus.

Kedua narasi kelahiran dalam Kitab Suci penuh dengan manifestasi peristiwa supernatural seputar kelahiran dari anak dara Maria: penampakan malaikat, mimpi, penglihatan, nubuatan tentang Yesus, Elisabet yang mengandung meski sudah melewati usia subur, Zakharia yang kehilangan kemampuan bicaranya, situasi seputar penamaan Yohanes dan Yesus, hubungan antara dua kelahiran tersebut, dan seterusnya. Matius, misalnya, menjelaskan bahwa Maria adalah ibu Yesus, tetapi Yusuf bukanlah ayah kandungnya. Setelah serangkaian referensi yang panjang tentang laki-laki yang “memperanakkan” anak laki-laki, Matius mengakhiri silsilahnya dengan mengacu pada “Yusuf, suami Maria, yang melahirkan Yesus, yang disebut Kristus” (Mat. 1:16), yang menunjukkan bahwa Yusuf bukanlah ayah kandung Yesus. Yesus dikandung oleh Roh Kudus di dalam rahim Maria.

Jadi jangan terintimidasi oleh keberatan kritis terhadap kelahiran dari anak dara Maria atau aspek supernatural lainnya dari kisah Natal. Ketika Anda membaca tentang penulis seperti Reza Aslan yang mengklaim bahwa cerita tentang kelahiran dan masa kanak-kanak Yesus “secara mencolok tidak ada” dari tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang paling awal—seperti surat-surat Paulus dan Injil Markus—dan bahwa orang-orang Kristen mula-mula mengisi celah untuk menyelaraskan kehidupan Yesus dengan berbagai nubuat Perjanjian Lama, termasuk yang berkaitan dengan kelahiran-Nya, jangan khawatir. Menurut Aslan, orang-orang Kristen mula-mula mengarang mitos kelahiran Yesus di Bethlehem untuk “membawa orang tua Yesus ke Bethlehem sehingga Dia bisa dilahirkan di kota yang sama dengan Daud.” Yang lainnya, seperti Andrew Lincoln, menyangkal sejarah tentang kelahiran dari anak dara Maria dengan alasan yang sama. Kami tidak dapat menanggapi secara detail di sini, namun kami telah menanggapinya di tempat lain. Singkatnya, argumen-argumen semacam ini mencerminkan upaya yang menyesatkan untuk mengeringkan narasi alkitabiah tentang kelahiran Yesus dari unsur-unsur transendennya, dengan menggunakan penalaran kritis untuk menafsirkan kembali kejadian-kejadian supernatural dan menulis ulang narasi-narasi itu dalam istilah-istilah yang murni naturalistik.

Pada satu sisi, seperti yang telah disebutkan, mari kita berhati-hati untuk tidak menambahkan detail yang tidak relevan—meski didorong oleh tradisi, bukan penalaran kritis. Marilah kita berusaha keras untuk mempertahankan keandalan kesaksian alkitabiah tentang sifat supernatural dari kelahiran Yesus, yang tidak seperti yang lain dalam sejarah manusia. Alkitab sangat jelas, dan penelitian sejarah yang cermat pasti terbuka terhadap fakta bahwa dibutuhkan keajaiban—bahkan, serangkaian keajaiban—untuk menyelamatkan kita. Hal itu bukan hal yang membuat kita malu atau menjadi terintimidasi.

5. Jangan terjebak dalam hal-hal sepele dan melewatkan makna sebenarnya dari kelahiran Yesus.

Para cendekiawan terus memperdebatkan pertanyaan seperti tahun kelahiran Yesus, dan apakah Yesus lahir pada tanggal 25 Desember atau tidak. Mereka memperdebatkan kesejarahan sensus Kirenius, tahun kematian Herodes Agung, fenomena seputar kelahiran Yesus—bintang Betlehem—dan sejumlah masalah kronologis serta persoalan-persoalan lainnya yang terkait. Mereka juga memperdebatkan kemungkinan asal-usul Natal yang bersifat kafir, seperti misalnya apakah Natal menjadi pengganti fungsional bagi Saturnalia, festival penyembahan bangsa Romawi terhadap dewa Saturnus, dan sebagaimana disebutkan, munculnya berbagai tradisi lain yang terkait dengan perayaan Natal kita. Semua ini adalah pertanyaan menarik yang perlu ditelusuri, tetapi jangan terlalu memikirkan masalah yang kurang penting seperti itu. Alih-alih, berfokuslah pada pesan utama kedatangan Yesus yang pertama, pada kisah yang alkitabiah tentang Inkarnasi.

Siapakah Yesus, dan mengapa Dia datang? Injil Yohanes mengakarkan asal-usul Yesus dalam kekekalan masa lalu, sebagai Firman yang pada mulanya bersama Allah dan Ia sendiri berperan dalam penciptaan. Menurut Yohanes, di dalam Yesus, Allah mengunjungi dunia yang telah Ia ciptakan, tetapi dunia milik-Nya tidak menerima Dia (1:11). Sungguh tragis! Sangat tidak bisa dimaafkan! Firman itu, kata Yohanes kepada kita, menjadi daging di dalam Yesus, atau, seperti yang dikatakan Yohanes, “memasang kemah-Nya” (diam) di antara kita (1:14). Dalam tiga setengah tahun pelayanan-Nya, Yesus melatih kedua belas murid dan yang lainnya untuk menjalankan misi-Nya, membawa Injil keselamatan sampai ke ujung bumi. Kemudian, Dia mati bagi kita di kayu salib untuk membayar dosa-dosa kita dan mendamaikan kita dengan Allah. Hubungan kita yang rusak dengan Tuhan telah diperbaiki. Mereka yang percaya pada-Nya sudah dapat menikmati kepenuhan rohani yang mendalam dan koneksi yang terus-menerus dengan Dia di dunia ini dan sekarang ini, dan akan terus berlanjut hingga kekekalan.

Hal itu layak dirayakan, pada Natal dan di sepanjang tahun, dalam pujian yang penuh sukacita dan dalam kehidupan yang didedikasikan untuk kemuliaan Tuhan di tempat tertinggi yang dinyanyikan para malaikat pada malam berbintang lebih dari dua ribu tahun yang lalu.

Bacaan Terkait: Artikel Andreas J. Köstenberger dan Justin Taylor “Lima Kesalahan yang Harus Dihapus Dari Khotbah Paskah Anda.”

Andreas Köstenberger adalah Profesor Senior Riset Perjanjian Baru dan Teologi Biblika di Southeastern Baptist Theological Seminary di Wake Forest, Carolina Utara. Alex Stewart adalah Dekan Akademik dan Lektor Bahasa dan Sastra Perjanjian Baru di Tyndale Theological Seminary di Badhoevedorp, Belanda. Mereka bersama-sama menulis The First Days of Jesus: The Story of the Incarnation (Crossway, 2015).

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Our Latest

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube