Books

Bisakah Pembalikan Roe Memperlambat Tren Global yang Melegalkan Aborsi?

Pendukung Injili di luar negeri berharap agar perubahan kebijakan Amerika terkait aborsi dapat menetapkan standar baru.

Protes pro-kehidupan di Bogota, Kolombia.

Protes pro-kehidupan di Bogota, Kolombia.

Christianity Today August 31, 2022
Chepa Beltran/Long Visual Press/Universal Images Group via Getty Images

Beberapa orang Kristen pro-kehidupan berharap pembalikan Roe v. Wade akan membantu lebih banyak negara di luar AS menolak melegalkan aborsi.

Dengan berdasar pada keputusan penting selama hampir 50 tahun, Amerika Serikat menjadikan hak aborsi sebagai standar, tanda kemajuan sosial yang tak terhindarkan. Para advokat mengatakan bahwa seiring kebijakan aborsi menjadi isu antar negara bagian, hal tersebut akan mengurangi tekanan yang diberikan AS dan kelompok bantuan yang berbasis di AS kepada pemerintah asing seputar akses aborsi, yang memungkinkan mereka untuk fokus pada aspek lain dari kesehatan wanita.

Pembalikan Roe “akan membantu menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa ini bukan masalah sudah selesai, sekalipun di Barat, dan mudah-mudahan hal ini akan membantu negara-negara di Global Selatan melawan tekanan dari Barat untuk meliberalisasi undang-undang aborsi mereka,” kata Peter Saunders, presiden International Christian Medical and Dental Association yang berbasis di Inggris.

“Hal ini juga akan membuat lebih sulit untuk berdebat di PBB bahwa aborsi adalah hak asasi manusia secara internasional ketika setengah dari masyarakat AS percaya, dan sekarang justru menegakkan yang sebaliknya.”

Dalam edisi pedoman terbaru yang dikeluarkan pada Maret 2022, Organisasi Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan pencabutan “undang-undang dan peraturan yang membatasi aborsi yang disertai alasan, melarang aborsi berdasarkan batas kehamilan, dan mewajibkan masa tunggu.”

Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump (dan presiden Partai Republik sebelumnya), kebijakan Kota Meksiko melarang pendanaan federal dari organisasi internasional yang melindungi atau menganjurkan aborsi sebagai metode keluarga berencana. Presiden Joe Biden membatalkan kebijakan tersebut.

Sementara kebijakan Kota Meksiko berfokus pada program bantuan luar negeri, dua ketentuan lainnya—amandemen Siljander dan Helms—juga membatasi penggunaan dolar AS untuk aborsi di luar negeri. Amandemen Siljander melarang dana pemerintah digunakan untuk melobi atau menentang aborsi.

Namun, sebuah studi yang dirilis oleh Pusat Keluarga & Hak Asasi Manusia pada tahun 2020 mendapati bahwa AS telah menandatangani atau menandatangani dan meratifikasi setidaknya tujuh perjanjian hak asasi manusia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan badan-badan perjanjian itu kemudian menganjurkan untuk meliberalisasi undang-undang aborsi.

Setelah keputusan Dobbs pada 24 Juni, kasus Mahkamah Agung yang membatalkan keputusan Roe v. Wade, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan AS “akan tetap berkomitmen penuh untuk membantu menyediakan akses ke layanan kesehatan reproduksi dan memajukan hak-hak reproduksi di seluruh dunia.”

Xesús Manuel Suárez García bersama Ibero-American Congress for Life and Family (Congreso Iberoamericano Por La Vida Y La Familia), mengatakan AS dan organisasi nirlaba yang berbasis di AS sering menekan pemerintah di Global Selatan untuk meliberalisasi pembatasan aborsi mereka. Selama dua tahun terakhir, Argentina, Meksiko, dan Kolombia semuanya bergerak untuk mendekriminalisasi aborsi.

“Penduduk [negara-negara yang pro-kehidupan] dituntun untuk memahami bahwa, meskipun posisi mayoritas masyarakat sipil adalah pro-kehidupan, tampaknya tak terelakkan bahwa peraturan pro-aborsi akan diberlakukan dari atas,” katanya. “Dan tiba-tiba, dengan pembalikan Roe v. Wade, populasi umum di Amerika Latin menemukan bahwa ini bukan masalahnya.”

Kelompok-kelompok hak aborsi internasional juga telah menyuarakan keprihatinan tentang “efek mengerikan” dari keputusan tersebut terhadap bantuan asing. Seperti yang dikatakan seorang penasihat kepada Politico’s Global Pulse, “Dalam hal keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, AS adalah penyumbang pemerintah terbesar. Dan tentu saja, itu akan menciptakan efek riak.”

Perubahan dalam lanskap aborsi Amerika membantu organisasi pro-kehidupan yang bekerja di luar negeri “untuk bersikeras bahwa aborsi tidak boleh menjadi bagian dari percakapan ini, bahwa itu harus dilakukan oleh masing-masing negara dan bukan tekanan dari LSM dan organisasi luar,” menurut Valerie Huber, pendiri dari Institut Kesehatan Wanita.

“Negara-negara maju dan LSM tidak lagi dapat menunjuk AS dan kebijakan aborsi nasional kami sebagai contoh perlunya melegalkan aborsi, mereka juga tidak dapat mengatakan bahwa melegalkan aborsi adalah persyaratan bagi negara demokratis,” kata Huber, yang bekerja menangani isu-isu global terkait kesehatan perempuan di Department of Health and Human Services (HHS) selama pemerintahan sebelumnya.

Pada awal pemerintahan Biden, Blinken mengumumkan penarikan AS dari Deklarasi Konsensus Jenewa, yaitu perjanjian internasional terkait hak-hak perempuan yang drafnya dibuat oleh Huber ketika dia bekerja untuk HHS dan ditandatangani oleh 36 negara lainnya. Deklarasi tersebut berupaya untuk memperluas perawatan kesehatan bagi perempuan dan melindungi hak-hak negara untuk mendukung kesehatan, kehidupan, dan keluarga melalui kebijakan dan undang-undang nasional, bebas dari tekanan internasional.

Sebagian besar Amerika Selatan, Afrika, dan Asia Tenggara—beberapa wilayah terpadat di dunia—sangat membatasi atau melarang aborsi secara tegas. Rusia, Korea Utara, Tiongkok, Australia, Kanada, Meksiko, sebagian besar Eropa, serta sebagian kecil negara di Amerika Selatan dan Afrika mengizinkan aborsi berdasarkan permintaan dengan beberapa batasan usia kehamilan.

Guatemala bergabung dengan Konsensus Jenewa dan ditunjuk sebagai ibu kota Amerika Latin yang pro-kehidupan oleh Ibero-American Congress for Life and Family. Presidennya telah meminta negara untuk melindungi kehidupan mulai sejak pembuahan. Sebaliknya, pembatasan aborsi dilonggarkan di tempat lain di kawasan itu—yang terbaru di Kolombia, yang memutuskan pada Februari untuk melegalkan aborsi hingga usia kehamilan 24 minggu.

“Dalam pengalaman kami, pemerintah Amerika sejak keputusan Roe telah mencoba untuk terlibat dalam apa yang hanya dapat digambarkan sebagai kolonialisme ideologis atau imperialisme untuk menekan mayoritas dunia agar sesuai dengan standar AS tentang aborsi,” kata Dr. Mike Chupp, presiden AS US-based Christian Medical and Dental Association.

Ketika organisasi kesehatan global menekan negara-negara untuk memperlakukan hak aborsi sebagai masalah yang sudah selesai, hal itu membuat tugas lain untuk mencegah kematian ibu menjadi teralihkan, kata orang-orang yang pro-kehidupan.

Kontrasepsi, pengobatan penyakit menular seksual, pemeriksaan kanker serviks, langkah-langkah untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu, perawatan perinatal yang lebih baik—semua ini adalah masalah kesehatan wanita yang benar-benar mendesak di sebagian besar dunia bagi dokter seperti Chupp.

Para advokat pro-kehidupan internasional juga percaya bahwa pembalikan keputusan Roe memberikan kesempatan bagi orang Kristen untuk mencintai tidak hanya anak-anak yang belum lahir, tetapi juga ibu mereka, sebuah posisi yang diperjuangkan oleh banyak orang Kristen yang pro-kehidupan di AS.

Graciela Noguera Ibáñez bekerja dengan NAF-Paraguay, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Paraguay yang mempromosikan sistem yang memungkinkan anak-anak, remaja, dan keluarga berkembang.

“Masalah sebenarnya adalah tanggung jawab sosial terhadap ibu hamil dalam situasi rentan,” katanya. Ibáñez telah bekerja dengan Kementerian Pendidikan untuk mengembangkan program yang mendukung para ibu remaja dan memberikan pendidikan seks yang efektif kepada anak perempuan untuk membantu mencegah kehamilan remaja dan aborsi gelap.

Program Ibáñez mendapat dukungan dari organisasi Katolik serta Asosiasi Gereja-gereja Injili Paraguay.

Dawn McAvoy memimpin Both Lives Matter, sebuah kelompok pro-kehidupan yang berbasis di Irlandia Utara. Ia mengatakan bahwa membatalkan undang-undang aborsi federal AS akan mempertanyakan asumsi mendasar tentang hak aborsi dan privasi yang telah mendorong percakapan di AS dan Inggris selama lebih dari 50 tahun. Inggris Raya melegalkan aborsi pada tahun 1967, tetapi pemerintah Irlandia Utara mempertahankan undang-undangnya yang melarang aborsi hingga tahun 2019.

“Tantangan dan penolakan apa pun terhadap dogma yang merendahkan kehidupan pralahir dan kematiannya yang disebabkan oleh pilihan pribadi adalah hal yang menarik,” katanya.

Namun McAvoy percaya pembalikan kebijakan Roe bukanlah kemenangan akhir. AS dan negara-negara lain di dunia masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan untuk menumbuhkan apa yang disebutnya sebagai budaya “pro-keduanya,” di mana kebebasan dan kesetaraan bagi seorang wanita tidak diartikan sebagai kekuatan untuk mengakhiri hidup anaknya.

Sama seperti keputusan Dobbs yang menghasilkan kebijakan aborsi yang lebih ekspansif di negara-negara bagian yang memilih partai Demokrat, beberapa pihak mengantisipasi agar keputusan tersebut juga akan mendorong para aktivis yang bekerja dalam skala global.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube