Fantasi yang Fatal

Pengkhianatan Yudas mengungkapkan inti dari pengharapan yang salah arah.

Christianity Today March 27, 2024
Death Is Vast As a Planet At Night oleh Catherine Prescott. Lukisan cat minyak pada kanvas. 20x25”. 2009

Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya. — Matius 26:14

“Kita dapat mencatat…bahwa [Yesus] tidak pernah dianggap sebagai guru moral belaka. Dia tidak memberikan efek seperti itu kepada setiap orang yang benar-benar berjumpa dengan-Nya. Dia menghasilkan tiga efek utama—Kebencian—Teror—Adorasi. Tidak ada jejak orang yang menyatakan persetujuannya secara halus.” C.S. Lewis, God in the Dock

Kita tidak bisa memilih versi Yesus yang akan kita sembah. Kita mengasihi Dia sebagaimana adanya Dia. Lain dari ini adalah penyembahan berhala. Lain dari ini adalah fantasi. Lain dari ini adalah kurang dari apa yang telah Yesus korbankan bagi kita untuk kita miliki.

Suatu kali, ada seorang pria yang mengikut Yesus, dan ia terhitung sebagai salah satu murid-Nya. Ia dibebaskan untuk melakukan pekerjaan yang hanya dapat diberdayakan oleh Yesus, dan ia ditugaskan untuk menjaga perbendaharaan harta. Namun, pada suatu titik dalam perjalanannya selama tiga tahun bersama Mesias, dia menyerah pada penyakit kekecewaan. Hidupnya, yang berakhir di Hakal-Dama, atau "Tanah Darah" (Kis. 1:19) mengungkapkan keterbatasan perspektif manusiawi kita dan ajakan Yesus untuk percaya sepenuhnya.

Namun, mari kita mundur sejenak dari kisah kematiannya yang terkenal itu, dan mengamati situasi yang tampak mengelilinginya. Bagaimana mungkin kehidupan yang begitu dekat dengan Sumber segala harapan, segala keindahan, segala sukacita, berakhir dengan kesedihan dan keputusasaan seperti itu? Mungkinkah racun perbandingan telah melukai hatinya? Apakah imajinasinya terpikat oleh fantasi seorang raja heroik yang akan menggulingkan kekaisaran yang menindas? Apakah ia melihat kontradiksi yang membingungkan atas tanggapan Yesus yang penuh kasih kepada Maria dari Betania yang menuangkan minyak yang berharga untuk mengurapi kaki-Nya?

Fantasi mengikat seseorang pada sebuah visi yang salah. Fantasi mengambil ruang yang seharusnya diisi oleh iman dan pengharapan. Ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkan, putaran kekecewaan dan kekecewaan pun terbentang. Seseorang harus disalahkan. Meskipun kita tergoda untuk menyalahkan Tuhan karena tidak mewujudkannya yang kita bayangkan, jika kita melihat sekilas realitas di cermin, ternyata kitalah yang menyerah pada panggilan ilusi yang menggoda.

Ketika dihadapkan pada kenyataan tentang Yesus, kesetiaan Yudas pada tujuan-tujuannya sendiri akhirnya membutakan dia, dan ia kehilangan kisah yang seharusnya ia jalani. Yesus menjauh dari lubang dan kotak merpati kehidupan kita. Dia terus-menerus mencerai-beraikan harapan kita. Kedudukan-Nya sebagai Raja ditegakkan dalam kebenaran dan kasih karunia, bukan dalam memenuhi harapan kita. Dia memiliki maksud, tujuan, dan kekuatan dalam setiap langkah dan keputusan-Nya. Kesedihan, penderitaan, kebingungan, harapan yang tidak terpenuhi, dan doa yang tidak terkabul cenderung mengungkapkan kedalaman hati kita—apakah kita mengasihi Yesus sebagaimana adanya, atau hanya khayalan yang telah kita ciptakan?

Yesus adalah Raja yang menggulingkan kerajaan yang menindas, tetapi berlawanan dengan harapan Yudas, kerajaan itu bukanlah Roma, melainkan dosa, kebencian, dan pada akhirnya kematian. Yesus tidak mengecewakan. Dia adalah Raja yang meluluhlantakkan impian-impian kita yang paling menarik menjadi berkeping-keping dan menyingkapkan kisah yang kaya akan kemungkinan, iman, dan sukacita.

Dalam kisah Yudas, kita berduka atas janji palsu dari kedagingan dan keinginan kita untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Kita juga mengangkat pandangan kita dari fantasi yang kita bangun untuk diri kita sendiri, kepada Dia yang hidup-Nya mendorong kita untuk menginginkan hal-hal yang lebih mendalam, lebih indah, lebih otentik, dan lebih bertahan lama daripada yang dapat dibayangkan oleh pikiran kita.

Ketika fantasi kita hancur dan kita merasa terekspos, kita dapat berpaling pada kekecewaan, atau berbalik kepada Yesus dan membiarkan sifat-Nya yang kekal menelan semua khayalan kita dan menjadi pengharapan kita yang hidup, bernafas, dan dibangkitkan.

Renungkan



1. Identifikasikanlah kebenaran-kebenaran tentang Yesus yang sulit untuk Anda setujui atau terima. Aspek-aspek apa saja dari sifat-Nya yang telah Anda gumuli?

2. Bayangkan dampaknya dalam hidup Anda jika Anda dengan sepenuh hati mengasihi Yesus apa adanya. Bagaimana merangkul dan mengasihi Dia secara otentik akan membentuk pengalaman dan perspektif Anda sehari-hari secara keseluruhan?

Eniola Abioye adalah seorang misionaris, penulis lagu, dan penyair yang tinggal di California, yang berkolaborasi dengan kelompok-kelompok seperti Upper Room, Bethel, dan Maverick City.

Diterjemahkan oleh Helen Emely.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Penyembahan yang Boros

Anugerah untuk memberi saat kemurahan hati tampak tidak masuk akal.

Christianity Today March 26, 2024
Offertory oleh Susan Savage. Lukisan cat akrilik pada kanvas. 32x26”

Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya. Tubuh-Ku telah diminyakinya sebagai persiapan untuk penguburan-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia.” — Markus 14:8-9

Jika ada satu hal yang saya sukai, itu adalah hadiah yang tidak terduga—baik yang saya berikan maupun yang saya terima. Baru-baru ini, saya mengiringi kepulangan tamu-tamu di rumah saya dengan menghadiahkan mereka barang-barang yang saya sayangi: teko, pakaian, dan bahkan perhiasan milik saya sendiri. Saya merasakan kegembiraan dan kebebasan dalam tindakan memberikan sesuatu—berbagai hal yang memiliki nilai yang nyata. Namun pemberian yang berlebihan dan tak terduga seperti ini jarang sekali datang dari kemurahan hati yang alami. Ada anugerah supernatural yang bekerja, seperti anugerah yang kita lihat dalam kisah perempuan dengan buli-buli pualamnya (Mrk. 14:3-9).

Saya tahu ini adalah anugerah, karena saya telah menghabiskan sebagian besar hidup saya dengan pola pikir yang berkekurangan: Pemikiran bahwa tidak ada cukup uang, dan lebih baik saya menyisihkan sedikit uang yang saya miliki. Saat saya membaca kisah tentang perempuan yang mengurapi Yesus pada hari-hari sebelum penyaliban-Nya, roh saya berteriak, Ya! dan saya pun menyeka air mata karena kagum dengan tindakan penyembahan yang sangat penting ini. Akan tetapi saya mengakui—dan merasa ngeri ketika melakukannya—bahwa kedagingan saya masih memiliki respons yang sama dengan mereka yang ada di ruangan itu, dan saya mulai mengamati pemborosan yang dilakukannya.

Terhadap protes atas pemborosan dan ketidakwajaran, Kristus membela perempuan itu, menjelaskan kepada para murid-Nya bahwa perempuan itu telah mempersiapkan penguburan-Nya (ay. 8). Tindakan pengabdian dan pengorbanan perempuan itu akan selamanya menunjuk pada Kabar Baik, dan ia akan dikenang setiap kali Injil diberitakan di seluruh dunia (ay. 9). Perempuan yang mengurapi Yesus mengosongkan apa yang seharusnya menjadi miliknya yang paling berharga, mencurahkan hartanya demi Allah yang berinkarnasi. Ia mengurapi Sang Firman sebelum penguburan-Nya, yang menjadi pengingat yang nyata bahwa Yesus adalah Yang Diurapi, Mesias yang telah lama dinanti-nantikan (Yes. 61:1-3).

Saya membayangkan masih ada sedikit aroma wewangian minyak narwastu itu pada Yesus saat Ia dibawa ke hadapan Pilatus. Saya membayangkan Dia masih memiliki aroma kayu manis dari minyak narwastu di rambut dan janggutnya—yang merupakan sisa pengurapan. Ketika Ia memikul salib-Nya, saya bertanya-tanya apakah para pengamat yang berkerumun itu menangkap aroma tersebut, melampaui bau keringat dan darah. Mungkin mereka mencium aroma manis di udara saat Kristus naik ke Golgota. Saya bertanya-tanya apakah kedua orang yang disalibkan di sisi-Nya mencium aroma tersebut?

Tanda pengurapan sebagian besar diperuntukkan bagi para raja dalam agama Yahudi kuno. Tindakan berani perempuan ini tidak hanya mengakui Kristus sebagai Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuhan, melainkan juga menandakan apa yang akan dilakukan Kristus dua hari kemudian, ketika Ia mencurahkan diri-Nya dengan cara yang mahal, penuh kasih, dan tampak bodoh di atas kayu salib. Dengan memberikan diri-Nya sebagai persembahan, Yesus menyelesaikan apa yang tidak akan pernah bisa kita lakukan untuk diri kita sendiri. Apa yang terkadang terlihat seperti kebodohan bagi kita justru adalah kesetiaan; apa yang terlihat seperti pemborosan justru merupakan penyembahan.

Kemurahan hati saya lebih merupakan sebuah disiplin rohani daripada sebuah kebajikan; saya tidak dapat bermegah dalam memberi karena hal itu bertentangan dengan keinginan daging saya. Allah, dalam kebaikan-Nya, mengundang saya untuk memberi dengan murah hati dan dengan Roh-Nya Ia memampukan saya untuk melakukannya. Saya menyadari bahwa dengan mengajarkan saya untuk memberi, Dia menyembuhkan bagian dari diri saya yang masih percaya bahwa saya tidak akan pernah cukup. Jadi saya bermegah dalam kelemahan ini, dan saya bersukacita meskipun terkadang saya masih mendengar suara-suara yang ditujukan kepada perempuan di Betania:

“Berani-beraninya kamu melakukan itu?”

“Ini tidak bertanggung jawab. Kamu tidak bertanggung jawab.”

"Kamu memberikan apa yang tidak mampu kamu berikan. Dan untuk apa?”

Lalu datanglah Yesus, Sang Pembela : “Dia telah melakukan suatu perbuatan yang indah… Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya.” Dan suara-suara itu pun diam.

Renungkan



1. Apa tanggapan jujur Anda terhadap kemurahan hati yang menghebohkan dari perempuan yang mengurapi Yesus? Siapakah yang paling mirip dengan Anda di dalam ruangan itu?

2. Bagaimana kemurahan hati yang melimpah ruah menantang naluri kita untuk mempertahankan diri secara finansial atau sosial?

Hannah Weidmann adalah salah satu pendiri Everyday Heirloom Co, sebuah merek yang didedikasikan untuk menghiasi wanita sebagai kekasih Allah dengan menggunakan metode kerajinan tangan dan cerita yang tak lekang oleh waktu.

Diterjemahkan oleh Helen Emely.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kekuatan yang Dimungkinkan Melalui Pengorbanan

Pesan Minggu Palma tentang keledai, singa, dan anak domba.

Christianity Today March 24, 2024
Hall oleh Claire Waterman. Lukisan cat minyak pada kertas. 2018

Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus. — Wahyu 5:8

Untuk lebih memahami kontras yang mencolok pada Minggu Palma—Yesus sang Raja menunggang keledai hina di jalanan Yerusalem—kita dapat melihat kitab Wahyu. Dalam Wahyu 5, Yohanes menuliskan sebuah adegan dramatis di mana Allah memberikan sebuah gulungan kitab yang tidak dapat dibuka karena kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang dianggap layak. Rasul Yohanes pun diliputi emosi atas ketidakmungkinan situasi dan ketidakmampuan untuk membuka ketujuh meterai. Kemudian seorang tua-tua memerintahkan Yohanes untuk berhenti menangis: “Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya” (ay. 5). Saya membayangkan tua-tua itu membuat pernyataan ini dengan suara menggelegar dan gerakan melangkah menghampiri takhta—setiap mata di surga berharap untuk melihat seekor singa yang mengaum dan menyala-nyala dalam sebuah pertunjukan kekuatan yang luar biasa. Saya membayangkan setiap mata yang mengamati ke sana kemari, cerah dan penuh harap, yang awalnya tidak menyadari makhluk yang telah melangkah maju dari takhta. Kemudian mereka melihat Dia, Pribadi yang layak—bukan seekor singa, melainkan seekor Anak Domba yang dikorbankan, yang tenggorokan-Nya telah disembelih, darah mengucur di dada-Nya, mewarnai bulu putih-Nya yang bersih dengan warna merah tua.

Akan lebih tepat jika Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai singa dari suku Yehuda, sesuai dengan cara tua-tua itu mengumumkan kedatangan-Nya, namun Ia tidak melakukannya. Sebaliknya, Ia tampil sebagai salah satu makhluk paling tidak mengancam di bumi. Dia mudah didekati. Rendah hati. Lemah lembut.

Motif kekuatan yang ditunjukkan melalui pengendalian diri dan pengorbanan ini tersebar di seluruh halaman Alkitab. Yesus Kristus terus-menerus menyatakan keagungan dalam kerendahan hati: Raja di atas segala raja datang ke dunia bukan di istana, melainkan di dalam kandang yang berbau kotoran hewan. Kemuliaan-Nya pertama kali dinyatakan bukan kepada Herodes Agung, melainkan kepada para gembala rendahan. Ia tidak memilih untuk membimbing kalangan elite akademis, melainkan rakyat jelata. Dia tidak melekatkan diri-Nya pada lapisan masyarakat kelas atas, melainkan kepada para tunawisma, saat Dia menunjukkan sifat kerajaan yang terbalik kepada para murid-Nya yang kebingungan.

Inilah Mesias yang memasuki Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai dan melihat daun-daun palem di hadapan-Nya. Ia tidak pergi ke pusat kekuasaan untuk menggulingkan Roma dan memuaskan harapan orang banyak akan kemenangan militer, melainkan Ia pergi ke pusat peribadatan Yahudi untuk menghadapi pemikiran yang salah tentang apa artinya melayani Tuhan. Yesus tidak terpikat pada pujian orang banyak dan mengejar takhta duniawi. Sebaliknya, Dia ditinggikan di atas alat penyiksaan dan eksekusi Romawi, dalam ketaatan kepada Bapa, dan agar kita dapat diampuni, disucikan, dan diperdamaikan dengan Allah.

Yesus mewujudkan maksud Tuhan yang mula-mula dari Kejadian 1 dan 2: Agar manusia menjalankan kekuasaan dan penatalayanan atas bumi untuk menghasilkan kehidupan, seperti seorang tukang kebun yang berupaya untuk menumbuhkan kesuburan dan keindahan melalui usahanya. Adam dan Hawa gagal dalam tugas ini, sehingga perlu ada jenis manusia baru—manusia yang akan meremukkan kepala si Ular, tetapi dalam prosesnya manusia itu juga akan diremukkan. Yesus adalah sang Hamba yang menderita; sang Singa yang juga Anak Domba. Dia adalah Tuhan dengan otoritas yang tak tertandingi, yang akan mengenakan jubah seorang hamba dan membasuh kaki orang-orang yang akan meninggalkan-Nya. Dialah yang akan memasuki Yerusalem pada minggu eksekusi-Nya dan dielu-elukan oleh banyak orang, dan beberapa hari kemudian akan menghadapi orang banyak lainnya yang menuntut penyaliban-Nya. Kita melihat Dia menangisi orang banyak segera setelah kemenangan-Nya, prihatin dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan ketika nyawa-Nya sendiri berada dalam bahaya (Luk. 19:41). Yesus sepenuhnya aman dalam kasih sayang dan pemeliharaan Bapa. Dia melihat melampaui tabir kematian menuju kebangkitan, dan oleh karena itu Ia mampu menanggung pengkhianatan, cambukan, dan kengerian salib.

Sebagai manusia tidak sempurna, yang terpikat pada tepuk tangan dan takut akan penderitaan, kita sering kali berusaha untuk mewujudkan kekuatan singa—tetapi kita mengikuti singa yang menjadi anak domba. Kiranya kita mengikuti jejak Guru kita pada Minggu Palma ini, menempuh jalan salib yang penuh pengorbanan sehingga orang lain dapat berjumpa dengan kehidupan yang ditemukan dalam darah Juru Selamat kita.

Renungkan



1. Meskipun Ia berkuasa, mengapa Yesus memilih untuk merendahkan diri-Nya demi melayani orang lain?

2. Apakah saya memakai sumber daya, kemampuan, dan pengaruh saya untuk melayani orang lain? Jika tidak, bagaimana saya dapat mengambil langkah praktis minggu ini untuk menggunakan kemampuan saya untuk melayani?

Mick Murray telah melayani dalam pelayanan pastoral selama lebih dari 15 tahun di Antioch Community Church di Waco, Texas.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dari Melukis Sean Connery Hingga Menulis Lagu Pujian Indonesia yang Hits

Ketika gemetar tangannya mengakhiri karir Herry Priyonggo sebagai pelukis poster film pada usia 22 tahun, ia mengubah penderitaan itu menjadi nyanyian. Kini Tuhan bahkan menuntunnya kembali ke kanvas.

Herry Priyonggo bernyanyi untuk grup vokal, Yerikho.

Herry Priyonggo bernyanyi untuk grup vokal, Yerikho.

Christianity Today March 20, 2024
Atas perkenanan Herry Priyonggo

Di usianya yang ke-22, Herry Priyonggo merasa telah menemukan panggilan hidupnya. Selama enam tahun terakhir, ia telah membangun reputasi sebagai pelukis spanduk film terbaik di Indonesia pada tahun 60-an dan 70-an, dengan karya seni aktor-aktor terkenal Hollywood dan Hong Kong menghiasi halaman-halaman bioskop di Jakarta dan kota-kota lain. Penghasilannya mampu menghidupi keluarganya.

Namun pada suatu hari yang menentukan masa depannya di tahun 1975, tangan kanannya gagal bekerja sama. Setiap kali dia mengambil kuas, tangannya gemetar tak terkendali. Hal ini membuatnya tidak memungkinkan lagi untuk bekerja.

Priyonggo, yang kini berusia 71 tahun, mengingat saat pergi ke kamar mandi dan bergumul dengan Tuhan. Ia meminta Tuhan menyembuhkan tangannya: “Jika Engkau sungguh Maha Kuasa, pasti mudah sekali untuk menyembuhkan saya. Jika Engkau tidak menyembuhkan saya, saya tidak akan percaya lagi pada-Mu.”

Berjam-jam di kamar mandi yang lembap dan dingin, ia menumpahkan segala keputusasaannya sampai ia menjadi sangat kelelahan dan tertidur.

“Saat saya bangun di pagi hari, tangan saya belum sembuh,” kata Priyonggo. “Saya sangat kecewa, tetapi saya memutuskan untuk tetap beriman kepada [Tuhan].”

Hingga hari ini, meski terus berdoa dan berkonsultasi dengan dokter, Priyonggo belum melihat jawaban Tuhan. Keputusasaan terkadang melanda dirinya. Namun seiring berjalannya waktu, ia menemukan kehidupan memuaskan yang tidak pernah ia bayangkan: berkarir sebagai komposer musik pujian ternama dan pendiri grup musik yang pernah tampil di gereja-gereja di seluruh Indonesia. Di tahun-tahun terakhir ini, Tuhan mengizinkan dia untuk kembali melukis—kali ini, seni Kristen.

“Kerinduan agar tangan saya sembuh masih tinggi, bahkan hingga hari ini,” ujarnya. “Akan tetapi, saya mulai menyadari bahwa Tuhan mempunyai rencana yang jauh lebih baik bagi saya. Ia telah membuka kesempatan lain bagi saya untuk menjadi berkat bagi lebih banyak orang.”

Pelukis poster film

Priyonggo dilahirkan dalam keluarga Kristen beretnis Tionghoa di Bondowoso, Jawa Timur. Dia mulai melukis pada usia 12 tahun. Tak lama kemudian, ia memamerkan karya seninya di kota-kota besar seperti Jakarta. Seorang wakil kepala sekolah di Jakarta melihat lukisannya dan mendesaknya pindah ke Jakarta untuk mengejar karir di bidang seni. Pada usia 14 tahun, Priyonggo pindah ke ibu kota.

Saat itu, Indonesia sudah mulai mengimpor film dari Amerika, Hong Kong, dan India, serta memproduksi film secara nasional. Penduduk setempat berbondong-bondong ke bioskop untuk melihat aktor populer Hollywood, Hong Kong, dan lokal seperti Kirk Douglas, Wang Yu, dan Chen Pei Pei di layar perak. Untuk memasarkan atraksi ini, bioskop-bioskop mengandalkan poster film raksasa yang dilukis dengan tangan.

Seniman yang saat itu berusia 16 tahun, merasa siap dengan tantangan tersebut. Priyonggo pun mendekati produser lokal dan meminta pekerjaan kepadanya.

Namun sulit bagi produser itu untuk menganggap serius remaja tersebut.

“Saya saat itu memakai celana pendek,” kata Priyonggo sambil mengingat pakaiannya, yang dalam budaya masyarakat dianggap kekanak-kanakan. “Dia menyuruh saya untuk terus melanjutkan sekolah dan mendaftar di perguruan tinggi seni… sebelum meminta orderan darinya.”

Tidak terpengaruh, Priyonggo memutuskan untuk menunjukkan keahliannya kepada sang produser. Dia melukis poster berukuran 1,5 meter kali 1,5 meter untuk film Hong Kong The Three Smiles dan membawa lukisan itu kepada pria tersebut. “Dia terperangah dan mulai memberikan pekerjaan melukis kepada saya.”

Dia mulai melakukan pekerjaan barunya saat masih di sekolah menengah. “Saya bangun jam lima pagi untuk membuat sketsa spanduk sebelum berangkat ke sekolah.” Sepulang sekolah, dia mulai melukis, terkadang hingga larut malam. Tak lama kemudian ia pun diberi tanggung jawab untuk membuat poster utama, yang akan diduplikasi oleh para pelukis untuk bioskop-bioskop lainnya.

Priyonggo memakai penghasilannya untuk menghidupi keluarganya. Orang tuanya adalah guru di sebuah sekolah Tionghoa di Bondowoso pada tahun 1960-an, tetapi pada tahun 1965, Indonesia mengalami pergolakan politik dan sosial berdarah yang menyebabkan sentimen anti-Tionghoa dan anti-Komunis yang kuat. Pemerintah yang baru memutuskan hubungan dengan Tiongkok dan memerintahkan penutupan semua sekolah yang berafiliasi dengan Tiongkok.

Baliho film Wang Yu setinggi 17 meter karya Herry Priyonggo.Atas perkenanan Herry Priyonggo
Baliho film Wang Yu setinggi 17 meter karya Herry Priyonggo.

Ia mendorong orang tua dan saudara-saudaranya untuk pindah ke Jakarta, di mana mereka menyewa rumah. Priyonggo, yang mampu menyelesaikan poster berukuran 3×5 meter dalam dua hari, menjadi pencari nafkah utama. Suatu kali, seorang produser memintanya untuk membuat papan reklame film setinggi 17 meter “di mana mobil dapat lewat di antara kaki Wang Yu, seorang aktor terkenal Hong Kong.” Di lain waktu, dia melukis papan reklame Sean Connery setinggi 15 meter untuk film Goldfinger.

Namun pada usia 22 tahun, kariernya tiba-tiba berakhir karena tangannya mulai gemetar.

Keputusasaan mengarahkan pada pelayanan baru

Gejala yang dialami Priyonggo tidak masuk akal bagi dokter maupun Priyonggo. Keluarga dan teman-temannya pun bertanya-tanya apakah kondisi tersebut disebabkan karena faktor keturunan atau karena paparan cat lukis. Namun para ahli medis mengesampingkan penjelasan tersebut. Hingga saat ini, penyebab pasti dari gemetar di tangannya belum diketahui.

Namun tantangan fisik yang dialaminya berdampak buruk pada kesehatan mentalnya dan membuat Priyonggo terperosok dalam keputusasaan, mengonsumsi obat-obatan berbeda yang diresepkan oleh dokternya dan secara aktif mengharapkan mukjizat. Adiknya, Herlin Pirena, mengenang, “Kadang Herry bahkan berteriak-teriak di kamarnya untuk melepaskan rasa putus asa dan frustasinya.”

Untuk menemukan penghiburan dari rasa sakitnya, Priyonggo kembali pada kecintaannya di musik rohani dan himne. Semasa kecil, ia sudah sering bernyanyi di gereja bersama orang tuanya, kakak laki-lakinya, dan Pirena. “Keluarga kami bernyanyi sekitar dua kali setiap bulan,” kenangnya. “Saya juga sering membantu ayah saya, yang merupakan pemimpin paduan suara, menyiapkan lembar partitur.”

Pada tahun 1978, Priyonggo, yang saat itu berusia 25 tahun, mulai berdamai dengan kondisi tangannya yang gemetar dan setuju untuk memimpin paduan suara pemuda di gerejanya. Hal ini menjadi asal muasal terbentuknya Grup Vokal Yerikho pada tahun 1980 dengan beberapa teman di gereja, termasuk Pirena.

Grup Vokal Yerikho mulai bernyanyi di gereja-gereja dan merilis sebuah album lagu rohani. Sebagian besar lagu-lagunya adalah himne yang diaransemen Priyonggo, termasuk juga sebuah lagu orisinal yang ia ciptakan. Kaset tersebut menyebar di kalangan komunitas Kristen di Indonesia dan mendorong Priyonggo untuk menulis lebih banyak lagu pujian dan penyembahan.

Lagu-lagu Yerikho sering kali berakar pada Mazmur dan bagian lain dari Alkitab serta menyelami perjalanan rohani Priyonggo sendiri, yang penuh dengan cobaan, keputusasaan, pengampunan, dan harapan. Lagu-lagu Priyonggo yang dinyanyikan di gereja-gereja Indonesia saat ini antara lain “Jalan Tuhan”, “Tangan Tuhan”, dan “Mazmur 121.” Priyonggo juga memproduseri beberapa drama musikal, seperti Permata untuk Sang Raja dan Laki-laki Pilihan. Yang terakhir menggambarkan kehidupan Yusuf.

“Saya tidak dapat menghitung berapa banyak lagu yang telah saya buat,” kata Priyonggo. “Pasti ada beberapa ratus. Namun belum sampai ribuan seperti Fanny Crosby.”

Saat ini, Yerikho masih terus melakukan perjalanan pelayanan dan tampil di gereja-gereja, meski para anggota grup vokalnya datang dan pergi. Jauh-jauh hari, berbagai gereja masih meminta mereka pelayanan: Sebuah gereja di Pontianak, Kalimantan Barat, baru-baru ini menghubungi Priyonggo untuk meminta Yerikho tampil di sana pada tahun 2025.

Memerangi peperangan rohani

Meski sukses dalam bidang musik, Priyonggo masih berjuang melawan keputusasaan. Ia menyebutkan bahwa istrinya, Yanti, yang bersamanya ia memiliki tiga anak, memberikan dukungan besar selama masa-masa kelam itu.

Ia ingat pernah mengalami keputusasaan di tahun 2018 setelah dia berhenti minum obat yang membantu mengendalikan gemetar dan kecemasannya. Dia menangis kepada istrinya sambil meratap, “Saya ingin menyerah… Saya tidak tahan lagi.”

Yanti menyodorkan sebuah gitar dan memintanya memainkan lagu-lagu yang Priyonggo tulis beberapa tahun lalu. Kemudian mereka mulai menyanyikan “Sayap Pujian”:

Sayap pujian mengepaklah bawa aku terbang, mengatasi badai dalam hidupku…
Hingga kunikmati bait-Mu, indahnya hadirat-Mu dalam terang kasih-Mu…
Simfoni kemenangan ‘kan s’lalu kunyanyikan. Dalam hidupku,
hanya Engkau Tuhan sumber kekuatan yang kuandalkan.
Tak akan kubiarkan kepedihan menekan ‘Ku mau bermazmur,
s’lalu bersyukur, percaya Kau Tuhan, b’ri kemenangan…

“Kami terus menyanyikan lagu itu,” kenang Yanti. “Dan keajaiban memang terjadi: Herry pulih dari keputusasaannya. Tuhan membebaskan dia melalui lirik lagunya sendiri yang dia buat untuk memuliakan-Nya.”

Melalui masa-masa sulit, pasangan ini belajar untuk mengikuti tuntunan Roh Kudus dengan setia. “Tuhan ingin kita memiliki pengalaman rohani yang mendalam bersama-Nya,” ujarnya. “Yang perlu kita lakukan hanyalah setia. Lakukan saja dengan patuh apa yang Tuhan ingin kita lakukan.”

Putra sulung mereka, Juan Krista Priguna, 34, telah melihat karya Tuhan dalam kehidupan ayahnya. “Tuhan mengizinkan ayah saya menderita gemetar di tangannya untuk menunjukkan kedaulatan-Nya kepada kami, anak-anaknya. Dan, melalui rasa sakit seperti itu, kami justru bisa menyaksikan kebesaran Tuhan.”

Melukis sekali lagi

Pada akhir tahun 2019, Priyonggo menjalani operasi bypass jantung. Usai operasi, tiba-tiba ia sangat rindu untuk melukis lagi. Ia memutuskan bahwa jika tangannya mau bekerja sama, ia ingin mendedikasikan semua lukisannya kepada Tuhan.

Di tengah pandemi COVID-19, pria berusia 68 tahun ini kembali mengangkat kuasnya. Untuk mengendalikan gemetarnya, ia menggunakan tangan kirinya untuk memantapkan tangan kanannya saat melukis di atas kanvas. Ini adalah upaya yang sangat melelahkan, tetapi setelah seminggu, ia berhasil menyelesaikan lukisan pertamanya setelah lebih dari 40 tahun, yang dia beri judul “Gembala yang Baik.”

“Di tengah melukis lukisan tersebut, muncul ide untuk menggambarkan tiga serigala yang hendak melahap si domba—dan bagaimana Yesus harus melawan mereka untuk menyelamatkan domba yang tersesat itu,” kata Priyonggo. Dalam lukisan tersebut, serigala-serigala itu berada di belakang dan Yesus mengalami luka di lengan-Nya dan jubah-Nya pun robek.

Lukisan Gembala yang Baik karya Herry PriyonggoAtas perkenanan Herry Priyonggo
Lukisan Gembala yang Baik karya Herry Priyonggo

“Saya tidak bisa berkata-kata saat pertama kali melihat lukisan itu,” kata Pdt. Gabriel Goh, yang saat itu melayani sebagai gembala Gereja Kristus Yesus Bumi Serpong Damai di Tangerang Selatan. Ia menerima cetakan ulang lukisan tersebut dari seorang anggota gereja untuk ulang tahunnya, tidak lama setelah lukisan itu selesai dibuat pada tahun 2021.

“Saya telah melihat begitu banyak lukisan Yesus menyelamatkan domba yang tersesat, namun lukisan ini sangat menyentuh hati saya,” kenangnya. “Lukisan ini sungguh mewakili dimensi penebusan yang telah Yesus lakukan bagi kita. Dia sungguh telah membayar harga yang begitu mahal untuk menyelamatkan kita yang berdosa.”

Priyonggo bersyukur Tuhan memberinya kemampuan untuk melukis kembali dan menciptakan lagu baru di tengah segala kelemahannya. “Saya hanya terkesima menyaksikan bagaimana Tuhan memakai jari-jari saya yang payah ini untuk menciptakan lukisan dan lagu.”

Dia sekarang mencoba menikmati ritme hidupnya yang lebih lambat. Sebagai seorang pemuda, ia mampu menyelesaikan sebuah lukisan hanya dalam beberapa hari. Sementara dalam tiga tahun terakhir ini, ia baru menyelesaikan sepuluh lukisan saja.

“Saya sekarang meluangkan lebih banyak waktu untuk mengeksplorasi ide-ide tentang apa yang harus saya lukis atau tulis selanjutnya, yang dapat memuliakan Tuhan.”

Adiknya, Pirena, yang kini menjadi salah satu penyanyi Kristen paling terkenal di Tanah Air, mencatat bahwa kakaknya ibarat kuas rapuh di tangan Tuhan. “Sekarang sulit sekali melukis dengan tangan dia yang gemetaran,” ujarnya. “Oleh karena itu, lukisannya adalah bukti nyata betapa menakjubkannya Tuhan kita.”

Pelaporan tambahan oleh Gouw Liena Winarsih.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Perjanjian Lama Menubuatkan Penyaliban. Bagaimana dengan Kebangkitan?

Bahkan sebelum kedatangan Kristus, pengulangan “hari ketiga” sudah ada di sepanjang Kitab Suci.

Christianity Today March 20, 2024
Ilustrasi oleh Christianity Today / Sumber Gambar: WikiArt / Getty

Jika Anda diminta untuk meringkas Injil dalam satu kalimat, bagian manakah yang akan Anda pilih? Dugaan saya, apa pun pilihan-pilihannya, Anda akan menyertakan 1 Korintus 15:3–5.

Injil, kata Paulus dalam ayat-ayat yang ikonik tersebut, ialah “bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas, dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya.” Pada dasarnya, Injil adalah kehidupan, kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus sebagai penggenapan dari Kitab Suci. Tentu saja Injil lebih dari itu, tetapi tidak kurang.

Akan tetapi, ada sebuah masalah. Relatif mudah untuk mengidentifikasi ayat-ayat yang menunjuk pada penderitaan dan kematian Kristus karena dosa manusia. Keempat Injil menyebutkan banyak hal itu dengan sangat jelas, sebagaimana halnya Mazmur 22, Yesaya 53, dan Zakharia 12:10–14. Namun, apa yang ada di benak Paulus ketika ia mengatakan bahwa Yesus “dibangkitkan pada hari yang ketiga sesuai dengan Kitab Suci”? Apakah ada ayat tersembunyi di suatu tempat dalam Alkitab Ibrani yang memprediksi hal ini?

Bahkan pemahaman Alkitab saya pun dibingungkan dengan hal ini. Yang biasanya dipenuhi dengan referensi silang, satu-satunya teks Perjanjian Lama yang disarankan di sini adalah Hosea 6:2 (“Dalam dua atau tiga hari ini Ia akan menyembuhkan kita”; BIS), yang tampaknya berbicara tentang Israel secara keseluruhan. Ada pula bukti ayat-ayat yang jelas mengenai Penyaliban, seperti Yesaya 53, tetapi tidak ada ayat yang bicara jelas tentang Kebangkitan, apalagi tentang kebangkitan pada hari yang ketiga.

Namun ini bukan karena ide mengenai bangkit menuju hidup baru pada hari yang ketiga tidak ada dalam Kitab Suci. Bahkan, ide ini ada di mana-mana dalam Alkitab. Melihat bagaimana dan mengapa hal ini terjadi, dapat mengajari kita cara membaca Alkitab dengan lebih seksama—yang berarti lebih mendengarkan refrain dan gema dalam sebuah simfoni daripada mencari frasa yang sama persis di Google.

Contoh pertama dalam Alkitab mengenai kehidupan yang muncul dari tanah pada hari ketiga terdapat di pasal pembuka di kitab Kejadian. Pada hari yang ketiga, tanah menumbuhkan tanaman dan pohon buah-buahan, dan semua itu menghasilkan benih “sesuai jenisnya” (Kej. 1:12; ESV), yang memiliki kapasitas untuk terus menghasilkan kehidupan di generasi berikutnya.

Sejak saat itu, bangkitnya “benih” pemberi kehidupan dari Allah pada hari ketiga menjadi sebuah pola. Ishak, putra yang ditetapkan untuk mati di Gunung Moria, “dibangkitkan” (diselamatkan) pada hari yang ketiga (Kej. 22:1–14). Begitu pula dengan Raja Hizkia (2Raj. 20:5). Demikian juga dengan Yunus (Yun. 1:17). Saudara laki-laki Yusuf dibebaskan dari ancaman kematian pada hari yang ketiga (Kej. 42:18), begitu pula kepala juru minuman Firaun (40:20–21). Israel, yang sekarat karena kehausan di padang gurun, menemukan air yang memberi kehidupan pada hari yang ketiga (Kel. 15:22–25). Dan setibanya di Sinai, umat Israel diberitahu agar “bersiap, sebab pada hari ketiga TUHAN akan turun” (19:11). Ratu Ester, setelah mengetahui orang-orang Yahudi berada di bawah hukuman mati, menghadap raja pada hari yang ketiga, mendapat perkenanan dari raja, dan membawa bangsanya keluar dari kematian menuju kehidupan (Est. 5:1).

Jadi, ketika Hosea berbicara tentang Israel yang akan dibangkitkan pada hari yang ketiga, dia tidak mengambil angka itu secara sembarangan. Ia merefleksikan tema yang sudah tertanam kuat yang berasal dari pasal pertama Alkitab. Sebagaimana yang Hosea katakan,

Mari, kita akan berbalik kepada TUHAN, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita. Ia akan menghidupkan kita sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya. (Hos. 6:1–2; LAI TB)

Inilah yang sebenarnya terjadi pada hari Minggu Paskah. Kristus tidak hanya dibangkitkan; Dia dibangkitkan pada hari yang ketiga sesuai dengan Kitab Suci. Dialah pohon buah-buahan yang mampu mendatangkan kehidupan baru sesuai jenisnya. Dialah Sang Anak Tunggal yang ditetapkan untuk mati lalu kembali kepada Bapa-Nya dalam keadaan sehat dan benar-benar hidup, setelah membuktikan betapa dalamnya kasih Bapa. Dia adalah Yunus yang baru, yang dimuntahkan dari kedalaman laut setelah tiga hari, untuk memberitakan pengampunan kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Dia adalah Ester yang baru, yang mengubah nasib bangsanya dengan bersyafaat di ruang takhta surgawi, mendapat perkenanan Raja, menaklukkan musuh-musuh, dan pada akhirnya memberi peristirahatan bagi bangsanya.

Pada hari ketiga, seperti yang dijanjikan Hosea, Tuhan akan membangkitkan dan memulihkan kita sehingga kita dapat hidup di hadapan-Nya. Sekarang Dia telah melakukannya. Jadi kita dapat hidup di hadapan-Nya.

Andrew Wilson adalah pendeta pengajar di King’s Church London dan penulis Remaking the World.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Mata Tertuju pada Hadiah dari Pelayanan yang Setia

Disiplin yang keras mempersiapkan kita untuk menerima pahala.

Christianity Today March 17, 2024
Intersection oleh Curtis Newkirk. Lukisan cat akrilik pada panel kayu. 24x24”. 2021

Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. — 1 Korintus 9:25

Kota Korintus adalah tempat diadakannya Pertandingan Isthmian. Diselenggarakan setiap dua tahun (bukan setiap empat tahun, seperti Olimpiade), mereka merayakan Poseidon, sang dewa laut. Para atlet berlatih selama berbulan-bulan untuk mempersiapkan diri mengikuti kompetisi, untuk membuktikan kehebatan mereka di hadapan penonton yang antusias.

Ketika rasul Paulus menantang jemaat di Korintus untuk “larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya” (1Kor. 9:24), ia menggunakan gambaran yang mudah dikenali: atlet. “Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana,” tulis Paulus. “Tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi” (ay. 25). Paulus menantang para pembacanya untuk memperlakukan kehidupan Kristen mereka seperti seorang atlet: berlatih, berlari, bertarung, dan menyelesaikan dengan baik.

Umat Kristen sering merenungkan tentang karunia keselamatan. Namun ada perbedaan antara karunia dan hadiah. Sebuah karunia diberikan secara cuma-cuma; namun hadiah diusahakan dan dimenangkan. Hadiah yang dimaksud Paulus dalam 1 Korintus 9 bukanlah keselamatan, melainkan upah atas pekerjaan yang kita lakukan sebagai umat Allah yang telah diselamatkan. Cara kita menghidupi keselamatan di bumi mempunyai dampak yang nyata, baik saat ini maupun selamanya. Sebelumnya dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus mengungkapkan hal ini melalui metafora pembangunan rumah:

“Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu” (1Kor. 3:11-13).

Setiap pengikut Kristus menerima karunia keselamatan secara cuma-cuma karena anugerah Allah (Ef. 2:8). Cara kita membangun di atas karunia itu adalah dengan mengerjakan keselamatan kita (Flp. 2:12). Jika kita membangun dengan rumput kering dan jerami—usaha yang sia-sia dan bersifat sementara—maka hanya sedikit yang dapat ditunjukkan dari iman kita di bumi. Namun ketika kita membangun dengan emas, perak, dan permata yang berharga dari kehidupan Kristen yang dewasa, dari pekerjaan baik yang dilakukan untuk dunia, maka kualitas bangunan kita pada akhirnya akan terlihat.

Untuk membangun dengan cara seperti itu, maka kita harus kuat. Seperti seorang atlet yang sedang berlatih untuk bertanding, kita harus mendisiplinkan tubuh kita dan mengendalikannya (1Kor. 9:27): bukan karena legalisme, rasa malu, atau takut, melainkan karena kasih kepada Allah yang telah menyelamatkan kita. Disiplin—menjalani kehidupan yang dibatasi—menghasilkan kebebasan. Dengan mengatakan tidak pada dorongan hati yang tidak sehat dan mendengarkan pimpinan Roh Kudus, kita dibebaskan untuk memiliki hubungan yang lebih dalam, kesehatan yang lebih baik, iman yang lebih kuat, dan kesaksian yang lebih besar. Kehidupan yang berdisiplin bukan tanpa tujuan, melainkan terfokus. Kita mengarahkan pandangan kita pada hadiah, yaitu "baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat. 25:21) dan dapat berlari dengan pikiran yang tertuju pada perkenanan-Nya.

Kita tidak memilih disiplin untuk memperoleh keselamatan; kita memilihnya karena kita telah diselamatkan. Oleh karena kita berada di dalam Kristus, suatu ciptaan baru, kita harus memilih untuk mengatakan “tidak” pada beberapa hal dan mengatakan “ya” pada hal yang lebih baik—demi waktu kita, demi istirahat, demi keterhubungan, demi pemuridan, demi kesehatan, dan demi pertumbuhan. Masa Prapaskah mengajarkan kita untuk mengatakan “tidak” sementara waktu agar kita bisa merasakan jawaban “ya” yang lebih dalam dan lebih memuaskan bagi Tuhan. Setiap area hidup di mana kita belajar untuk menunda kepuasan karena kasih kepada Allah (bukan karena legalisme) akan membawa kita pada pengalaman yang lebih dalam akan kasih sayang-Nya dan dampak yang besar dari kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus.

Mahkota dari Pertandingan Isthmian terbuat dari kayu pinus. Dalam budaya Yunani dan Romawi, pinus melambangkan kehidupan yang kekal. Akan tetapi, mahkota yang diterima oleh atlet yang menang akan rusak dalam beberapa minggu. Mahkota-mahkota itu tidak bertahan lama, tetapi hadiah kita akan bertahan selamanya (1Kor. 9:24-25). Hadiah yang kita terima atas kehidupan Kristen yang setia dan berdisiplin adalah kekal dan tidak berubah. Cara-cara berbuah yang kita bangun di atas keselamatan kita akan dilihat dan dihormati oleh Allah kita, dan ketika kita berdiri berhadapan dengan-Nya, kita dapat mengetahui bahwa setiap upaya yang tak terlihat, setiap pencobaan yang berat, setiap penyerahan diri yang menyakitkan, semua itu tidaklah sia-sia. Kiranya kita dapat berkata bersama Paulus: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim. 4:7).

Renungkan



1. Bagaimana masa Prapaskah dipresentasikan sebagai waktu untuk menunjukkan disiplin dan berkata “tidak” sementara waktu demi “ya” yang lebih mendalam kepada Tuhan?

2. Bagaimana Paulus menggunakan metafora seorang atlet untuk menyampaikan kebenaran rohani yang lebih mendalam? Apa saja contoh dari kehidupan Anda sendiri?

Phylicia Masonheimer adalah pendiri Every Woman a Theologian, penulis dua buku, dan pembawa acara siniar Verity.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Mengapa Badai Diperlukan untuk Bertahan Hidup?

Masa Prapaskah membantu kita melihat pencobaan-pencobaan hidup dengan cara yang baru.

Christianity Today March 10, 2024
The Storm oleh Joel Sheesley. 40x50”. 2002

Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. — Yakobus 1:2-3

“Kamu hampir mati, bro.”

Kata-kata itu baru saja terucap sebelum kakak laki-laki saya terkulai lemas di kursi samping ranjang rumah sakit saya.

Saya telah dirawat selama berhari-hari setelah operasi yang relatif rutin berubah menjadi infeksi parah di seluruh tubuh pasca operasi. Kakak saya, seorang ahli bedah umum, bukanlah orang yang suka mengada-ada. Postur tubuhnya yang lelah sudah cukup menjadi bukti bahwa dia tidak melebih-lebihkan.

Kakak saya terus mempelajari catatan medis saya selama berhari-hari, melakukan tes demi tes dalam upaya penuh putus asa untuk mendiagnosis bakteri yang mencoba membunuh saya. Meskipun suasana hatinya sangat murung, dialah yang menyelamatkan hidup saya melalui operasi korektif terakhir. “Kau akan baik-baik saja, bro. Kau akan baik-baik saja.”

Malam itu, saat saya berbaring di ranjang rumah sakit, badai melanda kota. Suara hujan yang menenangkan membuat saya terbangun dari tempat tidur untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dan saya berjalan seperti orang tua ke kursi di samping jendela, mendengar tetesan air hujan yang jatuh dan kemudian mengalir dalam alur berkelok-kelok menuju tepi jendela. Sambil memejamkan mata, saya merenungkan misteri pencobaan saat sebuah ayat Alkitab bergema di kepala saya:

“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh, dan tidak kekurangan suatu apa pun” (Yak. 1:2-4).

Bagi saya, ayat ini sering kali terasa seperti sebuah pernyataan yang sadis untuk penderitaan. Sebagai seseorang yang telah menjalani sebagian besar hidupnya dengan tekad untuk lari dari ketidaknyamanan, maka gagasan untuk berbahagia dalam pergumulan adalah sebuah anatema. Bukankah menjadi orang beriman akan mendatangkan berkat? Bagaimana mungkin rasa sakit dan penderitaan akibat pencobaan bisa dianggap sebagai sukacita yang murni?

Pada tahun 1980-an, sebuah fasilitas penelitian bernama Biosphere 2 membangun sebuah ekosistem tertutup untuk menguji apa yang diperlukan untuk hidup di ruang angkasa. Segala sesuatunya diatur dan disediakan dengan cermat, dan pohon-pohon yang ditanam di dalamnya bermunculan dan tampak tumbuh subur. Kemudian pohon-pohon itu mulai berguguran.

Saya membayangkan para ahli botani pasti melihat dengan heran, karena mereka tidak menemukan bukti adanya penyakit, tungau, atau kumbang. Tidak ada apa pun yang menyebabkan pohon-pohon itu tumbang; kondisinya sempurna. Kemudian mereka menyadari apa yang hilang—sesuatu yang sangat sederhana, namun tidak ada dalam batasan struktur: angin.

Udaranya terlalu tenang, terlalu tenteram—suatu ketenangan yang menjamin pepohonan akan mati. Tekanan dan variasi angin alamiahlah yang menyebabkan pepohonan menguat dan akarnya tumbuh. Meskipun pohon-pohon di Biosfer 2 memiliki sinar matahari, tanah, dan air yang diperlukan, dengan tidak adanya perubahan angin, pohon-pohon tersebut tidak dapat membangun ketahanan, dan pada akhirnya tumbang karena beban pertumbuhannya sendiri.

Mungkinkah kesulitan-kesulitan kitalah, lebih dari kesenangan kita, yang membuat kita semakin dekat dengan Tuhan? Kesulitan-kesulitan itu mengingatkan kita akan keputusasaan kita dan menuntun kita kembali kepada satu-satunya sumber kehidupan yang berkelimpahan. Roma 5:3-5 meneguhkan kita:

“Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”

Saya menghabiskan sebagian besar malam di dekat jendela itu saat hujan terus turun. Dalam tidur yang kurang nyenyak seiring tubuh saya yang terus berpulih, saya merasakan damai sejahtera dari Tuhan bagaikan pelukan hangat, mengingatkan saya bahwa Dia selalu menyertai saya di setiap langkah perjalanan saya yang pernah hampir meninggal, membimbing tangan kakak saya saat dia menyelamatkan nyawa saya, memenuhi ruangan rumah sakit itu dengan Roh-Nya.

Saat kita menjalani masa Prapaskah yang penuh pergumulan, kita dapat mulai melihat pencobaan dan badai dengan cara yang baru. Meskipun kita mungkin masih sangat tidak menyukai penderitaan, kita dapat melihat tangan Tuhan saat angin pencobaan menerpa, dan kita dapat merasa terhibur dengan kenyataan bahwa akar kita tumbuh semakin dalam.

Renungkan



1. Sering kali sulit untuk melihat pencobaan dari sudut pandang yang positif saat kita mengalaminya. Saat Anda memikirkan kehidupan Anda, bagaimana pengalaman sulit telah mengubah Anda menjadi lebih baik? Apa yang Anda pelajari?

2. Di masa-masa tergelap Anda, apa yang Tuhan ajarkan kepada Anda tentang diri-Nya? Bagaimana Dia menghibur dan menolong Anda? Adakah orang dalam hidup Anda, baik itu teman atau keluarga, yang dapat Anda kuatkan hari ini dengan membagikan kisah Anda?

Robert L. Fuller adalah seorang penulis dan pembuat film yang tinggal di Waco, Texas bersama istri dan tiga orang anaknya yang masih remaja. Dia adalah penulis novel sains-fiksi kelas menengah yang akan segera terbit.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Kelemahlembutan Bukanlah Kelemahan

Bagi kita, kelemahlembutan tampak seperti sebuah kebodohan, tetapi ini merupakan salah satu kekuatan terbesar Yesus.

Christianity Today March 4, 2024
Vlad Tchompalov / Unsplash

Dari semua Ucapan Bahagia, menurut saya “berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” adalah ucapan yang paling disalahpahami, tidak dipercayai, dan diabaikan. Saya pikir alasannya adalah karena kita tidak memahami manfaat dari kelemahlembutan dan cenderung menganggap bahwa hal itu menunjukkan kelemahan.

Tentu saja, kelemahlembutan tidak sesuai dengan nilai-nilai dunia Yunani-Romawi pada abad pertama, di mana kerendahan hati pada umumnya tidak dipuji sebagai suatu kebajikan. Nietzsche, seorang pengagum berat bangsa Yunani, berpikir bahwa kelemahlembutan adalah jenis kebajikan palsu yang hanya akan dipuji oleh orang-orang lemah, karena ini adalah satu-satunya kebajikan yang dapat mereka lakukan. Karena yang lemah tidak bisa menang berdasarkan aturan standar, maka mereka mengubah aturan tersebut.

Saya rasa sebagian besar kita sangat menganut paham Nietzsche daripada yang kita akui. Setidaknya saya. Ketika saya mendengar kata lemah lembut, kata ini tampak terlalu hambar, terlalu akomodatif, terlalu tidak berdaya untuk menjadi suatu kebajikan.

Namun Kitab Suci memanggil kita untuk bersikap lemah lembut. Selain Ucapan Bahagia, Musa dijadikan teladan sebagai seorang yang paling lemah lembut di dunia (Bil. 12:3); Yesus juga meminta kita untuk belajar dari-Nya karena Dia lemah lembut dan rendah hati (Mat. 11:29); Paulus juga mendorong kita untuk mengenakan kelemahlembutan bagai pakaian (Kol. 3:12). Ini bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan oleh orang Kristen mana pun yang tertarik untuk mengikut Yesus.

Kalau begitu, apakah kelemahlembutan itu? Kelemahlembutan bukanlah kelemahan atau kurangnya keberanian. Yesus bukanlah Pribadi yang mudah menyerah—Ia membalikkan meja-meja di Bait Suci, hadir di kota-kota di mana Ia berhadapan dengan surat-surat perintah yang luar biasa, dan dengan dingin menatap para gubernur dan raja yang mengancam-Nya dengan kematian.

Menurut teolog abad pertengahan, Thomas Aquinas, kelemahlembutan adalah kelembutan hati yang menahan kita dari amarah atau dari mengekspresikan amarah kita dengan mudah. Reformator John Calvin menyebutnya sebagai “watak yang lemah lembut,” yang berarti Anda tidak mudah terprovokasi atau tersinggung. Kelemahlembutan adalah hati yang tidak memaksa atau berusaha membalas dendam atau menuntut imbalan sebisa mungkin dan “siap menanggung apa pun daripada melakukan tindakan serupa terhadap orang yang berbuat jahat.” Ini adalah kerendahan hati di hadapan Allah, yang dilakukan terhadap sesama kita.

Dalam hal ini, kelemahlembutan sejati menunjukkan kekuatan dan keberanian yang sulit dikerahkan oleh diri kita sendiri—hal ini tidak masuk akal secara duniawi. Jauh di lubuk hati kita, sebagian besar kita setuju dengan Omar Little, tokoh yang menonjol dalam film The Wire di HBO: “Permainannya ada di luar sana, dan itu entah bermain atau dipermainkan.” Kita hidup dalam kegelisahan, siap untuk menyerang balik, saling balas, demi mempertahankan hak-hak kita, berapa pun harganya. Ini adalah eksistensi yang mencemaskan, menjengkelkan, dan menyedihkan. Sebaliknya, berupaya keras untuk bersikap lemah lembut berarti rela kehilangan apa yang bisa Anda pertahankan—kedudukan, kekuasaan, nama baik, atau harta benda (“bumi”) yang menjadi bagian dari kehidupan kita. Kelemahlembutan bergantung pada kepuasan dan pengharapan yang mendalam kepada Tuhan.

Hanya jika kita puas dengan Tuhan saat ini, maka kita akan bersedia mengambil risiko kehilangan harta benda di masa sekarang. Dan hanya jika kita percaya bahwa Tuhan dapat bertindak adil di masa depan, maka kita akan mampu menantikan Dia dengan sabar di masa kini (Mzm. 37:7). Seperti yang dikatakan Agustinus, “Maka Anda akan benar-benar memiliki bumi, jika Anda bersekutu dengan Dia yang menjadikan langit dan bumi.” Kelemahlembutan adalah suatu kebajikan eskatologis.

Dan karena alasan itulah, maka kita perlu menghargai Ucapan Bahagia sebagaimana adanya: berkat-berkat supernatural yang diberikan kepada kita oleh Tuhan yang Maha Pemurah. Kelemahlembutan bukanlah sesuatu yang bisa kita capai dengan kekuatan duniawi kita sendiri. Ini adalah sesuatu yang hanya dapat diberikan oleh Yesus—melalui salib dan kebangkitan, karya-Nya yang pasti dalam kelemahlembutan yang menyelamatkan.

Dalam penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib, Yesus adalah Pribadi yang kuat yang, dengan mengerahkan kelemahlembutan-Nya yang heroik, bertahan di bawah serangan orang-orang yang congkak dan sombong serta menanggung dosa para pemfitnah dan penuduh agar dapat menaati Bapa-Nya. Dan justru dalam kelemahlembutan itulah Yesus meraih keselamatan kita.

Di sisi lain kematian-Nya, Ia telah menerima pusaka yang baik berupa kebangkitan. Kebangkitan ini merupakan pembuktian kebenaran-Nya terhadap segala kebohongan para musuh-Nya, dan juga buah sulung dari Ciptaan Baru yang dijanjikan (1Kor. 15:20). Oleh karena itu, semua orang yang memandang kepada-Nya dengan iman dan pengharapan akan mewarisi langit baru dan bumi baru dalam kebangkitan mereka sendiri.

Hanya ketika kita mengetahui kebenaran ini, maka kita dapat memperoleh kekuatan untuk berjalan dalam kelemahlembutan Yesus yang penuh kuasa.

Derek Rishmawy adalah kandidat doktor di Trinity Evangelical Divinity School.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Hidup di Masa Tanpa Jawaban

Belajar memiliki pengharapan yang tenteram di tengah kepedihan.

Christianity Today March 3, 2024
Evening Romance oleh Cherith Lundin. Lukisan cat minyak pada panel. 30x48”. 2010.

TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia. Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN. — Ratapan 3:25-26

Tahun ini, saya belajar memiliki pengharapan yang tenteram. Putri saya yang berusia delapan tahun menderita sindrom Down. Jalan hidupnya yang sudah berliku berubah menjadi tak terduga pada usia enam bulan, ketika badai kejang yang tiada henti mendatangkan malapetaka di otak dan tubuhnya. Kecacatan dan pelambatan yang dialaminya setelah kejang-kejang memengaruhi setiap aspek kehidupannya.

Seiring saya dan suami menelusuri diagnosisnya, perjalanan keluarga kami menjadi sebuah ziarah yang lambat tetapi pasti menuju hal yang tidak kami ketahui. Minggu demi minggu, saya dan suami duduk di matras terapi fisik bersama putri kami, berharap otot-ototnya terbangun dari tidurnya, berdoa agar listrik statis di otaknya mereda. Di tengah pergumulan putri kami, kami menerima banyak pertanyaan dari teman dan keluarga yang bermaksud baik, menanyakan kapan dia akan mengambil langkah pertama atau mengucapkan kata-kata pertamanya. Kami tidak punya jawaban.

Kemajuan berjalan sangat lambat, dan terkadang upaya kami terasa sia-sia. Selama pandemi, kami beralih ke sesi terapi virtual, dan terpaku pada layar komputer, yang merupakan penyambung nyawa bagi perkembangan putri kami. Ketika isolasi semakin ketat dan hati kami semakin berat karena ketidakpastian, saya mencapai titik di mana harapan tampak sama rapuhnya dengan tubuh putri saya, yang bisa memar dengan sentuhan sekecil apa pun. Suami saya bertahan ketika saya tidak bisa. Meskipun saya telah membanting laptop dengan keras dan menyadari bahwa dengungan harapan telah menghilang, suami saya tetap hadir untuk sesi terapi virtual tersebut. Dia memupuk secercah harapan bahkan ketika saya hampir menyerah pada keputusasaan.

Seiring berjalannya waktu dan dunia bangkit dari pandemi, kami melanjutkan perjalanan mingguan kami ke rumah sakit dan klinik, memarkir mobil minivan kami yang berantakan di tempat khusus penyandang cacat. Saat ini, putri kami sudah kelas dua SD, masih belum bisa berdiri sendiri, tetapi dengan bantuan uluran tangan atau alat bantu berjalan, kakinya mampu berpijak dengan kokoh. Dengan sedikit bantuan dan kepastian, ia melangkah maju, harapan terbentang seiring irama langkahnya.

Teman-teman, keluarga, dan bahkan kenalan sering memimpikan dia berjalan. Pertama kali saya mengalami mimpi ini, saya terbangun dengan perasaan bodoh karena membayangkan sesuatu yang sangat mustahil. Saya membungkus kembali harapan lembut itu dengan perisai pelindung diri yang berlapis-lapis. Namun, perisai yang telah lama saya genggam dengan hati-hati itu pun mulai runtuh baru-baru ini: Saya memegang tangan putri saya saat dia berdiri di hadapan saya, bergoyang mengikuti alunan musik pujian penyembahan. Saat kami bernyanyi, dia mendorong dirinya ke depan, penyangga kakinya dan sepatu kets merah muda miliknya menarik saya, menuju ke depan mimbar dengan kecepatan yang semakin meningkat. Saya menggendongnya ke dalam pelukan saya dan dapat melihat apa yang belum pernah saya lihat sebelumnya—kebenaran yang mendalam bahwa dia sedang berlari ke dalam pelukan penuh kasih dari Juru Selamat yang peduli.

Dia yang memahami kedalaman kemanusiaan kita—yang sangat mengenal tulang-tulang kita yang letih dan hati kita yang sakit—memanggil putri saya sebagai kesayangan-Nya, mengaguminya, dan, dengan cara yang misterius, juga menyayangi saya—si peragu, si sinis, si ibu yang sering kali hanya bisa membisikkan kata pengharapan.

Tuhan tidak mengabaikan keinginan yang kita simpan di sudut hati yang sunyi. Allah yang berbicara kepada Elia dalam keheningan dan badai, memegang harapan kita yang rapuh dan, seperti yang kita lihat dalam Ratapan 3, Ia menyebut kesabaran dan ketekunan kita sebagai hal yang baik.

Saya mungkin tidak tahu apakah putri saya akan berlari kencang di sisi surga ini, tetapi inilah yang saya tahu pasti: Tuhan adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya (ay. 25). Masa Prapaskah mengundang kita untuk merenungkan kerapuhan kita. Ingatlah bahwa penantian akan pengharapan adalah karunia yang berharga di masa perenungan ini, saat kita tinggal di dunia yang letih ini. Ketika yang bisa Anda lihat hanyalah doa yang belum terjawab, janganlah meremehkan petunjuk-petunjuk pengharapan saat Anda menanti.

Ketika Anda bertanya-tanya apakah jeritan minta tolong Anda yang paling lemah sekalipun akan sia-sia, ingatlah ini: “Adalah baik untuk berharap dengan tenang, dengan tenang berharap pertolongan dari TUHAN” (Rat. 3:25-26, MSG). Semoga hati kita dipenuhi dengan pengharapan yang tenteram sebagai sebuah karunia yang kudus. Kiranya gema samar dari pengharapan ini menopang kita saat kita melangkah dengan tertatih-tatih dan terhuyung-huyung bersama Tuhan ke dalam penantian, kegelapan dan ketidaktahuan.

Renungkan



1. Kapan Anda pernah merasakan secercah harapan dalam hidup Anda? Apa yang terjadi?
2. Bagaimana definisi Anda tentang pengharapan menjadi berubah ketika Anda tidak hanya mempertimbangkan keilahian, tetapi juga kemanusiaan Yesus?

Kayla Craig adalah seorang penulis dan pendiri Liturgies for Parents. Kayla tinggal di Iowa bersama suami dan empat anaknya.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

YWAM Berhimpun Setelah 11 Misionaris Tewas, 8 Orang Luka-luka dalam Kecelakaan Bus di Tanzania

Darlene Cunningham: “Kami belum pernah melihat tragedi sebesar ini sepanjang sejarah [kami]… kematian [para pemimpin] ini menciptakan kekosongan yang sangat besar bagi Youth With a Mission.”

Sebuah kecelakaan yang melibatkan empat kendaraan, terjadi di pinggiran kota Ngaramtoni, Arusha, Tanzania bagian utara, pada 24 Februari 2024.

Sebuah kecelakaan yang melibatkan empat kendaraan, terjadi di pinggiran kota Ngaramtoni, Arusha, Tanzania bagian utara, pada 24 Februari 2024.

Christianity Today March 2, 2024
Tangkapan layar video / Wasafi Media / YouTube / RNS

Beberapa hari setelah kecelakaan bus yang menewaskan 11 misionarisnya di Tanzania, para pemimpin Youth With a Mission (YWAM) merasa “sangat terpukul,” namun mereka tetap menggalang doa dan dukungan untuk membantu evakuasi medis, proses pemulangan, dan pengaturan pemakaman yang jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan ribu dolar.

Para misionaris Kristen, tujuh di antaranya berasal dari negara lain, termasuk satu orang dari Amerika Serikat, meninggal di daerah Ngaramtoni, dekat kota Arusha di bagian utara negara Afrika timur tersebut.

Pihak berwenang mengatakan sebuah truk konstruksi menabrak salah satu dari dua minibus yang membawa para misionaris. Para peserta kursus “Master Eksekutif dalam Kepemimpinan” baru saja kembali dari kunjungan lapangan di tanah Maasai ketika truk tersebut mengalami rem blong dan menabrak bus.

“Kami belum pernah melihat tragedi sebesar ini sepanjang sejarah YWAM dan kami semua sangat terpukul,” kata salah satu pendiri YWAM, Darlene Cunningham, dalam surat tertanggal 26 Februari. Ia menjelaskan:

Orang-orang yang ikut dalam program Master Eksekutif adalah para pemimpin utama YWAM di wilayah tersebut—beberapa di antaranya memimpin basis-basis YWAM yang berkembang pesat; sedangkan yang lainnya menjadi pemimpin di bidang pendidikan dan bidang-bidang lain; ada pula yang melayani di lokasi-lokasi dengan akses terbatas di mana tidak ada orang lain yang berani datang ke sana—dan kami menyaksikan tangan Tuhan bekerja dalam pelayanan-pelayanan mereka dengan cara yang menakjubkan. Para peserta yang tertarik mengikuti program Master Eksekutif adalah orang-orang yang sekaliber dengan para misionaris pionir YWAM yang berkomitmen seumur hidup. Jadi, kematian mereka menciptakan kekosongan besar di belahan dunia ini bagi YWAM sebagai sebuah gerakan misi.

Pada hari Rabu (28 Februari), para anggota YWAM di wilayah tersebut mengadakan doa dan upacara pemberangkatan jenazah rekan-rekan mereka yang telah tiada.

“Suasananya sangat menyedihkan,” kata Bernard Ojiwa, seorang pejabat YWAM di Tanzania, kepada Religion News Service melalui sambungan telepon dari Arusha. “Kami memulai perjalanan untuk memakamkan para anggota misionaris lokal.”

“Kami juga merencanakan bagaimana jenazah para anggota misionaris asing bisa dipulangkan. Untuk saat ini, jenazah-jenazah tersebut masih berada di kamar mayat,” imbuhnya.

Sumber kepolisian di Arusha menyebutkan bahwa ketujuh warga negara asing tersebut berasal dari Kenya, Togo, Madagaskar, Burkina Faso, Afrika Selatan, Nigeria, dan Amerika Serikat.

YWAM merahasiakan nama lengkap para misionarisnya yang wafat karena banyak dari mereka melayani di negara non-Kristen yang memiliki risiko keamanan. “Semua yang meninggal adalah para pemimpin proyek, pusat pelatihan, dan pelayanan,” tulis YWAM dalam sebuah pembaruan di situs webnya. “Ini merupakan suatu pukulan besar bagi misi kami, khususnya di benua Afrika, Timur Tengah, dan Eropa.”

Kecelakaan tersebut, yang seluruhnya melibatkan empat kendaraan bermotor, menewaskan 25 orang, 11 di antaranya anggota YWAM, dan melukai 21 orang, delapan orang di antaranya merupakan anggota kelompok misi. John Mukolwe, seorang warga Kenya dan pemimpin di kantor Arusha, termasuk di antara korban tewas.

“Mukolwe adalah teman saya selama lebih dari 30 tahun. Kematiannya membuat saya sangat sedih,” kata Karin Kea, administator basis YWAM di kawasan Sungai Athi di Kenya.

Abel Sibo, seorang anggota misi asal Burundi, memposting video di Facebook yang menunjukkan para misionaris YWAM menyanyikan pujian “Hari Ini Harinya Tuhan,” dan mengatakan bahwa kelompok tersebut sedang bernyanyi sebelum kecelakaan itu terjadi.

Menurut para pejabat YWAM, para anggota dari misi tersebut di seluruh dunia telah berangkat ke wilayah itu untuk memberikan dukungan moral, pastoral, dan konseling.

“Saudara-saudari kita di Tanzania menanggung begitu banyak beban saat ini,” tulis Cunningham dalam suratnya kepada keluarga besar YWAM. “Mereka yang selamat dari kecelakaan tersebut dan menjadi orang pertama yang berada di lokasi untuk memberikan bantuan, mereka menderita trauma yang sangat mendalam dan bertahan lama. Tugas-tugas praktis yang perlu dilakukan oleh para penyintas di basis pelayanan setelah tragedi seperti ini sangatlah besar, sementara itu mereka juga berusaha menjalani duka mereka sendiri.”

YWAM didirikan oleh Loren dan Darlene Cunningham pada tahun 1960 dengan penekanan pada pengiriman relawan muda dari berbagai denominasi untuk melayani misi penginjilan jangka pendek. Kelompok ini sekarang memiliki sekitar 2.000 kantor di seluruh dunia dan melibatkan para misionaris dari 200 negara.

YWAM memulai pelayanannya di Arusha pada tahun 2000 dan sejak itu telah mendirikan tiga kantor dengan staf penuh waktu di wilayah tersebut. Program pendidikan di kantor pusat ini antara lain meliputi kelas pelayanan pemuridan, menjahit, keterampilan komputer, dan bahasa Inggris.

“Pada hari-hari ini, air mata dicurahkan oleh individu, keluarga, dan anggota YWAM di seluruh dunia. Saya pribadi terguncang oleh beratnya berita ini, karena saya mengenal dan mengasihi banyak dari orang-orang ini secara pribadi,” tulis Cunningham. Dia menganjurkan penggunaan tiga ayat Alkitab:

  • Berpeganglah pada fakta bahwa, apa pun yang terjadi, kita tahu bahwa Tuhan itu adil dan baik dalam segala jalan-Nya (Mzm. 145:17).
  • Ingatkan diri Anda akan Ayub 42:2. Ayub telah kehilangan segalanya dan responsnya kepada Tuhan adalah Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang dapat gagal. Mari kita berpegang pada Firman itu!
  • Ingatkan diri Anda pada Yesaya 41:10: Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau; janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.

Presiden Tanzania, Samia Suluhu Hassan, menyampaikan pesan belasungkawa dan mendesak peningkatan pemeriksaan kendaraan serta penegakan hukum lalu lintas untuk mencegah korban jiwa lebih lanjut.

“Kecelakaan ini merenggut nyawa orang-orang yang kita cintai, para tenaga kerja nasional dan anggota keluarga. Saya terus mengimbau semua orang untuk mematuhi peraturan lalu lintas dalam menggunakan kendaraan,” tulis Suluhu di X (sebelumnya Twitter). “Saya turut berbelasungkawa kepada keluarga dan rekan-rekan yang kehilangan orang yang mereka cintai. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengistirahatkan mereka dalam damai! Amin!”

“Saya membayangkan Loren berada di gerbang surga untuk menyapa dan menyambut kesebelas anggota YWAM yang terkasih ini!” tulis Darlene Cunnigham. “Hati kami bersukacita mengetahui bahwa mereka bersukacita bersama Yesus, sementara pada saat yang sama, kami meratap karena kehilangan kehadiran mereka di antara kami.”

Pelaporan tambahan oleh staf CT.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube