Ditemui di Taman Makam

Yesus tetap bersama kita dalam kehilangan kita, baik selama Paskah maupun setelahnya.

Christianity Today March 31, 2024
Double Take oleh Cherith Lundin. Lukisan cat minyak pada panel. Masing-masing 24x26”. 2017

Sesudah berkata demikian ia menoleh ke belakang dan melihat Yesus berdiri di situ, tetapi ia tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus. Kata Yesus kepadanya: “Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah yang engkau cari?” — Yohanes 20:14-15

Ini adalah ketegangan abadi, sebuah pertanyaan klasik yang selalu ada pada orang Kristen: Bagaimana kita berpegang pada sukacita meski dunia ini dipenuhi dengan dukacita? Sebagai orang percaya, kita menggantungkan pengharapan kita pada kemenangan Kristus atas maut. Kita bersukacita atas keselamatan kita—anugerah kehidupan kekal—namun kesedihan menjadi semakin liar dan merajalela dalam kehidupan ini.

Saya bangun setiap pagi dengan rahmat yang baru, hanya untuk menghadapi luka yang lama. Saya bisa membacakan kepada Anda litani kehilangan saya, tetapi saya tahu Anda juga pernah mengalami kehilangan: Anak perempuan yang terasing. Pernikahan yang membutuhkan perbaikan. Diagnosis yang baru. Orang tercinta pergi terlalu cepat. Rumah yang terbakar. Hewan peliharaan yang meninggal. Kekasih yang berkhianat. Sekelompok orang yang merugikan Anda.

Ketika Yesus yang telah bangkit menampakkan diri di taman makam, yang masih belum dapat dikenali oleh Maria, Dia bertanya kepadanya, “Perempuan, mengapa engkau menangis?” (Yoh. 20:15). Kristus, bahkan pada saat kemenangan-Nya, memberi ruang bagi dukacita Maria. Dengan demikian, bukankah Kebangkitan mengingatkan kita pada Inkarnasi? Misteri yang tak terselami bahwa Kristus telah datang sebagai seorang bayi, meninggalkan segala kuasa demi pendamaian, ya, tetapi juga demi Ia bisa dekat dengan kita.

Yesus, dengan sebuah pertanyaan yang sederhana, memberi ruang bagi kesedihan Maria. Di taman makam—tempat yang penuh tanaman hijau dan kuburan, tempat mukjizat dan perkabungan—Kristus menunjukkan momen penuh kasih kepada Maria. Hal ini menunjukkan bahwa kita dipilih untuk mengenal dan dikenal oleh-Nya. Kita bukan sekadar umat yang harus diselamatkan; kita adalah umat, ya, yang diselamatkan dan diutus (Mrk. 3:13-14), tetapi juga diundang hanya untuk bersama dengan-Nya.

Pada hari Minggu Paskah, saya teringat akan hal pertama yang Yesus lakukan setelah kebangkitan-Nya. Meski Sang Manusia-Allah itu baru saja dibangkitkan, Ia tetap membungkuk dan rendah hati. Begitulah Yesus selalu bersikap. Dialah Firman yang menjadi manusia, mengambil rupa manusia untuk tinggal dan makan bersama, menderita dan merayakan bersama kita. Dialah Tuhan kita yang telah bangkit, yang memberi telinga-Nya untuk mendengarkan Maria, sudi berlama-lama di saat-saat pertama pertemuan mereka di taman makam itu. Dialah Tuhan, yang berdiri di samping manusia di taman sejak permulaan zaman.

Inilah sukacita Maria saat Ia menyebut namanya, dan dia akhirnya mengenali dan berjumpa kembali dengan _Rabuni-_nya (Yoh. 20:16). Inilah sukacita kita juga. Yesus yang bangkit membawa keselamatan, dan Ia membawa diri-Nya sendiri. Kemenangan-Nya akan membawa kita dari kubur menuju kemuliaan, dan Ia telah datang untuk bersama kita sekarang, di taman makam kehidupan di bumi ini. Ia menjumpai kita, bahkan ketika kehilangan menjerat semua yang kita cintai dan hidupi, baik selama masa Paskah dan untuk selamanya. Haleluya.

Renungkan



1. Pada masa Paskah ini, bagaimana Anda berpegang pada sukacita meski dunia ini dipenuhi dengan dukacita?

2. Apa yang akan Anda katakan jika Yesus bertanya kepadamu, “Mengapa engkau menangis?”

Rachel Marie Kang adalah pendiri The Fallow House dan penulis dua buku.

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kemuliaan Salib

Kuasa Tuhan menjadi sempurna dalam kelemahan.

Christianity Today March 30, 2024
Trevillion Images

Pertama kali putri saya membuka matanya adalah saat berada di dalam ambulans yang sedang melaju melewati pusat kota Chicago. Saat saya memeluknya erat-erat, mata birunya menatap langsung ke mata saya, dan saya tahu dia akan baik-baik saja. Kami sudah memiliki ikatan yang khusus karena saya baru saja mengiring kelahirannya di kursi depan Honda Civic kami. Itu adalah salah satu momen paling mulia dalam hidup saya.

Meski demikian, penderitaan yang dipersonifikasikan—yaitu, istri saya—terbaring di samping kami di atas tandu. Dia mewujudnyatakan penderitaan yang melaluinya kemuliaan itu datang. Saya telah menyaksikan secara langsung kemuliaan melalui penderitaan. Setiap kali saya mengingat momen tersebut, saya menyadari bahwa kemuliaan melalui penderitaan tidak hanya terjadi pada kelahiran putri saya. Menurut Injil, ini adalah kisah tentang dunia.

Penderitaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat dicegah. Dikelilingi oleh kanker, penyakit mental, ketidaksuburan, depresi, kehilangan, dan akhirnya kematian, kita bertanya bagaimana kemuliaan Tuhan dapat bersinar melalui keadaan-keadaan yang tragis seperti ini. Bagi sebagian besar kita, kemuliaan dan penderitaan tampaknya tidak sejalan, sama seperti sesuatu yang tidak bisa secara bersamaan menjadi panas dan dingin, basah dan kering. Namun perjalanan Kristus dari tempat buaian hingga ke liang lahat menyingkapkan suatu pola yang terjalin di dalam seluruh bagian Alkitab. Bagi Kristus, umat Kristen, dan seluruh ciptaan, jalan kemuliaan adalah jalan Salib.

Kisah Kemuliaan

Ketika kita melihat Kitab Suci, kita mungkin menyimpulkan bahwa penderitaan dan kemuliaan merupakan sebuah gerakan dua langkah: Kemuliaan datang setelah penderitaan. Tentu saja dalam banyak hal, Alkitab menampilkan penderitaan dan kemuliaan sebagai perkembangan yang linier (Kis. 2:33–36; Flp. 2:6–9; 1Ptr. 1:10–11; Ibr. 2:9–10). Namun Alkitab juga mengungkapkan hubungan yang lebih organik dan tumpang tindih di antara keduanya: kemuliaan melalui penderitaan (Yoh. 12:23–33; Why. 5:5–6).

Kita melihat tema ini sejak awal, di Taman Eden. Tuhan menciptakan manusia untuk memenuhi dan menaklukkan bumi bagi kemuliaan-Nya. Akan tetapi banyak hal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adam dan Hawa menolak Tuhan sebagai Raja dan menundukkan diri mereka sendiri, serta dunia, kepada dosa dan maut. Namun, Allah tidak membatalkan rencana-Nya untuk mendirikan kerajaan-Nya di bumi, meski kehadiran dosa mengharuskan adanya jalan yang baru. Kejadian 3:15 memberikan kuncinya: Sementara ular itu akan diremukkan oleh keturunan sang perempuan—di mana “keturunan” itu adalah Yesus—dalam proses tersebut, keturunan perempuan itu akan diremukkan. Janji kemenangan mencakup harga penderitaan. Dari sini, sebuah pola muncul: Kemenangan datang melalui penderitaan, peninggian melalui kehinaan, dan, pada akhirnya, kerajaan melalui Salib.

Sepanjang Perjanjian Lama, Allah menggenapi tujuan-Nya yang berdaulat itu melalui orang-orang yang lemah dan keadaan yang rusak. Ia membangun sebuah bangsa dari pasangan lansia yang tidak subur (Abraham dan Sarah), menamai bangsa tersebut dengan nama seorang penipu yang licik (Yakub), dan mengembangkan bangsa itu melalui seorang budak yang ditelantarkan oleh saudara-saudaranya (Yusuf). Tuhan memakai Daud yang kecil sebagai sarana kerendahan hati, bahkan dipandang bodoh, untuk mengalahkan seorang raksasa, dan kemudian menjadikan Daud sebagai raja yang pemerintahannya ditandai dengan kesulitan dan penderitaan. Dan Yesaya 52 dan 53 mengisahkan tentang seorang hamba penebus yang berkorban, yang dibingkai dengan kemuliaan dan keagungan.

Semua ini menunjuk pada Yesus, yang datang untuk menegakkan kerajaan Allah yang mulia melalui penderitaan, pengorbanan, dan pelayanan. Menjelang kematian-Nya, Yesus berkata, “Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh. 12:32). Pada awalnya, tampaknya Yesus sedang berbicara tentang kedatangan-Nya masuk ke surga. Namun ayat berikut menjelaskan bahwa Yesus mengacu pada penyaliban-Nya: “Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati.” Injil Yohanes membangun pemahaman bahwa saat klimaks ketika Yesus “diangkat” di kayu salib itu adalah saat Ia dinobatkan dalam kemuliaan (Yoh. 12:23–32; 3:14; 8:28). Salib menjadi takhta, tempat di mana Kristus memerintah dunia.

Salib juga menjadi titik tumpu di mana logika dunia dijungkirbalikkan. Rasa malu diubah menjadi kemuliaan, kebodohan menjadi hikmat, dan penghinaan menjadi peninggian. Kemuliaan Salib bersinar di seluruh bagian Perjanjian Baru. Paulus berkata, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor. 1:18). Dan menurut kitab Ibrani, Allah memulihkan rancangan awal ciptaan-Nya melalui kematian Putra-Nya, yang “oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat” (2:9). Dari tumit yang diremukkan di Kejadian 3:15 hingga Anak Domba yang berkuasa di Wahyu 22, Alkitab menceritakan kisah Mesias yang disalib dan dimuliakan melalui penderitaan.

Arti Kemuliaan

Ketika kita memandang Yesus, kita melihat bahwa Allah telah melakukan tindakan keselamatan yang paling dahsyat. Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya melalui cara yang paling rendah hati, yaitu salib. Namun tersisa sebuah pertanyaan: Apakah kemuliaan itu? Dan bagaimana mungkin kemuliaan itu dapat muncul dari kematian yang begitu mengerikan dan memalukan?

Menurut J.I. Packer, kemuliaan adalah “keunggulan dan kepujian yang nyata dalam tampilan.” IPhone yang asli, misalnya, sangat mengesankan dalam disainnya meski sebelum ada orang yang melihatnya. Namun ketika Steve Jobs memperkenalkannya kepada dunia, itu adalah momen kemuliaan. Demikian pula kemuliaan Tuhan adalah ketika Allah menyatakan diri kepada publik dengan keindahan-Nya yang tak terbatas. Seperti yang diajarkan oleh Jonathan Edwards, kemuliaan bukan hanya salah satu atribut atau karakteristik Allah (beserta kekudusan, kasih, kuasa, dan sebagainya). Sebaliknya, kemuliaan adalah “gabungan yang mengagumkan dari berbagai macam keunggulan”. Kemuliaan adalah etalase karakter Allah yang mempesona, mencengangkan, dan menakjubkan bagi dunia yang telah digelapkan oleh dosa. Kemuliaan adalah pancaran cahaya yang memukau, yang dihasilkan oleh kekudusan, kasih, belas kasihan, keadilan, hikmat, dan kuasa-Nya—yang semuanya menyatu dengan cara yang paling tepat di dalam kematian Kristus.

Pada Salib, kita melihat keadilan Allah melalui penghakiman atas dosa, kasih Allah melalui pengampunan bagi orang-orang yang berdosa, kuasa Allah melalui kemenangan-Nya atas Iblis, dan hikmat Allah dalam menegakkan kekudusan-Nya namun membuka jalan bagi orang-orang berdosa. Kematian Kristus adalah yang paling utama, “Demikianlah firman Tuhan.” Hal ini mengungkapkan keharmonisan yang agung dari karakter Allah yang multifaset. Salib adalah persimpangan dari segala sesuatu yang kita ketahui tentang Allah.

Mengatakan bahwa kemuliaan Allah bersinar melalui Salib berarti membuat suatu pernyataan Tritunggal yang mendalam. Injil Yohanes memperjelas bahwa Anak mempermuliakan Bapa (17:1, 4), Bapa memuliakan Anak (8:54), dan bahwa pertukaran kemuliaan Tritunggal yang penuh kasih ini telah terjadi selama-lamanya (17:5, 24) . Namun, yang menakjubkan, Salib adalah tempat di mana pertukaran kemuliaan Tritunggal ini ditampilkan sepenuhnya. Kemuliaan yang dinyatakan melalui kasih yang memberi diri di Salib merupakan sebuah jendela menuju kehidupan kekal dari Allah Tritunggal. Melalui Salib kita melihat hikmat Bapa, kasih karunia Putra, dan kuasa Roh Kudus—yang keselarasannya menghasilkan pancaran kemuliaan kasih Allah yang memberi diri.

Jadi, apakah Salib untuk kemuliaan Tuhan atau untuk keselamatan kita? Ya! Tidak ada persaingan antara kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita. Seperti yang dikatakan oleh John Piper, “Tuhan paling dimuliakan di dalam kita ketika kita paling puas di dalam Dia.” Kitab Suci berulang kali menyatakan bahwa kemuliaan Allah merupakan kabar baik bagi dunia yang digelapkan oleh dosa (2Kor. 4:4). Sama seperti pancaran sinar matahari yang menghasilkan kehidupan dan pertumbuhan di seluruh bumi, demikian pula pancaran kemuliaan Allah adalah sumber keselamatan dan sarana pertumbuhan kita.

Bagian Kita di dalam Kisah Ini

Banyak dari kita yang secara naluriah merasa bahwa jika kita setia kepada Yesus, maka kehidupan kita akan berjalan baik. Kita akan memperoleh kenyamanan, kesuksesan, dan bahkan mungkin kekayaan. Namun itulah logika dari impian Amerika, bukan Injil. Dietrich Bonhoeffer berkata, “Seorang Raja yang mati di Salib pastilah Raja dari kerajaan yang agak aneh.” Sungguh kerajaan yang aneh memang. Dan sang Raja yang dimuliakan di atas Salib memajukan kerajaan-Nya dengan memanggil para pengikut-Nya untuk memikul salib mereka sendiri.

Para pengikut Yesus pasti akan mendapatkan kemuliaan. Namun apa yang benar bagi Kristus juga berlaku bagi mereka yang berada “di dalam Kristus”: Kemuliaan datang melalui penderitaan. Paulus berkata bahwa, sebagai ahli waris bersama Kristus, “kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dimuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm. 8:17).

Dunia kita beroperasi berdasarkan logika bahwa kelemahan dan kekuatan adalah hal yang berlawanan. Namun Salib membalikkan konsep ini. Kristus berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9). Bukan berarti kuasa Allah menjadi sempurna terlepas dari kelemahan kita atau setelah kita menderita. Tidak, kuasa-Nya menjadi sempurna dalam kelemahan kita.

Tuhan tentu saja dapat dan memang menunjukkan kuasa-Nya melalui penyembuhan dan campur tangan-Nya. Namun justru melalui kelemahanlah kita belajar berpegang teguh pada kekuatan Tuhan. Dan “kelemahan” yang dibicarakan Paulus tidak mengacu pada keberdosaan, melainkan pada kesulitan hidup sehari-hari. Dalam masa transisi yang sulit, Tuhan adalah yang tetap bagi kita. Di tengah kerapuhan usia tua, Tuhan adalah kekuatan kita. Dalam kegelapan depresi, Tuhan adalah pengharapan kita. Tuhan tidak menunggu kita di sisi lain dari penderitaan; Ia menjumpai kita di dalam penderitaan kita.

Hal ini bukan berarti membuat penderitaan menjadi mudah, melainkan membuatnya menjadi bermakna. Tuhan menyertai kita di dalam penderitaan kita, Dia mengubah kita melalui penderitaan kita, dan suatu hari nanti Dia akan mengakhiri penderitaan kita. Itulah sebabnya Paulus berkata, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam [Dia] yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil. 4:13). Dia tidak mengatakan ini dari ruang olahraga atau di lapangan basket. Dia mengatakannya dari penjara. Seorang binaragawan mungkin mampu mengangkat sebuah mobil, tetapi orang yang kuat di dalam Kristus bahkan lebih kuat lagi, karena ia dapat bersukacita di dalam penderitaan. Mengapa? Sebab kelemahan kita adalah etalase bagi kemuliaan kekuatan Tuhan.

Ciptaan Baru yang Mulia

Namun bukan hanya itu saja. Bahkan ciptaan pun akan mengalami kemuliaan. Alkitab menyatakan bahwa bumi akan dipenuhi dengan pengetahuan tentang kemuliaan Allah (Hab. 2:14), dan bumi akan memancarkan kemuliaan dengan sendirinya. Akan tetapi, seperti halnya bagi Kristus dan orang-orang Kristen, demikian pula halnya dengan ciptaan: Kemuliaan datang melalui penderitaan.

Menurut Roma 8, dunia kita ditetapkan untuk beroleh kemuliaan, tetapi saat ini dunia berada dalam keadaan yang rusak, merana, dan merintih menantikan pembaruan. Namun Paulus memberikan visi tentang pembaruan kosmik: “makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (8:21).

Banyak orang Kristen telah keliru menempatkan pembaruan kosmik dan keselamatan pribadi sebagai sesuatu yang bertentangan. Sebagian orang percaya bahwa Injil hanyalah berkaitan dengan keselamatan individu, bukan dengan isu-isu seperti kepedulian terhadap ciptaan dan keadilan sosial. Sebagian yang lain berpendapat bahwa inti dari Injil adalah isu-isu seperti kepedulian terhadap orang miskin, perdamaian dunia, dan pembaruan bumi. Akan tetapi Paulus menunjukkan bahwa pembaruan kosmik dan pembaruan pribadi tidak dapat dipisahkan. Ciptaan merindukan “kemerdekaan kemuliaan” yang sudah dimiliki orang Kristen di dalam Kristus. Keselamatan dari Tuhan ditujukan kepada gereja dan kosmos, tetapi dalam tatanan yang benar. Gereja adalah fokus dari keselamatan dan kosmos adalah ruang lingkup dari keselamatan.

Teolog Robert Letham menjelaskan bahwa “gereja harus menjadi ujung tombak dari kosmos yang direnovasi dan dipulihkan.” Ini berarti bahwa pembaruan segala sesuatu terjadi karena adanya rekonsiliasi terhadap orang-orang berdosa. Pembaruan ciptaan telah dimulai dalam kebangkitan tubuh Yesus, terus berlanjut melalui pembaruan rohani umat Allah, dan akan disempurnakan melalui pemulihan bumi secara jasmani.

Semua ini dimungkinkan karena kemuliaan dari penyaliban Kristus. Keagungan dan kelemah-lembutan, kedaulatan dan kehambaan, penghinaan dan peninggian—itulah paradoks dari Mesias yang disalibkan. Hidup kita dipenuhi dengan penderitaan dan kesenangan, kemuliaan dan kehinaan, impian dan keputusasaan. Itulah ketegangan dunia yang dirusak oleh dosa namun ditopang oleh kasih karunia. Satu-satunya harapan bagi dunia kita adalah Kristus, yang telah menanggung beban dosa dan maut namun mengalahkan semuanya demi kita. Oleh karena Dia mengalami kemuliaan dalam penderitaan dan dimuliakan melalui kehinaan, maka kita pun bisa.

Putri saya—yang “lahir dan dibesarkan di jalanan Chicago”—baru berusia 2 tahun. Nama tengahnya adalah Hope (Harapan), yang kami pilih untuk mengingatkan bahwa harapan kami hanya kepada Tuhan. Kita dapat merasa terhibur karena Tuhan telah masuk ke dalam penderitaan kita, dapat merengkuh kuasa-Nya di tengah penderitaan kita, dan berpegang teguh pada-Nya dengan pengharapan bahwa suatu hari nanti Dia akan mengakhiri penderitaan kita. Kita sedang ditransformasikan dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat kemuliaan lainnya—melalui Salib.

Jeremy Treat (Ph.D., Wheaton College) adalah seorang pendeta di Reality LA di Hollywood, dan seorang profesor di Biola University di La Mirada, California. Dia adalah penulis buku, The Crucified King: Kingdom and Atonement in Biblical and Systematic Theology (Zondervan).

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bunga-bunga Layu di Taman Harapan

Paskah mengingatkan kita bahwa Tuhan mentransformasi kegagalan manusia.

Christianity Today March 30, 2024
Juj Winn / Getty

Saya pernah membaca suatu kumpulan khotbah dari seorang pendeta yang baru saja kembali dari kunjungan ke Tanah Perjanjian (Israel) dan ia mendapat visi yang luar biasa: Dia akan mendirikan sebuah taman, tempat berdoa, sebuah kapel di kota asalnya di Covington, Kentucky. Taman ini akan membawa Tanah Perjanjian kepada orang-orang yang tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk melihatnya.

Dia kemudian membeli sebidang tanah dan mengumpulkan sumbangan. Berbagai bunga dan pohon dari 24 negara dikumpulkan dan ditanam. Toko tukang kayu yang ada di sana pun berisi peralatan dari Nazaret. Sebuah replika kubur yang terbuka pun menambah semarak dari Paskah. Berdiri pula sebuah patung Yesus yang sangat besar, yang dapat terlihat bermil-mil jauhnya, menghadap ke seluruh proyek itu. Pada tahun 1959, setelah 21 tahun pengerjaan, pendeta tersebut pun akhirnya membuka taman impiannya yang indah itu untuk masyarakat umum. Dia menyebutnya “Taman Harapan.”

Namun, tidak lama kemudian, Taman Harapan menjadi sumber kekecewaan. Tanaman dan pepohonan tropis, yang tidak dapat beradaptasi dengan iklim yang baru itu, mulai mati. Namun yang terburuk dari semuanya, karena taman tersebut tidak berhasil menarik jumlah pengunjung seperti yang diharapkan, maka taman itu pun mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya bangkrut. Tak lama kemudian, Taman Harapan berubah menjadi sebuah visi yang membawa tragedi. Rumput liar tumbuh di mana-mana. Kapelnya digembok. Dan patung Yesus pun menjadi rusak.

Taman Harapan yang gagal merupakan simbol yang tepat bagi generasi kita. Pada tahun 1960-an, masyarakat di negeri kami dipenuhi dengan optimisme. Kami diberitahu bahwa prospek masa depannya bagus. Tidak ada masalah yang terlalu besar yang tidak dapat diselesaikan jika diberi cukup waktu dan uang. Ekspansionisme pada masa Eisenhower memberi jalan bagi masa pemerintahan “Camelot” yang singkat dan cemerlang dari John F. Kennedy. Setelah tragedi Dallas, pemimpin baru kami, Lyndon Johnson, menghidupkan kembali harapan tersebut, meyakinkan kami bahwa Great Society (Masyarakat Hebat) akan segera diresmikan di Amerika Serikat.

Akan tetapi semua itu telah berubah. Optimisme tidak lagi menjadi kata kunci pada saat ini. Masalah-masalah kita sudah di luar kendali, dan dunia seakan berputar lepas kontrol. Teknologi yang menjanjikan utopia bagi kita ternyata merupakan berkah yang campur aduk. Kemajuan yang sama yang telah menempatkan mobil baru di setiap jalan masuk dan VCR di setiap ruang keluarga, juga telah membawa kami pada mimpi buruk akan kemungkinan terjadinya bencana ekologis. Chernobyl, pembangkit listrik tenaga nuklir di Pulau Three Mile, hutan hujan yang hancur di Brasil, dan lapisan ozon yang menipis, mengingatkan kita bahwa optimisme kita yang naif harus dibayar mahal.

Oleh karena semakin meluasnya perasaan akan tragedi yang membayangi, maka ciri khas zaman kita ditandai dengan pesimisme. Dalam Herzog, Saul Bellow mengatakan seperti ini:

Apa filosofi generasi ini? Bukan “Tuhan yang Mati.” Masa itu sudah lama berlalu. Mungkin harusnya dinyatakan, “Kematian adalah Tuhan.” Generasi ini berpikir—dan ini adalah pemikirannya tentang pemikiran—bahwa tidak ada yang setia, rentan, dan rapuh yang dapat bertahan lama atau memiliki kekuatan yang sejati. Kematian menantikan hal-hal ini seperti lantai semen menunggu kejatuhan bola lampu.

Kematian Harapan

Situasi kita tidaklah unik. Situasi kita mirip dengan pengalaman dunia sekitar dua ribu tahun yang lalu. Seperti dunia kita, dunia saat itu diselimuti kegelapan pekat. Agama-agama tradisional menjadi tidak relevan dan tidak efektif, dan akibatnya, menjadi sekarat. Pertempuran militer yang berulang-ulang memupuskan harapan akan perdamaian. Segmen masyarakat yang luas mengerang di bawah pemerintahan yang kejam, jahat, dan tidak setara. Ada lebih banyak budak di Kekaisaran Romawi daripada warga negaranya. Perempuan diperlakukan tidak lebih dari sekadar harta benda. Nyawa begitu murah sehingga bisa dilempar ke singa atau pertarungan gladiator tanpa mengedipkan mata.

Namun, di tengah kegelapan itu, muncullah sebuah janji pengharapan di lereng bukit Galilea: seorang Nabi yang dielu-elukan sebagai tanda harinya terang. Ia memproklamirkan sebuah pesan yang menggugah tentang kasih dan tentang Allah yang adalah kasih. Pelayanan-Nya disertai dengan berbagai tanda dan mukjizat, yang menurut sang Nabi itu terjadi oleh kuasa Allah.

Pelayanan Nabi dari Nazaret ini menimbulkan pengharapan yang besar. Dalam benak banyak orang, Ia datang untuk memenuhi kerinduan keturunan demi keturunan akan seorang penyelamat bagi Israel, bahkan mungkin bagi seluruh dunia.

Simeon menyambut bayi Yesus di Bait Allah dengan doa yang penuh pengharapan: “Sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Luk. 2:30–32).

Pelayanan Yesus dari Nazaret menanamkan pengharapan di hati banyak orang. Kehadiran-Nya melahirkan optimisme, karena di dalam diri-Nya tampak bahwa Tuhan bertindak melawan kejahatan. Mungkin masa depan tidak lagi suram, melainkan dapat disambut dengan baik.

Namun optimisme yang diperbarui dan harapan itu, sekali lagi pupus. Pada suatu Jumat pagi yang suram, musuh-musuh Yesus memenjarakan-Nya, dan setelah diadili penuh hinaan, para tentara memakukan sang Nabi di kayu salib. Sekali lagi, kebencian dan kejahatan sepertinya menang.

Penyaliban Yesus menimbulkan kekalahan psikologis di hati para pengikut-Nya. Dua orang murid mengungkapkan perasaan mereka: “Kami sebelumnya berharap bahwa Dialah yang akan menebus Israel.” Dipenuhi dengan kecemasan dan kekecewaan, para murid pun pergi bersembunyi.

Kekalahan dan pesimisme mereka dilambangkan dengan adanya kuburan di luar kota Yerusalem, tempat pemakaman pemimpin mereka yang terbunuh. Bagi mereka, sebidang tanah yang dirancang sebagai taman indah untuk mengenang orang yang wafat, telah berubah menjadi padang belantara keputusasaan. Dan jika kematian pemimpin mereka tidak cukup membawa kesedihan, pada hari Minggu pagi para wanita membawa kabar bahwa jenazah Tuhan mereka telah dicuri. Mereka bukan hanya menyangkal kehidupan dari Orang ini, melainkan bahkan dalam kematian-Nya pun mereka tidak memiliki tempat khusus untuk mengabadikan kenangan akan Dia. Didorong oleh rasa cemas, Petrus dan Yohanes mengesampingkan rasa takut mereka terhadap para prajurit, keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bergegas menuju ke kubur untuk melihat sendiri. Mungkinkah ada orang yang benar-benar telah melakukan hal ini?

Namun kemudian bagi Yohanes, dan juga bagi yang lainnya, belantara keputusasaan mereka berubah menjadi taman pengharapan—yaitu harapan di tingkat yang lebih tinggi. Allah di dalam Yesus tidak hanya bertindak melawan kekuatan-kekuatan jahat, melainkan juga melawan maut itu sendiri. Keyakinan ini mengobarkan harapan baru di dalam diri para murid, yang dihasilkan oleh realitas yang menakjubkan dari kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.

Perhatikan bahwa transformasi para murid tidak terjadi karena dunia mereka telah berubah. Situasi yang mereka hadapi pada hari Minggu tidak berbeda dengan kenyataan suram yang terjadi pada hari Jumat. Roma masih menduduki Palestina. Para penguasa Yahudi masih bersikeras menentang pesan Yesus. Kejahatan pun masih merajalela.

Perubahan radikal dari keputusasaan menjadi pengharapan itu terjadi karena adanya penambahan perspektif baru dalam menghadapi realitas lahiriah yang menimbulkan pesimisme yang melanda dunia abad pertama. Maut telah ditaklukkan oleh Yesus, dan karena itu setiap musuh pada prinsipnya telah dikalahkan oleh Tuhan yang bangkit. Oleh karena dimensi yang baru ini, ketakutan dan kesuraman para murid diubah menjadi keberanian dan sukacita. Dikuatkan oleh kenyataan ini, para lelaki dan perempuan ini pun keluar dari situasi tersebut dan menjungkirbalikkan dunia mereka beserta permasalahannya.

Sebuah Perspektif Baru

Kubur Yesus masih kosong. Sebab itu, hasil yang sama tetap mungkin terjadi bagi kita: Pengharapan di tingkat yang tertinggi. Alasannya karena keputusan terakhir tetap berada di tangan Yesus, dan bukan di tangan para musuh-Nya, bahkan bukan pula di tangan para musuh-Nya di akhir abad ke-20 sekalipun. Allah sungguh telah berkarya di dalam Yesus dan akan berkarya lagi demi keselamatan dunia. Oleh karena pengharapan ini, sebuah perubahan dapat terjadi di dalam hati setiap orang yang hidup. Ketakutan dan keputusasaan dapat memberi jalan pada keberanian dan sukacita yang mengubahkan dunia.

Meski demikian, transformasi dari keputusasaan menjadi pengharapan tidak terjadi karena pandangan kita terhadap kubur kosong secara otomatis mengubah situasi eksternal kita. Sebaliknya, masalah-masalah buruk yang kita hadapi masih tetap ada. Akan tetapi, harapan menjadi mungkin karena Tuhan memberi kita sebuah perspektif yang baru dalam situasi yang menakutkan ini. Yesus telah menaklukkan maut dan kejahatan. Oleh karena itu, setiap musuh pada prinsipnya juga telah dikalahkan bagi kita.

Kubur yang kosong mengubah pesimisme dan keputusasaan kita menjadi optimisme dan pengharapan. Kita berharap penuh akan nasib kita masing-masing, karena Roh Kudus yang sama yang telah meregenerasi roh kita suatu hari nanti akan mengubah tubuh kita, menjadikan kita serupa dengan gambaran Kristus yang telah bangkit. Kita juga menaruh harapan penuh pada gereja, karena Tuhan yang telah bangkit menjanjikan kemenangan kepada umat-Nya dalam menyelesaikan mandat untuk menginjili dan melayani dunia: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Kita juga berharap penuh untuk sejarah itu sendiri. Mungkin dunia tampaknya telah lepas kendali, tetapi Yesus yang bangkit tetaplah Tuhan. Masa depan mungkin tampak suram, dan kita mungkin dikelilingi oleh kegelapan. Namun di akhir dari sejarah, yang memberi makna pada sejarah, berdirilah Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit, yang mengundang kita untuk mengikut Dia, untuk bergerak maju di bawah arahan-Nya dan dalam kuasa kekuatan-Nya.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kemuliaan yang Berbobot

Ketika hidup ini terlalu berat untuk ditanggung, kebutuhan kita akan Juru Selamat menjadi jelas.

Christianity Today March 30, 2024
Kitchen oleh Claire Waterman. Lukisan cat gouache pada kertas. 2020

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungiku. — 2 Korintus 12:9

Pernahkah Anda mendengar ungkapan Kristen yang klise yang mengatakan, “Tuhan tidak akan memberi Anda lebih dari yang mampu Anda tangani”? Bukan berarti ungkapan ini tidak ada benarnya. Firman Tuhan dari 1 Korintus 10:13 mengatakan bahwa “Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu.” Namun ungkapan tersebut di atas salah kaprah karena menekankan pada apa yang bisa kita atasi—melalui kekuatan dan kecukupan diri kita—dan bukan pada apa yang akan Tuhan sediakan ketika kita gagal.

Saya ingat akan malam-malam di lantai dapur yang dingin—tubuh saya melemah karena berbulan-bulan tanpa nafsu makan, banjir air mata, pipi yang panas, dan perasaan kesepian hingga larut malam, dan itu terjadi setiap malam. Bahkan pada saat hidup saya dipenuhi dengan kehancuran yang tak terduga, Yesus berulang kali menjumpai saya di lantai itu saat saya berseru kepada-Nya agar Dia mendamaikan, menebus, dan memperbarui saya. Ia mendengarkan setiap doa yang terucap dan terbata-bata, saat kelemahan saya terlihat jelas. Setiap menit terasa seperti maraton. Namun di setiap tarikan dan hembusan napas, Yesus mengundang saya masuk ke dalam kasih karunia-Nya yang cukup untuk menguatkan kelemahan saya dengan kuasa-Nya yang sempurna. Seperti yang Tuhan katakan kepada rasul Paulus, saya juga merasakannya dalam hidup saya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9).

Mencapai batas akhir dari diri saya sendiri justru telah menciptakan ruang dalam diri saya untuk dimasuki oleh Tuhan, dan Dia membasuh saya dengan belas kasih-Nya dan melingkupi saya dengan kekuatan_-Nya_. Kelemahan saya justru menjadi tempat bersemayam bagi kemuliaan-Nya. Ya, seperti yang Paulus nyatakan, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (ay. 9).

Sebagai manusia biasa yang pernah mengalami penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh banyak orang lainnya, jauh di lubuk hati, saya tahu bahwa kita tidak dimaksudkan untuk menanggung beban kesulitan hidup sendirian. Jika Tuhan memang hanya memberi kita apa yang dapat kita tangani, maka tidak akan ada kebutuhan akan penyelamat di luar diri kita, dan kematian Yesus yang berlumuran darah itu tidak diperlukan. Beban kehancuran dunia akan berada di pundak kita saat kita berjuang melalui hubungan yang rusak, yang mungkin tidak akan pernah bisa diperbaiki, penyakit yang tidak pernah kita bayangkan harus kita tanggung, dan segala hal yang tidak kita diketahui yang ada di hadapan kita.

Namun, jika kita mengalami kesulitan yang melampaui kemampuan kita, darah Yesus adalah pemberian terbesar yang tidak layak kita terima. Ketidakmampuan kita untuk menyelamatkan diri sendiri menjelaskan realitas kebutuhan mutlak kita akan seorang penyelamat.

Dengan Yesus sebagai Juru Selamat, maka kita dapat merasa terhibur karena mengetahui bahwa hati-Nya lembut melihat penderitaan kita, karena Dia juga telah menanggung kepedihan yang tak terbayangkan. Ketidakberdosaan-Nya menjadi bukti bahwa Dialah satu-satunya yang layak menjadi Anak Domba yang berkorban demi menebus dosa-dosa kita. Ini adalah sebuah kebenaran yang sangat penting bahwa orang yang tidak bersalah harus menanggung beban dan hukuman atas setiap dosa, namun inilah alasan utama kita harus percaya kepada Kristus ketika Dia mengatakan bahwa cukuplah kasih karunia-Nya. Kemuliaan Allah akan semakin bersinar terang ketika kita mengizinkan kelemahan kita dipakai untuk menyatakan kasih karunia, kuasa, dan kekuatan-Nya yang tak terbatas.

Bahkan dengan kekuatan-Nya yang mahakuasa, Kristus tidak mendamaikan, menebus, atau memperbarui keadaan yang pernah saya doakan dengan penuh kerinduan di lantai dapur itu. Sebaliknya, apa yang saya pikir kokoh akhirnya menjadi debu. Akan tetapi, saya mendapati diri saya dibebaskan—terbebas dari pengharapan akan kehidupan yang sesuai dengan keinginan saya, di mana penderitaan terkendali dan hubungan-hubungan terjaga. Pada sisi lain dari kemandirian, saya menemukan ketenangan dalam relasi dengan Kristus—dalam rekonsiliasi, penebusan, dan pembaruan di dalam Dia, bukan di dalam keadaan saya.

Semoga kelemahan kita—dalam kegelapan malam yang dihabiskan di lantai dapur, dan di semua tempat lain, di mana kesalahan kita tak dapat disangkal—akan menjadi bukti kekuatan Kristus Juru Selamat kita yang berdiam di tempat yang paling dalam dan paling tinggi. Kiranya kita percaya pada kecukupan-Nya, karena di saat kita lemah, maka kita menjadi_kuat_.

Renungkan



1. Adakah saat atau masa dalam kehidupanmu ketika Anda merasa berada di ujung tanduk (secara fisik, mental, atau spiritual), tetapi Yesus menemui Anda dalam kasih karunia, kuasa, dan kekuatan-Nya? Ceritakan sedikit tentang pengalaman ini, dan apa yang diajarkan melalui pengalaman ini kepada Anda tentang karakter Yesus.

2. Dalam terang Injil, bagaimana Anda dapat secara aktif merespons dengan sukacita yang tulus di tengah kelemahan dan kesulitan Anda?

Kaitlyn Rose Leventhal adalah pelukis abstrak profesional yang tinggal di British Columbia, Kanada bersama suami dan anjingnya.

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Seraya Tubuh menjadi Dingin

Tidak ada kebangkitan tanpa kematian.

Christianity Today March 29, 2024
Interior with Crucifix and Nothing Special oleh Joel Sheesley. 56x70”. 2001

Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkanku? — Markus 15:33-34

Sulit untuk berharap dan percaya ketika segala sesuatu yang Anda sentuh terasa dingin. Saya telah berdoa tentang situasi tertentu selama lebih dari tiga tahun. Baru-baru ini, hal itu telah sampai pada titik di mana saya merasa perlu melihat adanya pergerakan. Namun saya belum melihatnya.

Gerakan menghasilkan panas. Gerakan menjaga Anda tetap hangat. Lari di tempat selama beberapa menit dan Anda akan merasakan suhu tubuh Anda meningkat. Darah Anda mulai terpompa. Tubuh Anda aktif. Namun bagaimana Anda berdoa saat tangan Anda menjadi dingin? Bagaimana Anda tetap berpegang pada pengharapan ketika semua yang ada di sekitar Anda tidak bergeming?

Saya tidak tahu di mana Anda perlu melihat pergerakan. Saya tidak tahu bagaimana kecemasan yang dirasakan hatimu. Saya tidak tahu apakah Anda terbangun di malam hari karena tubuh Anda sedang memproses apa yang tidak sempat Anda hadapi di siang hari. Saya tidak tahu apakah ini sudah tiga tahun masa penantian, atau sepuluh tahun. Namun saya akan berbagi dengan Anda apa yang selalu saya katakan pada diri saya sendiri: berserahlah pada realitas dari Paskah.

Sepanjang pelayanan Yesus, para murid telah melihat banyak pergerakan: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang sakit disembuhkan. Pengajaran Yesus menarik banyak orang dan membuat mereka bertobat. Begitu banyak hal yang terjadi di dalam dan di sekitar mereka selama kurun waktu tiga tahun, dan mereka pasti merasakan gejolak panasnya di mana-mana. Dan kemudian tiba-tiba, segalanya menjadi hening. Pada hari Jumat Agung, semuanya menjadi dingin.

Dalam bahasa Inggris, Jumat Agung diterjemahkan Good Friday. Kata “good” adalah istilah bahasa Inggris Kuno yang berarti “suci.” Jumat Agung adalah “Jumat Suci,” dan pada hari itu kita mengingat kesucian dalam kematian Kristus yang membuka jalan bagi keselamatan kita, ada ketakjuban bahkan dalam keheningan. Allah bekerja bahkan ketika darah tak terpompa. Allah dapat bergerak bahkan ketika segala sesuatu tampak diam membisu. Hari ini, Jumat Agung menjadi simbol pengharapan bagi seluruh dunia. Namun hari itu juga merupakan hari sebelum para murid mengetahui akan adanya kebangkitan. Terkadang kita lupa: Ketika mereka melihat Yesus dipaku di kayu salib, mereka tidak memahami tujuan Kalvari. Firman dari 1 Petrus 1:24–25 mengatakan, “‘Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya.’ Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu.” Saat ini, jika yang Anda lihat hanyalah rumput yang layu, tanyakanlah pada diri Anda sendiri apakah tidak apa-apa untuk duduk dan menunggu, seperti yang dilakukan para murid. Bagaimana jika, hari ini, kita tidak memalingkan muka dari ratapan Sang Anak Domba? Bagaimana jika, hari ini, kita tunduk pada keheningan di Sabtu Sunyi? Bagaimana jika, hari ini, kita tidak langsung merasakan sukacita yang tak diduga oleh para pengikut Tuhan akan datangnya hari Minggu pagi? Bagaimana jika, hari ini, kita berserah pada duka yang kudus di hari Jumat?

Tidak ada kebangkitan tanpa kematian; tidak ada Minggu pagi tanpa Jumat malam; tidak ada penebusan tanpa Sang Penebus. Percayalah pada cara kerja surga.

Mungkin seperti saya, Anda juga menyaksikan butiran pasir mengalir turun ke bawah pada sebuah jam pasir; butiran-butirannya yang jatuh tersebar tentu tidak terlihat menggembirakan. Serahkanlah emosi Anda pada kebenaran dari Paskah. Biarkan Jumat Agung menjadi Jumat Agung. Biarkan kematian terasa seperti kematian. Biarkan udara menjadi dingin yang tidak membuat nyaman.

Dan kita akan bertemu kembali pada hari Minggu pagi.

Renungkan



1. Bagaimana cara Anda berpegang pada pengharapan di saat segala sesuatu di sekitarmu tidak bergeming?

2. Apa yang diingatkan melalui simbolisme Paskah kepada Anda dan bagaimana Anda dapat menerapkannya dalam kehidupan Anda sendiri?

Heather Thompson Day adalah pembicara interdenominasi, penulis buku terlaris ECPA, dan pembawa acara Viral Jesus, sebuah siniar bersama Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Jamuan yang Takkan Segera Dilupakan

Harapan dan kegelisahan yang melekat pada Perjamuan Yesus yang terakhir.

Christianity Today March 28, 2024
Come to the Table oleh Kari Dunham. Lukisan cat minyak pada linen. 56x83”. 2014

Setelah hari malam, datanglah Yesus bersama dengan kedua belas murid itu. Ketika mereka duduk di situ dan sedang makan, Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku.” — Markus 14:17-18

Dapatkah Anda mengingat apa yang Anda makan kemarin? Mungkin Anda makan roti bagel untuk sarapan atau burrito untuk makan siang; apa pun itu, makanan tersebut kemungkinan besar berfungsi sebagai transisi ke aktivitas berikutnya di hari Anda. Meski sebagian besar waktu makan adalah kewajiban yang biasa untuk mengisi perut kita, namun ada juga yang memperlambat kita dan memberi makan jiwa kita. Kenangan waktu makan pada 20 November 1993 masih memenuhi jiwa saya. Saat itu adalah malam yang dingin dan gerimis—hal yang khas di Vancouver pada waktu itu. Di penghujung hari yang telah diatur sedemikian cermat untuk mengoptimalkan kondisi demi keberhasilan saya, saya pun melamar Toni (wanita), kekasih saya. Setelah dia menerima lamaran itu, kami merayakannya dengan hidangan salmon yang lezat. Jamuan tersebut memberikan kami kesempatan untuk mengingat mengapa dan bagaimana kami jatuh cinta. Itu adalah momen peneguhan, waktu untuk mengikrarkan janji.

Dalam keakraban malam bersama rekan-rekan terkasih, Yesus mengadakan jamuan makan yang bermakna kekal. Catatan Markus tentang Perjamuan Tuhan menggambarkan suasana “pada hari pertama dari hari raya Roti Tidak Beragi, pada waktu orang menyembelih domba Paskah” (Mrk. 14:12). Perjamuan Paskah memperingati pembebasan besar-besaran yang Allah lakukan atas bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Saat umat Allah memperingati perayaan ini, pada akhirnya ini menjadi suatu penantian, yang membangkitkan kerinduan mereka untuk terbebas dari penindasan Romawi. Tindakan mengorbankan anak domba Paskah selalu dilakukan setiap tahun di Bait Suci, dan maknanya akan segera disampaikan dalam Perjamuan Tuhan.

Akan tetapi, kisah ini beralih dari penantian menjadi kecemasan. Yesus menyela percakapan makan malam itu dengan mengatakan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku” (ay. 18). Basa-basi apapun yang sedang berlangsung di meja makan itu pasti akan terhenti seketika. Pernyataan yang sangat jelas ini menumbangkan kedamaian yang dilambangkan melalui makan bersama. Makan bersama menyediakan waktu dan tempat di mana perjanjian-perjanjian dapat disahkan, persahabatan dipererat, dan bahkan musuh pun dapat meletakkan senjata mereka. Meskipun semua pengkhianatan itu buruk, tetapi pengkhianatan dalam konteks keramahtamahan seperti itu pun akan sangat mengerikan.

Ketika para murid mencerna perkataan-Nya, “Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: ‘Ambillah; ini tubuhku.’ Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu. Dan Ia berkata kepada mereka, ‘Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang,’” (ay. 22–24).

Biasanya, pemberian berkat dan memecahkan roti hanya dilakukan pada hidangan makan malam berikutnya—setara dengan mengucapkan syukur dan membagikan roti pita. Namun, perkataan Kristus dalam konteks perjamuan Paskah ini, yang dipenuhi dengan penantian penebusan dan kegelisahan personal, meritualisasikan sesuatu yang esensial tentang Allah, baik bagi para murid yang hadir di seputar meja makan itu maupun bagi semua orang yang kemudian menjadi pengikut-Nya. Buah keselamatan datang dari sebuah pohon yang buruk rupa, berupa salib tua yang kasar di mana tubuh Kristus yang babak belur akan tergantung di sana. Oleh karena itu, kita “memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1Kor. 11:26).

Ya, Yesus pernah memerintahkan agar angin dan ombak untuk diam. Dia membangkitkan Lazarus dari kubur. Pada kedatangan-Nya kembali, setiap lutut akan bertelut dan setiap lidah mengaku bahwa Dia adalah Tuhan (Fil. 2:10-11). Penglihatan-penglihatan akan kuasa ilahi seperti itu menimbulkan kekaguman dan penyembahan. Namun Yesus menawarkan diri-Nya sebagai Juru Selamat yang hancur dan babak belur, yang dikenang dalam keramahtamahan di meja perjamuan, dan rentan terhadap pengkhianatan bahkan di tengah berkat sekalipun. Kita bisa datang kepada-Nya dengan jujur dan tanpa rasa takut akan kehancuran kita sendiri. Oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan, dan oleh darah-Nya kita dijadikan utuh. Dalam Perjamuan Tuhan, setiap kali kita mengambil roti dan meminum dari cawan, kita melambatkan diri untuk menikmati karunia sukacita ilahi yang datang melalui penderitaan Juru Selamat kita.

Renungkan



1. Ceritakanlah sebuah perjamuan makan yang berkesan dalam hidup Anda. Apa yang membuatnya menjadi signifikan, dan bagaimana hal itu berdampak pada Anda secara emosional atau spiritual?

2. Bagaimana Perjamuan Kudus melambangkan aspek-aspek esensial dari Allah dan natur penebusan dari pengorbanan Kristus?

Walter Kim adalah presiden National Association of Evangelicals. Sebelumnya beliau melayani sebagai pendeta dan pembina rohani kampus.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Persahabatan yang Rusak Itu Menyakitkan

Bagi orang beriman, baik hubungan yang lama maupun baru mempunyai bobot dan nilai kekekalan.

Christianity Today March 27, 2024
Ilustrasi oleh Christianity Today / Sumber Gambar: Unsplash / Getty

Bagian ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini ._

Ketika saya berangkat ke California untuk menghadiri pelantikan teman lama saya, Matthew J. Hall, sebagai rektor Universitas Biola, saya berkomentar kepada istri saya, Maria, “Saya ingin tahu apa kalimat yang paling sering saya ucapkan atau dengar dari Matt Hall?” Dan yang kami dapatkan adalah, “Ya, itu gila.”

Matt dan saya memiliki banyak kesempatan untuk mengatakan hal itu satu sama lain sejak kami pertama kali bertemu—saat dia menjadi seorang penyaring panggilan masuk (call screener) untuk acara bincang-bincang radio di mana saya terkadang menjadi pembicara tamu. Tugasnya adalah menyaring orang-orang yang ingin memberikan komentar relevan dari mereka yang tersinggung setelah saya mengatakan sesuatu yang positif tentang, misalnya, Willie Nelson atau Harry Potter. (Itu adalah masa-masa yang lebih simpel, wahai pembaca.) Dan pada tahun-tahun berikutnya, kami sering saling berpandangan setiap kali terjadi perdebatan yang meledak-ledak di tingkat denominasi kami yang tidak sesuai aturan dan berkata, “Ya, itu gila.”

Selama 20 tahun, saya bisa tertawa bersama Matt tentang beberapa hal yang menunjukkan kegilaan atau lainnya—dan saya selalu dapat mengandalkan dia untuk mengetahui apa yang termasuk dalam kategori “gila.” Dalam dua hari kunjungan saya bersamanya baru-baru ini, saya mendapati diri saya menertawakan kisah-kisah yang kami ceritakan berulang-ulang kali, dengan banyak kalimat yang dimulai dengan “Ingat ketika …?”

Di masa lalu, saya mungkin menganggap kenangan akan momen-momen seperti itu sebagai “nostalgia,” tetapi sekarang saya melihatnya sebagai sebuah anugerah. Dan saya tidak lagi menganggap remeh hal-hal tersebut.

Persahabatan baru sering kali tercipta dari banyaknya kisah. Setiap kali Anda bertemu orang baru, orang itu mungkin bertanya, “Jadi, apa kisah Anda?” Meskipun tidak diucapkan secara langsung, itu adalah pertanyaan yang tidak terucapkan. Kita menceritakan sebagian kisah hidup kita satu sama lain dan sering kali menjadi senang karena kisah-kisah itu saling bersinggungan. Seperti yang dikatakan C.S. Lewis dalam salah satu bab buku The Four Loves yang paling sering dikutip, ketika kita berkata, “Kamu juga? Saya pikir hanya saya satu-satunya.” Tanpa persahabatan baru seperti ini, hidup kita bisa menjadi stagnan dan membosankan.

Meski demikian, Dolly Parton dan Kenny Rogers mengatakan sesuatu yang benar ketika mereka bernyanyi, “Kamu tidak bisa mendapatkan teman lama.” Persahabatan lama berakar pada pengalaman bersama yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.

Saat Anda menceritakan kisah Anda kepada teman yang baru, Anda mengatakan sesuatu yang mirip dengan “Inilah saya. Bagaimana denganmu?” Saat kita menghabiskan waktu bersama teman lama dan menceritakan kisah yang dikenang, kita melakukan sesuatu yang berbeda. Kita tidak mengomunikasikan informasi; kita sedang mengenang kembali pengalaman kita. Kita mengatakan hal-hal seperti, “Kamu percaya gak kita bisa melihatnya?” atau “Kamu percaya gak kita selamat dari hal itu?” atau “Tidakkah kamu merindukan hal itu?” atau “Tidakkah kamu senang hal itu sudah berakhir?”

Ini hanyalah cara lain untuk mengenal satu sama lain—dan untuk dikenal.

Selama beberapa tahun terakhir, ratusan orang telah berbicara kepada saya tentang kepedihan akibat rusaknya persahabatan dalam hidup mereka. Terkadang persahabatan itu terpecah karena politik—mungkin karena perbedaan pandangan terhadap Trump, vaksin COVID-19, teori ras yang kritis, atau perpecahan lain yang nyata atau yang dibayangkan.

Bagi sebagian orang, persahabatan mereka retak karena semacam “dekonstruksi” atau perpecahan gereja. Bagi sebagian lainnya, persahabatan hancur karena pertengkaran hebat. Dalam beberapa kasus, persahabatan itu kandas begitu saja. Ketika mengamati dengan seksama zona netral yang berisi hal-hal yang “aman” untuk dibicarakan, beberapa teman tidak bisa lagi mengumpulkan cukup banyak kisah untuk dibagikan.

Apa pun alasannya, persahabatan yang rusak itu menyakitkan. Bagi Anda yang pernah berpindah-pindah rumah saat masih kecil, Ibu Anda benar saat ia berkata, “Nanti kamu akan mendapat teman yang baru.” Namun, apa yang Anda ketahui saat itu—dan, jauh di lubuk hati, Anda masih mengetahuinya hingga sekarang—adalah bahwa Anda tidak dapat menggantikan teman yang lama. Persahabatan yang rusak itu menyakitkan karena persahabatan sangatlah penting.

Orang sering mengkritik lagu-lagu rohani Injili tentang persahabatan dengan Yesus. “Yesus bukan pacarmu,” kata mereka. “Yesus adalah Tuhanmu, bukan sahabatmu.” Yesus adalah Tuhan, tetapi salah satu cara Dia mendefinisikan ketuhanan-Nya adalah dengan menyebut kita sebagai sahabat. Dan Yesus mendasari persahabatan itu dalam sebuah kisah bersama. Para hamba dapat mematuhi tuannya, tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di luar tugas-tugas mereka. Akan tetapi Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahu kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh. 15:15).

Namun, tak lama setelah membuat pernyataan itu, Yesus mengalami terputusnya beberapa persahabatan tertentu. Saat Ia ditangkap dan dihukum mati, beberapa sahabat-Nya tidak mau berbagi cerita lagi.

Salah satu dari relasi yang rusak itu tidak dapat diperbaiki (dalam kasus Yudas), tetapi Yesus mencari yang lain setelah kebangkitan-Nya. Ia bertemu kembali dengan Petrus—yang pernah menyangkal bahwa dia mengenal Yesus—saat Petrus sedang memancing ikan, tepat di tempat Yesus pertama kali memanggilnya (Yoh. 21:1–19). Mungkin api arang yang Yesus persiapkan—jenis api arang yang sama ketika Petrus melontarkan penyangkalannya—adalah cara Yesus untuk menyatakan, “Aku tahu semuanya, dan Aku tetap mengasihimu.”

Yesus kemudian mengulangi kata-kata yang sama yang pernah Ia ucapkan kepada Petrus saat pertama kali bertemu dengannya: “Ikutlah aku!” (ay. 19). Mungkin itu adalah sebagian upaya Yesus untuk mengingatkan Petrus bahwa mereka masih memiliki cerita yang sama—suatu cara untuk mengatakan, “Ingatkah kamu ketika…?” Sungguh kita memiliki Sahabat yang luar biasa di dalam Yesus.

Hampir setiap hari, saya melihat atau mendengar atau memikirkan sesuatu yang mengingatkan saya pada sebuah kisah yang hanya masuk akal bagi salah satu teman lama saya—misalnya, sebuah lelucon atau berita tentang seorang kenalan. Saya pun mulai menelepon orang itu, tetapi kemudian menyadari bahwa saya tidak bisa.

Terkadang karena teman lama itu telah meninggal dunia. Terkadang karena teman lama itu sekarang menganggap saya seorang “Marxis kultural” atau apa pun. Dan di lain waktu, karena saya baru saja kehilangan kontak dengan teman lama itu di tengah kesibukan kami dan rasanya agak canggung untuk terhubung kembali setelah sekian lama.

Mungkin sebagian dari Anda belum pernah mengalami persahabatan yang putus, tetapi saya yakin sebagian besar dari Anda pernah mengalaminya. Dan saya yakin itu lebih menyakitkan daripada yang ingin Anda akui. Dalam banyak kasus, tidak ada yang dapat Anda lakukan untuk mengatasinya.

Namun ada satu hal yang dapat Anda lakukan: Bersyukurlah kepada Tuhan atas teman-teman baru dan teruslah menjalin persahabatan yang baru.

Dan selagi Anda melakukannya, pertahankan rasa syukur pada persahabatan yang lama, pada orang-orang yang berbagi kisah dengan Anda. Pertimbangkanlah untuk menelepon salah satu dari mereka. Mungkin untuk mengatakan dengan lantang, “Saya mengasihimu” meski terasa canggung—atau mungkin justru ketika Anda merasa canggung.

Luangkanlah waktu untuk menceritakan kembali kisah-kisah lama dengan teman-teman yang tahu persis apa yang Anda maksud ketika Anda berkata, “Ingatkah kamu ketika…?” Biarkan hal ini menunjukkan kepada Anda betapa singkatnya hidup ini dan lebih dari itu—menunjuk pada suatu hari ketika semua yang rusak akan diperbaiki kembali dan semua yang telah hilang akan ditemukan. Saya kira kita semua akan merasa seperti teman lama saat itu.

Dan ketika kita menantikan kemuliaan kekal yang terus meluas, kita mungkin akan saling bertatapan saat kita melihat ke belakang—hanya sejenak—untuk mengatakan, “Ya, itu gila!”

Russell Moore adalah pemimpin redaksi di Christianity Today dan memimpin Proyek Teologi Publik.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apakah Salib Cukup?

Kebenaran Injil mengharuskan kita menceritakan seluruh kisahnya.

Christianity Today March 27, 2024
Ilustrasi oleh Sarah Gordon

Duduk di seberang meja saya, dia mengambil serbet yang kusut. Di tengah perbincangan kami yang hangat, teman saya—seorang pendeta—menjelaskan persiapan khotbahnya. Dia sangat pintar dan kreatif, begitu peduli dengan Alkitab dan mengapa hal itu penting bagi jemaatnya. Sambil meratakan serbetnya, dia menulis sebuah tanda X di salah satu sudut untuk mewakili teks Alkitab. Kemudian dia menggambar sebuah salib raksasa di tengah serbet berbentuk persegi itu. Terakhir dia menambahkan panah yang bergerak dari X menuju dan melewati salib. Baik berkhotbah dari kitab Pengkhotbah atau Filemon, ia menjelaskan, “Setelah saya membaca sebuah teks selama beberapa waktu, saya selalu bertanya, apa kaitan salib dengan hal ini?”

Gambar salib di serbet itu adalah pendekatan yang bermanfaat dalam penulisan khotbah. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa seluruh isi Alkitab menunjuk kepada Kristus dan bahwa Dia, sebagai fokus dari Alkitab, memberi kita sudut pandang terbaik untuk memahami apa yang terkandung di dalam isi tulisan suci tersebut. Lebih spesifik lagi, jika salib adalah titik fokus dari kehidupan dan karya Kristus, maka menafsirkan sebuah teks melalui fokus tersebut sepertinya merupakan ide yang bagus. Di sini kita melihat kasih Bapa bekerja, mengampuni dosa-dosa kita dan mendamaikan kita dengan diri-Nya. Rasul Paulus memberi tahu kita bahwa dia hanya memberitakan Kristus, yaitu Dia yang disalibkan (1Kor. 2:1–2). Ia menegaskan bahwa dia tidak akan pernah bermegah dalam apa pun juga selain salib (Gal. 6:14). Jadi, kita sudah benar, kan? Jika kita memiliki salib, apa yang kurang?

Sudut pandang yang berpusat pada salib ini menunjukkan banyak hal kepada kita. Namun jika kita berpegang pada Alkitab, hal itu tidaklah cukup. Perjanjian Baru tidak mengakhiri catatannya tentang karya Yesus dengan penjelasan mengenai penguburan-Nya. Sebaliknya, Perjanjian Baru membuat Paskah menjadi sangat penting. Membatasi penafsiran kita hanya pada salib sama seperti ayunan tongkat golf tanpa tindak lanjut: Bolanya tidak akan sampai ke tempat yang seharusnya.

Izinkan saya perjelas: Saya tidak meminta kurang dari salib; Saya meminta lebih banyak. Harus ada gambar kedua di atas serbet itu. Saya tidak ingin salib itu dihapus, tetapi saya ingin ada kubur kosong yang ditambahkan.

Jelas umat Kristen Injili di Amerika Utara tidak berhenti percaya pada kebangkitan Kristus, tetapi saya penasaran apakah kita benar-benar menghargai makna penting dari kebangkitan Kristus tersebut. Kebangkitan itu bukan hanya bagi mereka yang sudah meninggal, melainkan juga bagi kita yang masih hidup. Masalah muncul ketika kita meremehkan, atau bahkan gagal memahami, makna dari kebangkitan. Bagi Paulus, jika kita ingin memahami keindahan dari Injil, maka salib dan kebangkitan adalah satu kesatuan (1Kor. 15:14).

Dengan mengabaikan kubur yang kosong, pemahaman kita tentang salib itu sendiri menjadi terdistorsi. Hal ini membuka pintu untuk melihat pengampunan dosa pribadi sebagai satu-satunya elemen Injil. Hal ini dapat membuat kita percaya bahwa memberantas dosa pribadi adalah satu-satunya aktivitas dalam hidup kita. Pemahaman tanpa kebangkitan ini menciptakan sebuah kisah yang terlalu kecil untuk kita jalani. Pemahaman seperti ini meninggalkan Yesus di masa lalu, di kayu salib, pada jarak ribuan mil (dari Amerika Utara) dan 20 abad. Terlalu mudah bagi kita untuk menyimpulkan, “Dahulu ada masalah. Namun Ia telah memperbaikinya. Sekarang terserah pada kita untuk membuat hidup kita lurus.” Pemahaman ini meninggalkan aktivitas kasih karunia di masa lalu, seolah-olah Yesus telah mengisi lemari obat dua ribu tahun lalu dan sekarang kita harus menemukan botol obat yang tepat untuk penyakit terbaru kita.

Menggambar sebuah kubur kosong di atas serbet bukan dimaksudkan untuk mengingatkan kita akan peristiwa sejarah yang kedua, melainkan akan realitas masa kini: Kristus yang telah bangkit adalah Tuhan atas langit dan bumi. Dia hadir bersama kita melalui Roh-Nya, memampukan dan membentuk kembali kehidupan kita. Kristus telah mempersatukan kita dengan diri-Nya sehingga kita dibangkitkan bersama-sama dengan Dia dan duduk di sebelah kanan Allah (Kol. 3:1). Hubungan dengan Dia inilah, keadaan baru yang dimasukkan ke dalam kehidupan-Nya sendiri, yang memampukan kita untuk mencari perkara-perkara dari Allah. Rasa syukur—walaupun dibutuhkan dan luar biasa—tidaklah cukup. Pengampunan dosa saja tidaklah cukup untuk menguatkan kehidupan Kristen. Mengikuti Yesus dengan setia memerlukan kuasa-Nya sendiri yang bekerja di dalam kita, dan inilah yang kita miliki. Kebangkitan menunjukkan bahwa Dia hadir dan Dia adalah Tuhan.

Dosa

Akan tetapi, bukankah semua ini akan mengalihkan perhatian kita dari seriusnya dosa? Tidak. Kita diikutsertakan dalam kematian dan kehidupan Kristus (2Kor. 5:14-17). Kata metanoia dalam Perjanjian Baru, biasanya diterjemahkan sebagai “pertobatan,” bukan berarti kita harus bersedih atas perbuatan di masa lalu, melainkan memperbarui pikiran kita dengan berbalik dari dosa kepada Kristus. Seperti yang diingatkan melalui Katekismus Singkat Westminster abad ke-17, pertobatan kita adalah pertobatan “menuju kehidupan.” Oleh karena itu, seluruh hidup kita dimaksudkan untuk terus berpaling dari hal-hal yang membawa kematian menuju hal-hal kehidupan baru di dalam Kristus.

Oleh karena itu, karya Kristus bagi kita bukan hanya sesuatu yang dilakukan di luar imajinasi kita atau yang telah lama berlalu dan nun jauh di sana. Karena telah dipersatukan dengan Kristus oleh Roh Kudus, kita sekarang harus hidup sebagai anak-anak Allah, meskipun kepenuhan keadaan kita kelak masih belum nyata (1Yoh. 3:2). Pengabdian kristiani harus selalu dibentuk oleh kebangkitan Kristus, sekalipun kita tidak menggunakan kata “bangkit” atau “kebangkitan”; hal ini mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak hanya melakukan sesuatu di masa lalu, melainkan juga secara aktif berkarya di dalam kehidupan pribadi dan gerejawi kita saat ini.

Bagi rasul Paulus, kebangkitan bukan hanya tentang kehidupan kita setelah kematian, melainkan juga tentang kehidupan kita di masa kini. Paulus berbicara soal berpindah dari kubur yang kosong ke pengalaman hidup kita: “sama seperti Kristus telah dibangkitkan… demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rm. 6:4). Roh Allah, kata Paulus di bagian lain, membangkitkan Yesus dari kematian, dan Roh yang sama berdiam di dalam kita (Rm. 8:11). Kita telah dihidupkan “bersama-sama dengan Kristus” (Ef. 2:5-6) sehingga sekarang, kuasa kebangkitan-Nya menjiwai hidup kita, memampukan kita untuk turut ambil bagian dalam penderitaan-Nya dan menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (Flp. 3:10). Melalui Roh-Nya yang memberi kehidupan, kita dimerdekakan untuk menyerupai Dia dengan menjalani hidup kebangkitan-Nya, bukan hanya demi diri kita sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain juga.

Paulus menyatakan, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kol. 3:1). Ada dua pilihan, dua pola hidup yang ada di hadapan kita: Kita akan melihat “perkara yang di atas” atau “perkara yang di bumi” (Kol. 3:2). Akan tetapi ini bukan tentang mengadu dunia material dengan dunia non-material. Perkara yang “di bumi” melambangkan pola-pola pemberontakan terhadap Allah dan sesama seperti percabulan, nafsu jahat, keserakahan, dan penyembahan berhala (Kol. 3:5). Hukum Tuhan mencerminkan perdamaian yang orisinal (shalom) antara kita dan Tuhan kita, dengan sesama, dan dengan seluruh isi bumi. Kita masih bergumul dengan dosa, tetapi Paulus mengingatkan bahwa kita bukanlah prajurit tersesat yang hanya diharapkan untuk melakukan yang terbaik yang kita bisa, yang hanya dipersenjatai dengan pengingat akan kemenangan masa lalu di kayu salib. Kita hidup di dalam kehidupan Kristus, di dalam kuasa-Nya. Dia telah mengutus Roh-Nya sendiri kepada kita, bukan sebagai pengganti-Nya ketika Dia tidak ada, melainkan sebagai kekuatan dan wujud dari kehadiran-Nya.

Kerajaan

Injil, pada dasarnya dan terutama, ialah berita bahwa Yesus adalah Tuhan (dan karena itu Kaisar, dalam bentuk politik apa pun, bukanlah Tuhan), bahwa Dia adalah Juruselamat yang menyelamatkan umat-Nya, bahwa Dia memerintah atas langit dan bumi (Kis. 2:32–36). Sang Raja dan kerajaan-Nya ada di sini. Jika pemahaman kita terhadap kabar baik itu hanya sebatas menyatakan bahwa Ia menghapuskan dosa kita (yang memang benar adanya), maka kita berisiko mereduksi Yesus menjadi formula dan metode untuk melawan dosa. Namun Yesus bukan sekadar solusi untuk masalah akuntansi. Dia adalah kehidupan!

Pada sisi lain, jika pemahaman kita akan iman menempatkan Yesus sebagai pusatnya, maka Ia akan menarik setiap aspek kehidupan Kristen agar selaras dengan-Nya. Yesus menuntun kita untuk memuji Dia dengan sukacita, mengakui dosa kita dengan keyakinan bahwa Dia telah menghancurkannya, mendengarkan Firman yang diberitakan dengan harapan bahwa Dia sendiri akan berbicara kepada kita melalui Firman itu saat Ia membimbing kita menuju kehidupan yang setia, dan kemudian pergi dengan sukacita karena mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan atas hari Sabat dan Tuhan atas hari Senin hingga Sabtu.

Injil, yang diberitakan dalam kekristenan yang berpusat pada Kristus, menggerakkan kita dari sekadar menghindari dosa menjadi benar-benar mengasihi Tuhan dan sesama kita. Ini bukanlah trik psikologis yang dipupuk oleh mentalitas menolong diri sendiri. Orang-orang Kristen tidak hanya akan tertarik untuk berhenti melakukan hal-hal yang “buruk,” melainkan juga untuk mengalami kehidupan yang menghasilkan banyak buah yang diperintahkan dan dimampukan oleh Roh Kristus. Ya, kita dipanggil untuk mati terhadap dosa. Namun kabar baiknya bukan hanya hal yang negatif, melainkan juga hal yang positif: Kita dihidupkan kembali untuk mengasihi. Ini adalah kasih yang baru, yang memerdekakan kita untuk terhubung kembali dengan Pencipta kita, sesama kita, dan seluruh ciptaan-Nya.

John Owen, tokoh dari kalangan Puritan, kadang-kadang berbicara tentang “kekudusan Injili,” yang menyatukan apa yang cenderung dipisahkan oleh orang lain: kabar baik dan ketaatan Kristen. Acap kali kita merasa ngeri ketika mendengar kata “ketaatan”. Bagi kita, kata tersebut kedengarannya legalistik, bahkan menindas, tetapi hal ini menunjukkan betapa buruknya pandangan kita terhadap Allah dan Injil. Tuhan tidak tertarik untuk membuat daftar peraturan yang sewenang-wenang untuk kita ikuti guna membuktikan ketekunan atau komitmen kita. Ketaatan kristiani adalah tentang kasih: Perintah-perintah Allah memberikan sebuah garis besar, suatu kerangka kerja untuk mengasihi Allah dan sesama. Pemahaman kita terhadap hukum Allah harus selalu bertolak dari dan menuju kasih.

Ketaatan Injili bukan soal meraih perkenanan Allah, melainkan menghidupi perkenanan Allah dalam kuasa kebangkitan Kristus di masa kini. Kehidupan kristiani dibentuk seperti salib dan dimerdekakan seperti kubur yang kosong. Hal ini tidak hanya memandang serius bahaya dan distorsi dosa, melainkan juga menganggap serius kasih karunia dan pengampunan. Hal ini digerakkan oleh anugerah kasih Allah sehingga kita dapat menjadi saluran kasih Allah yang mentransformasikan melalui kita.

Kita tidak membuat, membangun, atau bahkan mendirikan kerajaan Allah. Tuhanlah yang melakukan hal itu—bahkan, Dia memberikannya sebagai hadiah (Luk. 12:32). Akan tetapi, kita hidup di dalam kerajaan Allah sebagai anak-anak-Nya yang merdeka dan sebagai para utusan-Nya. Karena telah dipersatukan dengan Raja yang bangkit melalui Roh-Nya, kita mengupayakan kebaikan bagi para anak yatim serta janda, dan kita peduli terhadap para tahanan atau jiwa kesepian yang bergumul dengan depresi berat. Kita dibebaskan dari dosa dan maut serta dilepaskan menuju kehidupan dan kasih yang membangun yang dimampukan oleh Roh Kudus.

Kemerdekaan

Jika kita mewartakan salib dengan mengabaikan kebangkitan, maka kita melupakan bahwa Kristus hadir bersama kita. Budaya kita yang sangat individualis dapat dengan mudah mereduksi Injil menjadi terapi pengelolaan dosa, yang berkonsentrasi pada modifikasi perilaku eksternal dan perubahan psikologis internal. Kita merasa terjebak dalam siklus berbuat dosa, bertobat, mencari pengampunan, dan kemudian mencari cara untuk mengatasi perasaan bersalah serta malu.

Kehadiran Kristus yang bangkit membuat kita keluar dari pikiran kita sendiri setidaknya dalam dua cara. Pertama, kebiasaan memandang kepada-Nya menjadi sarana anugerah-Nya yang mentransformasi pola pikir dan kehidupan kita. Kedua, Dia memimpin kita untuk melayani orang-orang di sekitar kita, memberi kita kata-kata anugerah untuk disampaikan dalam kehidupan mereka, untuk menghibur mereka yang berduka, mengusahakan kebaikan bagi sesama kita yang terluka. Lalu yang sering kali mengejutkan, kita benar-benar memercayai pengampunan Tuhan bukan dengan mengingatkan diri kita sendiri 10.000 kali bahwa kita telah diampuni oleh Tuhan, melainkan ketika kita—dalam kuasa Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari kematian—mengampuni seseorang yang telah sangat menyakiti hati kita. Apakah sulit membayangkan bahwa kita dapat benar-benar percaya dan mengalami pengampunan Tuhan ketika kita mengampuni orang lain? Inilah kuasa kehidupan kebangkitan-Nya di dalam kita.

Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka (Yoh. 8:36). Kemerdekaan ini adalah kemerdekaan dari dan kemerdekaan ke dalam—kemerdekaan dari dosa dan maut yang mengikat kita di masa lalu dan kemerdekaan yang terus-menerus disegarkan ke dalam kehidupan Kristus di masa kini dan masa mendatang. Dosa memperbudak, tetapi Kristus menyelamatkan dan memerdekakan. Kita telah dibebaskan dalam kasih Yesus, yang membebaskan kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama kita. Itulah kemerdekaan! Inilah yang tidak dimiliki oleh para penentang Yesus. Mereka membayangkan bahwa garis keturunan mereka cukup untuk menandai mereka sebagai orang merdeka, tetapi Yesus memperjelasnya—kemerdekaan sejati adalah kebebasan untuk mengasihi Anak yang telah diutus oleh Bapa. Ketika kita tidak mengasihi Bapa atau sesama kita, apakah kita benar-benar merdeka? (Yoh. 8:42; 1Yoh. 4:19–21). Salib dan kebangkitan Kristus sama-sama mengingatkan kita akan kepenuhan kemerdekaan yang dijamin bagi kita melalui karya keselamatan Allah Tritunggal, sebuah penyelamatan dari realitas dosa dan maut yang terkutuk menuju keindahan hidup dan pengharapan.

Sebagian orang Kristen menunjuk pada salib yang kosong sebagai cerita lengkapnya, tetapi salib itu kosong ketika para pengikut-Nya membawa jenazah Kristus ke dalam gua kubur yang gelap itu. Itu bukanlah akhir dari cerita. Salib dan kubur kosong yang bersinar itu, yang mencapai puncaknya pada Kenaikan, itulah yang menunjukkan perjalanan iman kita secara utuh. Melalui karya ini, yang di dalamnya Allah mengukuhkan Kristus sebagai Tuhan atas langit dan bumi, maka kita jadi punya fondasi, kuasa, dan kemerdekaan untuk hidup dan berkembang. Ia memberi kita sukacita dalam hidup, karena Dia telah memberi kita diri-Nya sendiri, dahulu, sekarang, dan selamanya.

Kristus telah mati. Kristus telah bangkit. Kristus akan datang kembali.

Kelly M. Kapic adalah profesor studi teologi di Covenant College dan penulis dari Becoming Whole: Why the Opposite of Poverty Is Not the American Dream (Moody, 2019), yang ditulis bersama Brian Fikkert.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dapatkah ‘Uang Haram’ Melakukan Pekerjaan Tuhan? Umat Kristiani di Indonesia Memberi Pendapat.

Bagaimana gereja dan lembaga pelayanan di Indonesia menyikapi penerimaan—dan pengembalian dana—donasi dari korupsi dan sumber lain yang bertentangan dengan etika alkitabiah?

Christianity Today March 27, 2024
Ilustrasi oleh Elizabeth Kaye / Sumber Gambar: Getty / Lightstock / Pexels

Komunitas Katolik di Indonesia mengetahui tahun lalu bahwa ribuan dolar yang didonasikan oleh seorang pejabat publik berasal dari hasil kasus suap telekomunikasi bernilai jutaan dolar.

Johnny Gerard Plate, yang menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika sebelum dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, memiliki riwayat menyumbang dana kepada komunitas keagamaannya di provinsi Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Putusan pengadilan menyebutkan, sebagian dana suap tersebut dialokasikan ke lembaga gereja, antara lain Keuskupan Agung Kupang, Universitas Katolik Widya Mandira, dan Gereja Kristen Injili Timor, sebuah kelompok Protestan di Kupang. Menyusul hukuman yang dijatuhkan kepada Plate, otoritas Katolik berjanji untuk mengembalikan sumbangan tersebut, menekankan komitmen mereka terhadap praktik keuangan yang etis.

Ini bukan pertama kalinya pejabat Kristen yang terlibat kasus korupsi menyumbangkan dana ilegal ke organisasi keagamaan. Pada 2017, mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono dinyatakan bersalah menerima suap. Dalam persidangan, ia menyatakan kepada hakim bahwa ia menggunakan dana tersebut untuk mengasuh anak yatim piatu dan merenovasi gereja serta sekolah yang rusak. Menanggapi kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong lembaga-lembaga keagamaan, termasuk gereja, untuk melakukan audit keuangan guna mendorong transparansi.

Di negara yang situasi korupsinya tampak memburuk dalam beberapa tahun terakhir, CT bertanya kepada para pemimpin gereja dan pelayanan di Indonesia: “Haruskah sebuah organisasi Kristen menerima sumbangan yang diperoleh dari sumber yang tidak etis?” Jawaban disusun mulai dari sikap yang dengan tegas menjawab “Tidak” hingga sikap yang lebih bernuansa:

Jimmy Kawilarang, direktur Torchbearers Indonesia, Jawa Barat:

Gereja dan lembaga pelayanan harus menolak segala kegiatan yang tidak mencerminkan kemuliaan Tuhan, termasuk cara-cara tidak etis dalam mencari dan menerima sumbangan yang tidak sejalan dengan ajaran Alkitab. Firman Tuhan mengutuk uang yang diperoleh melalui penipuan, kecurangan, korupsi, pencurian, atau riba.

Apabila seseorang atau suatu organisasi bermaksud memberikan sumbangan dalam jumlah besar kepada gereja, adalah hal yang terhormat dan, demi transparansi serta akuntabilitas, perlu untuk meminta penjelasan tentang asal usul uang sumbangan tersebut. Gereja dapat menetapkan pedoman untuk mengidentifikasi sumber sumbangan dan meminta rincian lebih lanjut bila sumbangan melebihi jumlah tertentu.

Untuk menyeimbangkan kebutuhan keuangan dan integritas moral, gereja dan lembaga pelayanan harus mempublikasikan laporan keuangan, melibatkan majelis gereja atau dewan pengawas ketika membuat keputusan keuangan, dan membangun sistem pengawasan internal yang kuat untuk memastikan akuntabilitas dan keterbukaan terhadap pengawasan eksternal atau audit independen.

Menumbuhkan budaya transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik dalam konteks keuangan gereja atau lembaga pelayanan juga merupakan tanggung jawab utama para pemimpin Kristen. Rasul Paulus berbicara tentang kriteria memilih seseorang menjadi pemimpin atau pelayan Tuhan (1Tim. 3:1–10). Budaya transparansi dan akuntabilitas hanya dapat terjadi ketika para pemimpin gereja dan lembaga pelayanan memiliki integritas pribadi di mana perkataan serta tindakan mereka konsisten, sehingga memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

T. Christian Sulistio, dosen Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Malang, Jawa Timur:

Gereja memiliki keterbatasan dalam menelusuri asal usul dana atau mengetahui segala motivasi umat Kristen dalam memberi persembahan. Untuk mencegah umat kristiani memberikan persembahan atau sumbangan dari pekerjaan yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan, gereja dapat mengomunikasikan bahwa persembahan yang pertama-tama adalah mempersembahkan diri terlebih dahulu kepada Tuhan (2Kor. 8:5), artinya seluruh hidup kita adalah persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1).

Persembahan yang berasal dari uang yang diperoleh secara tidak etis bertentangan dengan sifat dan kehendak Tuhan serta merupakan kekejian bagi Tuhan. Ulangan 23:18 mengatakan, “Janganlah kaubawa upah pelacur perempuan atau bayaran pelacur laki-laki ke dalam Rumah TUHAN, Allahmu, untuk menepati nazar apa pun, sebab keduanya itu adalah hal yang menjijikkan bagi TUHAN, Allahmu” (TB2). Dalam buku tafsiran “Kitab Ulangan,” Peter C. Craigie menulis bahwa “uang yang diperoleh dengan cara berdosa tidak dapat menjadi bagian dari pemberian Tuhan, dan oleh karena itu tidak dapat digunakan untuk membayar nazar kepada-Nya.”

Pada bagian lain, Matius 23:23 mengatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” Kita melihat bahwa persembahan kepada Tuhan kita juga harus didasarkan pada kehidupan umat Kristen yang memiliki sifat-sifat tersebut.

Wahyu Pramudya, pendeta di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ngagel, Surabaya, Jawa Timur:

Saya mempunyai pengalaman menarik terkait persembahan yang “bermasalah” ini. Suatu kali, ketika saya sedang menjadi pengkhotbah tamu, seseorang memberi saya cek setelah berkhotbah. Itu bukan kejadian biasa, jadi saya selidiki nama di cek tersebut lewat Google. Saya terkejut saat mengetahui nama itu masuk dalam daftar Panama Papers yang populer saat itu.

Saya menghubungi pendeta gereja setempat untuk menanyakan keterlibatannya dalam Panama Papers. Namun saya tidak mendapat tanggapan mengenai hal ini dari pendeta gereja tempat saya berkhotbah. Saya memutuskan untuk mencairkan cek tersebut dan memberikannya kepada salah satu kenalan saya (yang merupakan seorang hamba Tuhan) yang membutuhkan dana untuk biaya sekolah anaknya.

Saya jelaskan asal usul uang itu, dan dia bersedia menerimanya. Ia merasa uang tersebut belum tentu berasal dari bisnis yang tidak etis. Secara pribadi, saya merasa tidak nyaman menerimanya karena saya tidak bisa berkomunikasi dengan si pemberi cek untuk mengklarifikasi sumber dana yang diberikan untuk pelayanan saya.

Di gereja kami, anggota jemaat dan simpatisan dapat mengakses laporan keuangan, di mana laporan tersebut diperiksa oleh akuntan publik untuk memastikan bahwa pendapatan dan pengeluaran bersifat wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dimungkinkan karena gereja kami menganut sistem kepemimpinan kolektif dan tidak hanya dipegang oleh satu pendeta saja.

Kadang-kadang, misalnya ketika seseorang memberikan persembahan secara tunai, cukup sulit bagi kami untuk mengetahui identitas si donatur dan apa pekerjaannya. Bahkan untuk mengetahui informasi ini dari anggota gereja kami bergantung kepada kebijakan mereka sendiri.

Kalau terbukti di pengadilan, [saya rasa] gereja wajib mengembalikan persembahan yang diperoleh secara tidak halal atau melawan hukum. Namun, jumlah kasus yang masuk ke pengadilan sangat minim. Lalu bagaimana dengan persembahan yang jelas-jelas berasal dari bisnis yang menimbulkan masalah kesehatan, misalnya rokok? Bisnis ini legal dan merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Secara umum, gereja akan menolak pengajuan sponsor (dari donatur tipe ini) yang berbentuk iklan cetak di buletin, tetapi tetap menerima persembahan yang tidak mengharuskan si donatur mencantumkan namanya.

Menurut saya, yang tidak boleh dilakukan oleh pendeta atau gereja adalah mengeksploitasi rasa bersalah umat dengan menuntut pemberian persembahan sebagai “penebusan” dari perilaku hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan, seolah-olah melalui sumbangan tersebut maka pengampunan dan penebusan Tuhan bisa “dibeli.” Perilaku ini pernah terjadi dalam sejarah gereja dan menjadi salah satu pemicu reformasi gereja. Para pendeta dan gereja harus mengajarkan bahwa persembahan adalah ungkapan rasa syukur, dengan hati yang hancur bersyukur atas kemurahan Tuhan di tengah keberdosaan diri, dan bukan sebagai pengganti dosa yang terus berlangsung tanpa henti.

Ryadi Pramana, pendiri EFOD, sebuah pelayanan yang melayani dan memperlengkapi para pendeta di daerah pedesaan, Jakarta:

Prinsip organisasi kami dalam menerima donasi adalah mengetahui latar belakang pendonor dan apakah pendonor adalah seorang Kristen yang berhati hamba atau sekadar Kristen nominal. Orang Kristen yang berhati hamba akan memberi dengan sepenuh hati tanpa ada motif tersembunyi.

Jika menyangkut kebutuhan keuangan suatu organisasi, semakin ambisius hasil yang diinginkan, semakin besar pula kebutuhan dananya, dan hal ini sering kali menyebabkan kita menjadi picik. Sebuah organisasi yang terlalu beriman [keyakinan berlebihan bahwa keinginan ambisiusnya akan terpenuhi] tidak bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan apakah itu yang Dia inginkan atau apa yang diinginkan seseorang. Jika kita menuruti kemauan kita sendiri, akibatnya kita akan menerima sumbangan tanpa pandang bulu.

Ada beberapa hal yang kami lakukan jika kami meragukan asal muasal suatu sumbangan. Pertama, kami menyarankan para donatur untuk langsung memberikan uangnya kepada pihak yang membutuhkan agar kami tidak perlu khawatir lagi akan asal usul dana tersebut. Kedua, kami menghindari penggunaan sumbangan untuk membeli aset. Hal ini dikarenakan orang cenderung mengingat uang yang telah mereka sumbangkan, sehingga mereka merasa sangat berjasa dalam perjalanan gereja/yayasan. Hal ini bertentangan dengan prinsip memberi, di mana kita secara sadar melepaskan apa yang kita miliki kepada orang lain dan uang tersebut bukan lagi milik kita.

Banyak gereja dan yayasan Kristen yang hancur karena tidak memiliki pengelolaan keuangan yang baik. Dalam pelayanan kami, organisasi kami menggunakan perangkat lunak keuangan yang memudahkan hamba Tuhan dalam menyusun laporan keuangan yang baik dan benar sesuai standar akuntansi. Kalau sistem dan pengurusnya baik, maka hasilnya pun sangat baik.

Daniel Andy Hoffmann Sinaga, pendeta di Gereja Kristen Batak Protestan (HKBP) Medan Sudirman, Sumatera Utara:

Oleh karena ini adalah tahun pemilu di Indonesia, banyak gereja yang menerima dana dari calon legislatif pada pemilu tahun ini. Mungkin sulit bagi gereja untuk mengetahui apakah dana tersebut merupakan sumbangan pribadi atau dana kampanye dari partai pendukungnya. Namun, para pemimpin gereja harus menanyakan lebih lanjut tentang sumber sumbangan yang besar, berkomunikasi dengan individu tersebut dengan cara yang ramah dan secara pribadi.

Untuk memvalidasi sumber sumbangan, para pemimpin Kristen hendaknya mengomunikasikan etika persembahan mereka dalam bentuk tertulis atau komunikasi lisan selama ibadah. Mereka tidak harus menulis pedoman ini dari awal. Sebaliknya, mereka dapat menggunakan prosedur sistem perbankan yang ada, seperti meminta jemaat untuk menulis surat pernyataan tentang dari mana uang mereka berasal, termasuk dari gaji, tabungan, investasi, warisan, dan sebagainya. Pedoman ini harus berasal dari keyakinan alkitabiah, tetapi juga dipadukan dengan prinsip hukum yang mengatur sumber dana, seperti undang-undang antikorupsi dan anti pencucian uang.

Meski begitu, gereja tidak bisa serta merta melarang organisasinya untuk menerima uang sumbangan, terlepas dari apakah uang itu diperoleh secara etis atau tidak. Kisah perempuan berdosa yang mengurapi kaki Yesus dengan minyak mahal (Luk. 7:36-50) merupakan ilustrasi yang tepat. Yang sangat tidak disukai orang Farisi adalah ketika seorang perempuan pelacur menuangkan minyak mahal ke kaki Yesus dan membasuh kaki-Nya dengan air mata dan rambutnya. Tanggapan Yesus sungguh luar biasa; Dia mengampuni dosa-dosanya—bukan karena mahalnya minyak yang perempuan itu gunakan melainkan karena hatinya tergerak kepada Tuhan dan Dia menerima pelayanan serta persembahan perempuan itu.

Begitu pula dengan gereja yang menerima dana yang berasal dari cara yang tidak etis, tidak serta merta harus ditolak. Saya telah mengunjungi gereja-gereja yang terletak di tengah kawasan lokalisasi, dan pada hari Minggu, banyak pelacur yang datang untuk beribadah dan memberi persembahan. Lalu apakah kita menjadi seperti orang Farisi yang enggan dengan persembahan perempuan berdosa tersebut? Sekali lagi, Tuhan melihat hati dan kasih, jauh melebihi pemberian dan persembahan.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Sudah Menjadi Garis Hidup Suku, Rumah Sakit Misi Borneo Kini Membutuhkannya Sendiri

Ketika para dokter asing pergi, pendanaan berkurang, dan layanan kesehatan lokal membaik, Bethesda mempertimbangkan masa depannya.

Pelayanan Kesehatan Bethesda

Pelayanan Kesehatan Bethesda

Christianity Today March 27, 2024
Atas perkenanan Paul Geary/Suntingan oleh CT

Tumbuh besar di kota pesisir Singkawang, Kalimantan Barat, Samuel Junaedi ingat bahwa setiap kali dia sakit, orang tuanya akan mengantarnya ke Rumah Sakit Umum Bethesda, sebuah rumah sakit misi di desa terpencil Serukam. Perjalanan sejauh 48 km bisa memakan waktu lebih dari dua jam karena jalanan yang rusak dan bergelombang.

“Namun ketika kami bertemu dengan Dr. [Wendell] Geary dan timnya… kami merasa seolah-olah separuh dari penyakit kami telah disembuhkan,” kenang pria berusia 61 tahun ini. Di wilayah Pulau Kalimantan di mana para dukun telah lama mewajibkan pembayaran berupa hewan kurban untuk menyembuhkan orang sakit, praktik pengobatan Barat juga dipandang sebagai transaksional. Mereka yang punya uang, koneksi, dan gengsi akan mendapat bantuan, sedangkan yang miskin dan rendahan kurang beruntung.

Namun Bethesda berbeda. Tidak peduli kelas ekonomi, etnis, atau kemampuan membayar pasien, dokter akan menemui mereka. “Mereka melayani kita tidak hanya dengan keahliannya, melainkan juga dengan hati mereka. Ini yang membedakan Bethesda dengan puskesmas lain,” kata Junaedi.

Saat ini, meski ia memiliki pilihan yang lebih dekat, Junaedi masih berkendara lebih dari satu jam untuk sampai ke Bethesda ketika ia atau anggota keluarganya menderita penyakit serius. “Saya lebih suka datang ke Bethesda karena profesionalisme, komunikasi yang baik, dan perhatian penuh kasih yang diperlihatkan oleh para staf di sini,” ujarnya.

Meski mendapat dukungan dari penduduk setempat seperti Junaedi, rumah sakit tersebut mungkin memerlukan mukjizat untuk terus beroperasi. Didirikan oleh Conservative Baptist Foreign Mission Society (CBFMS) sekitar enam dekade lalu, Bethesda pernah menjadi penyelamat bagi masyarakat adat Dayak serta penduduk kota-kota besar di Kalimantan Barat yang mencari layanan kesehatan berkualitas tinggi.

Namun banyak hal telah berubah. Para misionaris terakhir pergi meninggalkan pelayanan di rumah sakit ini pada tahun 2016, dan donasi pun berkurang banyak seiring kepergian mereka. Bethesda juga mengalami kesulitan dalam melakukan transisi dari manajemen asing ke manajemen lokal, terutama karena lokasinya yang terpencil, sehingga menyulitkan perekrutan administrator yang memenuhi syarat. Pembangunan rumah sakit baru dan klinik yang didanai pemerintah di wilayah tersebut juga menyebabkan lebih sedikit pasien yang datang ke rumah Bethesda. Saat ini, dana rumah sakit hampir habis.

Seperti halnya rumah sakit misi di berbagai belahan dunia, Bethesda berada di persimpangan jalan seiring dengan perubahan dunia di sekitarnya. Dewan yayasan, staf, dan masyarakat setempat percaya bahwa rumah sakit Bethesda di Kalimantan Barat masih terus dibutuhkan: Sebuah rumah sakit yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Kristen, yang memperlakukan pasien secara setara, dan bercahaya bagaikan terang dalam profesi yang sering dikaitkan dengan keserakahan, kata putra Geary, Paul, yang sekarang menjadi dokter dan konsultan organisasi untuk Bethesda.

“Apakah kami akan bertahan, saya tidak tahu,” katanya. “Kami mungkin harus menutupnya atau beralih ke sesuatu yang sangat kecil. Atau beratnya tekanan dan perdebatan… mungkin akan mendorong kami keluar dari api ini menuju sesuatu yang lebih baik.”

Sebuah legasi di hutan hujan Kalimantan

Pada tahun 1964, misionaris Amerika Wendell Geary, istrinya Marjorie, dan dua putra mereka (termasuk Paul) pertama kali tiba di dusun terpencil Sungai Betung, rumah bagi beberapa ratus orang Dayak penganut animisme, yang tinggal di rumah kayu sederhana, yang dikelilingi oleh hutan hujan yang rimbun. Tugas mereka: menghidupkan kembali klinik darurat yang terbuat dari kayu, tanpa listrik, yang dibangun pada akhir tahun 50-an oleh misionaris bernama John Bremen.

CBFMS, yang sekarang dikenal sebagai WorldVenture, mengambil alih pelayanan tersebut ketika Bremen keluar dan menugaskan dua perawat Amerika untuk bekerja di sana pada tahun 1962. Kedatangan Geary memungkinkan klinik tersebut merawat pasien yang menderita penyakit yang lebih serius, termasuk mereka yang memerlukan pembedahan. Sebagian besar pasien adalah warga Dayak yang tinggal di dusun dan desa yang tersebar di pedalaman Kalimantan dan kota-kota sekitarnya. Masyarakat Melayu dan Tionghoa di daerah itu juga mulai berdatangan ke klinik tersebut.

Wendell dan Margie Geary bersama putra mereka, Wendell Jr. dan Paul.Atas perkenanan Paul Geary
Wendell dan Margie Geary bersama putra mereka, Wendell Jr. dan Paul.

Dengan tidak adanya klinik medis lain dalam radius 40 km, para pasien pun dengan cepat membanjiri klinik tersebut. Ada yang menderita penyakit ringan seperti iritasi kulit atau demam, ada pula yang datang berobat untuk penyakit yang lebih serius: malaria, pneumonia, TBC, atau luka seperti serangan binatang. Sekitar 50 hingga 100 pasien datang setiap hari ke rumah sakit tersebut.

Untuk memenuhi permintaan yang meningkat, klinik itu pun diperluas dan CBFMS mengirimkan lebih banyak dokter dan perawat asing untuk membantu, termasuk dokter Amerika, Bert dan Beth Ferrell. Marjorie, seorang perawat, merekrut 15 pemuda setempat dan mengajari mereka dasar-dasar keperawatan, termasuk cara menggunakan peralatan medis, merawat pasien, menjaga kebersihan 20 tempat tidur, dan memastikan lampu minyak tanah menyala di malam hari.

Pelatihan keperawatan ini kemudian berkembang menjadi akademi keperawatan di Bethesda, yang menyediakan perawat medis yang terampil dan profesional untuk klinik dan pusat kesehatan lainnya di Indonesia.

Pada akhir tahun 60-an, keluarga Geary dan staf rumah sakit melindungi 300 warga Tionghoa Indonesia di rumah sakit tersebut dan gereja terdekat selama terjadinya gerilya Komunis dan serangkaian serangan antara suku Dayak dan Tionghoa, menurut surat Geary.

Pada tahun 1974, Bethesda pindah ke Serukam, desa tetangga yang ukurannya tidak lebih besar dari Sungai Betung. CBFMS membangun sebuah rumah sakit lengkap dengan 100 tempat tidur, serta pasokan listrik dan air sendiri. Fasilitas yang ada di sana antara lain beberapa rumah sederhana untuk para dokter dan staf serta asrama bagi paramedis. Mereka juga membangun landasan terbang di sebelah rumah sakit di mana tempat pesawat ringan yang dioperasikan oleh Mission Aviation Fellowship dapat mengangkut pasien untuk perawatan darurat.

‘Bahkan tidak disebutkan di peta’

Sejak tahun 1980-an, dokter-dokter Indonesia telah bergabung dalam misi ini dan secara bertahap menggantikan dokter-dokter asing yang semakin dibatasi untuk bekerja di sektor kesehatan oleh pemerintah Indonesia. Pada saat yang sama, Bethesda mulai mengalihkan kepemilikan dari orang asing kepada dewan yayasan yang terdiri dari orang-orang Kristen Indonesia.

Sri Sjamsudewi, dari Sumatra, adalah dokter Indonesia pertama yang bergabung dengan rumah sakit tersebut pada tahun 1982. “Teman-teman saya memarahi saya dan menyebut saya sebagai orang gila ketika saya memutuskan untuk bergabung dengan Bethesda,” kenangnya. “Mereka tidak mengerti mengapa saya ingin bekerja di tempat yang bahkan tidak disebutkan di peta.”

Sjamsudewi akhirnya bekerja di Bethesda selama 31 tahun hingga pindah ke Singkawang pada tahun 2013. Selama berada di Bethesda, imannya kepada Kristus bertumbuh ketika dia melihat Tuhan secara ajaib memenuhi kebutuhannya, baik besar maupun kecil. Ada saat di mana Geary tidak bisa hadir dan dia harus mengoperasi seorang pria dengan organ hati dan paru-paru yang tertusuk tanduk rusa, sebuah prosedur yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Dengan doa di bibirnya, dia segera membersihkan dan mengobati lukanya dan pria itu sembuh.

Pada lain waktu, ketika membantu Geary dalam operasi darurat yang sangat berisiko tinggi, mereka secara ajaib menemukan sebuah tabung yang sama persis dengan aorta perut yang rusak parah yang perlu mereka ganti.

Namun Tuhan juga menjawab doa-doa yang jauh lebih sederhana. Dia ingat bagaimana, tak lama setelah bergabung dengan Bethesda, dia berdoa kepada Tuhan untuk beberapa kebutuhan praktis: termos dan jam alarm. Beberapa hari kemudian, istri salah satu pasiennya memberikan hadiah. Di dalamnya ada sebuah termos dan sebuah jam alarm.

Banyak dokter Indonesia yang mengikuti jejak Sjamsudewi, bergabung dengan Bethesda dan bekerja di bawah bimbingan Geary. Mereka kemudian mengambil spesialisasi di bidang bedah, kebidanan dan ginekologi, radiologi, dan onkologi, dan sekarang bertugas di rumah sakit di seluruh negeri. Geary juga menginspirasi Willy Ken dari sub-suku Dayak Iban untuk menekuni dunia kedokteran. Ia menjadi dokter pertama di komunitasnya dan menjabat sebagai direktur Bethesda di tahun 90an.

Selain perawatan medis, Geary juga membagikan Injil kepada pasien dan berkhotbah di gereja yang ada di rumah sakit tersebut. Pada tahun 2012, Geary dan Marjorie kembali ke Amerika Serikat setelah hampir lima dekade tinggal di Kalimantan Barat. Geary meninggal pada tahun 2019 dan Marjorie awal tahun 2023.

kesulitan keuangan Bethesda

Oleh karena lokasi rumah sakit yang terpencil, Paul sebelumnya berpikir bahwa bagian tersulit dari transisi ini adalah menemukan dokter dan perawat. Namun sebaliknya, mereka merasa semakin sulit untuk mempekerjakan administrator, akuntan, manajer, dan departemen TI rumah sakit. Kurangnya tata kelola yang baik di Bethesda menyebabkan mereka tidak siap menghadapi perubahan kebijakan kesehatan pemerintah, donasi yang menurun tajam, dan berkurangnya jumlah pasien.

Ketika keluarga Geary pergi, sumbangan luar negeri ke rumah sakit tersebut juga ikut pergi bersama mereka, kata Paul. Saat ini donasinya kurang dari 10 persen pendapatan Bethesda. Sekitar tiga perempat pendapatan berasal dari pasien yang memiliki asuransi kesehatan Indonesia, tetapi jumlah pasien yang datang ke Bethesda juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan penerapan sistem asuransi kesehatan Indonesia yang lebih luas, yang mengharuskan pasien mendapatkan rujukan dari klinik tingkat komunitas sebelum mereka dapat menemui dokter spesialis di Bethesda. Pada saat yang sama, beberapa kota besar telah membuka rumah sakit baru.

Dewi Citra Puspita, Direktur Bethesda, mencatat bahwa Bethesda telah menghadapi masalah keuangan yang serius selama bertahun-tahun dan pandemi COVID-19 telah memperburuk masalah tersebut.

Paul dan keluarganya mengunjungi teman-teman lokalAtas perkenanan Paul Geary
Paul dan keluarganya mengunjungi teman-teman lokal

“Saat COVID-19 melanda provinsi ini, kami memutuskan untuk membuka ruang isolasi untuk merawat pasien yang mengidap virus tersebut,” kata Puspita. “Bangsal dengan 20 tempat tidur hampir selalu penuh selama puncak pandemi karena tidak ada pusat isolasi lain di dekat sini.”

Virus ini menyebar ke dokter dan paramedis rumah sakit, hampir melumpuhkan layanan rumah sakit. Namun meski dengan staf yang terbatas, “kami mampu berkontribusi secara signifikan terhadap pengobatan dan penyembuhan pasien COVID,” katanya.

Oleh karena rumah sakit itu hanya menerima sedikit pasien non-COVID-19 selama pandemi, pendapatan mereka semakin menurun. Namun rumah sakit tersebut mampu tetap beroperasi berkat dana khusus yang dialokasikan pemerintah untuk pusat kesehatan yang merawat pasien COVID-19. Menurut Paul pendanaan tersebut hanya bertahan hingga akhir tahun 2023.

Selain itu, Bethesda kesulitan menemukan dokter penyakit dalam penuh waktu. Saat ini Bethesda hanya memiliki dokter penyakit dalam paruh waktu yang praktik hanya sekali atau dua kali dalam seminggu. Hal ini membatasi layanannya dan mengurangi jumlah pasien yang dapat ditemui. Rata-rata keterisian tempat tidur di Bethesda berkisar kurang dari 20 persen.

Masa Depan Bethesda yang Tidak Pasti

Saat ini, Bethesda berada di persimpangan jalan. Paul mengambil cuti panjang dari praktiknya di Minnesota untuk menghabiskan lebih banyak waktu di Serukam selama masa transisi ini. Dia mengadakan diskusi dan survei informal dengan anggota dewan Bethesda, dokter, paramedis, manajer, dan perwakilan masyarakat setempat untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia juga menghubungi perusahaan konsultan di Jawa Barat yang berpengalaman dalam pengembangan dan manajemen rumah sakit.

Hampir semua orang percaya Bethesda harus terus melayani masyarakat, kata Paul. Namun mereka mengakui bahwa hal ini memerlukan reformasi yang signifikan, termasuk peralihan ke model rumah sakit misi yang melayani campuran pasien kelas menengah dan miskin sehingga dapat meningkatkan level gaji dan tetap berkelanjutan. Anggota dewan Bethesda, Francisca Badudu, seorang ahli onkologi di Bandung, Jawa Barat, mencatat bahwa rumah sakit tersebut mungkin perlu dipindahkan ke kota yang lebih padat penduduknya.

“Akan tetapi rumah sakit harus tetap menjunjung visi dan misinya untuk menjadi saksi dari kasih Kristus,” kata Badudu, yang bertugas di Serukam pada tahun 1980an dan menjabat sebagai ketua dewan hingga saat ini.

Untuk menyelesaikan beberapa masalah tata kelola Bethesda, Paul berharap Bethesda dapat membuka kantor di kota yang lebih besar untuk merekrut orang-orang yang sangat terampil untuk mengelola rumah sakit dari jarak jauh. Dia juga mencari orang yang lebih memenuhi syarat untuk bergabung dengan dewan direksi rumah sakit tersebut—pada awalnya, dewan tersebut terdiri dari petani pedesaan atau pendeta yang tidak memiliki pengalaman menjalankan rumah sakit besar. Saat ini sekitar setengah dari dewan direksi memiliki kualifikasi profesional untuk posisi mereka.

Rumah sakit ini juga memperoleh pendukung keuangan yang potensial dari orang-orang yang dilayaninya. Salah satu pengusaha di Jakarta, yang lahir di Kalimantan Barat, mengatakan kepada Paul bahwa dia sangat ingin mendukung jika rumah sakit tersebut memiliki rencana besar di masa depan. Pria itu sudah sering mendengar orang tuanya berbicara penuh kasih tentang pelayanan Bethesda.

Junaedi dan keluarga sangat bersyukur Tuhan mempertemukan Geary dan Marjorie ke hutan Kalimantan Barat.

“Saya tidak mengerti mengapa mereka setuju datang ke tempat terpencil seperti ini,” katanya. “Satu-satunya jawaban di balik semua ini adalah kasih mereka yang tulus dan tanpa pamrih kepada Tuhan.”

“Dan buah dari ketaatan mereka sungguh luar biasa,” katanya. “Tuhan secara ajaib telah memberkati pelayanan mereka melalui Bethesda.”

Pelaporan tambahan oleh Angela Lu Fulton.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube