Pergumulan untuk Mempertahankan Keutuhan di Kala Gereja Tercerai-berai

Bagaimana kita melanjutkan hidup ketika ada lebih banyak kebingungan dan sakit hati daripada kejelasan dan pemulihan?

Christianity Today May 14, 2024
Ilustrasi oleh Keith Negley

Saya merasakan simpul kengerian dan ketidakpercayaan yang semakin besar dalam diri saya.

Teman di sebelah saya, pendeta muda di gereja kami, berbicara pelan di ponselnya saat taksi kami melaju melewati Sungai Han di Seoul. Air yang deras mengalir di antara tepian sungai yang hijau terawat. Melalui sambungan telepon itu, saya mendengar nada amarah si penelpon yang menggambarkan tuduhan dosa yang baru dilakukan oleh gembala kami.

Saat saya menguping, saya tidak tahu tentang pergolakan yang akan terjadi di masa mendatang: Ternyata beberapa bulan kemudian kami mengalami perpecahan gereja yang penuh kekerasan, penyelidikan formal atas tuduhan perundungan, dan kematian seorang wanita muda yang terkasih.

Kisah saya mengenai luka di gereja punya banyak petunjuk, tetapi belum tentu berisi jawaban. Saya tidak yakin apakah saya telah mempelajari apa yang seharusnya saya pelajari. Duka menancapkan akar yang mendalam dan menghasilkan buah yang aneh. Ini adalah sebuah kisah bagi orang-orang biasa di gereja-gereja lain di mana penyelidikan sedang dilakukan—yaitu orang-orang yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang harus dipercaya, dan bagaimana cara untuk terus berjalan di dalam kasih.

Kisah-kisah pelecehan rohani yang paling menonjol berpusat pada para pemimpin pelayanan yang besar, jadi kita mungkin berasumsi bahwa lingkungan seperti itulah yang mendorong dinamika kekuasaan yang tidak sehat. Namun gereja saya kecil, terkadang hanya 40 orang di hari Minggu atau mencapai 100 orang pada minggu-minggu yang sibuk.

Kami adalah jemaat yang beraneka ragam, yang sebagian besar merupakan ekspatriat. Selama tiga tahun kami makan bersama, menggendong bayi satu sama lain, berduka atas kehilangan satu sama lain, dan beribadah bersama dengan penuh sukacita.

Bagaimana kami bisa berpisah begitu cepat?

Dalam gereja yang seakrab ini, konflik memecah-belah keluarga-keluarga tepat di tengah. Dalam kasus kami, tidak ada penggelapan, perselingkuhan, atau ajaran sesat; yang ada hanyalah tuduhan bahwa gembala kami menyalahgunakan kekuasaannya—dan merebut lebih banyak lagi.

Dua faksi pun terbentuk. Jemaat yang percaya pada pendeta muda dan jemaat yang percaya pada gembala. Saya memiliki teman-teman baik di kedua kelompok ini. Ketika Anda memercayai orang-orang yang mengatakan hal-hal yang berlawanan dengan yang Anda ketahui, secara emosi kita langsung merasa itu mustahil dan secara moral kita merasa ada keharusan untuk memilih salah satu pihak. Saya bertanya-tanya, Cerita siapa yang harus saya percayai? Bagaimana jika saya membuat pilihan yang salah?

Sambil berbaring dengan mata terbuka, saya menelusuri rangkaian teks di ponsel atau memutar ulang percakapan di kepala saya, saya khawatir apakah saya telah mengatakan hal yang benar. Saya merasakan tekanan yang sangat besar untuk berjalan dengan sempurna melewati sebuah situasi yang hancur.

Pada saat yang sama, saya memperoleh suatu penghiburan yang aneh karena mengetahui bahwa Allah tidak terkejut dengan kehancuran yang kita alami. Perjanjian Baru menunjukkan para pemimpin agama yang sedang berebut kekuasaan, seperti orang-orang Farisi yang bersekutu dengan pemerintah Romawi, murid-murid Yesus yang berebut posisi, dan para pemimpin gereja mula-mula yang diperingatkan untuk tidak mendominasi jemaat mereka dalam Surat-surat dari para rasul.

Meski demikian, gambaran Tuhan tentang kepemimpinan tidak terlihat seperti cambuk penindas atau tempat parkir utama bagi bos. Gambaran Tuhan tentang kepemimpinan justru terlihat seperti gembala yang memberi makan kawanan dombanya (1Ptr. 5:2). Juga terlihat seperti halnya Yesus mengikatkan handuk pelayan di pinggang-Nya ketika Dia berlutut untuk membasuh kaki para pengikut-Nya (Yoh. 13:4-5). Lalu mengapa penyalahgunaan otoritas terus terjadi di dalam pelayanan?

Beberapa bukti menunjukkan bahwa kepemimpinan menarik orang-orang yang narsistik, dan dengan menempatkan para rohaniwan dan pendeta yang dianggap lebih penting dari yang lain, kita dapat menilai, dalam kata-kata profesor dan terapis Chuck DeGroat, “kompetensi eksternal melebihi karakter Kristen.”

Para pemimpin membutuhkan saudara-saudari di sekitar mereka, yang memiliki integritas dan hubungan baik yang dapat mengatakan, “Saya mengasihimu, sobat. Jadi sekarang berhentilah melakukan hal itu,” daripada menjadi jemaat yang hanya menurut saja. Perundungan pastoral terjadi dalam sistem yang dirancang tidak hanya untuk melindungi kepemimpinan yang tidak sehat melainkan juga untuk mempromosikannya.

Gembala kami bukanlah seorang selebriti, bahkan bukan pula seorang pemimpin yang sombong. Dia datang lebih awal untuk membersihkan toilet. Namun dia dapat berbicara tanpa berpikir panjang. Dia bisa bertindak impulsif. Dia murah hati, tetapi dia juga bisa membuat keputusan sepihak. Pendeta muda kami juga sama rumitnya. Dia bisa bersikap hangat kepada saya sambil menjelek-jelekkan orang lain. Dia meneguhkan karunia-karunia jemaat. Dia bisa menjadi pembela yang gigih. Namun menurut saya, dia juga bisa menjadi manipulatif.

Banyak hal yang bertentangan bisa dimiliki oleh seseorang dalam pribadi yang sama.

Ironisnya, gereja kami juga baru-baru ini bertumbuh secara jumlah karena masuknya anggota-anggota dari gereja terdekat yang dihancurkan oleh pelecehan rohani. Secara historis, organisasi-organisasi sangat rentan terhadap konflik pada saat terjadi perubahan. Sambil kami bertumbuh secara jumlah, sistem organisasi kami tidak dapat mengimbanginya. Para sukarelawan melihat pelayanan mereka digantikan oleh staf yang dibayar. Orang-orang merasa terlantar dan diremehkan, tanpa adanya mekanisme formal untuk menyampaikan keluhan.

Keadaan menjadi semakin buruk. Pendeta muda kami, pengerja magang kami, dan sekitar separuh dari teman-teman saya tidak lagi berbicara dengan gembala kami. Mereka menuduhnya melakukan misogini, berbohong, merundung, dan bahkan meninggalkan imannya. Mereka mengatakan bahwa hal itu persis seperti kasus Mars Hill. Semua keburukannya diungkapkan secara terbuka.

Gereja induk kami pun mengirimkan komite investigasi, yang sulit untuk dipandang sebagai pihak ketiga yang netral. Kesalahan klasik lainnya pun terjadi: Kami mendengar desakan yang biasa kita dengar untuk tunduk pada otoritas dan berhenti bergosip.

Semua ini terjadi selama pandemi COVID-19, dan isolasi yang menyertainya semakin memperburuk situasi. Pada tahun 2020, kebijakan Korea Selatan melarang pertemuan sosial atau makan bersama. Kesalahpahaman yang mungkin bisa diselesaikan dengan semangkuk bibimbap, malah membusuk selama berbulan-bulan.

Keheningan yang lama membeku berubah menjadi surat terbuka, email balasan kepada semua orang, dan tuduhan yang keji: si pendeta muda sedang berkampanye untuk mendapatkan kekuasaan; si pengerja magang itu sedang memainkan peran sebagai korban; sang gembala itu adalah seorang tiran yang seksis.

Pertempuran terbuka kini berkecamuk di sekeliling kami. Setiap minggu, ada teman-teman yang meninggalkan gereja. Beberapa beralih ke gereja lain. Namun, banyak juga yang meninggalkan kekristenan sama sekali karena sudah sangat kecewa.

Dalam keadaan tak berdaya, saya bertanya kepada Tuhan apa yang bisa saya lakukan. Rasa tanggung jawab terkadang membuat saya bersemangat, tetapi terkadang membuat saya kewalahan juga. Dengan hasrat yang sungguh-sungguh untuk bisa berguna, saya terkadang lupa bahwa Tuhanlah—bukan saya—yang memegang diri kita, bahwa Roh Kudus mengasihi sang mempelai wanita jauh lebih besar daripada saya, dan Roh itu berjuang demi mempelai wanita itu dengan lebih kuat daripada yang saya bisa.

Saya pun mencari hikmat dalam Kitab Suci. Surat Paulus kepada gereja-gereja rumah di Roma menjadi landasan Firman Tuhan bagi saya. Dalam Roma 12, ada dua faksi saling memelototi satu sama lain karena jurang perbedaan. Orang-orang percaya telah terpecah-belah karena status, etnis, kebiasaan keagamaan, dan penafsiran Alkitab. Tanpa mengorbankan doktrin, Paulus memohon, menasihati, dan mengajak mereka—menggunakan segala cara yang ia ketahui—untuk kembali kepada persaudaraan dalam iman.

Saya meminta Tuhan untuk memberikan kepada saya nada kasih sayang yang sama dan kejujuran yang tak tergoyahkan seperti Paulus dalam setiap interaksi.

Saya merasa tidak bisa memproses segala sesuatunya dengan pendeta atau teman-teman gereja saya. Semua orang yang dekat dengan saya terlibat dalam penyelidikan itu atau imbasnya. Rasanya para pemimpin saya seperti berada dalam mode triase, yang hanya memusatkan perhatian pada orang-orang yang paling berperan dalam konflik tersebut. Saya membaca buku-buku, artikel, dan siniar yang ada seputar perundungan agama, tetapi semua tampaknya mengasumsikan yang terburuk, ditulis dengan warna hitam putih yang sangat jelas. Tidak ada yang mencerminkan bagian abu-abu seperti yang sedang saya alami ini.

Putus asa untuk mendapatkan kejelasan, saya merasa lega ketika menemukan terapis lewat Zoom—seseorang yang akhirnya dapat saya ajak bicara tanpa filter. Musik juga membantu. Saya sering memimpin jemaat kami menyanyikan lagu “Prophesy Your Promise”:

Saat aku hanya melihat sebagian
Aku akan menubuatkan janji-Mu…
Karena Engkau menyelesaikan apa yang Kau mulai
Aku akan memercayai-Mu dalam prosesnya.

Sungguh suatu penghiburan untuk menyanyikan seruan kepada Allah yang baik “di tengah kekacauan saya.”

Setelah mewawancarai semua orang yang terlibat dan membaca ratusan email, komite investigasi memutuskan bahwa gembala kami tidak bersalah atas pelecehan rohani.

Namun, mereka mengatakan kepada jemaat bahwa dia telah bertindak tidak dewasa dan gagal menunjukkan hati seorang gembala. Dia telah menunjukkan kelalaian dalam menangani kontrak pengerja magang, membiarkan perasaan tidak enak berlama-lama tanpa penyelesaian. Mereka memberi mandat kepadanya untuk terapi, membentuk dewan penatua, dan memberikan cuti yang dibayar untuknya dan bagi mereka yang mengajukan tuntutan.

Perpecahan tetap ada. Pengerja magang kami, pendeta komisi anak, dan pendeta muda kami akhirnya mengundurkan diri. Yang lainnya juga berhamburan keluar—sebagian memprotes ketidakadilan, sebagian hanya lelah dengan semua cobaan ini. Kami yang tetap tinggal merasa terpanggil untuk membangun kembali sesuatu yang lebih sehat, bertekad untuk menyaksikan semacam penebusan. Segala sesuatunya tampak mulai beres.

Lalu masuklah sebuah panggilan telepon.

“Jeannie,” kata sahabat saya dari gereja, berhenti sejenak untuk mengendalikan napasnya yang tersengal-sengal. “Pengerja magang kita telah terbunuh.” Larut malam sebelumnya, teman sekaligus mantan pengerja magang kami yang telah menjauh dari gereja itu sedang berjalan di seberang jalan ketika seorang pengemudi mabuk menerobos lampu merah dan menabraknya. Saudari kami telah tiada.

Wanita itu masih sangat muda, baru saja memulai pelayanan; dia sangat dicintai, namun sebagai orang asing dia sangat sendirian di negara yang bukan negaranya. Dia dengan penuh semangat memperdebatkan berbagai kebijakan, berdoa dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan pengertian, berjuang dengan penuh gairah demi sesuatu yang harus ia perjuangkan, dan akhirnya meninggalkan komunitas yang ia cintai.

Dan sekarang dia telah tiada. Bagi saya, tidak disangka bahwa begitulah akhir dari kisahnya di dunia.

Saya berharap bisa mengatakan bahwa komunitas kami bersatu dalam kesedihan kami. Namun jika Anda pernah terjerumus ke dalam tragedi komunal, Anda pasti tahu betapa setiap anggota mengalaminya secara berbeda. Kematian teman kami tidak membuat kami bersatu. Itu adalah kehancuran terakhir kami. Gereja kami telah terpecah sepenuhnya, dengan kekerasan yang masih membuat saya tercengang.

Perubahan pun terjadi secara perlahan. Sebelum kembali ke Amerika, saya melihat secercah harapan. Gembala kami, yang telah didisiplin, mengaku dan meminta maaf dari mimbar: “Saya telah menjadikan kesuksesan gereja ini sebagai identitas saya, dan saya minta maaf.”

Dewan penatua yang baru dibentuk (di mana suami saya menjadi anggotanya) membuat sebuah konstitusi dengan ketentuan untuk memberhentikan seorang pendeta. Saya dan suami mengkhotbahkan Roma 12 di hari Minggu itu saat kami mengucapkan selamat tinggal. Setelah berbulan-bulan dalam keheningan, saya dan seorang teman minum kopi bersama sambil bertatap muka dan memberikan isyarat pertama dari rekonsiliasi yang penuh air mata.

Saya tidak pernah melihat kebangkitan sepenuhnya. Beban itu terasa seperti bagian permanen dari kisah gereja saya sekarang. Saya menjadi sangat memperhatikan sikap, tanda-tanda kebencian dari staf, para pemimpin gereja yang dianggap lebih penting dari yang lain, dan komunikasi yang terasa menjilat atau tidak tulus.

Kepercayaan akan butuh waktu. Setelah menetap sementara di sebuah komunitas Kristen baru di Amerika, saya bisa merasakan diri saya menjaga jarak dengan orang-orang lain. Untuk pertama kalinya sejak masa remaja, saya tidak memimpin ibadah atau kelompok kecil.

Untuk saat ini, menampakkan diri saja sudah cukup sulit.

Saya masih bertanya-tanya apakah saya berjalan dengan baik. Apakah saya harus memilih satu sisi sungai atau sisi yang lainnya? Atau satu-satunya cara adalah menggelepar-gelepar di antara keduanya?

Seperti yang dikatakan Beth Moore dalam memoarnya, “Sepanjang hidup saya yang penuh dengan simpul-simpul, saya merindukan kewarasan dan kesederhanaan untuk mengetahui siapa yang baik dan siapa yang jahat … Namun Tuhan tetap saja menjauh dari permintaan yang sederhana ini.” Saya sendiri adalah orang yang campur aduk, agak seperti korban, tetapi seperti penjahat juga, meskipun saya percaya Roh Kudus sedang mengerjakan rasio tersebut.

Tidak ada penindas yang jahat atau korban tanpa cela dalam kisah kami. Kami harus berhenti menuntut adanya hal tersebut. Pasti ada cara yang lebih baik untuk menumbuhkan budaya yang harmoni dan kebenaran.

Penulis Scot McKnight dan Laura Barringer menjelaskan cara mengembangkan “lingkaran tov,” atau kebaikan, dengan menetapkan norma-norma pelayanan, kasih karunia, keberanian, dan kebenaran dalam bidang apa pun yang kita pengaruhi. Bagi sebagian besar dari kami, ini adalah cara untuk melangkah maju melewati masa penyelidikan atau sakit hati di gereja.

Alih-alih merapatkan barisan atau memusnahkan siapa pun yang terlibat, kami meratap. Kami berdoa. Dengan sungguh-sungguh mencari Roh Kudus, Kitab Suci, dan nasihat yang bijak, kami menyadari bahwa kami juga berpotensi untuk membuat kesalahan. Kami memperlakukan satu sama lain dengan lemah lembut, meski di bawah tekanan.

Dengan mempertimbangkan tanda-tanda bahaya yang umum dan kasih sayang yang lembut sebagai saudara, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit kepada para pemimpin. Kami mengundang para ahli. Kami tetap berada di dalam situasi yang penuh ambiguitas lebih lama daripada yang nyaman.

Investigasi gereja apa pun merupakan panggilan untuk bertobat, baik secara pribadi maupun institusional. Ketika hal itu terjadi, kiranya Tuhan mengaruniakan para pemimpin yang melayani, sistem akuntabilitas, dan kebiasaan untuk rendah hati kepada kita. Semoga kita melangkah maju menuju keadilan dan perdamaian sejati.

Jeannie Whitlock adalah seorang penulis yang tinggal di pinggiran kota Chicago.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bukankah Hati Kita Berkobar-kobar?

Karya misterius dari Allah yang penuh penghiburan dan tersembunyi.

Christianity Today May 9, 2024
Stream in the Woods oleh Elizabeth Bowman. Lukisan cat minyak pada kanvas. 2023

Pada hari itu juga dua orang dari antara murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi. — Lukas 24:13-14

Satu hal yang saya sukai dari Alkitab adalah kecenderungannya untuk secara bersamaan menjelaskan dan mengaburkan, menghiburkan dan membingungkan. Kita menemukan dinamika unik ini terjadi pada hari Yesus bangkit dari kematian, ketika Injil Lukas mengarahkan perhatian kita pada jalan menuju Emaus. Mendapati dua murid Yesus yang tidak disebutkan namanya sedang bercakap-cakap, Lukas menggambarkan mereka dalam keadaan bingung, karena mereka mulai mendengar rumor tentang kebangkitan Yesus. Saat mereka berjalan di sepanjang jalan, keduanya memproses kejadian-kejadian penting dalam tiga hari terakhir dan kemungkinan-kemungkinan aneh yang terkandung dalam laporan-laporan baru ini. Meskipun mereka bukan bagian dari Dua Belas murid yang pertama, mereka tampaknya sudah cukup dekat dengan lingkaran dalam dari para murid sehingga mereka bisa mengetahui berita yang mustahil bahwa Yesus masih hidup.

Kemudian, segala sesuatunya pun menjadi menarik: “Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka” (Luk. 24:15). Yesus yang telah bangkit menyela diskusi mereka—tetapi mereka tidak mengenali-Nya. Lukas mengaitkan kebutaan mereka dengan maksud ilahi; Yesus tidak mengungkapkan diri-Nya. Dia hanya berjalan bersama mereka dalam perjalanan panjang mereka, menyamar, mendiskusikan apa yang ada dalam pikiran mereka.

Itu akan menjadi sebuah percakapan yang panjang sepanjang tujuh mil dari Yerusalem ke Emaus. Rata-rata, orang berjalan dengan kecepatan tiga mil per jam, yang berarti Yesus bepergian bersama mereka selama sekitar dua setengah jam. Ia akhirnya mengarahkan dialog tersebut menjadi sebuah pelajaran Alkitab yang panjang dan menyeluruh. Ia mengemukakan alasan dari Kitab Suci mengapa mereka tidak salah dalam menentukan siapakah Yesus yang mereka harapkan. Pada beberapa titik dalam perjalanan, secercah cahaya mulai menyinari hati dua murid yang muram ini.

Tiba-tiba penyingkapan Yesus pun terjadi dalam sekejap mata—yang terangkum hanya dalam dua ayat pendek. Ketika mereka akhirnya tiba di Emaus, Yesus berbuat seolah-olah Dia hendak meneruskan perjalanan lebih jauh, tetapi mereka bersikeras agar Dia tetap tinggal, dan Dia pun melakukannya. Mereka bertiga duduk di sekitar meja, dan Yesus mengambil roti dan mengucap berkat. Dia memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada mereka. Lalu terbukalah mata mereka. Kemudian Dia pun lenyap.

Yesus menghilang tepat pada saat kedua murid itu mengenali Dia—ini merupakan suatu penghiburan yang manis dan singkat. Mereka begitu diliputi sukacita sehingga mereka memutuskan untuk berjalan kaki sejauh tujuh mil kembali ke Yerusalem saat itu juga, dalam kegelapan malam dan dalam terang iman.

Apa yang bisa kita petik dari kisah ini? Perhatikanlah kedua murid yang sedih itu. Saat mereka meninggalkan Yerusalem, mereka bingung dan kecewa, memikul beban berat karena merasa ditinggalkan. Sementara kelompok yang lebih besar menunggu untuk melihat apakah kebangkitan Yesus benar-benar terjadi, Yesus pertama-tama menyatakan diri-Nya kepada mereka yang merasa sendirian, berkecil hati, dan putus asa.

Namun, dalam beberapa hal, Tuhan masih menyembunyikan diri-Nya. “Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri,” kata nabi Yesaya (45:15). Mungkin anugerah tertentu hanya bekerja secara rahasia. Mungkin beberapa kenyataan dan luka menyebabkan kita menjadi begitu rapuh sehingga apa pun selain kesabaran dan pemeliharaan Tuhan yang tersembunyi, akan menghancurkan kita seperti daun yang kering, mengembalikan kita menjadi debu. Apa pun alasannya, kita dapat percaya bahwa Juru Selamat kita dekat. Sang Tabib Agung sedang merawat kita dengan penuh perhatian dan ketelitian yang lembut, dan dengan kesabaran yang perlahan, yang memungkinkan kita untuk memperoleh kesembuhan yang terdalam. Saya percaya kita diberikan visi tentang kisah kita sendiri. Dalam perikop ini, kita diberi pandangan dari sudut pandang Tuhan mengenai situasi yang terjadi—kita tahu apa yang sesungguhnya terjadi, meskipun para murid tidak mengetahuinya. Walau kita tidak memiliki hak istimewa atas perspektif ini dalam kehidupan kita sehari-hari, kita mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui pada saat itu. Kedua murid itu mengira mereka sedang dalam perjalanan menuju Emaus, tetapi sebenarnya mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah meja: Sebuah meja tempat Yesus yang hidup memberi makan hati mereka yang lapar, menyembuhkan luka terdalam mereka, dan menyulut hati mereka dalam kenyamanan Kebangkitan yang membingungkan. Meja itu pun menunggu kita juga.

Renungkan



1. Menurut Anda, apakah Anda akan tetap tinggal bersama para murid lainnya untuk mengetahui berita yang luar biasa ini? Atau apakah Anda akan langsung pergi, seperti kedua murid ini? Mengapa iya atau mengapa tidak?

2. Ketika kita melihat kembali situasi di masa lalu, kita melihat dengan jelas hal-hal yang tidak jelas bagi kita pada saat itu, terutama dalam kehidupan kita bersama Tuhan. Pernahkah ada saat-saat dalam hidup Anda ketika Tuhan menyembunyikan diri-Nya, hanya untuk mengungkapkan diri-Nya atau rencana-Nya di kemudian hari dalam kisah Anda?

Jon Guerra adalah penyanyi-penulis lagu yang tinggal di Austin, TX. Dia menulis musik devosional, menggubah lagu untuk film, dan telah merilis dua album.

Diterjemahkan oleh Joseph Lebani.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Sains tentang Mengucap Syukur kepada Tuhan

Semakin banyak penelitian yang mendukung manfaat dari kebersyukuran yang ilahi, baik di saat senang maupun susah.

Christianity Today May 3, 2024
Janosch Diggelmann / Unsplash

Bagi banyak orang, tahun 2022 adalah tahun yang sulit, dan persepsi tentang berkat menjadi sulit untuk dimengerti. Sekali lagi, kita mendapati diri berada dalam kontradiksi yang terlihat seperti antara percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta penuh kasih dan mengalami realitas krisis global yang dihadapi umat manusia.

Bagaimana rasa syukur—dan khususnya kebersyukuran kepada Tuhan—menjadi penting bagi perkembangan dan ketangguhan di dunia saat ini? Di tengah pandemi, perubahan iklim, kecanduan, ekstremisme dan polarisasi politik, keruntuhan finansial, kejahatan, kesenjangan, konflik internasional, ancaman nuklir, dan migrasi paksa, adakah kekuatan penyembuhan dalam rasa syukur kepada Tuhan?

Untuk sementara waktu, orang-orang mengandalkan kesaksian pribadi dan nasihat firman Tuhan tentang “bersyukur” untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Secara ilmiah, penelitian tidak banyak membahas tentang bersyukur kepada Tuhan karena sebagian besar penelitian tentang hal ini lebih banyak dilakukan pada tingkat horizontal, yaitu dalam relasi antarmanusia. Proyek-proyek baru yang didanai oleh John Templeton Foundation membuat para teolog, filsuf, dan psikolog seperti kami mengeksplorasi rasa syukur kepada Sang Maha Pemberi kita.

Para peneliti ini telah menemukan bahwa orang percaya yang mengalami dan mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan melaporkan bahwa mereka merasakan lebih banyak harapan, kepuasan yang lebih tinggi, lebih banyak optimisme, lebih sedikit episode depresi, dan pemulihan stres yang lebih besar. Studi yang dilakukan para peneliti ini menunjukkan bahwa rasa syukur kepada Tuhan memperbesar dan memperkuat efek rasa syukur terhadap orang lain.

Orang-orang percaya yang bersyukur juga tidak hanya lebih bahagia karena keadaan mereka lebih baik. Kami juga melihat orang-orang bersyukur kepada Tuhan di tengah kesulitan.

Jason McMartin, seorang teolog di Biola University, dalam sebuah makalah, berpendapat bahwa penderitaan memperkuat perjumpaan kita dengan Tuhan, yang membingkai ulang pengalaman bersyukur dengan memperluas visi kita tentang apa yang bisa kita syukuri, termasuk pengalaman menyakitkan sebagai karunia itu sendiri. Penderitaan memang nyata, tetapi anugerah Tuhan pun melimpah. Bersyukur kepada Tuhan adalah respons kita terhadap penderitaan yang berjumpa dengan kedaulatan Tuhan.

Penelitian membenarkan hal ini. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Joshua Wilt dan Julie Exline di Case Western Reserve University menemukan bahwa di antara para penganut teistik, rasa syukur kepada Tuhan atas peristiwa-peristiwa negatif memiliki fungsi yang serupa dengan rasa syukur atas peristiwa-peristiwa positif, yaitu keduanya mendekatkan seseorang kepada Tuhan.

Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa ketika menghadapi situasi kehidupan yang sulit, praktik bersyukur kepada Tuhan dapat dipupuk untuk melawan kecenderungan alami yang memprioritaskan hal yang buruk daripada yang baik. Pembingkaian ulang ini bukan sekadar lapisan pemikiran positif, melainkan lebih merupakan perasaan yang mendalam dan menetap bahwa ada kebaikan bersemayam di balik kepahitan dan sakit hati yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Psikolog sosial David Myers telah lama mengamati, berdasarkan penelitian ilmiah, bahwa seperti halnya kita dapat berpikir tentang diri kita dan itu menjadi cara kita bertindak, demikian pula kita dapat bertindak sehingga hal itu menjadi cara berpikir kita. Kalau kita dengan sengaja mempraktikkan kebersyukuran, sering kali pikiran dan perasaan kita mengikuti.

Salah satu ide yang dapat dilakukan adalah dengan membuat jurnal yang berisi daftar berkat-berkat yang kita terima dari Tuhan beserta pelajaran yang bisa kita petik dari tantangan-tantangan yang kita hadapi. Selama saat-saat sulit, kita bisa bertanya pada diri sendiri, _Bagaimana Tuhan hadir dalam tantangan ini? Bagaimana tantangan ini mencerminkan kehendak Tuhan bagi hidup saya? Bagaimana saya mengalami Tuhan secara unik melalui tantangan ini? Bagaimana tantangan ini membuat saya lebih dekat dengan Tuhan?_

Penerapan lainnya adalah dengan terlibat dalam ibadah secara intensional. Tentu saja, ini termasuk ibadah mingguan bersama, tetapi bisa juga mencakup beberapa momen penyembahan pribadi sepanjang minggu di mana rasa syukur diungkapkan secara terbuka. Sebagai contoh, sulit untuk tidak bersyukur, bahkan di saat-saat terburuk sekalipun, ketika menyanyikan himne seperti “Sungguh Besar Kau Allahku”:

Ya Tuhanku, ‘pabila kurenungkan, Pemberian-Mu dalam Penebus Kutertegun, bagiku dicurahkan, Oleh Putra-Mu, darah-Nya kudus.

Mengekspresikan perasaan seperti itu secara terbuka adalah cara lain untuk menunjukkan rasa syukur.

Mungkin salah satu tantangan terbesar dalam bersyukur kepada Tuhan adalah menerima anugerah yang tidak layak diterima sebagai karunia dari Tuhan. Relasi-relasi kemanusiaan kita didasarkan pada gagasan kesetaraan; ketika orang lain memberikan sesuatu yang berharga kepada kita, entah bagaimana kita ingin membalas kebaikannya.

Dalam Confessions of a Born-Again Pagan, mantan dekan Yale Law School Anthony Kronman menulis, “Selain ketidakmampuan untuk merasa bersyukur, bencana terburuk yang dapat menimpa manusia adalah terhambatnya keinginan untuk berterima kasih kepada dunia dengan memberikan hadiah balasan yang sepadan dengan apa yang telah diterimanya.”

Meski Tuhan tidak butuh balas budi, Jenae Nelson, seorang peneliti pascadoktoral di Baylor University, menemukan bahwa rasa berhutang budi kepada Tuhan dalam bentuk keinginan untuk membalas kebaikan Tuhan, membuahkan hasil sosial dan individu yang lebih baik daripada rasa keharusan untuk membalas budi kepada Tuhan sebagai suatu bentuk kewajiban sosial.

Meskipun kami sudah mulai belajar tentang rasa syukur kepada Tuhan dan perbedaannya dengan rasa syukur kepada manusia, masih banyak pertanyaan yang tersisa di antara tim peneliti kami:

  • Mengapa ekspresi syukur kepada Tuhan di depan umum sering kali diabaikan, diremehkan, atau tidak disetujui oleh para pengamat?
  • Bagaimana dengan orang-orang yang meragukan keberadaan Tuhan atau meragukan apakah Tuhan benar-benar peduli terhadap mereka? Dapatkah mereka bersyukur kepada Tuhan, dan jika ya, bagaimana caranya?
  • Apakah orang-orang berpikir bahwa Tuhan memberi pahala atau hukuman kepada manusia berdasarkan pada apakah mereka tetap bersyukur kepada-Nya atau tidak?
  • Mungkinkah untuk merasa cukup bersyukur kepada Tuhan?

Entah ditujukan kepada Tuhan atau tidak, kita tahu bahwa rasa syukur saja tidak akan menyelesaikan permasalahan dunia, apalagi pergumulan internal kita sehari-hari. Namun tanpa rasa syukur, saya ragu kita dapat menyelesaikan yang signifikan.

Ya, tahun 2022 bukanlah tahun yang mudah. Namun, kebersyukuran adalah salah satu kebajikan yang paling utama, bahkan di tengah kesulitan dan pergumulan, dan Tuhan adalah Pemberi yang terbesar.

Kebenaran-kebenaran ini sendiri telah mengilhami kami berdua untuk belajar lebih banyak tentang bagaimana kami harus merespons terhadap Tuhan yang murah hati dan suka memberi ini serta menanggapi perbedaan yang terjadi di dalam hidup kami. Kami berharap kebenaran-kebenaran ini juga dapat memberikan dampak yang sama bagi Anda.

Peter C. Hill, profesor Psikologi di Biola University, mengadakan penelitian di bidang psikologi agama, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan kebajikan seperti kerendahan hati, rasa syukur, dan pengampunan. Robert Emmons adalah profesor emeritus di Universitas California, Davis, dan penulis lima buku tentang rasa syukur termasuk The Little Book of Gratitude.

Diterjemahkan oleh Lingkan Claudia dan Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Cobalah untuk Berbicara Sebelum Anda Pergi

Menjauhi orang-orang yang “toksik” adalah nasihat kesehatan mental yang tepat di media sosial. Namun Yesus memerintahkan kita untuk mengupayakan percakapan dan rekonsiliasi.

Christianity Today April 30, 2024
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch Tlapek / Sumber Gambar: Getty

T oksik. Kasar. Menindas. Tidak sehat.

Saya tidak pernah mendengar kata-kata tersebut digunakan begitu sering seperti yang saya alami dalam empat tahun terakhir. Kadang-kadang, sepertinya semua orang yang saya kenal memutuskan untuk menangani konflik dengan teman, kolega, dan gereja dengan memutuskan untuk pergi.

Mungkin sebagian dari hal ini merupakan pergeseran generasi karena generasi yang lebih muda menganut gagasan “memutus siklus,” atau mungkin sebagian lagi berasal dari bagaimana pandemi COVID-19 membuat banyak dari kita menilai kembali kehidupan kita. Dan tidak ada pola yang lebih jelas daripada di media sosial, di mana orang-orang merekam diri mereka sendiri saat meninggalkan pekerjaan, menulis postingan yang menhancurkan gereja yang mereka tinggalkan, dan berbagi video perenungan yang menjelaskan bagaimana perpisahan akan membantu mereka pulih.

Bagi banyak orang, pergi meninggalkan telah menjadi standar utama kesehatan mental—dan tetap bertahan telah menjadi hal yang dicurigai, bahkan mungkin delusi.

Namun, meninggalkan dan bertahan adalah istilah yang netral. Meninggalkan tidak selalu baik, dan bertahan juga tidak selalu buruk. Kita perlu memeriksa dengan lebih teliti cara kita melakukan keduanya. Daripada meninggalkan (atau bertahan) secara otomatis, kita perlu belajar untuk mengejar pemulihan, akuntabilitas, pertobatan, pengampunan, dan kebertahanan.

Izinkan saya memulai dengan sebuah peringatan yang penting: Jika Anda berada di sebuah gereja, organisasi, atau relasi yang menyakiti Anda, meninggalkannya mungkin merupakan pilihan yang tepat. Tidak mungkin untuk memberikan nasihat universal di sini, tetapi saya tidak menyarankan siapa pun untuk hidup di bawah pelecehan. Dalam sebuah organisasi besar, jika seorang pemimpin yang mendominasi bahkan tidak bersedia untuk berbicara, apalagi bertobat jika diperlukan, mungkin masuk akal untuk segera meninggalkannya.

Kekhawatiran saya di sini adalah situasi yang lebih ambigu, situasi di mana kita terlalu sering mengambil keputusan berdasarkan imajinasi dan asumsi kita daripada berdasarkan kasih, kebenaran, dan percakapan yang mencari kejelasan.

Secara umum, sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadi agen rekonsiliasi (2Kor. 5:18) yang, melalui Roh Allah, berupaya untuk memupuk komunikasi dan hubungan yang sehat dan jelas. Itulah yang Yesus tekankan ketika Dia dua kali memerintahkan kita (Mat. 5:23–24; 18:15–20) untuk berbicara dan berdamai dengan orang yang telah kita sakiti atau yang telah menyakiti hati kita.

Mungkin sulit untuk membicarakan perasaan dan kebingungan kita, namun penting bagi kita untuk mengikuti perintah ini dengan sikap terbuka. Kita harus siap untuk bertanya dan bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan sulit. Jika Anda akan melakukan percakapan yang mencari kejelasan, misalnya, sudahkah Anda mempertimbangkan bahwa mungkin ada hal baru yang akan Anda pelajari tentang orang lain atau bahkan diri Anda sendiri? Anda mungkin akan menemukan bahwa orang lain atau organisasi itu bukanlah satu-satunya bagian yang “toksik” dari situasi tersebut.

Percakapan tidak akan membawa kita pada kejelasan atau rekonsiliasi jika kita hidup dengan anggapan bahwa kita tidak bersalah. “Seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorang pun tidak’” (Rm. 3:10).

Kita juga tidak bisa mencapai kejelasan atau rekonsiliasi jika pembicaraan tidak pernah terjadi. Hidup dalam ketegangan yang tidak terselesaikan dapat merusak kesehatan mental, emosional, dan spiritual kita. Kita mungkin mulai hidup dengan pikiran yang saling bertentangan atau kehilangan kemampuan untuk terhubung secara emosional dengan orang lain. Yesus menyuruh kita untuk berdamai sebelum kita datang beribadah (Mat. 5:23–24) dan bahkan memperingatkan bahwa “jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat. 6:15).

Pada sisi lain dari hubungan tersebut, saat kita menjauh dari orang lain dan membiarkan mereka tidak mengerti atau bingung dengan masalah kita, kita memberikan beban yang berat kepada mereka. Mereka mungkin merasa bahwa mereka hanyalah alat yang dipakai kalau diperlukan dan segera dibuang ketika tidak diperlukan lagi. (Saya tidak bisa berbohong; saya masih belum bisa melupakan fakta bahwa ada orang-orang yang menyimpan nomor HP saya ke dalam daftar panggilan cepat mereka untuk keadaan darurat di tahun tertentu, dan kehilangan nomor tersebut di tahun berikutnya.)

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rm. 12:18), dan “Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Fil. 2:3–4). Hal ini mungkin memerlukan percakapan yang sulit tentang kebenaran yang kompleks demi kepentingan orang lain.

Percakapan-percakapan tersebut belum tentu selalu berakhir dengan kesepakatan. Rekonsiliasi dan kesepakatan tidaklah sama. Bertahun-tahun yang lalu, di sebuah gereja yang saya gembalakan, seorang anggota kunci mempunyai tujuan yang berbeda dengan saya. Dia berkata, “Pak Pendeta, Anda mempunyai visi, saya juga memiliki visi, dan dua visi menciptakan perpecahan.” Kami tidak sependapat, tetapi sungguh melegakan ketika dia menyimpulkan bahwa dia sedang menuju arah spiritual yang berbeda tanpa menjelek-jelekkan saya atau orang lain dalam kepemimpinan.

Ketidaksepakatan seperti itu mungkin mengarah pada perpisahan yang baik-baik. Namun jika Anda memutuskan untuk tetap tinggal, itu bisa menghasilkan buah yang baik juga. Saya telah melihat banyak orang bertahan dan melanjutkan percakapan dengan baik. Mereka memperjuangkan perubahan dalam kasih, mencari kejelasan, dan, seiring berjalannya waktu, mampu menciptakan lingkungan yang lebih sehat melalui doa dan hubungan yang jelas. Dan apakah kita pergi atau tetap tinggal, kita memiliki kewajiban untuk mempraktikkan rasa syukur dan memberkati orang lain sebagaimana Bapa surgawi telah memberkati kita dengan penuh kasih.

Terakhir, saat kita mengejar kejelasan, kita membangun ketahanan dalam jiwa kita. Kita dapat “bermegah dalam kesengsaraan kita,” kata Paulus dalam Roma 5:3–4, “karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”

Bagian ini dimulai dengan kesengsaraan namun berakhir dengan pengharapan—dan itulah buah dari ketekunan. Anda bisa melihat sisi lain dari kesengsaraan dengan melalui cobaan dan ketegangan hidup bersama orang lain. Anda akan melihat buahnya bertahun-tahun kemudian setelah dengan sabar membicarakan luka-luka dengan orang lain. Ketika kita mempersembahkan kesengsaraan, penderitaan, dan pencobaan-pencobaan dalam relasi dan organisasi kepada Yesus, Dia memberi kekuatan-Nya kepada kita untuk bertahan (2Tes. 2:16-17). Kita dapat belajar untuk menolak pengharapan palsu bahwa orang-orang yang hancur dapat memberikan kedamaian yang sejati dan sebaliknya, kita dapat memiliki pengharapan yang sejati di dalam Yesus.

James Roberson memasuki pelayanan di perguruan tinggi pada tahun 1999, kemudian memperoleh gelar dari Southeastern Seminary. Berkomitmen pada keadilan sosial, ia telah menangani isu-isu seperti pemberdayaan pemuda, AIDS, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan dalam rumah tangga serta telah berperan penting dalam perintisan gereja di berbagai negara bagian. Dia mendirikan dan menggembalakan The Bridge Church di Brooklyn, di mana dia tinggal bersama istrinya, Natarsha, dan tiga putrinya.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Retaknya Para Pembawa Perdamaian

Sebuah kelompok rekonsiliasi Kristen di Israel dan Palestina memperingatkan bahwa perang akan terjadi. Kini perang itu mengancam relevansi mereka.

Christianity Today April 30, 2024
Maya Levin untuk Christianity Today

Tepat sebelum matahari terbit pada 7 Oktober 2023, di sebuah apartemen di Yerusalem, istri Salim Munayer, Kay, membangunkan dia. Ponselnya berbunyi tanpa henti menandakan banyaknya pesan yang masuk.

“WhatsApp menggila,” katanya.

Munayer pun meraih teleponnya. Keluarga besarnya dengan cemas melaporkan bahwa mereka mendengar sirene serangan udara, hal yang biasa terjadi di Israel dan sering kali hanya berlangsung singkat. Namun kali ini, alarm terus berbunyi.

Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui apa yang terjadi: Militan Hamas dari Gaza meluncurkan ribuan roket ke Israel. Di lapangan, mereka telah menerobos perbatasan dan membantai ratusan warga sipil. Munayer pun menyadari serangan teroris paling berdarah dalam sejarah negaranya sedang terjadi.

Dia segera melompat dari tempat tidur dan berlari untuk membangunkan putra-putranya.

Daniel Munayer, anak Salim yang kedua, mengingat ayahnya menerobos masuk ke kamarnya dan berteriak, “Daniel, hal ini terjadi,” dan menambahkan, “Ini perang.”

Daniel memegangi kepalanya. “Oh, Tuhan kasihanilah kami. Tuhan kasihanilah.”

Salim, 68 tahun, adalah pendiri Musalaha, sebuah organisasi pembangunan perdamaian berbasis agama yang bekerja untuk memulihkan hubungan antara Israel dan Palestina dengan memakai prinsip-prinsip rekonsiliasi yang alkitabiah. Daniel, 32 tahun, adalah direktur eksekutifnya.

Musalaha didirikan pada tahun 1990, dan merupakan organisasi pembawa perdamaian Kristen yang tertua dan paling terkenal di Israel dan Palestina. Namanya berarti “rekonsiliasi” dalam bahasa Arab, dan selama lebih dari tiga dekade pendekatan berbasis agama yang mereka gunakan telah membedakannya dari kelompok-kelompok pembangunan perdamaian sekuler.

Tak satu pun dari keluarga Munayer yang terkejut dengan serangan Hamas terhadap Israel, meskipun mereka tidak pernah menduga kecanggihan dan kebrutalan serangan yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel atau respons militer Israel yang telah menewaskan lebih dari 30.000 orang di Gaza, di mana kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Selama bertahun-tahun, Salim telah memperingatkan, “Kita hidup dalam status quo yang penuh kekerasan. Jika Anda tidak mengupayakan perdamaian setiap hari, dampak perang akan sangat parah.”

Setahun yang lalu, dalam sebuah opini yang ditujukan kepada umat Kristen, Daniel menulis di The Jerusalem Post, “Jangan tertipu oleh gencatan senjata. Faktor-faktor yang memicu terjadinya siklus kekerasan lainnya selalu ada. Ini hanya masalah waktu saja.”

Namun orang-orang menutup telinga mereka. Bahkan Kay pun mulai bosan mendengar peringatan yang sama berulang kali. “Kau terus-menerus mengatakan bahwa situasinya tidak berkelanjutan, tetapi keadaan masih belum berubah,” katanya kepada Salim.

Sebaliknya, keadaan menjadi lebih buruk: pemerintah Israel semakin bergeser ke sayap kanan yang cenderung menyerang; negara ini terpecah karena politik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu; Israel juga memperkuat hubungan dengan semakin banyak negara Arab. Jelas bahwa kebutuhan dan tuntutan Palestina tidak lagi masuk dalam daftar prioritas Israel.

Peristiwa 7 Oktober mendorong banyak warga Israel semakin menjauh dari upaya menciptakan perdamaian. Meski demikian, keluarga Munayer melihat pekerjaan Musalaha lebih penting dari sebelumnya. Buktinya ada di reruntuhan, kata mereka: Upaya perdamaian dan rekonsiliasi bukan hanya penting, melainkan esensial. Namun Musalaha telah memberitakan perdamaian dan rekonsiliasi selama lebih dari 30 tahun. Dapatkah Musalaha kini menawarkan sesuatu yang baru yang belum pernah ditawarkan sebelumnya—ketika hubungan Israel dan Palestina masih seburuk sebelumnya, ketika rekonsiliasi merupakan kata yang kotor bagi banyak orang di kedua belah pihak? Apakah upaya-upaya seperti yang dilakukan Musalaha masih relevan?

Saya menghabiskan satu minggu di Israel dan Tepi Barat untuk bertemu dengan umat Kristen Palestina dan Yahudi Mesianik yang merupakan pendeta, pemimpin pemuda, pemimpin YMCA, pemandu wisata, pengacara, dan pelajar. Banyak dari mereka bukanlah aktivis perdamaian yang profesional, tetapi sepengetahuan saya, mereka semua menganggap serius Khotbah Yesus di Bukit dan berusaha mewujudkan proklamasi-Nya yang menyatakan bahwa “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat. 5:9).

Masalahnya, saya berbicara dengan sekitar dua lusin orang tentang apa arti perdamaian dan mendapat hampir dua lusin jawaban berbeda. Itulah teka-teki Israel-Palestina: Secara umum, bagi orang Yahudi, “perdamaian” berarti keamanan dan perlindungan yang langgeng bagi Israel; ini berarti menghancurkan Hamas, sekalipun dengan mengorbankan banyak korban jiwa. Bagi warga Palestina, “perdamaian” berarti pemulihan tanah dan martabat mereka yang hilang setelah berdirinya negara Israel. Hal ini berarti memperjuangkan persamaan hak dan kebebasan, yang bagi banyak orang termasuk mendukung Hamas, juga dengan mengorbankan banyak korban jiwa.

Bahkan sebelum 7 Oktober, kedua kubu ini semakin saling bertentangan. Ini adalah kenyataan yang telah lama menghantui para pemimpin Musalaha. Bagaimana Anda bisa mencari perdamaian jika Anda bahkan tidak tahu seperti apa perdamaian itu?

Salim Munayer menerapkan dua aturan saat tumbuh besar di kota kuno Lod: Jangan lupakan sejarahmu. Namun, jangan membicarakannya. “Dulu itu adalah rumah ayah,” kata ayahnya, sambil menunjuk ke sebuah bangunan kota. “Di situlah kami biasa menanam pohon zaitun dan jeruk.” Jangan berisik, ayahnya memperingatkan. “Dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke rumah. Jangan bicara dengan siapa pun.”

Lod, yang sekarang menjadi lokasi Bandara Internasional Ben Gurion, selama berabad-abad merupakan kota yang didominasi orang Arab—sampai tahun 1948, ketika pasukan Israel mendudukinya dan mengusir sebagian besar orang Arab. Ayah Salim termasuk salah satu dari sekitar 200 orang Kristen setempat yang dapat bertahan dengan mencari perlindungan di sebuah gereja, tetapi ia kehilangan rumah dan lahan pertaniannya. Pada saat Salim lahir di tahun 1955, sekitar 30% dari populasi Lod adalah orang Arab; sisanya adalah sebagian besar imigran Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab.

Di sekolah, Salim mempelajari sejarah nasional melalui kacamata Zionis, sebuah pandangan yang mulai ia pertanyakan di sekolah menengah. Suatu ketika, seorang guru mengulangi apa yang selalu diajarkan kepada Salim—bahwa orang-orang Yahudi datang dan membuat taman di padang pasir yang tandus, bahwa orang-orang Arab tetap pergi meskipun orang-orang Yahudi berusaha membujuk mereka untuk tetap tinggal—dan Salim pun angkat bicara.

“Lihatlah ke luar jendela,” katanya. “Anda lihat kebun jeruk itu? Itu milik keluarga saya. Lihat gereja itu? Rumah-rumah itu? Itu semua milik orang Palestina.”

Sementara itu, Salim pernah mencicipi seperti apa rasanya persatuan itu. Pada tahun 70an, dia menghadiri suatu pemahaman Alkitab di rumah pamannya yang diikuti oleh orang-orang Palestina dan Yahudi. Banyak orang Yahudi yang menjadi percaya kepada Yesus pada saat itu, dan karena Salim fasih berbahasa Ibrani, ia pun memimpin pemahaman Alkitab untuk para pemuda Yahudi yang baru percaya ini. Kelompok ini berkembang dari beberapa orang yang bertobat menjadi seratus orang. Pengalaman itu sangat membentuk dia; Salim pun melanjutkan studi teologi di Fuller Theological Seminary di California, kemudian kembali ke Israel pada tahun 1985.

Setahun kemudian, Salim mulai mengajar di Bethlehem Bible College di Bethlehem, Tepi Barat. Itulah pertama kalinya Salim menyaksikan kehidupan warga Palestina di bawah pendudukan. “Saya terkejut,” kenangnya. Dia melihat anggota Pasukan Pertahanan Israel (IDF) memukuli warga Palestina, memaksa mereka berdiri di tengah hujan, dan mempermalukan para ayah di depan anak-anak mereka. Dia melihat teman-teman Israelnya—yaitu orang-orang yang sama hangatnya dengan teman-temannya di perguruan tinggi—berubah menjadi penyerang yang tidak dapat dikenali dengan seragam hijau zaitun.

Intifada, yang berarti “mengguncang” dalam bahasa Arab, pertama dimulai pada tahun 1987 dan berlangsung selama enam tahun. Warga Palestina umumnya memprotes pendudukan Israel melalui boikot massal, barikade, dan pembangkangan sipil, tetapi banyak juga yang menggunakan kekerasan seperti melempar batu dan bom molotov.

Murid-murid Salim di Betlehem mengajukan pertanyaan yang melampaui pendidikan teologinya: “Haruskah kami ikut demonstrasi?” “Bolehkah kami melempari tentara dengan batu?” “Para pemukim Yahudi merampok tanah keluarga saya dan mengatakan bahwa Tuhan memberikan tanah itu kepada mereka. Apa sebenarnya yang dikatakan Alkitab?”

Sementara itu, Salim juga mengajar para mahasiswa Yahudi Israel di sebuah pusat studi Alkitab di Tel Aviv-Jaffa yang bergumul dengan isu-isu identitas mereka: “Bagaimana kita bisa menjadi Yahudi dan percaya pada Yeshua?” “Bagaimana kita bisa menyebut diri sebagai Kristen saat orang-orang Kristen menganiaya rakyat kita selama berabad-abad?” Salim berpikir bahwa akan sangat bermanfaat bagi para muridnya yang Yahudi dan Palestina untuk mendengarkan pergumulan identitas satu sama lain, sehingga pada tahun 1990 dia pun mengorganisir sebuah pertemuan di antara mereka.

“Ternyata itu adalah sebuah bencana,” kata Salim. Hampir seketika, para siswa saling berteriak satu sama lain. Tidak ada pihak yang bisa menyepakati bahasa apa yang akan digunakan untuk menggambarkan peristiwa yang sedang terjadi. Apakah itu suatu pendudukan? Perlawanan? Terorisme? Berbicara tentang teologi—apa yang Alkitab katakan tentang tanah Israel?—hanya memperburuk keadaan. Percakapan menjadi hancur. Sepertinya kedua belah pihak membaca Alkitab yang benar-benar berbeda, tidak dapat mencapai narasi yang sama.

Mungkin pertemuan para pendeta akan lebih baik, pikir Salim. Dia pun mengundang 14 pendeta—tujuh orang Yahudi, tujuh orang Palestina—ke sebuah gereja di Yerusalem untuk membahas kejadian-kejadian terkini. “Pertemuan itu berlangsung lebih buruk lagi,” katanya kepada saya. Hal itu pun mengganggu Salim. Mungkinkah tubuh Kristus tidak menemukan suatu kesamaan dalam permasalahan ini?

Pada saat itu, seorang teman yang ditemuinya di pusat pelatihan Alkitab juga merasa yakin akan meningkatnya perselisihan antara orang-orang percaya Palestina dan Yahudi. Evan Thomas adalah seorang Yahudi Mesianik dari Selandia Baru yang berimigrasi bersama istrinya ke Israel pada tahun 1983 untuk mendukung komunitas Mesianik yang masih baru di negara tersebut.

Sebelum Intifada Pertama, orang Yahudi dan Arab beribadah bersama. Namun konflik tersebut seolah-olah telah mengangkat permadani dan menebarkan semua kotoran dari bawahnya. “Kami saling berhadapan dengan anak-anak teman kami di medan perang,” kata Thomas. Warga Palestina sangat marah karena sesama orang beriman akan bergabung dengan IDF dan mengangkat senjata melawan rakyat mereka; orang-orang Yahudi tidak dapat memahami bagaimana orang-orang yang seiman dengan mereka dapat mendukung intifada, yang mereka anggap sebagai tindakan anti-Israel yang kejam.

Salim MunayerOfir Berman untuk Christianity Today
Salim Munayer

Suatu hari setelah kelas selesai, Salim menghampiri Thomas. “Saya prihatin dengan tubuh Kristus,” katanya. Kelompok-kelompok sekuler berbicara tentang kesepakatan damai dan resolusi konflik, tetapi tidak ada yang berbicara tentang rekonsiliasi. Orang Kristen peduli dengan keselamatan, tetapi hanya sedikit yang membahas isu-isu kritis yang memecah belah mereka. Salim mengusulkan untuk membentuk sebuah organisasi berbasis agama untuk menangani kedua hal tersebut. Akankah Thomas bergabung dengannya?

“Kita harus melakukannya,” jawab Thomas. “Kita harus segera memulainya.”

Salim kemudian menelepon seorang Yahudi Mesianik lainnya yang dia kenal sejak SMA, seorang wanita bernama Lisa Loden yang berimigrasi ke Israel dari Amerika Serikat bersama suaminya pada tahun 1974 setelah merasakan keyakinan kuat untuk menjadi “terang dan saksi.”

Sebelum Salim menelepon, Loden sudah merasa sangat sedih dengan ketidakadilan yang dilihatnya di antara warga Palestina dan Yahudi. Dia melihat perbedaan anggaran kota-kota Arab dan Yahudi di Israel. Dia melihat diskriminasi pekerjaan terhadap warga Israel keturunan Palestina. Dia mendengar apa yang dikatakan sebagian orang Yahudi tentang orang Palestina—bahwa mereka kotor, tidak beradab, dan tidak dapat dipercaya.

Kemudian dia bertemu dengan beberapa orang Kristen dari Tepi Barat. Seorang pemuda Palestina bertanya dengan terus terang, “Mengapa Anda datang ke tanah kami?”

Hal ini membuat Loden melakukan perjalanan penelitian yang meresahkan tentang Nakba—bahasa Arab yang berarti “malapetaka”—nama yang diberikan untuk perampasan dan pengusiran orang-orang Arab di Palestina dengan kekerasan selama perang tahun 1948. Jadi ketika Salim bertanya apakah Loden bersedia bergabung dengannya dan memulai program Musalaha untuk perempuan, dia langsung mengiyakan. “Itu adalah jawaban atas doa,” kenangnya.

Sejak awal, Musalaha merupakan kolaborasi yang intensional antara orang-orang percaya Palestina dan Yahudi. Tantangan pertama adalah menyatukan orang-orang Yahudi dan Palestina tanpa memicu pertengkaran verbal. Mereka membutuhkan sesuatu yang kreatif, sesuatu yang dapat melepaskan orang-orang dari konflik dan memaksa mereka untuk melihat satu sama lain sebagai manusia yang rentan.

“Oleh karena putus asa, kami harus melakukan sesuatu yang drastis,” kata Salim. Jadi mereka menciptakan sebuah pengalaman retret dan membawa para peserta pertama ke padang pasir dengan menunggang unta. Di sana, dikelilingi oleh kegersangan dan pasir, “perjumpaan di padang gurun” tampaknya berhasil. Selama empat hari, orang-orang Yahudi dan Palestina berkumpul di sekitar api unggun dan berbicara tentang iman, keluarga, dan kisah-kisah mereka. Mereka berbagi tenda di bawah langit bertabur bintang. Mereka mendaki dan berdoa di bukit-bukit pasir. Dan mereka mendengarkan penderitaan satu sama lain dengan perasaan yang tidak nyaman.

“Padang gurun adalah tempat yang netral,” kata Salim. “Ketidakseimbangan kekuatan menghilang di padang gurun. Ini menghancurkan konsep ‘kita’ dan ‘mereka.’”

Pertemuan di padang gurun, yang telah berlangsung selama beberapa dekade, meskipun sempat terhenti selama perang, bertujuan untuk menjadi permulaan. Musalaha memandang rekonsiliasi bukan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi hanya satu kali saja, melainkan sebagai suatu proses yang bertahap dan berkelanjutan. Setelah pertemuan di padang gurun—yang oleh para pemimpin disebut sebagai tahap “haleluya dan hummus”—para peserta didorong untuk membuka diri tentang perbedaan mereka selama lokakarya, seminar, dan perjalanan. Mereka mengungkapkan keluh kesah mereka dalam pertemuan tatap muka. Mereka mendiskusikan identitas, berusaha memahami cara mereka memandang diri mereka sendiri, menegaskan kekhasan orang lain, dan menegaskan nilai setiap orang yang setara sebagai anggota tubuh Kristus. Para peserta yang ingin melangkah lebih jauh, menganalisis secara kritis dan mengakui peran mereka sendiri dalam ketidakadilan dan mengupayakan advokasi.

Pada awal berdirinya, Musalaha merupakan pendekatan baru terhadap konflik Israel-Palestina. Dekade pertama Musalaha penuh dengan antusiasme dan optimisme. Proses perdamaian Oslo pada tahun 1990-an memicu harapan bahwa orang Israel dan Palestina suatu hari nanti dapat hidup berdampingan secara damai, dan pertemuan-pertemuan Musalaha dipenuhi dengan perasaan gembira bahwa Kristus dapat menjembatani perbedaan-perbedaan mereka.

Daniel Munayer lahir pada tahun-tahun tersebut. Dia ingat ayahnya mengubah ruang bawah tanah apartemen mereka yang kecil menjadi kantor darurat dengan dua meja dan sofa lalu berkantor di sana, meneliti dan menulis kurikulum serta mempersiapkan konferensi. Ibunya menyuruh anak-anaknya diam ketika mereka berisik.

Namun, pada dekade kedua Musalaha, gelembung itu pun pecah.

Negosiasi kesepakatan damai antara Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Ketua Otoritas Palestina Yasser Arafat gagal.

Intifada Kedua, pemberontakan Islam yang jauh lebih berdarah, meletus pada tahun 2000, menewaskan lebih dari 3.000 warga Palestina dan 1.000 warga Israel.

Sebagian besar orang merasa bahwa hal ini juga membunuh kemungkinan solusi dua negara dengan Palestina merdeka.

Pada awal tahun 2000an, Israel mulai membangun tembok penghalang beton dan kawat berduri sepanjang 440 mil di Tepi Barat, yang secara fisik memisahkan kedua bangsa. Warga Israel melihatnya sebagai langkah keamanan yang diperlukan. Warga Palestina melihatnya sebagai segregasi rasial dan perampasan ilegal atas sebagian tanah mereka. (Pembatas ini dibangun sejauh 11 mil di luar Garis Hijau, batas yang diakui secara internasional antara Israel dan wilayah Palestina.)

Daniel menjadi sangat sadar akan identitasnya sebagai “yang lain.” Sebagai warga Israel keturunan Palestina, dia adalah minoritas; sebagai seorang Kristen, dia adalah minoritas ganda. Daniel dan ketiga saudara laki-lakinya bersekolah di sekolah Yahudi dan hanya mereka saja yang merupakan orang Palestina. Namun sepupu-sepupu mereka yang orang Arab melihat mereka sebagai “sepupu kulit putih yang bisa berbahasa Inggris,” karena ibu mereka adalah orang Inggris. Dan ketika mereka bepergian ke Inggris, ciri kulit mereka yang gelap terlihat jelas.

Munayer bersaudara juga merasa dikucilkan oleh komunitas agama internasional. Orang-orang Kristen yang mengunjungi Tanah Suci tampaknya lebih tertarik untuk berinteraksi dengan “orang-orang pilihan” daripada dengan mereka, kata Daniel.

Daniel MunayerOfir Berman untuk Christianity Today
Daniel Munayer

Sementara itu, Munayer bersaudara mendengar apa yang dikatakan orang-orang Yahudi tentang orang-orang Palestina, apa yang dikatakan orang-orang Palestina tentang orang-orang Yahudi, dan apa yang dikatakan orang-orang Kristen di luar negeri tentang Tanah Perjanjian. Dalam beberapa hal, kakak beradik ini adalah tipikal anak-anak pendiri, yang mengevaluasi pelayanan orang tua mereka sebagai partisipan dan pengamat dalam berbagai budaya. Saat beranjak dewasa, mereka sering bertukar pikiran dari literatur yang mereka baca: teologi pembebasan seperti yang dieksplorasi oleh James H. Cone, Gustavo Gutiérrez, dan Naim Ateek, serta kolonialisme pemukim yang diungkap oleh para cendekiawan seperti Edward Said, Mahmood Mamdani, dan Frantz Fanon.

Apa yang mereka baca telah menyentuh kegelisahan dari pengalaman mereka yang tumbuh sebagai orang Kristen Israel-Palestina. Mereka mendiskusikan topik-topik ini dengan penuh semangat saat makan malam, selama mengendarai mobil, dan sambil menyeruput wiski bersama ayah mereka. Dan mereka mendesak Salim dengan pertanyaan-pertanyaan sulit: “Di mana letak kebebasan dan keadilan dalam rekonsiliasi?” “Bagaimana kita bisa berdamai dengan sesama kita, ketika mereka menempatkan kita dalam sebuah sistem yang menindas dan merendahkan martabat kita?”

Ketika hubungan antara Israel dan Palestina memburuk, perpecahan juga terjadi di dalam Musalaha, sesuatu yang masih membekas di hati Salim dan Daniel. Dalam satu dekade terakhir, organisasi ini kehilangan dukungan dari sebagian besar orang Yahudi Mesianik.

Selain perkemahan musim panas tahunan untuk anak-anak, Musalaha tidak mempunyai partisipan Yahudi Mesianik yang tersisa. Keluarga Munayer mengatakan kepada saya bahwa hal itu terjadi karena organisasi tersebut tidak mau mempromosikan politik dan teologi Zionis. Thomas, pendeta Yahudi Mesianik yang menjabat sebagai anggota dewan Musalaha selama 29 tahun, mengatakan bahwa kepercayaan terkikis ketika organisasi tersebut terlibat dengan Christ at the Checkpoint (CATC), sebuah konferensi dua tahunan yang diadakan oleh Bethlehem Bible College.

CATC pertama diadakan pada tahun 2010 sebagai “sebuah kesempatan bagi orang-orang Kristen Injili untuk mencari kesadaran yang tepat mengenai isu-isu perdamaian, keadilan, dan rekonsiliasi dengan penuh doa,” demikian menurut situs web konferensi tersebut. CATC juga sangat kritis terhadap Zionisme Kristen.

Sebagian besar orang Yahudi Mesianik memandang CATC tidak hanya salah arah, melainkan juga merupakan antisemit yang berbahaya. Mereka menuduh CATC menghadirkan pembicara-pembicara yang menganut supersessionisme (paham yang menyatakan bahwa gereja telah menggantikan Israel dalam perjanjian dan rencana Tuhan) seperti Sami Awad, direktur eksekutif Holy Land Trust, dan Mitri Raheb, pendiri dan presiden Universitas Dar al-Kalima di Betlehem. Sebuah pelayanan media dari Israel College of the Bible, yaitu One for Israel, menyebut CATC sebagai “program politik Palestina anti-Israel yang berat sebelah” yang “mempromosikan penghancuran negara Yahudi di Tanah Israel.”

Pada tahun 2012, kelompok-kelompok Mesianik di seluruh dunia mengeluarkan sebuah pernyataan bersama yang mengkritik CATC: “Kami mengakui dan sangat prihatin dengan perjuangan umat Kristen Palestina. Yang kami tolak adalah konferensi yang secara eksplisit pro-Palestina dan anti-Israel, yang berupaya mempromosikan dirinya sebagai konferensi perdamaian dan rekonsiliasi.” Setiap upaya perdamaian dan rekonsiliasi antara orang Yahudi dan non-Yahudi, pernyataan itu menyimpulkan, “harus mengakui bahwa anugerah dan panggilan Tuhan terhadap bangsa Yahudi tidak dapat dibatalkan dan masih berlaku hingga saat ini.”

CATC mengundang Musalaha untuk berbicara tentang rekonsiliasi. Baik Salim maupun Thomas menerimanya, meskipun Thomas kemudian menerima kritik keras—bahkan ancaman pembunuhan—atas keputusan tersebut. Namun pada saat itu, Thomas merasa terdorong untuk hadir. “Bagaimana mungkin saya tidak berada di sana?” katanya. “Saya adalah juru bicara senior untuk rekonsiliasi. Di tempat itulah saya seharusnya berbicara.”

Namun jika ditilik ke belakang, Thomas menyebut keputusannya untuk berbicara di CATC sebagai “kesalahan besar.” Partisipasi Musalaha, katanya sekarang, adalah “momen penting” dan “sebuah kemarahan dan pelanggaran mutlak bagi seluruh komunitas Mesianik.” Ketika Musalaha kehilangan kredibilitas di mata orang Yahudi Mesianik, “maka kami telah kehilangan salah satu mitra terpenting kami.”

Loden juga pernah menjadi anggota dewan Musalaha selama 29 tahun sampai dia mengundurkan diri pada 2019. Selama bertahun-tahun, dia melihat perempuan di Musalaha membangun persahabatan. Untuk pertama kalinya, banyak perempuan Yahudi belajar tentang Nakba dan banyak perempuan Palestina mengetahui tentang Holocaust serta orang-orang Yahudi yang mengungsi ke Israel setelah banyak negara menutup pintu mereka.

Namun beberapa perempuan Yahudi juga datang ke Loden dengan rasa frustrasi. “Kami selalu menjadi pihak yang bersalah di sini,” kata mereka kepadanya. “Kami selalu menjadi pihak yang meminta pengampunan.” Bagaimana dengan semua serangan bom bunuh diri dan serangan roket di Palestina? mereka bertanya.

“Mereka merasa tidak ada rasa saling pengertian bahwa kedua belah pihak sama-sama menderita,” kata Loden. Banyak perempuan Yahudi akhirnya keluar dari program tersebut.

Saat ini, sebagian besar peserta program Musalaha adalah Yahudi Israel yang sekuler, muslim Palestina, dan Kristen Palestina. Musalaha ingin bekerja sama dengan Yahudi Mesianik, kata keluarga Munayer kepada saya, tetapi kerinduan itu tidak berbalas. Dan kalaupun ada hal yang ia sesalkan, kata Salim, hal itu adalah karena dia tidak bergerak cukup cepat untuk melibatkan orang non-Kristen. Mengapa rekonsiliasi harus dibatasi pada orang-orang beriman saja?

Perubahan sikap itu mendorong pengunduran diri Loden. “Hasrat saya adalah melihat tubuh Kristus diperdamaikan, berjalan bersama, menghidupi kerajaan Allah di tengah kita,” katanya kepada saya. “Musalaha saat ini tidak bekerja di area itu.”

Thomas juga pergi karena alasan yang agak berbeda. Pada tahun 2019, saat membimbing para pemuda Yahudi Mesianik dan Kristen Jerman melewati kamp konsentrasi Auschwitz, dia membaca ulang Yohanes 17:21 dan mendapatkan pencerahan: “Saya menyadari bahwa rekonsiliasi tidak pernah dirancang untuk menjadi tujuan akhir.” Tujuan dari upaya perdamaian, katanya, adalah untuk bersaksi kepada dunia bahwa Yesus adalah Mesias. Dia membagikan interpretasinya kepada Salim, yang tidak setuju. Thomas—yang hatinya tertuju pada komunitas Mesianik—sudah merasa dirinya tidak relevan lagi di Musalaha, mengingat pergeseran komunitas tersebut ke arah Yahudi sekuler. Jadi dia pun mengundurkan diri.

Musalaha tidak hanya kehilangan orang-orang Kristen Israel. Mereka juga kehilangan orang Palestina.

Saleem Anfous adalah seorang remaja berusia 16 tahun yang lapar secara rohani dan sedang belajar menjadi imam Katolik ketika Intifada Kedua pecah. Konflik tersebut membangkitkan kesadaran sosialnya dan meruntuhkan keyakinannya. Bagaimana dia bisa melayani sesama warga Palestina sebagai seorang imam, pikirnya, dan mengarahkan mereka kepada Tuhan yang tampaknya lebih memihak kepada orang-orang Yahudi serta mengizinkan mereka untuk menundukkan umat-Nya dengan melakukan pengeboman, penggusuran, perampasan tanah, pengawasan, jam malam, dan pos-pos pemeriksaan? Dia pun meninggalkan seminari dan imannya.

Anfous memutuskan untuk belajar jurnalisme di Bethlehem Bible College. Di sana, untuk pertama kalinya, dia mendengar jawaban alkitabiah atas pertanyaan-pertanyaan teologisnya yang besar. Dia memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, tetapi masih menyimpan kebencian terhadap Israel dan frustrasi terhadap gereja karena tidak berbuat cukup banyak hal. Suatu hari, dia membuat sebuah poster raksasa yang menampilkan gambar anak-anak Palestina yang tewas dan reruntuhan, dengan tulisan tulisan besar di atasnya: “Di manakah Anda dalam semua ini?” Dia menggantungnya di papan buletin di lobi mahasiswa dan hampir dikeluarkan dari kampus.

Banyak yang tidak menganggapnya serius. Namun tidak dengan Salim. Ia melihat di dalam diri Anfous ada semangat muda yang bisa menjadi kuat jika diarahkan. Beberapa bulan kemudian, ia mencari mahasiswa tersebut di asramanya dan bertanya, “Apakah kamu suka bepergian?”

“Ya.”

“Akan ada perjalanan ke padang gurun di Yordania. Kamu mau ikut?”

“Tentu.”

Anfous hanya tahu sedikit tentang Musalaha saat itu, di tahun 2004. Dia pergi karena dia menghormati Salim; dia pikir bergaul di padang belantara bersama pemuda pemudi lainnya akan menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan.

Malam pertamanya di gurun pasir Yordania, Anfous duduk di sebelah seorang pemuda ramah yang ternyata adalah seorang Yahudi Mesianik yang sedang menyelesaikan wajib militer IDF. Kemudian Salim menugaskan Anfous untuk berbagi tenda dengan seorang Yahudi Israel lainnya. Malam itu, Anfous tidak bisa tidur. Namun lambat laun, dia mulai lengah. Mengapa tidak membiarkan Kristus menjadi jembatannya? Melalui Musalaha dia menjalin persahabatan dengan orang-orang Yahudi Israel yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Saleem AnfousMaya Levin untuk Christianity Today
Saleem Anfous

Kemudian Perang Gaza tahun 2014 meletus. Militan Hamas meluncurkan ribuan roket dan hanya menewaskan lebih dari 70 warga Israel; IDF membunuh lebih dari 2.000 warga Palestina. Anfous melihat teman-teman Yahudinya di Facebook memposting dukungan untuk militer Israel, yang baginya setara dengan bersorak atas pembantaian rakyatnya. Namun teman-teman Yahudinya mengatakan bahwa mereka harus membela diri. Mereka saling bertukar pesan panas yang tak pelak lagi memicu perdebatan teologis. Jadi Anfous mengklik “batalkan pertemanan” pada semua orang Yahudi yang dia temui melalui Musalaha.

“Bukan karena Kristus tidak cukup nyata,” kata Anfous kepada saya bertahun-tahun kemudian di sebuah restoran shawarma di Beit Sahour, di luar Bethlehem. “Rupanya, fondasi yang kami pikir sedang kami bangun ternyata tidak cukup konkret.” Perbedaannya terlalu besar, katanya. “Ketika masalah-masalah ini membesar, Anda tidak bisa mengabaikannya. Anda harus benar-benar menghadapinya. Dan ketika tiba saatnya untuk menghadapinya, persahabatan saja tidaklah cukup.”

Anfous mewakili generasi Palestina yang muak dengan upaya-upaya rekonsiliasi yang tidak bersikeras untuk membebaskan Palestina dari pendudukan. Ia mengatakan bahwa dia peduli dengan upaya perdamaian; tanda tangan emailnya adalah “Tuhan, jadikan aku alat perdamaian-Mu.” Namun definisinya tentang perdamaian telah berubah. Apa gunanya persahabatan, katanya, jika kedua pihak jelas-jelas tidak setara dan salah satu pihak berniat menjaga sistem agar tetap tidak setara? Upaya perdamaian seperti itu “berarti diam. Ini adalah kelemahan! Ini bukan waktunya untuk bersikap lemah. Ini saatnya untuk memperjuangkan keadilan.”

Selama lima tahun, Anfous menjadi pemimpin pemuda di Immanuel Evangelical Church, salah satu gereja Injili terbesar di Tepi Barat. Ia bersemangat membantu generasi muda merekonsiliasi iman mereka dengan identitas Palestina mereka, dan dia menyaksikan dengan prihatin saat anak-anak muda Palestina meninggalkan iman Kristen mereka. “Gereja tidak menjalankan perannya sebagai gereja di tengah masyarakat di sini,” katanya. “Oleh karena itu, generasi muda benar-benar mengambil arah yang berbeda.”

Anfous pun berselisih paham dengan pendeta seniornya, Nihad Salman. Salman setuju bahwa Israel menindas warga Palestina di bawah pendudukan yang “jahat.” Dia hidup di dalamnya. Namun prioritasnya sebagai pemimpin rohani, katanya kepada saya, adalah “memimpin orang-orang untuk menyembah Tuhan meskipun ada perang, rasa sakit, atau penderitaan.” Ada cukup banyak orang yang menyerukan keadilan sosial, katanya, tetapi hanya sedikit gembala yang bisa memimpin orang-orang Palestina menuju sukacita dan kedamaian di dalam Tuhan di tengah kesulitan. Bagi dia, upaya perdamaian berarti mendamaikan manusia dengan Tuhan. “Kemudian,” katanya, “kamu akan segera diperdamaikan dengan sesamamu.”

Pandangan tentang perdamaian seperti ini membuat Anfous frustrasi. “Oke, tetapi saya sudah berdamai dengan Tuhan,” kata dia kepada pendetanya. “Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Haruskah saya duduk dan menunggu di bangku cadangan sampai semua orang berdamai dengan Tuhan? Saya merasa Anda masih diperlakukan saya seperti balita padahal saya sudah dewasa.”

Anfous akhirnya meninggalkan gereja Immanuel karena frustrasi dan bergabung dengan Evangelical Lutheran Christmas Church—yang pendetanya saat ini, Munther Isaac, adalah direktur Christ at the Checkpoint dan anggota dewan Musalaha yang sudah lama menjabat.

Isaac adalah seorang advokat rekonsiliasi selama dua dekade. Dia mulai memimpin perjalanan perjumpaan di padang gurun pada usia 20-an. “Saya percaya akan hal itu,” katanya kepada saya di kantor gerejanya di Betlehem. “Saya percaya bahwa satu-satunya jalan sejati menuju perdamaian adalah jika kita percaya kepada Yesus. Jika kita memiliki Yesus, kita memiliki kedamaian.”

Pada tahun-tahun awal CATC, Isaac bersikeras agar konferensi tersebut melibatkan orang-orang Yahudi Mesianik. “Saya sangat berdedikasi akan hal ini,” kenangnya, sehingga ia berkendara berjam-jam ke rumah-rumah orang Yahudi Mesianik untuk mengundang mereka. “Kami tidak dapat melakukan percakapan mengenai konflik ini tanpa adanya suara Anda,” katanya kepada mereka.

Jadi ketika mendengar kritik Mesianik bahwa CATC adalah propaganda politik antisemit sangatlah mengecewakan dia.

Selamabertahun-tahun, Isaac menjadi semakin gelisah tentang upaya perdamaian yang ia ketahui. Masyarakat mungkin memperoleh pengetahuan dari sudut pandang yang berbeda, tetapi orang-orang Palestina masih belum memperoleh kebebasan. Bahkan, kemungkinan terbentuknya sebuah negara Palestina tampak semakin jauh dari kenyataan: Selama enam dekade terakhir, lebih dari 750.000 pemukim Yahudi, yang didukung oleh negara Israel, telah mendirikan kompleks-kompleks yang dipersenjatai dan dibarikade di seluruh Tepi Barat, membentuk apa yang seharusnya menjadi negara Palestina menjadi seperti keju Swiss.

Isaac juga merasa terganggu dengan teologi Zionis, yang dianggapnya sebagai teologi palsu yang mendelegitimasi keberadaan dan martabat warga Palestina serta menjunjung tinggi pendudukan Israel. Ia percaya akan pentingnya rekonsiliasi, tetapi dia mulai bertanya-tanya apakah dia hanya sekadar memuaskan keinginan orang-orang untuk merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri tanpa melakukan apa pun untuk menyelesaikan konflik.

Titik baliknya terjadi pada tahun 2016, ketika dia bergabung dengan kelompok yang terdiri dari sekitar 30 orang Kristen Palestina dan Yahudi Mesianik di bawah naungan Lausanne Initiative for Reconciliation in Israel/Palestine. Isaac, Salim, dan Loden membantu mengatur pertemuan tersebut.

Selama beberapa hari, mereka berdoa dan beribadah bersama di Larnaca, Siprus, untuk mengupayakan persatuan terkait konflik tersebut. Isaac memberikan presentasi yang menegaskan bahwa janji Tuhan kepada Abraham dan keturunannya tidak lagi berlaku hanya bagi orang Yahudi dan tanah Israel, tetapi juga untuk seluruh anak Tuhan dan seluruh bumi. Yesus, menurutnya, tertarik pada kerajaan Allah, bukan pada tanah Israel.

Salah satu peserta kelompok Larnaca, Jamie Cowen, seorang pengacara Yahudi Mesianik, ingat bahwa ia merasa “terganggu dan tertantang” oleh presentasi Isaac. “Rasanya seperti, Oke, saya tidak yakin apakah kita membaca Alkitab yang sama. Itu adalah teologi penggantian yang klasik,” katanya. Cowen menyuarakan ketidaksetujuannya dengan poin-poin yang disampaikan Isaac, dan yang lain menimpali. Perdebatan semakin memanas, beberapa orang meninggikan suaranya, dan pada akhirnya tidak ada yang berubah pikiran.

Perbedaan pandangan tentang teologi Tanah Suci inilah yang menyebabkan mengapa begitu banyak upaya perdamaian antara orang-orang Kristen Yahudi dan Palestina menjadi terhenti. Itulah sebabnya sebagian besar orang Yahudi Mesianik mewaspadai konferensi seperti CATC, sekalipun CATC membuat pernyataan yang mengecam antisemitisme—bagi mereka, batas antara anti-Zionisme dan antisemitisme sangat tipis. Tanah yang Tuhan berikan kepada nenek moyang mereka adalah inti dari identitas dan keyakinan mereka.

Namun bagi banyak orang Kristen Palestina, Zionisme adalah sebuah “teologi politik etnosentris” yang mengistimewakan satu bangsa dengan mengorbankan bangsa lain. Kehadiran mereka dalam sejarah panjang di negeri yang sama di mana Yesus pernah berjalan merupakan sumber kebanggaan dan kesaksian akan kesetiaan Tuhan.

Bahwa kelompok ini berhasil menyusun dan menandatangani sebuah pernyataan pada pertemuan Siprus merupakan sesuatu yang “agak ajaib,” kata Cowen. Mereka berdebat selama berjam-jam mengenai apakah akan memasukkan kata pendudukan atau tidak. Beberapa peserta memilih untuk tidak menandatangani dokumen tersebut, yang dikenal sebagai Pernyataan Larnaca, yang menegaskan kesatuan orang percaya dalam Kristus dan mencantumkan beberapa ketidaksepakatan utama antara faksi Yahudi dan Palestina.

Munther IsaacMaya Levin untuk Christianity Today
Munther Isaac

Saya pernah mendengar beberapa orang menganggap Pernyataan Larnaca sebagai sesuatu yang tidak penting. Namun hal itu sangatlah penting, setidaknya bagi beberapa orang yang menandatanganinya. Loden, yang membantu mengorganisir acara tersebut, menyebutnya sebagai “momen bersejarah.” Pernyataan tidak pernah dimaksudkan untuk mengubah keadaan, katanya. Sebaliknya, “Pernyataan mengukir sejarah.” Bahwa sekelompok orang Yahudi dan Palestina yang berpengaruh duduk bersama, menulis sesuatu, dan menandatanganinya, semua itu merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang bersejarah.

Cowen, terlepas dari perbedaan pendapatnya, menyebutnya sebagai pengalaman yang “mengubah hidup”: “Dari semua hal yang telah saya lakukan di sini sejak saya datang ke Israel, sejauh ini, itulah hal paling signifikan yang pernah saya ikuti.” Untuk pertama kalinya ia memahami pengalaman Palestina adalah di Larnaca, dan setelah konferensi, ia terus membaca buku-buku sejarawan seperti Benny Morris yang menantang asumsinya tentang berdirinya Israel. Ia juga menjalin persahabatan baru: Seorang pengacara Israel keturunan Palestina yang ia temui di Larnaca mengundangnya ke pernikahan putranya.

Larnaca juga mengubah kehidupan Isaac. Dia pulang ke rumah dengan kondisi sakit secara fisik dan mental. Ia kelelahan karena harus menjelaskan dan membela serta memperdebatkan kata-kata dan frasa yang, baginya, bukanlah opini melainkan kenyataan. Ia menandatangani pernyataan tersebut hanya karena dia merasa tertekan. Namun ia merasa telah mencantumkan namanya pada sesuatu yang “melegitimasi rasionalisasi penindasan terhadap rakyat saya.”

Itu saja, dia memutuskan. “Saya tidak ingin melakukan ini lagi.”

Pada tahun 2021, ketika Isaac menghadiri pertemuan antara orang-orang Yahudi Israel, Yahudi Jerman, dan Palestina yang percaya Tuhan, dengan tidak sabar dia mendengarkan orang-orang yang berbagi narasi berbeda. Lalu dia pun merasa tidak tahan lagi.

“Saya bosan dengan ini,” katanya kepada kelompok tersebut. “Kita tidak berbicara tentang isu-isu yang sebenarnya, termasuk fakta bahwa teologi Anda telah digunakan untuk membenarkan pendudukan. Anda adalah bagian dari sistem yang mendorong masyarakat saya keluar, menggantikan mereka dengan orang-orang Anda. Lalu Anda ingin datang dan berdamai dengan saya? Ayolah, yang benar saja!”

Sejak pertemuan Larnaca, Isaac telah mengembangkan pendekatan perdamaian yang sangat berbeda. Ia masih bertutur kata dengan halus dan lemah lembut; dia memberikan kesan seorang pendeta yang lemah lembut. Namun, dia jelas blak-blakan, tidak takut menyinggung perasaan orang lain. Langkah pertama menuju perdamaian, katanya, adalah menyebut segala sesuatunya sesuai namanya. Ia sering menggunakan istilah-istilah yang keras seperti pembersihan etnis, apartheid, dan kolonialisme pemukim.

Berusaha bersikap netral, untuk mempertahankan kedua perspektif dalam ketegangan, bukanlah upaya perdamaian yang alkitabiah, katanya. “Bagi saya, jelas bahwa Tuhan berpihak—bukan pada suatu etnis, melainkan pada mereka yang tertindas, menderita, dan terpinggirkan. Jika Tuhan berpihak pada kelompok orang ini, maka kita juga harus berpihak.”

Beberapa orang mengatakan bahwa Isaac telah berubah. Dia terlalu konfrontatif, kata mereka. Pendekatannya tidak akan berhasil. Dia menjawab, “Apakah pendekatan yang lunak berhasil?”

Pada tahun 2019, tidak lama setelah Isaac mengubah pandangannya tentang upaya perdamaian, Daniel Munayer kembali ke Israel dari belajar di AS dan Inggris. Dia telah menolak tawaran pekerjaan di London karena memilih kembali. Dia percaya akan pentingnya pekerjaan Musalaha.

Kemudian pada tahun 2020, seorang teman dari Tepi Barat memberi tahu Daniel sesuatu yang memicu perubahan pada Musalaha. Temannya ini mengaku senang mengikuti program Musalaha dan berteman dengan orang-orang Yahudi Israel. Namun setelah program tersebut berakhir, dia kembali pulang ke kamp pengungsian. “Saya ingin hidup damai dengan orang Israel,” kata teman itu kepada Daniel. “Namun bagaimana bisa? Saya tidak ingin hidup dalam pendudukan ini. Saya tidak ingin putri saya tumbuh di kamp pengungsian ini. Dan saya tidak melihat adanya masa depan apa pun. Apakah program-program Anda akan membawa kami menuju masa depan yang berbeda?”

Percakapan itu menghantui Daniel. “Saya tidak bisa menghilangkannya dari kepala saya,” katanya. Dia merasa temannya benar. “Apa yang dilakukan Musalaha memang bagus, tetapi kita bisa mengubah dan memperbaikinya. Kita bisa membuatnya lebih relevan dengan realitas politik kita.”

Hal itu menjadi perbincangan hangat antara Salim dan putra-putranya. Putra-putranya menantang dia untuk memikirkan kembali Musalaha. Jika Israel adalah sebuah proyek kolonial pemukim, kata mereka kepada Salim, maka hal itu seharusnya mengubah cara Musalaha melakukan pendekatan rekonsiliasi.

Mungkin, kata Daniel kepada ayahnya, Musalaha seharusnya tidak terlalu fokus pada “koeksistensi” seperti halnya “koresistensi” tanpa kekerasan. Mereka seharusnya terus mengupayakan rekonsiliasi antar pribadi, tetapi mereka juga harus berupaya melakukan rekonsiliasi struktural, berteriak terhadap sistem yang menindas dan membuat rekonsiliasi antar pribadi menjadi hampir mustahil dilakukan.

Salim mendengarkan dan bergumul. Tidak mudah untuk mempertimbangkan bahwa dia mungkin telah salah memahami konflik tersebut dan bahwa pelayanan Musalaha mungkin telah dirugikan karenanya. Akhirnya, setelah meneliti dan merenungkan, ia setuju dengan Daniel.

Saat ini, telah terjadi pergantian pengurus. Dewan Musalaha kini lebih selaras dengan visi yang baru. Pada tahun 2022, Salim mundur dan hanya berperan sebagai konsultan, dan Daniel menjadi direktur eksekutif yang baru.

Ketika saya bertemu Salim di kantor Musalaha yang kecil di kawasan industri Yerusalem, dia tampak bersemangat, dengan mata cokelat yang tajam di balik rambut yang mulai memutih. Seperti biasa, dia tidak banyak bicara.

Pada awalnya, kata Salim, ia membayangkan para pengikut Yesus, orang Yahudi Israel, dan Palestina, berdamai di Tanah Suci, tempat di mana Yesus hadir, mati, dan bangkit. Betapa mereka akan menjadi saksi dan kesaksian yang luar biasa terhadap kerinduan Tuhan untuk mendamaikan dunia.

“Itu adalah impian saya,” kata Salim kepada saya. “Dan kami gagal.”

Musalaha membina persahabatan yang tak terhitung jumlahnya di antara orang Israel dan Palestina. Pelayanan ini mengembangkan metodologi teologis tentang rekonsiliasi yang berbeda dari organisasi-organisasi perdamaian lainnya. “Namun kami gagal dalam hal struktur politik di dalam dan di luar gereja,” kata Salim. “Orang-orang Palestina tidak setara.”

Namun dia masih berharap.

“Sampai hari ini saya sungguh-sungguh percaya bahwa identitas utama kita di dalam Kristus menggantikan dan memperkaya identitas etnis kita. Saya percaya kita bisa—dan saya tumbuh dengan kemungkinan itu—bahwa orang Palestina dan Israel bisa hidup bersama, jika mereka setara.” Perdamaian bukan sekadar memahami satu sama lain dan mendamaikan perbedaan. Perdamaian harus mencakup keadilan, pembebasan, dan kesetaraan.

Salim telah lama memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dalam upaya perdamaian. Dia menulis tentang hal itu dalam buku Through My Enemy’s Eyes, sebuah buku yang ia tulis bersama Loden pada tahun 2014. Itu bukanlah hal baru. Namun yang telah berubah adalah cara Salim membingkai Israel sebagai proyek kolonialis pemukim, dan mengubah citra rekonsiliasi menjadi bagian dari "berkoresistensi" dengan pendudukan Israel. Hal-hal ini merupakan perubahan besar dalam visi dan misi Musalaha; mereka menempatkan warga Palestina sebagai pihak yang paling tertindas, mendorong warga Palestina untuk memimpin, dan mendukung solusi politik tertentu.

Setelah peristiwa 7 Oktober, sebagian besar warga Yahudi Israel yang saya ajak bicara tidak lagi berfokus pada teori-teori upaya perdamaian yang memabukkan, melainkan pada keterkejutan dan trauma atas serangan Hamas–yang mencakup pemerkosaan terhadap perempuan, pembunuhan anak-anak dan lansia, serta pengikatan orang tua dan anak serta membakar mereka hidup-hidup. Hal ini memicu kegelisahan eksistensial yang mendalam dari sebuah bangsa yang telah teraniaya di sepanjang sejarah mereka yang ribuan tahun.

Orang-orang Kristen Palestina yang saya temui tidak berusaha membenarkan apa yang dilakukan Hamas. Namun warga yang berada di Tepi Barat nyaris tidak menyinggung soal serangan tersebut, dan malah lebih banyak membicarakan tentang pemboman di Gaza. Setiap orang Palestina yang saya ajak bicara menyebut perang di Gaza sebagai “genosida.” Ketika saya meminta mereka menjelaskan, mereka akan mengeluarkan ponsel dan menunjukkan kepada saya video rumah-rumah yang berlubang, mayat anak-anak yang dibungkus kain putih, dan ibu-ibu yang meratap dan pucat pasi. Apakah Israel akan menjatuhkan ratusan bom seberat 2.000 pon jika para militan Hamas bersembunyi di daerah kantong Yahudi? Siapa yang bisa melakukan hal ini dan berharap Gaza bisa bertahan? “Jika ini bukan genosida,” tanya Anfous kepada saya, “lalu apa?”

Setelah serangan tersebut, Musalaha [menerbitkan](https://mailchi.mp/musalaha.org/as-we-lament) “surat ratapan” yang berisi ratapan atas kematian warga sipil Israel dan Gaza serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh militan IDF dan Hamas. Namun beberapa pernyataan dari orang Kristen Palestina tidak mengakui peran Hamas dalam memulai perang, dan mereka juga tidak mengutuk apa yang merupakan pembunuhan massal terbesar terhadap orang-orang Yahudi sejak Holocaust.

Dan setelah keadaan mereda, orang-orang Yahudi akan mengingat sikap diam mereka, kata Thomas, mantan anggota dewan Musalaha.

“Jika Anda tidak mengakuinya, maka di mata komunitas Mesianik, dalam beberapa hal, Anda mendukungnya,” katanya. “Hal ini tidak selalu adil, juga tidak selalu benar secara intrinsik. Akan tetapi begitulah yang dirasakan.”

Loden, yang berusia 77 tahun, selalu optimis. Dia telah memperjuangkan perdamaian dan rekonsiliasi antara orang Yahudi dan Palestina meskipun, sejak pindah ke Israel, dia telah menyaksikan enam perang. Namun serangan ini membuatnya berbeda. Kesedihan melumpuhkannya selama berhari-hari.

“Saya tidak tahu apakah rekonsiliasi bisa terjadi,” kata Loden kepada saya di rumahnya di Netanya, Israel bagian barat-tengah. “Kami telah berbicara selama bertahun-tahun: ‘Bisakah kita membangun narasi yang menjembatani? Bisakah kita membangun teologi yang menjembatani?’ Dan segala upaya untuk melakukan hal ini telah gagal.”

Dia bersedia mencoba lagi. Namun tidak sekarang. “Ada kalanya Anda dapat membicarakan hal-hal ini dan ada kalanya Anda tidak bisa. Ini bukan waktunya.”

Sementara itu, paradigma kolonialisme pemukim—narasi bahwa pemukim Yahudi berkulit putih datang untuk menjajah penduduk asli berkulit coklat dan bukan untuk berasimilasi—mendapat perhatian di kalangan warga Palestina seperti Anfous, dan begitulah cara mereka memandang perang saat ini: sebuah agresi kolonial yang bertujuan untuk melenyapkan budaya dan kepemilikan penduduk asli.

Bahasa semacam itu dapat menutup dialog apa pun mengenai perdamaian dan rekonsiliasi. Bagi banyak orang Yahudi, “penjajah Eropa berkulit putih” yang dituduhkan kepada mereka adalah orang-orang yang membunuh jutaan orang Yahudi di abad ke-20. Mereka menunjuk pada Taurat sebagai bukti tertulis bahwa mereka juga mempunyai klaim historis atas tanah tersebut. Mereka mengatakan bahwa orang-orang Palestina yang berharap mereka tidak ada lagi sama saja dengan melakukan genosida.

Daniel memberi tahu orang-orang Yahudi Israel, “Saya tidak menyarankan kita perlu menghapus Israel. Yang ingin saya katakan adalah kita perlu memikirkan kembali landasan politik kita, sehingga kita semua bisa hidup setara di sini, bahwa hak dan kebebasan kita didasarkan pada kewarganegaraan kita, bukan pada latar belakang etnis atau agama kita. Saya ingin sebuah negara yang diperuntukkan bagi semua warganya.”

Setelah 7 Oktober, para partisipan dari kedua belah pihak yang bertikai bertanya kepada Daniel, “Apakah ada gunanya melakukan rekonsiliasi setelah semua ini?”

Namun, Daniel berpendapat bahwa perang ini justru merupakan titik baliknya.

“Kita harus menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan orang untuk melakukan percakapan dan mengatasi emosi mereka,” katanya. “Karena jika tidak, maka ini akan menjadi ledakan kemarahan besar-besaran, dan hanya akan menimbulkan pembalasan dan kehancuran. Dan itulah siklus yang terus berlanjut.”

Musalaha ingin mencoba menjembatani dua ide yang tampaknya tidak sejalan, kata Salim kepada saya. Dia ingin mendorong rekonsiliasi dan merangkul narasi Israel sebagai proyek kolonial pemukim.

“Saya sangat berharap,” katanya. Dia melihat adanya kebangkitan di Israel dan komunitas internasional mengenai perlunya menemukan solusi bagi Israel-Palestina setelah bertahun-tahun mengesampingkan isu tersebut. Musalaha, kata dia, adalah suatu suara profetik.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah orang lain akan melihatnya seperti itu.

Saat saya sedang berjalan di Star Street di Bethlehem bersama Anfous, dia mendapat telepon dari Daniel. Dia berusaha meyakinkan Anfous untuk memberi kesempatan lagi kepada Musalaha. Bacalah buletin terbaru kami, kata Daniel kepadanya. Kami menuju ke arah yang baru. Ini akan mengubah banyak hal.

“Kita lihat saja nanti,” kata Anfous.

Sophia Lee adalah staf penulis global untuk CT.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Siapa yang Paling Mungkin Mempraktikkan Saat Teduh Setiap Hari?

Survei mendapati bahwa dua pertiga pengunjung gereja meluangkan waktu bersama Tuhan setidaknya setiap hari, tetapi praktiknya berbeda-beda.

Christianity Today April 18, 2024
Priscilla Du Preez / Unsplash

Sebagian besar pengunjung gereja Protestan meluangkan waktu bersama Tuhan setidaknya setiap hari, tetapi ada perbedaan dalam hal yang mereka lakukan pada waktu tersebut dan sumber materi yang mereka gunakan.

Menurut studi yang dilakukan oleh Lifeway Research, hampir 2 dari 3 pengunjung gereja Protestan meluangkan waktu bersama Tuhan secara intensional setidaknya setiap hari, dengan 44 persen mengatakan setiap hari dan 21 persen mengatakan lebih dari sekali sehari.

Sementara itu, 17 persen pengunjung gereja mengatakan mereka meluangkan waktu bersama Tuhan beberapa kali dalam seminggu, dan 7 persen mengatakan sekali dalam seminggu. Ada pula yang mengaku mereka meluangkan waktu bersama Tuhan beberapa kali dalam sebulan (5%), sebulan sekali (2%), kurang dari sebulan sekali (3%) atau tidak pernah (1%).

Saat teduh ini terlihat berbeda bagi pengunjung gereja yang berbeda, tetapi mereka cenderung berbicara kepada Tuhan melalui doa daripada mendengarkan Dia melalui Firman-Nya.

Para pengunjung gereja paling sering berdoa dengan kata-kata sendiri (83%), bersyukur kepada Tuhan (80%), memuji Tuhan (62%) atau mengaku dosa (49%). Kurang dari 2 per 5 orang membaca Alkitab atau renungan (39%). Lebih sedikit yang mengulangi doa yang tetap (20%), memikirkan sifat-sifat Tuhan (18%) atau yang lainnya (1%).

Namun jika pengunjung gereja membaca sesuatu selama saat teduh mereka bersama Tuhan, sebagian besar akan membaca dari Alkitab cetak (63%). Yang lainnya akan membaca Alkitab dalam format berbeda seperti Alkitab yang disertai tambahan tafsiran atau renungan (25%) atau dari aplikasi Alkitab (20%).

Kurang dari 1 per 3 mengatakan mereka membaca dari buku renungan yang mencantumkan ayat-ayat Alkitab (32%), dan bahkan lebih sedikit lagi yang mengatakan bahwa mereka membaca dari buku renungan yang tidak mencantumkan ayat-ayat Alkitab (8%). Namun, ada pula yang mengatakan mereka membaca renungan dari aplikasi (7%) atau membaca yang lain (3%).

Frekuensi saat teduh

Dalam hal meluangkan waktu bersama Tuhan, lebih banyak perempuan (48%) daripada laki-laki (38%) yang mengatakan saat teduh adalah kebiasaan mereka sehari-hari. Mereka yang berada di bagian Selatan Amerika (49%) juga merupakan kelompok yang paling mungkin mengatakan bahwa mereka meluangkan waktu bersama Tuhan setiap hari.

Satu dari 4 orang Baptis (25%) mengatakan bahwa mereka punya waktu bersama Tuhan lebih dari sekali sehari. Dan kalangan Injili (30%) lebih mungkin mengatakan hal yang sama dibandingkan yang non-Injili (15%).

https://datawrapper.dwcdn.net/PV2wG

Kehadiran di gereja juga merupakan indikator dari frekuensi saat teduh. Mereka yang menghadiri kebaktian setidaknya empat kali sebulan (26%) lebih besar kemungkinannya untuk mengatakan bahwa mereka meluangkan waktu bersama Tuhan lebih dari sekali sehari, dibanding mereka yang menghadiri kebaktian satu hingga tiga kali sebulan (13%)

“Kami melihat sebuah pola dalam Kitab Suci mengenai para pengikut Tuhan yang menarik diri untuk meluangkan waktu bersama dengan-Nya. Yesus Kristus juga melakukan hal ini,” kata Scott McConnell, direktur eksekutif Lifeway Research. “Sebagian besar pengunjung gereja Protestan meneruskan interaksi relasional dengan Tuhan ini dan menggunakan berbagai sumber materi seiring mereka melakukannya.”

Preferensi terkait doa

Saat meluangkan waktu bersama Tuhan, sebagian orang lebih suka berdoa dengan kata-kata mereka sendiri, sementara yang lainnya lebih suka mengulangi doa yang telah ditetapkan. Pengunjung gereja yang berusia lebih muda—berusia 18-34 tahun (31%) dan 35-49 tahun (26%)—lebih besar kemungkinannya untuk mengatakan bahwa mereka mengulangi doa yang telah ditetapkan selama waktu mereka bersama Tuhan, dibanding mereka yang berusia 50-64 tahun (16%) dan di atas 65 tahun (11%). Dan mereka yang berusia 50-64 tahun (85%) dan di atas 65 tahun (89%) lebih besar kemungkinannya untuk berdoa dengan kata-kata mereka sendiri dibanding mereka yang berusia 18-34 tahun (77%) dan 35-49 tahun (77%).

“Ada banyak alasan untuk mendoakan doa yang ditetapkan. Baik seseorang mendoakan model doa yang Yesus ajarkan atau mengulangi permintaan yang sama kepada Tuhan setiap hari, hal-hal ini bisa menjadi bermakna,” kata McConnell. “Pada saat yang sama, Kitab Suci juga mencatat Mazmur dan doa-doa dalam kisah naratifnya yang menunjukkan betapa kita bisa sangat personal dan berterus terang ketika berbicara kepada Tuhan dengan kata-kata kita sendiri.”

Perempuan (86%) cenderung berdoa dengan kata-kata mereka sendiri dibandingkan laki-laki (79%). Dan masyarakat di wilayah Selatan (86%) cenderung berdoa dengan kata-kata mereka sendiri dibandingkan dengan mereka di Timur Laut (77%).

Kepercayaan kaum Injili dan frekuensi kehadiran di gereja juga merupakan faktor-faktor yang menentukan preferensi seseorang untuk berdoa. Mereka yang mengikuti kebaktian setidaknya empat kali sebulan lebih besar kemungkinannya untuk berdoa dengan kata-kata mereka sendiri dibanding mereka yang lebih jarang menghadiri kebaktian (85% berbanding 79%). Namun mereka yang menghadiri kebaktian satu hingga tiga kali sebulan lebih besar kemungkinannya untuk memakai doa yang tetap dibanding mereka yang lebih sering hadir di kebaktian (24% berbanding 16%).

Kaum Injili lebih besar kemungkinannya untuk berdoa dengan kata-kata mereka sendiri dibandingkan kalangan non-Injili (92% berbanding 76%), sementara mereka yang non-Injili lebih besar kemungkinannya untuk memakai pola doa tetap dibanding kaum Injili (22% berbanding 16%).

Preferensi terkait penerapan

Makna meluangkan waktu teduh bersama Tuhan berbeda-beda bagi setiap orang. Namun ada beberapa indikator mengenai praktik mana yang paling penting bagi berbagai demografi masyarakat.

Meski perempuan lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka memuji Tuhan (66% berbanding 57%) atau membaca Alkitab atau renungan (42% berbanding 36%) dibanding dengan laki-laki, tetapi laki-laki lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka memikirkan sifat-sifat Tuhan dibanding perempuan (21% berbanding 16%) ketika meluangkan waktu bersama Dia.

Pengunjung gereja yang berusia lebih tua—yaitu mereka yang berusia 50-64 tahun (45%) dan lebih dari 65 tahun (42%)— lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka membaca Alkitab atau renungan saat meluangkan waktu bersama Tuhan, dibandingkan mereka yang berusia 18-34 tahun (32%) dan 35-49 tahun (34%). Dan mereka yang berusia di atas 65 tahun adalah kelompok yang paling kecil kemungkinannya untuk mengatakan bahwa mereka memikirkan sifat-sifat Tuhan (10%).

Kepercayaan Injili dan frekuensi kehadiran di gereja juga menjadi indikator preferensi seseorang dalam meluangkan waktu bersama Tuhan. Mereka yang paling sering menghadiri kebaktian (empat kali atau lebih dalam sebulan) lebih besar kemungkinannya untuk memuji Tuhan (67% berbanding 53%), mengaku dosa (55% berbanding 38%) atau membaca Alkitab atau renungan (46% berbanding 28%), dibanding mereka yang menghadiri kebaktian satu hingga tiga kali sebulan.

Dan mereka yang menganut kepercayaan Injili lebih besar kemungkinannya untuk bersyukur kepada Tuhan (87% berbanding 74%), memuji Tuhan (76% berbanding 51%), mengaku dosa (64% berbanding 38%) atau membaca Alkitab atau renungan (52% berbanding 29%) dibanding mereka yang non-Injili Namun mereka yang non-Injili lebih mungkin untuk memikirkan karakteristik Tuhan dibanding mereka yang Injili (20% berbanding 15%).

“Sebuah penelitian pemuridan sebelumnya dari Lifeway Research menunjukkan bahwa memuji dan bersyukur kepada Tuhan adalah salah satu dari lima prediktor utama kedewasaan rohani yang tinggi,” kata McConnell. “Ini adalah praktik yang tersebar luas di kalangan pengunjung gereja ketika mereka meluangkan waktu bersama Tuhan.”

Preferensi terkait sumber materi

Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam hal apa yang ingin dibaca oleh pengunjung gereja ketika meluangkan waktu bersama Tuhan. Jemaat dewasa muda (usia 18-34 tahun) adalah yang paling mungkin membaca Kitab Suci dari sebuah aplikasi (40%) dan paling kecil kemungkinannya untuk membaca dari buku renungan yang memuat ayat-ayat Alkitab (21%). Dan perempuan lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka lebih suka membaca renungan dari aplikasi dibandingkan laki-laki (9% berbanding 4%).

“Orang-orang Kristen saat ini memiliki lebih banyak sumber materi untuk membantu mereka meluangkan waktu bersama Tuhan dan Firman-Nya,” kata McConnell. “Ketika sumber-sumber materi baru diciptakan, hal-hal itu dapat menyemangati seseorang yang, tanpa inovasi tersebut, tidak akan bisa meluangkan waktu bersama Tuhan. Namun ada juga keterkaitan yang kuat antara meluangkan waktu merenungkan Firman Tuhan dan sering beribadah bersama orang lain yang dapat menyemangati Anda dalam perjalanan Anda bersama Tuhan.”

Kalangan Injili lebih besar kemungkinannya untuk mengatakan bahwa ketika mereka meluangkan waktu bersama Tuhan, mereka akan membaca Alkitab (78% berbanding 52%), dibanding kalangan non-Injili Dan mereka yang non-Injili lebih besar kemungkinannya untuk mengatakan bahwa mereka membaca dari buku renungan yang tidak mencantumkan ayat-ayat Alkitab (11% berbanding 3%) atau dari aplikasi Alkitab (22% berbanding 17%), dibanding dengan mereka dari kalangan Injili.

Sementara mereka yang menghadiri kebaktian setidaknya empat kali sebulan lebih besar kemungkinannya untuk mengatakan bahwa mereka membaca Alkitab ketika mereka bersaat teduh (70% berbanding 52%) dibandingkan mereka yang menghadiri kebaktian satu hingga tiga kali sebulan, tetapi mereka yang menghadiri kebaktian satu hingga tiga kali sebulan lebih besar kemungkinannya untuk membaca renungan dari aplikasi dibanding mereka yang lebih sering menghadiri kebaktian (9% berbanding 5%).

Diterjemahkan oleh R.A. Samalo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Saya Benci ‘Orang-orang Gereja.’ Namun Saya Tahu Saya Membutuhkan Mereka.

Saat saya menghadiri pemakaman yang kedua dalam tiga minggu, dua orang Kristen menunjukkan kebaikan yang tidak dapat saya jelaskan.

Christianity Today April 17, 2024
Fotografi oleh Doug Levy untuk Christianity Today

Saya telah berdiri mengantre selama lebih dari satu jam, menunggu untuk bertemu dengan seorang wanita yang putrinya, yaitu pacar dari putra saya, baru saja meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil.

Sambil menunggu, saya menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan emosi saya. Nasib telah membuat kami kewalahan. Karir saya di bidang keuangan baru saja merosot karena saya dipecat sebagai pelapor. Kami secara drastis harus memotong pengeluaran dan terancam kehilangan rumah. Dan saya menghadiri pemakaman untuk kedua kalinya dalam tiga minggu.

Sembilan belas hari sebelum Kira meninggal, pacar dari putra saya yang lain, Ashley, bunuh diri. Pemakamannya sederhana dan penuh kesedihan. Namun sesuatu yang luar biasa terjadi. Debbie, teman dari keluarga Ashley, mendekati saya dan istri saya dengan ramah. Berkali-kali, dia datang untuk menanyakan apakah kami atau putra kami memerlukan dukungan. Dalam lautan kegelapan, Debbie adalah satu-satunya cahaya yang kami lihat di hari itu. Saya terkejut, terhibur, dan tertarik pada kehangatan dan kasih sayangnya.

Namun saya segera melupakannya, tenggelam oleh banyaknya tragedi yang telah merenggut hidup kami.

Kini saat kami berdiri mengantre untuk memberikan penghormatan kepada ibu Kira, saya melihat Debbie lagi. Dia bertanya tentang kedua putra kami, prihatin karena keluarga kami telah mengalami dua kehilangan dalam waktu singkat. Dia menanyakan dengan memperlihatkan lebih banyak kebaikan, lebih banyak cahaya, lebih banyak kelembutan, yang terukur dengan cermat, tepat saat kami membutuhkannya.

Saat dia berjalan pergi, saya berbalik untuk menyembunyikan air mata saya. Dalam hati saya bertanya-tanya, Siapakah yang seperti itu?

Pikiran saya kembali tertuju pada kedua putra saya, yang seperti baru saja kembali dari perang. Saya tahu mereka membutuhkan bantuan untuk menyatukan kembali kehidupan mereka yang telah hancur.

Antrean semakin pendek ketika saya mempertimbangkan apa yang harus saya katakan pada ibunya Kira. Karena saya belum pernah bertemu dengannya, saya hanya mengetahui dua hal tentang dia: Dia sangat dekat dengan putrinya, dan dia adalah seorang Kristen. Saya tidak menyukai “orang-orang gereja.” Menurut pendapat saya, orang-orang Kristen berpikiran sederhana dan suka menghakimi secara munafik. Akan tetapi saya mengesampingkan perasaan-perasaan itu untuk melatih kalimat belasungkawa yang ingin saya sampaikan.

Saat saya mempersiapkan diri untuk berbicara, dia mengulurkan tangan dan meraih tangan saya dengan ramah. Kemudian dia mengejutkan saya dengan berbicara tentang kesedihan keluarga saya dan bukan kesedihannya sendiri. “Saya sangat menyesal Zach kehilangan Ashley,” katanya. “Kami berteman dengan keluarga Ashley, jadi kami tahu betapa tragisnya kejadian ini. Nanti setelah semua ini selesai, apakah saya boleh meluangkan sedikit waktu bersama Zach?”

Saya tercengang. Tak bisa bicara. Istri saya pun segera mengambil alih, bercakap-cakap dengan baik, dan menyampaikan selamat tinggal.

Sambil berjalan pergi, saya bertanya pada alam semesta, Apa yang terjadi di sini? Dia baru saja kehilangan putrinya, sahabatnya, dan dia ingin memperhatikan putra saya? Siapa yang melakukan itu?

Beberapa menit kemudian, Debbie datang lagi dan berkata, “Hai, pendeta kami ada di sini. Apakah kamu mau bertemu dengannya?”

Pikiran saya pun terpecah. Pada satu sisi, saya berpikir, Tidak! Saya tidak mau bertemu pendeta. Saya tidak suka pendeta. Saya tidak suka orang gereja. Pada sisi lain , Hmm… ada yang aneh di sini, dan saya jadi penasaran. Jika pria ini bahkan hanya setengah baiknya dari kedua wanita ini, mungkin saya harus bertemu dengannya.

Lalu saya mendapati bibir saya mengeluarkan kata-kata dengan sendirinya: “Tentu, saya mau.”

Ternyata Pendeta Peter memang setengah baiknya dari kedua wanita tadi, dan bahkan sebenarnya lebih dari setengahnya. Dia kuat dan menenangkan. Dan dia mengundang putra-putra kami ke kelompok kedukaan baru yang ia gagas. Saya tidak tahu bagaimana cara membantu anak-anak saya, tetapi dia tahu.

Dalam perjalanan pulang, istri saya menoleh ke arah saya dan berkata, “Saya mau mulai pergi ke gereja.” Itu bukanlah permintaan atau ajakan untuk bergabung dengannya. Dia tahu saya benci gereja. Meski demikian, saya menawarkan diri untuk ikut.

Pada acara pemakaman keesokan harinya, istri saya mendengar kata-kata kehidupan yang diambil dari Kitab Suci, dan kenangannya tentang pergi ke gereja saat remaja muncul kembali di benaknya. Dia diselamatkan ketika itu juga.

Namun masa muda saya yang belum pernah ke gereja dan penuh semangat pemberontakan diri mengurung saya dalam pertempuran yang berlangsung berbulan-bulan. Tentu saja, saya merasakan sesuatu yang menggugah pada saat pemakaman itu dan pada Minggu pagi berikutnya. Akan tetapi saya tidak terlalu peka. Saya seorang pemikir, dan yang paling banyak saya pikirkan adalah setiap argumen yang menentang Yesus Kristus serta Alkitab.

Beberapa minggu setelah pemakaman, ayah mertua mengirim sebuah Alkitab studi melalui pos untuk saya. Sekali lagi saya bergumul: Haruskah saya membaca buku yang saya bersumpah tidak akan pernah membacanya—buku yang, dalam pandangan saya, ditulis oleh raja-raja zaman dahulu untuk mengendalikan massa? Saya mengambilnya dan berkata, “Tuhan, jika Engkau ada di dalam buku ini, saya akan sangat kesal, karena saya sudah melakukan kesalahan selama 50 tahun. Namun saya rasa… saya ingin tahu.” Saya membuat keputusan untuk membacanya, dari awal sampai akhir.

Tiga bulan kemudian, saya sedang membaca kitab Imamat ketika saya mulai mendengar dari Tuhan. Bukan suara yang jelas terdengar—hanya suatu perasaan. Perasaan mengenai Pribadi yang penuh kasih, baik hati, memberi semangat, kuat, sangat personal, dan ada bagi saya.

Sementara itu, saya mulai meninjau kembali karakter saya bersama Tuhan. Setiap malam saat membaca Alkitab, saya berbincang tentang bagaimana saya berhasil atau gagal. Ini mungkin terdengar aneh, tetapi bagi saya itu tampak wajar. Saya telah membaca tentang bangsa Israel, yang diperlakukan dengan sangat baik dan dijanjikan begitu banyak oleh Tuhan hanya dengan satu syarat—untuk tetap setia. Jadi setelah mendengar tentang bangsa Israel yang berubah-ubah dalam kitab Kejadian dan Keluaran, saya siap untuk mengevaluasi diri saya sendiri.

Tak lama kemudian, Tuhan mulai bekerja dalam diri saya, mengubah kebiasaan buruk dan kegagalan moral saya. Selangkah demi selangkah, saya bersama Tuhan berupaya meningkatkan karakter saya. Hal ini berlangsung selama dua tahun, ketika Tuhan membantu membersihkan saya dari setiap dosa yang disengaja dalam hidup saya, termasuk alkoholisme.

Selama proses ini, saya pun jatuh cinta. Saya tidak sabar untuk membuka Alkitab saya setiap malam. Tak lama kemudian, saya mulai berbicara dengan Tuhan di siang hari juga. Dia selalu bersama saya, menyemangati saya dalam kegagalan dan merayakan kemenangan bersama saya.

Mengapa, saya bertanya-tanya, tidak ada seorang pun yang memberitahu bahwa saya bisa hidup seperti ini? Saya memiliki Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang berbicara kepada saya secara pribadi setiap kali saya mau. Dan Dia ingin saya bersama-Nya!

Atas: Alkitab pribadi Randy Loubier. Bawah: Gereja Loubier di New Boston, New Hampshire.Fotografi oleh Doug Levy untuk Christianity Today
Atas: Alkitab pribadi Randy Loubier. Bawah: Gereja Loubier di New Boston, New Hampshire.

Saya membutuhkan waktu 14 bulan untuk mencerna Perjanjian Lama secara menyeluruh. Ketika saya sampai di Maleakhi, saya mulai merasa gugup. Sebentar lagi saya akan meninggalkan Allah saya—Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub—untuk berjumpa dengan Yesus.

Pada saat itu, saya bertemu setiap minggu dengan pendeta saya, menghujaninya dengan argumen-argumen lama saya. Dia juga menyiapkan acara sarapan mingguan untuk para pria bersama dengan orang-orang Kristen yang kerohaniannya kuat, yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan menguatkan perjalanan iman saya.

Namun saya masih gugup untuk bertemu Yesus. Saya telah belajar banyak tentang Dia dari orang-orang yang saya hormati. Anehnya, bagi orang yang otak kirinya kuat, berorientasi sains, dan hanya mengandalkan fakta-fakta, pengetahuan di kepala saja tidak cukup. Saya telah membangun hubungan dengan Tuhannya Abraham, Ishak, dan Yakub; Dia adalah kekasih saya, tempat perlindungan saya, tempat persembunyian saya, penolong yang selalu ada di saat-saat sulit.

Bayangkan betapa senangnya saya ketika saya mulai membaca Matius dan hubungan kami tidak berubah sama sekali! Ketika saya mengenal Yohanes dan membaca tentang Firman yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita, saya menemukan bahwa saya telah berbicara dengan Yesus selama ini.

Hari ini, saya tetap menjadi pembaca Alkitab yang sangat rajin. Yesus, Sang Firman, adalah segalanya bagi saya. Dia menyelamatkan saya. Itu bukanlah kata-kata yang saya ucapkan atau dengar dari orang lain. Itu adalah Firman.

Namun jangan salah, gerejalah yang pertama kali menyulut rasa penasaran saya. Jika umat Tuhan tidak membuat saya bertanya-tanya tentang kasih mereka yang unik, saya tidak akan pernah membuka Firman Tuhan, dan saya sendiri tidak akan pernah jatuh cinta pada Tuhan.

Randy Loubier adalah pendeta di Chestnut Hill Chapel di New Boston, New Hampshire. Dia adalah penulis beberapa buku non-fiksi dan novel, termasuk Slow Brewing Tea.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Gereja di Indonesia Memerangi Kerawanan Pangan

Musim kemarau panjang mengancam kehidupan petani di desa Kemadang hingga lumbung padi yang dikelola gereja memberi harapan.

Christianity Today April 8, 2024
Agung Parameswara / Getty / Diedit oleh CT

Berdiri di sawahnya di desa Kemadang di sepanjang pantai selatan Jawa, Marni Mariani, 53 tahun, menunjuk ke tanah kering di kakinya. “Ini lahan yang akan kami panen dalam tiga minggu,” ujarnya. Namun karena kurangnya hujan pada musim ini, dua dari empat sawahnya gagal panen.

Ia mengatakan bahwa dia tidak menjual hasil panen padi dari lahannya, yang berukuran 32 x 49 kaki (sekitar 150 m2), melainkan beras tersebut untuk dimakan keluarganya. “Namun kadang-kadang jika terjadi bencana kelaparan dan hasil panen sedikit, kami terpaksa membeli [beras] dari pihak luar,” katanya. “Itulah yang membebani kami di sini.”

Akan tetapi, sejak tahun 2020, Marni tidak perlu khawatir lagi untuk membeli beras dengan harga mahal. Tetangganya yang berusia 70 tahun, Mbah Gepeng Harjo, juga tidak lagi kesulitan membeli benih dan pupuk mahal yang dibutuhkannya untuk mengolah sawah yang ia garap. ( Mbah berarti “orang yang sudah tua.”)

Hal ini berkat program lumbung inovatif yang dikelola gereja yang didirikan oleh pendeta setempat, Kristiono Riyadi, dari Gereja Kristen Jawa Kemadang, yang berupaya menjaga cadangan pangan masyarakat, terutama pada saat kekeringan. Lumbung tersebut menyediakan program simpan pinjam biji-bijian dan program pembelian kembali hasil bumi. Lumbung itu juga menyediakan benih dengan harga terjangkau.

Lumbung adalah solusi lokal untuk mengatasi kerawanan pangan di Indonesia, sebuah masalah luas yang dihadapi oleh hampir 1 dari setiap 10 masyarakat Indonesia, dan masalah ini semakin meningkat seiring dengan semakin tidak menentunya iklim. Tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul, tempat Kemadang berada, adalah sekitar 16 persen, dengan sekitar 6.000 keluarga hidup dalam kemiskinan ekstrem.

Gereja juga memandang pelayanannya sebagai upaya untuk membagikan kasih Tuhan kepada masyarakat dengan membantu beberapa kebutuhan mereka yang paling mendasar.

“Dari kesaksian anggota lumbung pangan yang beragama lain, mereka merasa bahwa gereja memberikan perhatian kepada semua orang, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan orang lain juga,” kata Kristiono.

Sumber bantuan untuk lahan kering

Kabupaten Gunungkidul beriklim tropis, dengan topografi didominasi perbukitan karst, kawasan batu kapur yang terkikis tidak teratur dengan gua alam dan sungai bawah tanah. Musim hujan di sana singkat, hanya berlangsung selama bulan November. Penduduknya terutama menanam padi, jagung, dan kacang-kacangan.

Kesulitan terkait gagal panen, terbatasnya sumber air, dan musim kemarau panjang akibat perubahan iklim sering kali membuat para petani di wilayah tersebut membutuhkan bantuan dari luar.

Ketika situasi semakin buruk di Kemadang dan desa-desa lain di Provinsi Yogyakarta, Gunungkidul, Kristiono mengadakan lokakarya pertanian pada awal tahun 2020 untuk membantu jemaatnya, yang sebagian besar adalah petani. Salah satu kekhawatiran utama mereka adalah bagaimana mendapatkan benih padi yang murah dan berkualitas tinggi.

“Saya mengemukakan ide untuk membantu warga desa dengan mendirikan lumbung pangan ini,” kata Kristiono. “Petani ingin hasil panen padinya disimpan, dan ingin mudah mendapatkan benih dengan harga terjangkau. Lumbung ini tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan mereka sepanjang tahun, tetapi juga membantu mereka saat musim kemarau panjang.”

Kristiono menjelaskan bahwa para anggota dari program itu diharuskan menyimpan setidaknya 10 kilogram (22 pon) gabah di lumbung setiap tahunnya dan dapat menyimpan hingga 40 kilogram (88 pon). Mereka kemudian dapat meminjam beras dari lumbung untuk konsumsi sehari-hari, perayaan khusus, atau situasi darurat. Jika mereka meminjam beras untuk perayaan, mereka harus membayarnya kembali beserta bunganya.

Selain menyediakan tempat penyimpanan, program ini juga menjadi salah satu cara untuk mendukung komunitas petani secara ekonomi. Saat musim panen, harga gabah rendah, tetapi harga naik saat musim sepi, biasanya pada bulan Juli hingga Oktober. Jadi gereja memutuskan untuk membeli hasil panen para petani, termasuk beras, kacang-kacangan, dan kedelai, dengan harga di atas harga pasar. Gabah tersebut disimpan dan kemudian dipinjamkan kepada anggota atau dibeli oleh masyarakat pada musim kemarau. Anggota dapat membelinya dengan harga diskon.

Unduh-unduh, atau hari panen, diadakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen setiap tahunnya,” ujarnya. Program lumbung “merupakan pengembangan ekonomi tidak hanya bagi jemaat, melainkan juga bagi masyarakat sekitar.”

Sebuah program yang dipimpin oleh komunitas

Saat ini terdapat tiga lumbung, dua di antaranya terletak di desa Planjan dan Banjarejo, dan semuanya melayani 90 petani, termasuk beberapa petani yang bukan Kristen. Pada suatu pagi di bulan Februari, dua petani mampir ke gudang untuk membeli benih padi, sementara yang lain datang membawa beras untuk disimpan.

Modal awal lumbung pangan ini berasal dari sinode Presbiterian di mana Gereja Kristen Jawa Kemadang menjadi anggotanya. Tujuannya untuk memberikan ketahanan pangan bagi masyarakat, bukan hanya jemaat saja.

Sekretaris Jenderal sinode itu, Anugerah Kristian, mengatakan sinode memberikan 30 juta rupiah (sekitar $2.000 USD) untuk menjamin lumbung pangan di Kemadang sebagai stimulus ekonomi. “Kami menyediakan modal hanya sebagai insentif untuk memulai proyek tersebut," kata Anugerah. “Lumbung itu harus melibatkan warga atau anggotanya.”

Lumbung tersebut mampu secara finansial, meski keuntungannya sangat kecil, kata Kristiono. Karena petani mengembalikan hasil panennya ke gudang, terkadang dengan bunga, maka Kristiono bisa menjual sisa gabahnya dan menggunakan keuntungannya yang sedikit untuk membeli hasil panen lainnya. Namun tantangannya adalah jika panen gagal dan petani meminta perpanjangan batas waktu pelunasan kepada lumbung tersebut.

Anugerah menegaskan, partisipasi masyarakatlah yang membuat lumbung ini sukses. “Para anggota jemaat, masyarakat, dan pemerintah desa memikirkan kondisi mereka dan kesulitan yang mereka alami,” ujarnya. “Ide untuk membangun lumbung muncul secara lokal dan dilaksanakan sesuai dengan situasi mereka, dengan dukungan sinode.”

Marni yang telah menjadi anggota sejak lumbung itu didirikan dan juga anggota Gereja Kemadang, mengatakan bahwa lumbung gereja telah memberikan bantuan ekonomi yang sangat penting. “Air sangat sulit didapat di sini, dan kadang hasil panennya sedikit, sehingga kami harus hemat dalam menggunakan beras yang sudah dipanen,” ujarnya. “Kalau bibitnya kurang, maka harus beli ke tengkulak dengan harga yang cukup tinggi. Hal ini cukup memberatkan. Namun sejak lumbung padi ini berdiri, kami sangat terbantu.”

Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah setempat membeli beras dari lumbung tersebut untuk dibagikan kepada masyarakat.

Waldiyanto Harjo, salah satu perangkat desa, menyampaikan apresiasinya terhadap lumbung padi itu. “Saat kegiatan ini diluncurkan, banyak warga desa yang hadir karena kepala desa dan perangkat lainnya datang,” ujarnya. “Lumbung padi ini terus berfungsi meski desa itu belum memberikan tambahan modal.”

Kristiono memandang lumbung padi sebagai cara gereja menghidupi Injil. “Bagi saya, ini adalah bentuk kepedulian gereja, sebagaimana firman Tuhan dalam Markus 12:31 untuk ‘mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri’,” ujarnya. “Inilah wujud cinta yang sesungguhnya. Kami di sini mewujudkan hal tersebut dengan lumbung padi ini.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kuartet Kebangkitan

Christianity Today April 8, 2024
Wikimedia Commons

Satu kebangkitan; empat narasi. Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes menceritakan kisah kebangkitan, masing-masing dengan caranya sendiri. Setiap narasi berbeda dan memiliki karakternya sendiri. Ketika keempat kisah tersebut diserap ke dalam imajinasi, keempatnya berkembang menjadi melodi, harmoni, musik yang kaya. Keempat suara tersebut menjadi kuartet kebangkitan.

Namun banyak orang tidak pernah mendengar musiknya. Alasannya, menurut saya, adalah karena cara apologetika selama bertahun-tahun selalu berusaha “mengharmonisasi” keempat kisah kebangkitan itu. Namun ternyata tidak pernah menjadi harmonisasi. Alih-alih mendengar suara bass, tenor, alto, dan sopran yang khas, kita justru mencoba membuat para penulis Injil tersebut menyanyikan lagu yang sama. Perbedaan dan variasi dalam narasi kebangkitan pun disangkali, dipertegas, diragukan, dan “ditafsirkan.”

Namun sesungguhnya ada cara yang lebih baik. Karena kita mempunyai empat kisah yang saling melengkapi, kita dapat didorong untuk mengapresiasi setiap kisah sebagaimana adanya, dan mempertajam ciri-ciri yang membuatnya berbeda dari yang lain. Alih-alih meleburnya menjadi satu kesatuan doktrin, kita dapat menonjolkan fitur-fitur yang membedakannya.

Ketika kita melakukan hal itu, imajinasi kita meluas, dan kebangkitan memperoleh fitur-fitur yang tajam dan dasar yang kuat dari kehidupan nyata. Melalui karya seni keempat penulis Injil ini, keunikan dan detail sejarah lokal, yang kita jalani sendiri, menjadi jelas.

I

Kalimat yang menarik perhatian dalam narasi Matius adalah, “Maka terjadilah gempa bumi yang hebat sebab seorang malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu dan menggulingkannya lalu duduk di atasnya” (28:2). Itu adalah detail yang tidak dicantumkan di Injil yang lain. Dari sini kita tahu bahwa kebangkitan adalah suatu hal yang menggemparkan. Matius melaporkan peristiwa kebangkitan seperti ledakan bom yang mengeluarkan gelombang energi. Gempa bumi menjadi gambaran yang digunakan untuk mendramatisasi dampak sejarah kebangkitan Kristus dari antara orang mati.

Detail tersebut mengingatkan kita akan konsekuensinya. Ketika kita mendengar telah terjadi gempa bumi, kita ingin mengetahui dampaknya terhadap masyarakat. Kita ingin tahu berapa nyawa yang hilang dan yang selamat, juga tentang tindakan egois dan kepahlawanan apa yang terjadi. Detail gempa bumi yang ditulis Matius membuat kita tertarik dengan apa yang terjadi. Ketika gelombang energi kebangkitan menyebar, apa hasilnya? Bagaimana tanggapan orang-orang?

Ketika dampak gempa bumi dari kebangkitan itu masuk ke dalam sejarah umat manusia, Matius mencatat enam respons: “Dan penjaga-penjaga itu gentar ketakutan dan menjadi seperti orang-orang mati” (28:4); para perempuan “segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus” (ay. 8); para perempuan yang sama “mendekati-Nya dan memeluk kaki-Nya serta menyembah-Nya” (ay. 9); para tua-tua menyuap para prajurit dan menyuruh mereka “mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur” (ay. 13); para prajurit “menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka” (ay. 15); kesebelas rasul “ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu” (ay. 17).

Respons-respons ini terdiri dari berbagai spektrum: teror, kebohongan, penyuapan, rasa takut yang luar biasa, keraguan, sukacita besar, dan penyembahan. Tidak ada satu pun dari respons-respons itu yang sepele. Kebangkitan menghasilkan hal yang berbeda-beda pada setiap orang yang hadir di sana, tetapi tidak ada seorang pun yang tidak terpengaruh olehnya. Kebangkitan memberikan dampak yang besar bagi semua orang yang ada di sekitarnya.

Matius memberi ruang yang sama untuk setiap respons. Namun ia menekankan satu respons lebih dari yang lain: penyembahan. Para perempuan di ayat 9 dan kesebelas murid di ayat 17 merespons dengan menyembah. Respons kebohongan dan suap dari para tua-tua dan tentara diapit di antara keduanya dan membuatnya semakin kontras. Penyembahan, menurut Matius, adalah respons yang paling tepat terhadap kebangkitan.

Kata-kata Matius mendukung perspektifnya. Kata-kata perintah adalah jenis kata yang menuntut respons, dan Matius banyak menggunakannya. Ketika seseorang mendapat perintah yang ditujukan kepadanya, maka ia harus melakukan sesuatu, baik secara positif maupun negatif. Pilihan kata-kata Matius menunjukkan bagaimana gelombang energi kebangkitan bergerak melalui celah-celah respons manusia: “Janganlah kamu takut” (28:5); “Mari, lihatlah tempat Ia berbaring” (ay. 6); “Segeralah pergi dan katakanlah kepada murid-murid-Nya” (ay. 7); “Jangan takut” (ay. 10); “Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku” (ay. 10); “Kamu harus mengatakan” (ay. 13); “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (ay. 19).

Tidak ada peristiwa dalam sejarah yang dapat menandingi kebangkitan dalam hal dampaknya terhadap kehendak manusia. Cara seseorang merespons kebangkitan merupakan respons paling khas dan signifikan yang dapat ia lakukan. Dengan sangat terampil, Matius membuat kita melihat hal ini saat ia menyusun ceritanya di sekitar dampak gempa bumi dari kebangkitan Yesus.

II

Injil Markus adalah narasi yang sangat cepat mengenai apa yang Yesus katakan dan lakukan saat Ia memberikan “nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (10:45). Markus membuang semua bagian pendahuluan (misalnya, ia tidak menceritakan kelahiran Yesus) dan dalam perjalanan yang terengah-engah dan tergesa-gesa ini, ia melibatkan kita dalam aksinya. Kata “segera” adalah kata yang sering muncul dalam Injil Markus. Terperangkap dalam aksinya, kita menjadi sangat ingin mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.

Markus menggunakan gaya ini di pasal enam belas—catatannya tentang kebangkitan. Tiga perempuan datang ke kubur dan mendapati kubur itu kosong. Seorang malaikat memberi tahu mereka bahwa Yesus telah bangkit dan memberi mereka instruksi tentang apa yang harus mereka lakukan. Markus kemudian menceritakan kepada kita salah satu adegan yang paling dramatis: “Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut” (16:8).

Bukan itu yang saya harapkan sebagai respons terhadap kebangkitan. Saya ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Bagaimanakah akhir dari kisah ini?

Pengalaman para perempuan yang datang ke kubur, berduka secara mendalam, dan berharap dapat melaksanakan ritual penguburan, merupakan materi yang Markus gunakan untuk menceritakan kisah kebangkitan. Pengabdian mereka yang sederhana terganggu oleh dua kejadian mengejutkan: batu terguling dari mulut kubur, dan kubur itu kosong. Dalam kondisi yang mengejutkan itu, mereka menerima sebuah pesan malaikat. Pesan itu berisi empat pernyataan fakta yang sederhana: Yesus telah bangkit; Dia tidak ada di sana; kubur itu kosong; Dia melanjutkan perjalanan ke Galilea. Kemudian ada dua perintah: Jangan takut; pergilah, katakanlah kepada murid-muridnya dan kepada Petrus. Dan terakhir, ada janji: kamu akan melihat Dia. Sebuah dasar menopang perintah ganda yang dimotivasi oleh satu janji. Secara subjektif, kejutannya lebih banyak; secara objektif, pesan ilahi mendominasi. Kombinasi tersebut menghasilkan pengalaman yang sangat penting: “Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.”

Secara psikologis, ini adalah situasi yang harus diselesaikan. Ada kebutuhan pribadi yang sangat besar untuk menyelesaikan kisah ini. Markus membawa kita ke pusat aksi dan membiarkan kita merasakan sendiri emosi yang menyertai kesadaran yang tiba-tiba bahwa Yesus sebenarnya telah bangkit dari kematian. Tidak mungkin untuk melihatnya secara analitis atau objektif. Kisah ini harus diselesaikan. Partisipasi kita pun dibangkitkan.

Namun naskah-naskah Yunani yang tertua berhenti tepat pada titik itu, di ayat 8. Apakah Markus sengaja berhenti di situ atau apakah bagian akhir dari gulungan naskah asli menjadi usang karena digunakan terus-menerus dan hilang begitu saja, tak seorang pun tahu. Akan tetapi, yang diketahui semua orang adalah bahwa tidak ada seorang pun, baik zaman dahulu maupun modern, yang merasa puas dengan akhir ceritanya (atau kurangnya akhir cerita). Kekosongan ini harus diisi. Sebuah akhir cerita harus disediakan. Sejarah naskah Injil Markus menunjukkan adanya upaya berulang kali untuk “menyelesaikan” kisah ini.

Upaya yang dapat diamati di mana-mana untuk memberikan akhir kisah kebangkitan versi Markus ini menunjukkan betapa baik ia menceritakan kisahnya dan betapa pentingnya ayat 8 ini. Kebangkitan belumlah lengkap sampai kisah itu diakhiri dalam sejarah pribadi. Ketika seseorang menyadari bahwa Kristus telah bangkit, ia mungkin mengalami ketakutan, sukacita, keraguan. Namun reaksi-reaksi ini dalam kaitannya dengan fakta, perintah, dan janji firman Allah harus dimasukkan dalam sebuah kesimpulan pribadi. Kebangkitan memerlukan kesimpulan yang hanya dapat disediakan melalui partisipasi pribadi.

III

Selain kisah para perempuan di kubur kosong pada pagi hari Paskah (kisah yang juga terdapat dalam Injil yang lain), Lukas menceritakan dua kisah yang cukup panjang tentang penampakan Kristus yang telah bangkit: Pertama, kepada dua orang pria di Emaus pada sore dan malam Paskah, dan kemudian kepada semua murid di Yerusalem pada malam harinya.

Kedua kisah ini adalah sarana untuk mengumpulkan materi yang akan memperluas pemahaman kita tentang kebangkitan. Catatan Lukas mencegah kita untuk mereduksi kebangkitan menjadi sekadar peristiwa tersendiri, betapapun mengguncangkannya, atau sekadar pengalaman pribadi, betapapun intensnya. Lukas merangkai maknanya ke dalam jalinan kisah dari apa yang telah terjadi sebelumnya dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia melihat seluruh sejarah sampai pada titik yang mengarah pada peristiwa ini, dan semua sejarah masa depan yang mengalir dari peristiwa tersebut.

Metode Lukas adalah menggabungkan kisah-kisah tersebut dengan referensi dari Perjanjian Lama dan masa lalu. Dua murid di Emaus “bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi” (24:14); ketika Yesus bertemu dengan mereka, mereka menceritakan kembali kehidupan dan pelayanan Yesus dari Nazaret (ay. 19–24); Yesus memberikan sebuah eksposisi yang mengaitkan Kitab Suci (masa lalu) dan kebangkitan (ay. 27); kedua murid ini mengenali hubungan antara masa lalu itu dan kebangkitan (ay.32); saat bertemu dengan sebelas murid, Yesus menunjukkan kepada mereka “semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (ay. 44); kebangkitan berakar pada nubuat di masa lalu: “Ada tertulis demikian:…” (ay. 46); ayat penutup (ay. 47–53) memproyeksikan peristiwa kebangkitan ke masa depan di mana akan ada pertobatan, pengampunan dosa, saksi, janji kuasa yang akan datang, sukacita yang besar, dan pujian yang terus-menerus.

Lukas menceritakan kisah kebangkitan dengan cara menghubungkan pengalaman masa lalu manusia dengan kebangkitan. Sejarah manusia merupakan sebuah kisah tunggal dengan kebangkitan sebagai tema dan klimaksnya.

Kisah kebangkitan versi Lukas adalah yang terpanjang dari antara keempat kisah kebangkitan. Ia memasukkan lebih banyak materi dan mengembangkannya lebih menyeluruh dibandingkan para penulis Injil lainnya. Ia ingin kita memahami kebangkitan. Ia mengembangkan materinya sedemikian rupa untuk memperluas imajinasi kita sehingga dapat mencakup makna kebangkitan yang sangat luas. Dengan kata lain, kebangkitan bersifat komprehensif. Ia mengambil potongan-potongan yang berserakan dari kehidupan sejarah-keagamaan-budaya manusia dan menyatukan semuanya.

IV

Kebangkitan Yesus tidak mudah untuk dipercaya. Ada begitu banyak penipu di dunia ini dan banyak pula berita palsu. Bagaimana kita tahu bahwa kebangkitan itu bukanlah suatu hoaks? Bagaimanapun juga, ada banyak hoaks religius di dunia ini. Kebangkitan adalah tema umum dalam agama kuno. Bukti apa yang kita miliki bahwa kebangkitan Yesus bukan hanya satu dari sekian banyak kebangkitan?

Catatan Yohanes tentang kebangkitan ditulis untuk memberikan bukti yang meyakinkan demi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat wajar ini. Kisah Yohanes dirancang untuk meyakinkan: “…semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah” (20:31). “Percaya,” dalam leksikon Yohanes, adalah gabungan antara pemahaman intelektual dan komitmen hidup. Tujuan dia adalah untuk memberi kita informasi yang akan menghilangkan keraguan yang jujur dan mendorong kita untuk berkomitmen. Dalam menceritakan kebangkitan, Yohanes berusaha keras untuk menekankan kredibilitas kebangkitan dengan mengemukakan detail-detail yang menunjukkan realitas historisnya.

Dalam ayat 1–10 Petrus dan Yohanes, yang diberitahu oleh Maria bahwa kubur itu kosong, berlari untuk melihat sendiri. Apa yang mereka lihat membuat mereka percaya. Susunan kain kafan dan kain peluh memberikan bukti nyata yang meyakinkan bagi mereka yang pertama kali melihatnya: “Maka masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai di kubur itu dan ia melihatnya dan percaya” (20:8).

Dalam ayat 11–18, Maria, yang menangis di luar kubur, bercakap-cakap dengan Yesus. Pada mulanya ia tidak mengenali Dia yang sedang berbicara dengannya, tetapi ketika Kristus yang bangkit itu menyebut namanya, ia menyadari siapa yang berbicara dengannya, lalu berbalik dan melihat wujud-Nya yang nyata. Perhatikan apa yang dikatakannya kepada para murid yang lain: “Aku telah melihat Tuhan.”

Dalam ayat 19-23, para murid berkumpul dalam ketakutan di malam kebangkitan. Yesus menampakkan diri kepada mereka. Ia meyakinkan mereka tentang realitas kebangkitan-Nya dengan menunjukkan tanda penyaliban di tangan dan lambung-Nya. “Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan.”

Dalam ayat 24-29 murid-murid kembali berkumpul, kali ini dengan Tomas, yang tidak memercayai laporan yang diberikan oleh murid-murid yang lain. Yesus muncul lagi, menunjukkan diri-Nya dalam wujud yang bisa disentuh: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku…” (ay. 27).

Indera penglihatan, pendengaran, dan peraba terwakili dalam empat cerita yang Yohanes berikan kepada kita. Dalam setiap kisah, orang-orang berpindah dari keadaan di mana mereka kurang percaya menuju keadaan di mana mereka percaya berdasarkan bukti langsung. Kisah-kisah tersebut memberikan kerangka di mana orang-orang dapat mengatasi keraguan dan skeptisisme. Berkat Yohanes, ada banyak ruang dalam komunitas Kristen bagi orang-orang untuk bertanya dan mengungkapkan keraguan.

Yohanes tidak menceramahi kita bahwa kita harus percaya, apa pun yang terjadi. Dia tahu bahwa kepercayaan yang terbaik mencakup pikiran yang cerdas dan penuh dengan penyelidikan. Ia tidak ingin manusia percaya secara membabi buta; ia ingin mereka percaya berdasarkan bukti yang kuat. Injil-Nya penuh dengan “tanda-tanda” (kita bisa menyebutnya sebagai “bukti”)—yaitu peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus yang memberikan data yang menegaskan bahwa Dia adalah Putra Allah, Juru Selamat dunia.

Eugene H. Peterson (almarhum) adalah pendeta di Christ Our King United Presbyterian Church di Bel Air, Md. Beliau mendapat gelar B.A. dari Seattle Pacific College, S.T.B dari New York Seminary, dan M.A. dari Johns Hopkins University.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Respons Refleks terhadap Anugerah

Yesus mengondisikan ulang kehidupan kita bahkan setelah kita mengecewakan Dia.

Christianity Today April 1, 2024
Bedroom oleh Claire Waterman. Lukisan cat akrilik pada panel kayu. 2022

Kata Yesus kepada mereka: “Mari dan sarapanlah.” Tidak ada di antara murid-murid itu yang berani bertanya satupun murid yang berani bertanya kepada-Nya, “Siapakah Engkau?” Sebab mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan. Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu. — Yohanes 21:12-13

Pada pergantian abad ke-20, seorang dokter Rusia bernama Ivan Pavlov memenangkan Hadiah Nobel. Biasanya anjing akan mengeluarkan air liur saat mencium bau makanan, tetapi Pavlov ingin tahu apakah ia dapat membuat anjing mengeluarkan air liur dengan rangsangan lain. Seperti yang mungkin Anda ingat dari kelas sains di SMA, Pavlov membunyikan bel sebelum memberi makan anjing-anjingnya. Akhirnya, bunyi bel tersebut menyebabkan anjing-anjing itu mengeluarkan air liur. Pavlov menyebut hal ini sebagai refleks terkondisi.

Pada tingkat tertentu, kita semua adalah penganut Pavlov. Seiring waktu, kita memperoleh serangkaian refleks terkondisi yang rumit. Jika seseorang menampar pipi kita, refleks terkondisi kita adalah menampar balik. Ataukah itu hanya saya saja?

Injil adalah tentang Yesus yang mengondisikan ulang refleks kita dengan anugerah-Nya. Hasilnya? Kita mengasihi musuh-musuh kita, berdoa bagi mereka yang menganiaya kita, dan memberkati mereka yang mengutuk kita. Kita memberikan pipi yang lain, bekerja lebih keras, dan memberikan pakaian kita untuk orang lain. Para teolog menyebutnya Enam Antitesis, tetapi saya lebih suka menganggapnya sebagai enam kebiasaan yang kontra-budaya.

Tidak kurang dari lima kali dalam Khotbah di Bukit, Yesus berkata, “Kamu telah mendengar hal itu dikatakan, tetapi Aku memberi tahu kamu …” (Mat. 5–7). Yesus sedang membentuk kembali pola pikir Perjanjian Lama seperti “mata ganti mata” (Mat. 5:38). Ia sedang menggugah etika kita, dimulai dengan pengampunan.

Ingat dalam Matius 18 ketika Petrus bertanya kepada Yesus berapa kali kita harus mengampuni? Petrus pikir ia bermurah hati dengan menyarankan tujuh kali. Namun Yesus menaikkan batasnya: tujuh puluh kali tujuh. Itu terjadi di sebuah pantai di tepi Laut Galilea (Yoh. 21) di mana gagasan pengampunan ini dipersonalisasikan untuk Petrus. Ini adalah penampakan pasca-Kebangkitan, yang berarti pasca-penyangkalan. Petrus pernah menyangkal bahwa ia mengenal Yesus, bukan hanya sekali, bukan pula dua kali, melainkan tiga kali, dan setelah penyangkalan yang ketiga itulah ayam berkokok, mengingatkan Petrus akan nubuatan Yesus (Mat. 26:75).

Bisakah saya melakukan semacam pengamatan Pavlov di sini? Saya penasaran apakah setelah penyangkalan itu, Petrus merasakan sedikit rasa bersalah setiap kali dia mendengar ayam berkokok. Setiap pagi, suara yang tidak menyenangkan itu mungkin mengingatkan Petrus akan kegagalannya yang besar, hingga di pagi hari saat Yesus memulihkan refleksnya.

Petrus sedang menjala ikan ketika Yesus berseru dari seberang sana: “Tebarkanlah jalamu ke sebelah kanan perahu maka kamu akan peroleh.” Kabut pagi hari membuat mustahil untuk melihat siapa yang mengucapkannya, tetapi suatu hasil tangkapan yang ajaib membuat hal itu menjadi jelas. Yohanes berkata kepada Petrus, “Itu Tuhan!” (Yoh. 21:4-7).

Saat itulah Petrus melompat keluar dari perahu dan berenang ke pantai. Sesampainya di sana, Yesus sedang menggoreng ikan di atas bara api. Mari kita berhenti sejenak—bagaimana mungkin kita tidak mengasihi Tuhan yang membuatkan sarapan di pantai untuk para murid-Nya?

Sesudah sarapan, Yesus bertanya kepada Petrus: “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” (ay. 15). Dia tidak menanyakannya sekali atau dua kali, melainan tiga kali. Kebetulan? Saya pikir tidak. Tiga kali penyangkalan membutuhkan tiga kali pemulihan. Inilah bagaimana dan kapan, serta di mana Yesus memulihkan refleks Petrus.

Pernahkah Anda memperhatikan waktunya? Yohanes dengan tepat mengatakan: “Ketika matahari mulai terbit” (ay. 4; BIS). Dengan kata lain, tepat pada saat ayam berkokok. Suara yang mengingatkan Petrus akan kegagalan terbesarnya—suara yang menimbulkan perasaan bersalah—kini akan menghasilkan perasaan bersyukur. Yesus melakukan lebih dari sekadar menyadarkan Petrus. Yesus mengondisikan kembali refleksnya dengan anugerah-Nya.

Pernahkah Anda memiliki seseorang yang mencintai Anda di saat yang tidak Anda kira dan Anda merasa tidak pantas mendapatkannya? Hal ini mengubah hidup kita, bukan? Bagaimana jika kita mengasihi orang lain seperti Allah mengasihi kita? Karunia Paskah menyingkapkan bahwa dosa tanpa anugerah sama dengan rasa bersalah, tetapi dosa ditambah anugerah sama dengan rasa syukur yang mendalam yang dapat kita bawa dan ungkapkan setiap pagi, siang, dan malam.

Kita punya kecenderungan untuk meninggalkan Tuhan, tetapi Tuhan tidak menyerah pada kita. Dia adalah Tuhan yang memberikan kesempatan kedua, ketiga, dan keseribu. Bahkan saat kita merasa telah mengecewakan Tuhan, Tuhanlah yang mengejar kita, yang memanggil kita dari seberang sana. Inilah Tuhan yang membuatkan sarapan di tepi pantai. Inilah Tuhan yang memberi kita kesempatan baru di dalam hidup.

Renungkan



1. Dalam hal apa Anda melihat refleks terkondisi sedang bekerja dalam kehidupan Anda sendiri atau dalam kehidupan orang-orang di sekitar Anda?

2. Diskusikan bagaimana pemulihan kembali yang Yesus lakukan terhadap Petrus menjadi teladan yang kuat dari anugerah Allah, terutama setelah kegagalan.

Mark Batterson adalah gembala jemaat National Community Church di Washington, DC. Ia adalah penulis 23 buku terlaris New York Times.

Translated by Joseph Lebani.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube