Para Tokoh Alkitab Tidak Pernah Mengatakan ‘Maafkan Saya’

Jika mereka tidak “meminta maaf” dalam pengertian modern, hal itu disebabkan karena Alkitab mempunyai kosakata yang lebih kaya mengenai pertobatan.

Christianity Today June 21, 2024
Illustration by Abigail Erickson / Source Images: Getty

Kita memerlukan teologi permintaan maaf.

Meminta maaf terdengar mudah, setidaknya dalam teori. Anda melakukan sesuatu yang salah (dosa); Anda merasa bersalah (penyesalan); Anda mengakuinya dan menerima tanggung jawab (pengakuan); Anda meminta maaf kepada orang-orang yang telah Anda sakiti, termasuk kepada Tuhan (pertobatan); dan Anda mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaikinya (restitusi).

Banyak permintaan maaf berwujud persis seperti ini. Namun sering kali permintaan maaf juga lebih rumit. Anda dapat meminta maaf tanpa mengakui kesalahan atau merasa menyesal. Mungkin saja kita merasa iba (kata 'iba' dan 'maaf' dalam bahasa Inggris sama, yaitu sorry) untuk hal-hal yang bukan merupakan kesalahan kita, seperti ketika kita mengetahui bahwa seorang teman mengidap kanker. Kita juga bisa meminta maaf tanpa berniat untuk mengganti rugi.

Dan mungkin saja—seperti yang semakin sering terjadi—bagi institusi untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian anggotanya saja. Persoalan permintaan maaf ini menjadi semakin rumit ketika menyangkut dosa-dosa leluhur kita. Haruskah kita meminta maaf atas hal-hal yang terjadi sebelum kita lahir? Mengakui hal-hal tersebut? Bertobat dari hal-hal tersebut? Mengganti rugi untuk hal-hal tersebut?

Saat kita mencari jawaban dari Kitab Suci, kita menemukan sesuatu yang mengejutkan: Tidak ada seorang pun di dalam Alkitab yang benar-benar “meminta maaf” atau “mengatakan maaf” atas sesuatu. Kata Yunani apologia merujuk pada suatu jawaban atau pembelaan hukum—dari sanalah kita memperoleh kata apologetika—tetapi kata ini tidak mengandung makna merasa bersalah atau menyesal atas sesuatu.

Kata sorry yang lebih fleksibel dalam bahasa Inggris, sering kali muncul secara tidak terduga; penerjemah mungkin menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan rasa iba putri Firaun terhadap Musa (Kel. 2:6) atau kesedihan yang dirasakan Herodes selepas memenggal kepala Yohanes Pembaptis (Mat. 14:9). Namun ini adalah ungkapan belas kasihan atau kesedihan, bukan permintaan maaf atau pertobatan.

Maka, mungkin kelihatannya Alkitab seolah-olah hanya menawarkan sedikit petunjuk untuk menyusun sebuah teologi tentang permintaan maaf. Akan tetapi, dalam banyak hal, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menggunakan kata-kata yang agak samar seperti maaf dan meminta maaf, Perjanjian Baru membedakan antara tiga respons yang berbeda tetapi saling tumpang tindih terhadap dosa kita—dan hal ini dapat membantu kita menguraikan apa yang terjadi ketika individu atau institusi “meminta maaf.”

Kata pertama, lupeō, artinya merasakan kesedihan, dukacita, atau rasa sakit. Ini adalah respons yang tepat atas dosa, dan sering kali merupakan langkah pertama, seperti ketika jemaat Korintus “berdukacita” dan membuat mereka bertobat (2Kor. 7:9). Namun hal ini tidak selalu menyiratkan penerimaan atas kesalahan. Herodes merasa tidak enak karena memenggal kepala Yohanes, tetapi ia tetap saja melakukannya. Bukan salah para murid bahwa Yesus akan disalibkan, tetapi mereka “sedih sekali” (Mat. 17:23).

Ini sangat berbeda dengan homologeō atau exomologeō, yang keduanya mengacu pada pengakuan yang disertai rasa bersalah, mengakui kesalahan, atau pengakuan akan sesuatu. Orang-orang “mengakui” kejahatan mereka karena khotbah Yohanes Pembaptis dan Paulus (Mat. 3:6; Kis. 19:18). Yohanes meyakinkan para pembacanya, “Jika kita mengaku dosa kita, maka [Allah] adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1Yoh. 1:9). Ini jelas berbeda dengan dukacita atau penyesalan. Ini melibatkan pengakuan akan kegagalan kita, bertanggung jawab atas kegagalan tersebut, dan meminta pengampunan.

Lalu ada kata metanoeō yang kaya maknanya, yang menunjukkan suatu pola pertobatan, berbalik arah, dan perubahan pikiran serta hidup Anda. Sangat mudah untuk merasa sedih atau menyesal atas kesalahan-kesalahan kita. Banyak dari kita bahkan dengan senang hati akan mengakui kesalahan kita dan mengakuinya dengan penuh rasa bersalah, terutama atas hal-hal yang dapat diterima secara budaya. Namun Kristus memanggil kita untuk melakukan sesuatu yang lebih: memutar balik, berbalik arah tujuan dan kesetiaan kita secara total, mati bagi diri sendiri dan hidup baru di dalam Dia, dengan segala perubahan perilaku yang menyertainya.

Jika pembalikan arah ini tidak menghasilkan buah yang baik, maka hal itu bukanlah pertobatan yang sejati (Mat. 3:8; 7:16-20). Namun jika pertobatan itu mengubah hidup kita—bahkan sampai pada titik di mana kita membayar ganti rugi kepada semua orang yang telah kita sakiti—maka keselamatan telah terjadi di rumah kita hari ini (Luk. 19:8-10).

Rasa duka, pengakuan dosa, dan pertobatan adalah entitas yang berbeda-beda. Namun, ketika kita melihat kenyataan dan kengerian dari dosa kita serta anugerah Allah yang menawarkan pengampunan, kita mendapati diri kita melakukan ketiga hal tersebut.

Mengikuti teladan Nehemia, kita menangis dan berkabung (Neh. 1:4). Lalu kita mengakui dengan penuh rasa bersalah dan mengakui kesalahan kita (ay. 6–7). Lalu kita berbalik arah dan taat (ay. 8–9). Bergantung pada konteksnya, kita dapat mengidentifikasikan diri kita dengan dosa-dosa leluhur kita hingga pada tingkat di mana kita sendiri juga ikut ambil bagian di dalam dosa-dosa tersebut. Dan kita mengakhirinya dengan memohon belas kasihan Allah, percaya bahwa Ia yang telah memanggil dan menebus kita akan mendengar doa kita (ay. 10–11).

Andrew Wilson adalah rohaniwan bidang pengajaran di King’s Church London dan penulis Remaking the World.

Diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Books

Wafat: Jürgen Moltmann, Teolog Pengharapan

Seorang tentara Jerman yang dijumpai Kristus di kamp tawanan perang, kemudian ia menjadi seorang cendekiawan Kristen terkenal yang mengajarkan bahwa “Tuhan menangis bersama kita agar suatu hari nanti kita dapat tertawa bersama-Nya.”

Christianity Today June 6, 2024
Bernd Weissbrod/picture-alliance/dpa/AP Images / edits by Rick Szuecs

Jürgen Moltmann, seorang teolog yang mengajarkan bahwa iman Kristen didasarkan pada pengharapan akan kebangkitan Kristus yang tersalib dan bahwa kerajaan Allah yang akan datang bekerja di dalam sejarah manusia di masa depan secara eskatologis, wafat pada 3 Juni di Tübingen, Jerman. Ia berusia 98 tahun.

Moltmann secara luas dianggap sebagai salah satu teolog terpenting sejak Perang Dunia II. Menurut teolog Miroslav Volf, karyanya “eksistensial dan akademis, pastoral dan politis, inovatif dan tradisional, mudah dibaca dan diminati, kontekstual dan universal,” karena ia menunjukkan bagaimana tema-tema utama dari iman Kristen berhubungan dengan “pengalaman manusia yang mendasar” terkait penderitaan.

Dewan Gereja-gereja Dunia menyatakan bahwa Moltmann adalah “teolog Kristen yang paling banyak dibaca” dalam 80 tahun terakhir. Pakar agama, Martin Marty, mengatakan bahwa tulisan-tulisan Moltmann “menginspirasi Gereja yang penuh ketidakpastian” dan “membebaskan orang-orang dari cengkeraman masa lalu yang telah mati.”

Moltmann bukanlah seseorang Injili, tetapi banyak kaum Injili yang terpengaruh secara mendalam dengan karyanya. Penulis Kristen populer, Philip Yancey, menyebut Moltmann sebagai salah satu pahlawannya dan mengatakan pada tahun 2005 bahwa ia telah “menyelesaikan” hampir selusin bukunya.

Para editor di Christianity Today pernah bersikap kritis terhadap teologi Moltmann ketika mereka pertama kali mempelajarinya pada tahun 1960-an, namun mereka tetap memuji karyanya.

“Kita disadarkan,” tulis G.C. Berkouwer, “dan diingatkan untuk berpikir dan berkhotbah tentang masa depan dalam perspektif alkitabiah. Jika hal ini terjadi, maka semua pembicaraan teologis akan menghasilkan buah yang baik.”

Saat ini, kaum Injili yang pada dasarnya kritis terhadap pandangan Moltmann—yang sangat tidak setuju dengan satu aspek atau aspek lainnya—masih menemukan banyak hal yang dapat dihargai dan sering kali mendorong orang lain untuk membacanya.

“Moltmann selalu menjadi titik referensi bagi saya,” tulis Fred Sanders, seorang teolog sistematika di Biola University, di platform sosial X. “Tahun lalu saya mengajar sebagian kecil dari bukunya yang berjudul The Crucified God, dan saya dikejutkan oleh betapa kuat pengaruh dia bagi para mahasiswa. … Dan bahkan bagi saya, di tengah perselisihan yang masih ada, membaca ulang karya Moltmann berarti menemukan cara-cara yang sangat menarik, baris demi baris, dalam menjelaskan sesuatu.”

Profesor Perjanjian Baru Wesley Hill mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan Moltmann “tentang apa yang terasa seperti setiap doktrin utama Kristen.” Namun “hanya sedikit teolog yang dapat menggerakkan dan memprovokasi serta mengilhami saya seperti yang telah dia lakukan. Karyanya adalah tentang Yesus yang tersalib dan bangkit.”

Moltmann dilahirkan dalam sebuah keluarga yang tidak beragama pada 8 April 1926. Orang tua dia, tulisnya dalam otobiografi dirinya, adalah penganut gerakan “hidup sederhana” yang berkomitmen untuk “hidup sederhana dan berpikiran tinggi.” Mereka menetap di pemukiman orang-orang yang berpikiran sama di daerah pedesaan di luar Hamburg. Alih-alih pergi ke gereja, keluarga Moltmann bekerja di kebun mereka pada hari Minggu pagi.

Meski demikian, keluarga ini tetap mengirim putra mereka untuk mengikuti kelas sidi di gereja pemerintah setempat ketika dia sudah cukup umur. Hal ini dipandang sebagai sebuah ritus peralihan ke usia dewasa. Moltmann ingat bahwa ia hanya belajar sedikit tentang Yesus, Alkitab, atau kehidupan Kristen. Pendetanya lebih memfokuskan pelajarannya untuk mencoba membuktikan bahwa Yesus bukanlah orang Yahudi, melainkan sebenarnya orang Fenisia, dan karena itu Ia adalah orang Arya, dan pendeta itu mengajarkan kepada anak-anak tentang teologi antisemit yang disebarkan oleh Nazi.

“Itu benar-benar tidak masuk akal,” kata Moltmann.

Pada waktu yang hampir bersamaan, dalam ritus peralihan lainnya, Moltmann dikirim ke Pemuda Hitler. Meskipun seragam dan lagu kebangsaan membuatnya merasa sangat patriotik, ia kemudian mengenang bahwa ia tidak pandai dalam baris-berbaris dan membenci latihan militer. Dalam suatu perjalanan berkemah, ia dijejalkan ke dalam tenda bersama sepuluh anak laki-laki. Pengalaman itu membuat dia merasa sangat menikmati kesendirian.

Meskipun antisemitisme merajalela pada saat itu, pahlawan masa kecil Moltmann adalah Albert Einstein, seorang Yahudi. Moltmann ingin masuk ke universitas dan belajar matematika. Mimpi itu pun terinterupsi oleh Perang Dunia II.

Pada usia 16 tahun, Moltmann direkrut menjadi anggota angkatan udara dan ditugaskan untuk mempertahankan Hamburg dengan senjata anti-pesawat Flak 88. Dia dan teman sekolahnya bernama Gerhard Schopper ditempatkan di sebuah tempat yang tinggi yang didirikan di atas tiang-tiang di danau. Pada malam hari, mereka melihat bintang-bintang dan mempelajari rasi bintang.

Kemudian Inggris menyerang. Mereka mengirim 1.000 pesawat pada Juli 1943 untuk menjatuhkan bahan peledak dan amunisi pembakar ke kota, memicu badai api yang melelehkan logam, aspal, dan kaca. Apa pun yang organik—kayu, kain, daging—dilahap habis oleh lautan api. Suhu yang meningkat melebihi 1.400 derajat Fahrenheit menyedot udara dari jalanan sehingga kota itu terdengar, menurut salah satu korban yang selamat, “seperti organ gereja tua ketika seseorang memainkan semua nadanya sekaligus.”

Operasi perang tersebut—yang tidak menargetkan instalasi militer atau pabrik amunisi, melainkan “moral penduduk sipil musuh”—diberi nama sandi “Gomora,” yang diambil dari nama kota dalam Alkitab yang dihancurkan oleh Tuhan dalam Kejadian 19. Sekitar 40.000 orang pun tewas.

Ketika serangan itu berakhir, Moltmann mengambang di danau, berpegangan pada sepotong kayu dari tempat senjatanya yang meledak. Temannya, Schopper, sudah tewas.

Ia kemudian menggambarkan hal ini sebagai pengalaman religius pertamanya.

“Saat ribuan orang tewas dalam badai api di sekeliling saya,” kata Moltmann, “Saya berseru kepada Tuhan untuk pertama kalinya: Di manakah Engkau?

Hari itu, ia tidak mendapat jawaban apa-apa. Namun dua tahun kemudian, ia ditangkap di garis depan dan dikirim ke kamp tawanan perang di Skotlandia. Seorang pendeta kemudian memberinya Perjanjian Baru yang ada tambahan kitab Mazmur dan dia pun mulai membaca Mazmur 39 setiap malam:

Dengarkanlah doaku, ya TUHAN,
dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong;
janganlah berdiam diri melihat air mataku!

Dia juga membaca Injil Markus dan mendapati dirinya sangat tertarik kepada Yesus. Penyaliban menghancurkan hatinya.

“Saya tidak menemukan Kristus. Dialah yang menemukan saya,” kata Moltmann kemudian. “Di sana, di kamp tawanan perang Skotlandia, di dalam lubang gelap jiwa saya, Yesus mencari saya dan menemukan saya. ‘Dia datang untuk mencari yang hilang’ (Luk. 19:10), karena itu Ia datang kepada saya.”

Ketika dia kembali ke Jerman—negara yang hancur lebur—pada usia 22 tahun, dia bersekolah untuk belajar teologi. Nazi diusir dari universitas-universitas selama rekonstruksi yang dipimpin Amerika, termasuk teolog dari Universitas Göttingen, Emmanuel Hirsch, yang sering menyenandungkan lagu kebangsaan Nazi di sela-sela jam perkuliahan dan pernah mengklaim bahwa Adolf Hitler adalah negarawan Kristen yang terhebat dalam sejarah dunia.

Di Göttingen, Moltmann belajar di bawah bimbingan orang-orang yang sejalan dengan Confessing Church (gerakan perlawanan Kristen terhadap Nazi) dan mengajar teologi Karl Barth. Dia menulis disertasi tentang seorang Calvinis Prancis abad ke-17, dengan berfokus pada doktrin ketekunan orang-orang kudus.

Saat di sekolah, Moltmann jatuh cinta dengan seorang mahasiswa teologi lainnya, Elisabeth Wendel. Mereka memperoleh gelar doktor bersama-sama dan menikah dalam upacara sipil di Swiss pada tahun 1952.

Setelah lulus, Moltmann diutus untuk menggembalakan sebuah gereja di desa terpencil di Rhine-Westphalia Utara. Dia mengajar kelas sidi yang terdiri dari “50 anak laki-laki liar,” dan pada musim dingin ia melakukan kunjungan ke rumah-rumah dengan memakai papan ski. Orang-orang memintanya untuk membawakan ikan haring, margarin, dan makanan lainnya dari toko saat ia datang.

“Pertanyaan pertama yang ditanyakan kepada saya di mana-mana adalah apakah saya percaya pada Iblis,” kenang Moltmann kemudian. Dia mengajari orang-orang bahwa mereka dapat mengusir Iblis dengan mengucapkan Pengakuan Iman Nicea. Dia tidak yakin mereka mendengarkannya.

Gereja kedua Moltmann juga merupakan sebuah tantangan. Ia dikirim ke sebuah desa kecil di bagian utara negara itu, dekat Bremen. Di rumah pastorinya, ada tikus di ruang bawah tanah, mencit (tikus kecil) di dapur, dan kelelawar serta burung hantu di loteng. Ada sekitar 100 orang yang datang ke gereja—tetapi tidak sekaligus, dan tidak rutin. Pada hari Minggu pagi, pendeta muda itu akan menunggu di dekat jendela, bertanya-tanya apakah ada orang yang akan berada di sana.

Namun, ia dihormati oleh para petani karena keahliannya memainkan permainan kartu Skat, dan dia belajar menyampaikan khotbah yang menyentuh hati. Jika para petani yang lebih tua memutar bola mata mereka saat dia berbicara, Moltmann sadar bahwa teologinya sudah terlalu jauh dari urusan-urusan dalam kehidupan nyata mereka.

“Jika teologi akademis tidak terus-menerus kembali kepada teologi umat, maka teologi tersebut akan menjadi abstrak dan tidak relevan,” tulisnya kemudian. “Saya belum sepenuhnya layak menjadi seorang pendeta, tetapi saya bahagia karena telah mengalami naik turunnya kehidupan manusia: anak-anak dan orang lanjut usia, laki-laki dan perempuan, sehat dan sakit, kelahiran dan kematian, dan lain-lain. Saya akan bahagia untuk tetap menjadi teolog/pendeta.”

Pada tahun 1957, Moltmann meninggalkan pelayanan pastoral untuk mengajar teologi. Ia mengajar tentang berbagai topik perkuliahan, tetapi semakin tertarik pada sejarah pengharapan Kristen akan kerajaan Allah.

Pada saat yang sama, ia mulai mendalami karya seorang filsuf Marxis bernama Ernst Bloch. Moltmann menulis beberapa ulasan kritis terhadap buku-buku Bloch, tetapi menemukan ide-idenya menstimulasi. Bloch berpendapat bahwa kehidupan bergerak secara dialektis menuju utopia akhir. Dalam tiga jilid magnum opusnya, Das Prinzip Hoffnung ( Prinsip Pengharapan), ia mengemukakan alasan mengenai pengharapan yang revolusioner, dengan mengklaim bahwa Marxisme dipandu oleh suatu dorongan mistis akan penantian untuk mencapai penggenapan akhir.

Meskipun ia seorang ateis, Bloch sering mengutip Alkitab. Ia mengatakan bahwa dia berusaha untuk mengartikulasikan “hati nurani eskatologis yang datang ke dunia melalui Alkitab.”

Moltmann mencatat bahwa meskipun banyak teolog telah menulis tentang iman dan kasih, hanya ada sedikit teolog yang menulis tentang pengharapan dalam tradisi Protestan. Teologi telah “melepaskan temanya sendiri,” katanya, dan ia memutuskan untuk mengambil tugas tersebut.

Ia pun mulai mengajar topik tersebut pertama kali di Universitas Bonn dan kemudian di Universitas Tübingen, di mana dia akan menghabiskan sisa karirnya.

Moltmann menerbitkan buku Theologie der Hoffnung (Teologi Pengharapan) pada tahun 1964. Buku ini mendapat sambutan yang luar biasa. Buku ini telah dicetak sebanyak enam kali dalam dua tahun dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya pada tahun 1967 dan mendapat perhatian yang cukup besar dari para teolog sehingga menarik perhatian The New York Times.

Dalam sebuah berita di halaman depan pada Maret 1968, surat kabar tersebut melaporkan bahwa perdebatan mengenai teologi “kematian Tuhan” yang sedang tren telah digantikan dengan diskusi mengenai gagasan Moltmann yang berusia 41 tahun bahwa Tuhan “bertindak berdasarkan sejarah di masa depan.” Moltmann dikutip mengatakan bahwa “dari awal hingga akhir, dan bukan hanya di bagian akhir, kekristenan adalah eskatologi.”

Surat kabar tersebut heran bahwa “teologi pengharapan” ini didasarkan pada kepercayaan akan kebangkitan, “yang sekarang dianggap oleh banyak teolog lain sebagai sebuah mitos.”

Akan tetapi, beberapa kritikus pada saat itu khawatir bahwa penekanan pada eskatologi ini akan mengaburkan karya Kristus di kayu salib. Mereka mengatakan bahwa fokus Moltmann mengenai hal-hal akhir akan mengabaikan atau bahkan meremehkan pentingnya penyaliban.

Moltmann mulai berpikir bahwa ada sesuatu dari kritikan tersebut selama simposium Teologi Pengharapan di Universitas Duke pada April 1968. Dalam salah satu sesi, teolog Harvey Cox kemudian berlari ke dalam ruangan dan berteriak, “Martin Luther King telah ditembak.”

Pertemuan tersebut dengan cepat dibubarkan seraya para teolog bergegas pulang ke rumah di tengah laporan kerusuhan di seluruh negeri. Namun para mahasiswa di Universitas Duke—yang tampaknya tidak peduli sama sekali tentang teologi pengharapan—berkumpul untuk melakukan aksi spontan di halaman sekolah. Mereka berduka atas kematian King selama enam hari. Pada hari terakhir, para mahasiswa kulit putih bergabung dengan para mahasiswa kulit hitam dari sekolah lain, dan bersama-sama mereka menyanyikan lagu tentang hak-hak sipil “We Shall Overcome.”

Moltmann, yang tergerak oleh kekuatan yang transformatif dari penderitaan, mulai mengerjakan buku keduanya, Der gekreuzigte Gott (Tuhan yang Tersalib). Buku ini diterbitkan pada tahun 1972 dan diterbitkan dalam bahasa Inggris dua tahun kemudian.

“Identitas Kristen hanya dapat dipahami sebagai sebuah tindakan identifikasi dengan Kristus yang tersalib,” tulis Moltmann. “‘Agama salib’ … tidak meninggikan dan membangun akhlak seperti lazimnya, melainkan dengan menimbulkan skandal; dan yang paling penting, agama ini menimbulkan skandal bagi ‘orang-orang seagama’ di lingkungannya sendiri. Namun melalui skandal ini, agama tersebut membawa pembebasan ke dalam dunia yang tidak bebas.”

Moltmann menyatukan dua gagasan—penderitaan Kristus dan pengharapan umat Kristen—dan hal itulah yang menjadi inti dari teologinya. Ia mengajarkan bahwa orang-orang hendaknya “percaya pada kebangkitan Kristus yang tersalib dan hidup dalam terang realitas dan masa depan-Nya.”

Atau lebih sederhananya: “Tuhan menangis bersama kita agar suatu hari nanti kita dapat tertawa bersama-Nya.”

Moltmann pensiun pada tahun 1994, tetapi terus bekerja dengan para mahasiswa pascasarjana selama bertahun-tahun setelahnya. Ketika istrinya meninggal pada tahun 2016, dia menulis sebuah buku terakhir tentang kematian dan kebangkitan.

Moltmann meninggalkan empat putri.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Apakah Tuhan Disenangkan dengan Ibadah Kita?

Bagi Amos, hal itu bergantung pada apakah Tuhan yang kita sembah menuntut keadilan.

Christianity Today June 3, 2024
Illustration by Stephen Procopio

Dalam seri CLOSE READING ini, para pakar Alkitab merenungkan suatu bagian Alkitab dalam bidang keahlian mereka yang telah membentuk pemuridan diri mereka dan terus berbicara kepada mereka hingga saat ini.

Ibu saya orang Guatemala, dan dia berusaha keras untuk memastikan bahwa keluarga kami berbicara dalam bahasa Spanyol dan merayakan hari raya dengan cita rasa Guatemala. Saya menghabiskan sebagian besar musim panas saya di Guatemala, menghabiskan waktu bersama keluarga dan mengenal negara yang sangat saya sayangi.

Bertahun-tahun kemudian, saya kembali ke Guatemala City sebagai seorang profesor di seminari. Saat itu adalah masa terburuk dari perang saudara yang telah berlangsung selama 36 tahun. Perang telah dimulai saat saya masih kecil, tetapi saya belum pernah mengalaminya secara langsung. Saya terbiasa melihat tentara berada di sekitar kami dan mendengar banyak cerita, tetapi pertempuran terutama terjadi di pegunungan. Saat itu tampaknya sangat jauh.

Sebagai seorang profesor Perjanjian Lama, saya mengajar mahasiswa dari berbagai tempat di Amerika Latin yang menghadapi kemiskinan yang luar biasa, korupsi politik yang merajalela, dan konflik bersenjata; Guatemala bukanlah satu-satunya negara yang mengalami perang saudara. Apa yang bisa ditawarkan Perjanjian Lama kepada mereka? Dapatkah saya membuat Firman Tuhan menjadi hidup dengan cara-cara yang relevan? Jelas, Allah peduli dengan hal-hal ini.

Para teolog pembebasan Katolik Roma membahas konteks yang rumit ini dan menawarkan analisis serta solusi teologis mereka sendiri. Pada saat itu, kaum Injili Amerika Latin baru saja mulai terlibat dalam diskusi mengenai masyarakat dan politik. Kebaktian-kebaktian gereja pada umumnya menghindari topik-topik ini, karena dianggap terlalu duniawi, tetapi topik-topik ini menjadi pemantik percakapan pada saat minum kopi. Inilah realitas kehidupan saya sehari-hari.

Seperti apakah pendekatan Injili terhadap masalah-masalah ini—yang berakar kuat pada Alkitab dan tradisi kita? Itulah yang mulai saya dan orang lain tanyakan. Teologi pembebasan sering kali mengacu pada para nabi, dan karena saya sudah mempelajari Perjanjian Lama, maka di sinilah saya mencari jawabannya. Saya pun tertuju pada kitab Amos.

Amos berbicara banyak tentang keadilan, tetapi juga menyoroti ibadah dengan tegas. Seperti kitab-kitab nubuatan lainnya, Amos mengecam penyembahan yang terputus hubungannya dengan keadilan. Mengapa para nabi begitu peduli? Yang lebih penting lagi, mengapa Tuhan menolak ibadah Israel? Saya masih merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini.

Saya sekarang tinggal di Amerika Serikat, dan saya terus bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Amos, Yesaya, atau Mikha jika mereka datang ke gereja-gereja yang saya hadiri?

Pada hari Minggu pagi, saya pergi ke gereja Anglikan Injili dan pada sore hari saya pergi ke gereja Latin non-denominasi (yang lebih ramai). Masing-masing gereja tersebut memberi makan jiwa dwibudaya saya. Namun saya bertanya pada diri sendiri: Akankah Tuhan berkenan dengan ritual, khotbah, nyanyian-nyanyiannya? Dapatkah keprihatinan para nabi tentang keadilan terjalin dalam kekhidmatan ibadah Anglikan atau kemeriahan gereja Latin? Jika ya, bagaimana caranya? Apa maksudnya?

Saya tidak berpura-pura bahwa apa yang disajikan di sini adalah kata final untuk subjek ini. Ibadah adalah fokus dari minat yang diperbarui dalam budaya mayoritas, baik di tingkat populer maupun akademis.

Banyak faktor yang memotivasi kekhawatiran ini—menurunnya jumlah pengunjung, upaya menyesuaikan gereja dengan tren budaya, keinginan untuk memulihkan liturgi yang bersejarah, dan banyak lagi. Para teolog Amerika Latin di negara ini juga sedang merenungkan kembali hakikat dari ibadah, sambil berusaha untuk tetap otentik terhadap budaya Latin dan responsif terhadap kebutuhan khusus komunitas kita.

Apa yang akan dikatakan Amos mengenai semua ini?

Ada satu ayat yang menarik: Amos 5:24, sebuah teks ikonik di kalangan pejuang keadilan, menyatakan, “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir!” Kebanyakan pembaca tidak menyadari bahwa kalimat ini terdapat di dalam bagian yang membahas tentang ibadah.

Amos menyampaikan pesannya di Israel, kerajaan utara, di mana tempat suci bersejarahnya adalah Betel dan Gilgal. Yang mengejutkan, di awal Amos 5, umat Allah diperintahkan untuk tidak pergi ke tempat suci mana pun, melainkan mencari Tuhan (ay. 4–6).

Dalam konteks dunia kuno, orang-orang pergi ke tempat suci untuk berpartisipasi dalam ritual komunitas dan mencari serta bertemu dengan ilah mereka. Demikian pula pemikiran orang Israel pada zaman Amos. Jadi mengapa Tuhan tidak ingin mereka pergi ke tempat-tempat suci ini? Bagaimana lagi—di mana lagi—mereka dapat beribadah? Mengapa Tuhan mengutuk tempat-tempat suci dan praktik-praktik ibadah mereka?

Perintah untuk tidak beribadah di Betel dan Gilgal terdengar tidak masuk akal bagi pendengar Amos, sehingga sang nabi menjelaskan apa yang Tuhan cari.

Dalam struktur pasal 5, ayat 4–6 (tentang menghindari tempat-tempat suci) berhubungan dengan ayat 14–16. Bagian ini menjelaskan apa artinya mencari Tuhan.

Mencari Tuhan berarti mencari dan mencintai yang baik, membenci kejahatan, dan menegakkan keadilan di pintu gerbang kota-kota mereka. Perintah untuk “mencintai” dan “membenci” menunjukkan kepada kita bahwa komitmen terhadap keadilan haruslah penuh semangat.

Keseriusan dari pesan ini sangatlah jelas. Penghakiman atas Israel tidak dapat dihindari. Namun jika umat itu mau berbalik ke jalan ilahi ini—dan jika hal ini terekspresikan dalam penyembahan mereka—mungkin Tuhan akan mengasihani kaum yang tersisa, yaitu mereka yang masih tinggal setelah Hari Tuhan yang akan datang.

Sungguh sebuah peringatan yang menyedihkan.

Penolakan Tuhan terhadap kegiatan keagamaan semacam itu sangatlah mendalam (ay. 21–23). Ia memulai dengan “Aku membenci, Aku menghinakan.” Lima kata kerja lagi menggambarkan penolakan Allah terhadap ibadah Israel.

Beberapa kekuatan makna dari apa yang Tuhan katakan ada yang hilang dalam terjemahan bahasa Inggris. Allah berkata bahwa Ia tidak akan mencium aroma perkumpulan mereka (ay. 21 “senang”; terkadang diterjemahkan sebagai “menerima” atau “menyetujui”); tidak akan menerima korban bakaran dan korban sajian (ay. 22 “suka”); tidak mau pandang persembahan persekutuan mereka (ay. 22); atau tidak mau dengar nyanyian-nyanyian mereka, yang hanya sekadar kebisingan bagi Tuhan yang harus mereka jauhkan (ay. 23).

Penolakan ini sangat mendalam, sebagaimana hal ini terkoneksi dengan indra-indra Tuhan, keberadaan-Nya sendiri. Tuhan tidak ingin berurusan sama sekali dengan penyembahan Israel. Dalam bahasa Ibrani, ada tujuh kata kerja dan tujuh aktivitas yang ditolak: penghinaan yang sempurna dan total.

Pada titik inilah Amos 5:24 muncul, yang mengatakan bahwa umat Tuhan harus membiarkan keadilan mengalir seperti sungai. Agar keadilan dan kebenaran mengalir dan tidak pernah kering, berarti keduanya harus menjadi realitas yang terus-menerus ada dalam kehidupan masyarakat Israel, dan kata-kata ini ada hubungannya dengan kritik pedas terhadap ibadah mereka.

Bukan berarti Tuhan tidak menginginkan ritual. Allah bahkan telah menetapkan ritual-ritual ini dalam Hukum Taurat! Ritual-ritual tersebut merupakan bagian integral dari rancangan-Nya untuk ibadah Israel.

Intinya bukanlah menghilangkan ritual; karena itulah satu-satunya cara manusia dapat beribadah. Bahkan gereja-gereja yang disebut non-liturgi pun mempunyai upacara dan praktik yang rutin.

Amos tidak menyangsikan bahwa memisahkan ibadah dan keadilan sosial adalah hal yang tidak disukai Allah. Bagian-bagian lain dalam kitab nubuatan ini menegaskan kebenaran tersebut dan mengungkapkan isu yang lebih sentral.

Ironisnya, di pasal 4, umat Allah diperintahkan untuk pergi ke tempat suci yang sama, Betel dan Gilgal… tetapi untuk berbuat dosa (4:4)! Nabi mengolok-olok kesalehan mereka, ritual-ritual pengucapan syukur dan perayaan mereka.

Kemudian datanglah belatinya: “Sebab bukankah yang demikian kamu sukai” (4:5). Aktivitas ibadah mereka pada akhirnya hanya untuk diri mereka sendiri. Mereka merasa senang dengan apa yang mereka lakukan, memuji kebaikan Tuhan. Mereka tidak menyadari bahwa di mata Tuhan, ibadah mereka adalah dosa.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Amos 4:6–11 menjelaskannya. Tuhan telah mendatangkan kelaparan, kekeringan, kegagalan panen, peperangan, dan kehancuran. Tidak ada yang dapat disyukuri dari Tuhan! Pukulan-pukulan ini dimaksudkan untuk membuat mereka kembali kepada Tuhan, tetapi mereka menolaknya. Lima kali Tuhan menyatakan, “Kamu tidak berbalik kepada-Ku.”

Karena sikap keras kepala ini, Tuhan berfirman, “Maka bersiaplah untuk bertemu dengan Allahmu.” (ay. 12). Umat itu akan menjawab, Tetapi kami menemui-Mu di Betel dan Gilgal! Kami menemui-Mu di sana dalam ibadah!

Namun, sang nabi dengan jelas menyatakan bahwa mereka menyembah allah yang berbeda, ilah yang mungkin mereka sebut Yahweh, tetapi tetap saja merupakan allah ciptaan mereka sendiri. Itu adalah allah yang penuh berkat dan kebaikan, tanpa ada sisi-sisi yang kasar.

Penyembahan mereka terputus dari realitas dan dari Tuhan yang hidup.

Iman mereka juga merupakan iman yang dikompromikan oleh ideologi nasionalistik. Bangsa itu yakin bahwa Allah ada di pihak mereka dan akan membawa kemenangan bagi Israel dalam melawan musuh-musuhnya (5:18-20).

Sungguh sebuah kesalahan perhitungan yang bodoh. Hari Tuhan, kata sang nabi, tidak akan menjadi terang kemenangan; hari itu adalah kegelapan penghakiman yang membuat mereka tidak dapat lari atau bersembunyi.

Amos pergi ke Betel, tempat suci yang utama dan poros dari agama nasional. Di sana ia berhadapan dengan imam besar Amazia (7:10-17). Imam besar itu menyadari bahwa sang nabi adalah ancaman terhadap status quo-nya, bagi perkawinan antara mahkota kekuasaan dan iman.

Amazia pun melaporkan pesan Amos yang tidak mengenakkan itu kepada Raja Yerobeam II dan menuntut agar Amos pulang ke kampung halamannya di Yehuda (ay. 10–12). Apa hak yang dia miliki sebagai orang asing untuk mengkritik pemerintah dan agama Israel? Tidakkah ia mengetahui bahwa Betel adalah tempat suci milik raja dan bait suci kerajaan (ay.13)?

Dengan kata-kata ini, Amazia dan agama Israel pun dikutuk. Para rohaniwan dan bait suci telah dimanfaatkan oleh rezim politik. Amos mengumumkan bahwa para imam akan mati dalam pembuangan (Am. 7:17) dan menyatakan bahwa Betel akan dihancurkan (Am. 3:14; 9:1).

Sekali lagi, berhala yang mereka sebut “Yahweh” telah menampakkan wajahnya yang jelek. Ilah ini melegitimasi pemerintah, para elit penguasa, dan struktur sosial yang menyebabkan penindasan yang merajalela. Sang imam besar itu tidak mempertanyakan raja atau keadaan yang terjadi; dia tidak memiliki dorongan untuk membela yang lemah dan mengecam yang salah.

Begitulah cara agama bangsa-bangsa di sekitar Israel berfungsi, tetapi tidak demikian halnya dengan umat Allah. Tuhan tidak akan menolerir penyembahan terhadap Yahweh yang palsu, penyembahan yang mengabaikan ketidakadilan dan kompromi sosio-politik, serta meneriakkan puji-pujian di tengah begitu banyak penderitaan. Ibadah, kepedulian sosial, dan realitas politik tak terelakkan dan saling berkelindan satu sama lain.

Yang lebih penting lagi, yang dipertaruhkan dalam ibadah adalah pribadi Tuhan. Tuhan terlibat dalam setiap dimensi keberadaan manusia, dan gambaran Tuhan yang dihadirkan dalam ibadah harus mencerminkan hal ini. Ibadah seharusnya menampilkan Tuhan sebagaimana adanya. Ibadah harus membawa doa, pengakuan, ratapan, dan pujian kepada Tuhan yang ini dan membentuk suatu umat untuk mencerminkan Tuhan yang ini.

Nabi Amos memasukkan nyanyian pujian ke dalam nubuat-nubuatnya yang meninggikan kuasa Tuhan Yang Mahakuasa yang bernama Yahweh (4:13; 5:8–9; 9:5–6). Israel membutuhkan visi yang diperbaharui tentang Dia. Inilah sebabnya mengapa tempat-tempat suci dan para pemimpin agama menjadi target khusus bagi pesan Amos. Pada tempat-tempat suci itulah pandangan yang menyimpang tentang Tuhan diajarkan dan disembah.

Amos 5:24 kini menjadi lebih masuk akal. Membiarkan keadilan bergulir berarti mengecam aktivitas keagamaan yang tidak memedulikan ketidakadilan, ritual perayaan yang mengabaikan kebutuhan manusia, dan iman yang terjebak pada ideologi politik. Jika penyembahan—sebaik apa pun niatnya—memahami Tuhan secara keliru, maka hal itu akan menghasilkan umat yang sesat dan akan dihakimi.

Kitab Amos dimulai dengan Tuhan mengaum dari Yerusalem, dari Bait Suci di Sion (1:2). Dengan kata lain, Tuhan bahkan tidak hadir di tempat suci Israel! Teologi mereka yang mementingkan diri sendiri dan ideologi nasionalis mereka telah sangat mendistorsi ibadah sehingga umat Allah tidak menyadari ketidakhadiran Tuhan. Ketika Tuhan datang, tidak akan ada sukacita, yang ada hanyalah ratapan atas penghakiman.

Tuhannya Amos (Tuhan kita) tidak menerima ibadah yang tidak menyentuh realitas kehidupan yang penuh tantangan dan dosa-dosa masyarakat. Kita perlu memahami bahwa tuntutan akan keadilan adalah inti dari pribadi Allah. Tuhan yang penuh belas kasihan dan kebenaran adalah Allah yang kita sembah!

Berabad-abad kemudian, Yesus akan mengangkat tema yang sama dan mengutuk para pemimpin agama serta mereka yang terlibat dalam agama, yang tidak dapat diterima di sinagoga-sinagoga dan di bait suci Yerusalem.

Jadi, apa yang akan dikatakan seorang nabi jika ia datang ke kebaktian kita pada hari Minggu? Saya bukan pemimpin ibadah atau pendeta. Saya bukan seorang musisi atau ahli liturgi. Saya akui bahwa saya tidak dapat menawarkan solusi apa pun yang spesifik. Yang bisa saya katakan adalah bahwa tidak ada formula yang bisa membuat ibadah kita sejalan dengan tuntutan Tuhan. Ibadah akan bervariasi di sepanjang waktu, budaya, denominasi, dan tradisi iman.

Ucapan kenabian mengharuskan kita memikirkan kembali puji-pujian yang kita nyanyikan, mengarahkan kembali pesan-pesan yang kita khotbahkan, bahkan merestrukturisasi kebaktian-kebaktian di gereja. Mungkin kita perlu memikirkan kembali cara penyembahan kita agar lebih selaras dengan tuntutan Tuhan. Mungkin kita dapat menginstruksikan kepada mereka yang memimpin ibadah tentang tema-tema keadilan, bacaan firman, dan nyanyian pujian. Haruskah kita mempertimbangkan tradisi iman Kristen lainnya yang memiliki sejarah keterlibatan dalam keadilan sosial? Ada banyak hal dalam sejarah gereja, baik di sini maupun di seluruh dunia, yang dapat diambil dan dipelajari.

Ibadah, pada intinya, haruslah bersifat formatif, yang dirancang untuk membentuk dan membina umat yang berkeadilan, yang meninggikan Tuhan yang adil dan mewujudkan maknanya dalam kehidupan kita dan masyarakat. Itulah ibadah yang diserukan oleh para nabi.

M. Daniel Carroll R. (Rodas) adalah Profesor Studi Biblika dan Pedagogi dari Scripture Press Ministries di Wheaton College. Dia telah menulis buku tafsiran tentang kitab Amos dan buku The Lion Roars: Recovering the Prophetic Voice for Today.

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bagaimana Kita Tetap Berada di Gereja Sama Penting dengan Alasannya

Para penyintas pelecehan rohani yang bergabung dengan jemaat gereja baru masih perlu sembuh dari luka hati mereka.

Christianity Today May 31, 2024
Denys Amaro / Unsplash

Saat ini, orang-orang meninggalkan gereja karena berbagai alasan—mulai dari pelecehan rohani atau seksual yang dilakukan oleh para pemimpin, perpecahan gereja, legalisme, atau hiper-politisasi. Sebuah survei Barna baru-baru ini menemukan bahwa dua sumber utama keraguan bagi sebagian besar orang percaya adalah pengalaman negatif di masa lalu dengan lembaga keagamaan dan kemunafikan orang-orang beragama.

Namun tidak semua orang yang mempunyai pengalaman buruk dengan komunitas iman memilih untuk meninggalkan gereja atau kekristenan sama sekali. Beberapa dari mereka tetap berada di gereja yang melukai mereka, sering kali karena relasi yang berharga atau rasa kesetiaan terhadap institusi tersebut. Sebagian lainnya mencoba untuk menekan tombol reset dengan memulai dari awal di gereja, denominasi, atau tradisi yang baru.

Bagaimanapun, luka masa lalu itu tidak akan hilang. Bahkan, pengalaman di gereja yang baru yang ditambahkan di atas pengalaman lama dapat memperburuk rasa sakit hati bagi beberapa orang yang bertahan. Bangku-bangku gereja saat ini penuh dengan orang-orang yang punya bekas luka—atau luka yang belum kering—karena gereja. Kita sering berbicara tentang mengapa orang harus tetap bertahan di gereja, tetapi terkadang itu adalah pertanyaan yang salah. Sebaliknya, saya pikir kita perlu berbicara lebih banyak tentang bagaimana kita tetap berada di gereja.

Saya harus menjawab pertanyaan ini untuk diri saya sendiri sebagai seorang penyintas dari luka karena gereja. Saya sekarang menghadiri gereja yang berbeda, tetapi perjalanan untuk tetap terhubung dengan gereja lokal setelah mengalami pelecehan tidaklah mudah.

Saya juga belajar dari bagaimana orang lain menjalani hubungan mereka dengan gereja lokal setelah tersakiti oleh saudara saudari seiman mereka. Dan apa yang saya temukan adalah bahwa mereka yang memilih untuk tetap terhubung dengan komunitas iman setempat meskipun mereka mengalami trauma, mereka memiliki wawasan bijaksana tentang kepercayaan, pengampunan, dan kearifan—yang sangat berharga tidak hanya bagi mereka yang terluka, melainkan juga bagi seluruh tubuh Kristus.

Sebutkan dan kemukakan secara spesifik luka karena gereja Anda.

Dalam hal memproses luka karena gereja, ada baiknya jika Anda mengetahui bahwa Anda tidak sendirian dan orang lain juga mengalami hal yang sama. Akan tetapi, penting juga untuk mengidentifikasi sumber trauma Anda sendiri dan memisahkannya dari narasi pelecehan lainnya di gereja pada umumnya.

Rachel Baker, seorang istri pendeta, menggambarkan proses berpikirnya setelah mengalami pengalaman yang menyakitkan di gereja sebelumnya: “Untuk memulai proses penyembuhan dan pengampunan, saya harus menunjukkan dengan tepat ‘siapa’ di balik rasa sakit itu. Begitu saya bisa mengidentifikasi ‘siapa’ yang sebenarnya melakukan tindakan yang menyakiti hati saya, maka saya bisa memisahkan mereka dari gereja secara keseluruhan. Tiba-tiba, saya tidak benar-benar mengalami ‘sakit hati karena gereja’ melainkan lebih kepada ‘sakit hati relasional.’”

Pembedaan tersebut bisa sangat membantu. Hubungan yang hancur dengan anggota gereja lain dapat meninggalkan luka yang mendalam dan meluas ke persahabatan lain dalam jemaat. Luka hati semacam itu mungkin merupakan bagian konstelasi yang lebih besar dari rusaknya hubungan yang berputar di sekitar pemimpin yang kasar secara rohani—atau mungkin hanya terbatas pada pergumulan antara dua individu. Itulah sebabnya mengapa penting untuk mengidentifikasi sumber dan cakupan dari luka tersebut.

Namun bagi banyak orang, menentukan hal ini tidaklah mudah. Meskipun tidak semua pengalaman luka karena gereja mengarah pada trauma agama, tetapi pola-pola cedera moral dan pelecehan rohani yang berulang jauh lebih meresap dibanding kerusakan hubungan yang terisolasi.

Seorang wanita mengatakan kepada saya bahwa ia melihat banyak contoh pemimpin pria yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, berbohong, dan menyembunyikan amoralitas. Sekarang ia berjuang untuk tetap membuka hatinya, melawan sinisme dan keinginan untuk menarik diri. Dia menghargai waktu yang dia habiskan bersama seorang konselor profesional berlisensi sebagai hal yang penting dalam membantunya tetap terhubung dengan gereja. “Saya sering menangis, mengakui kesalahan dan dosa saya dalam merespons, dan memilih untuk taat dibandingkan berputus asa,” katanya.

Di beberapa lingkungan gereja terdapat peningkatan kesadaran tentang perlunya jemaat untuk mendapatkan informasi tentang trauma agar bisa melayani para penyintas pelecehan rohani dengan lebih baik.

Pada tahun-tahun awal setelah saya mengalami pelecehan rohani, konseling dan sesi dengan pembimbing rohani yang matang membantu saya mengenali dan memproses rasa sakit saya dan mulai sembuh—dan belajar bagaimana menghadapi nasihat buruk yang saya terima dari orang lain.

Beberapa teman yang bermaksud baik menanggapi kebingungan, kemarahan, dan kesedihan saya dengan kata-kata klise seperti, “Kamu tahu, tidak ada gereja yang sempurna! Dan kalaupun ada, kamu atau saya akan merusaknya saat kita masuk ke dalamnya.” Saya sudah membaca Surat-surat para rasul (Epistles) dan mengetahui bahwa Alkitab penuh dengan studi kasus tentang gereja-gereja yang tidak sempurna.

Akan tetapi, seorang konselor yang baik membantu saya memahami bahwa respons semacam ini adalah bentuk jalan pintas rohani yang tidak dimaksudkan untuk menghibur saya, melainkan bertujuan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan oleh rasa sakit yang saya alami. Naluri serupa mempengaruhi teman-teman Ayub dalam tanggapan mereka (yang salah) terhadap penderitaannya.

Sebaliknya, penyembuhan holistik dari luka karena gereja memerlukan pengakuan yang jujur terhadap sifat dan tingkat kepedihan kita—daripada mencoba untuk “berpaling” (move on) terlalu cepat darinya.

Dalam episode bonus siniar The Rise and Fall of Mars Hill, Mike Cosper mewawancarai terapis Kristen, Aundi Kolber, yang mempelajari dampak trauma rohani pada tubuh kita—merujuk pada karya-karya yang berpengaruh seperti bukukarya Bessel van der Kolk, The Body Keeps the Score. “Kita membawa bekas luka, kita membawa cedera. … Dan pada titik tertentu, saya percaya tubuh berkata, Cukup,” kata Kolber. “Saya percaya itu adalah anugerah Tuhan.”

Seperti yang dicatat oleh Russell Moore, hal yang sama juga dapat terjadi dalam tubuh Kristus secara keseluruhan: “Apa yang tidak diperbaiki akan terulang kembali—dan apa yang tidak direformasi tidak dapat dihidupkan kembali.”

Ubah gereja, denominasi, atau tradisi.

Namun, bagi banyak penyintas, alasan utama mereka akhirnya tetap bertahan di gereja adalah karena mereka bergabung dengan jemaat, denominasi, atau tradisi yang berbeda.

Pelecehan rohani sering kali dapat membentuk kembali prioritas, perspektif, dan preferensi kita. Misalnya, jika seorang penyintas disakiti oleh seorang pemimpin yang narsistik atau gereja besar yang megah, dia mungkin akan mencari gereja lokal dengan struktur kepemimpinan yang terdesentralisasi atau jemaat yang lebih kecil dan sederhana. Atau para penyintas dari konteks gereja korporat mungkin mencari komunitas yang mengerjakan pelayanan lebih seperti sebuah keluarga daripada sebuah bisnis.

Namun ada juga orang-orang yang tercederai oleh gereja-gereja yang menampilkan diri sebagai keluarga yang sehat di luar, tetapi di dalamnya disfungsi. Dan sayangnya, doktrin yang kuat saja tidak serta-merta menciptakan komunitas rohani yang sehat.

Konselor Jeff VanVonderen mengingatkan kita bahwa model gereja yang sehat dalam Perjanjian Baru adalah tempat di mana ada dukungan, kasih, dan ruang untuk berproses. Dia menyarankan untuk mengamati bagaimana para anggota berinteraksi satu sama lain untuk mengidentifikasi apakah komunitas tersebut merupakan komunitas yang kuat atau apakah komunitas tersebut berpotensi menjadi tempat untuk pelecehan rohani.

Wendy Alsup adalah bagian dari gereja besar non-denominasi Mars Hill yang sekarang sudah tidak ada lagi di Seattle. Lebih dari satu dekade kemudian, dia sekarang tinggal di wilayah lain di negaranya dan menghadiri sebuah gereja denominasi yang kecil.

“Saya kini memiliki kedewasaan dan kebijaksanaan mengenai pemimpin seperti apa yang harus saya cari, yang tidak saya miliki beberapa tahun lalu,” kata Alsup. “Saya dulu terpikat dengan yang khotbah yang dinamis dan pertumbuhan yang cepat. Hal-hal itu sekarang membuat saya gugup… Saya tidak tertarik lagi dengan acara-acara besar di Minggu pagi dan hampir tidak tahan untuk menjadi bagian dari acara-acara tersebut.”

Meski begitu, masih banyak penyintas yang meninggalkan gereja yang melakukan pelecehan, tetapi belum menemukan atau bergabung dengan gereja lain karena berbagai alasan, termasuk pandemi. Bahkkan, seperti yang dikatakan Mike Moore dalam sebuah tulisan untuk CT, kekacauan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuat banyak orang percaya terjebak dalam “api penyucian gerejawi,” tidak yakin bagaimana caranya untuk kembali terlibat dengan gereja.

Setelah tujuh tahun berada di gereja pedesaan yang dipimpin oleh seorang pendeta yang narsis, seseorang yang saya kenal mengunjungi gereja lain di kota bersama suaminya sesaat sebelum COVID-19 melanda. Setelah bertahun-tahun kesepian di gereja lama mereka, pasangan mantan misionaris ini berharap untuk akhirnya dapat menikmati sebuah komunitas yang nyata. Namun karena beberapa masalah kesehatan yang serius, mereka tidak dapat menghadiri kebaktian secara tatap muka.

Saya bertanya kepada teman saya, apa yang membuat mereka tetap terhubung dengan gereja dan terpelihara secara rohani, dan dia menyebutkan beberapa hal. Selain mengikuti kebaktian hari Minggu secara daring dan berkomunikasi dengan tim kepemimpinan gereja lokal, mereka juga bersekutu dengan teman-teman rohani yang telah lama mereka kenal dan memanfaatkan beragam materi pengajaran serta materi renungan yang tersedia daring.

“Kami percaya bahwa ada sesuatu yang kuat dalam keterkaitan kita yang setia dengan gereja lokal, bahkan ketika gereja tersebut belum tentu setia kepada kita,” katanya. “Kami percaya bahwa Tuhan dapat bekerja di dalam dan melalui kami, terlepas dari apa yang kami lihat dan alami, dan sekalipun ada rasa sakit. Ini sulit. Ini menyakitkan. Kami berharap ini berbeda. Namun kami tetap bertekun.”

Pada masa-masa awal sakit hati saya dengan gereja saya sendiri, saat menghadiri kebaktian hari Minggu, bagi saya rasanya terlalu berat, namun saya memelihara hubungan dengan tubuh Kristus dengan bergabung dalam komunitas pemahaman Alkitab dan mencari cara lain untuk melayani Tuhan bersama rekan-rekan seiman. Tujuan saya bukan untuk meninggalkan gereja selamanya, melainkan mencari tahu bagaimana saya bisa tetap bertahan.

Sementara saya mencari hikmat Tuhan untuk melangkah maju, saya tahu bahwa saya harus menjaga hati dari kepahitan terhadap gereja lama saya dan terlibat dalam upaya pengampunan yang sedang berlangsung—sebagian besar alasannya agar saya tidak membawa beban itu ke dalam komunitas saya yang berikutnya.

Kepercayaan terlihat berbeda setelah adanya luka karena gereja.

Namun meskipun kita dapat menemukan trauma yang kita alami, memprosesnya dalam terapi, dan menemukan gereja baru yang membuat kita merasa nyaman, tetap berada di gereja mungkin membuat kita, sebagai penyintas, masih memiliki sikap defensif terhadap para pemimpin gereja di masa mendatang.

Jarak emosional ini dimaksudkan sebagai sistem peringatan dini dalam mengenali penyalahgunaan kekuasaan sebelum hal itu dapat mencederai kita. Perlindungan diri seperti ini dapat berasal dari kebijaksanaan pengalaman hidup, tetapi juga dapat menjadi penghalang bagi pertumbuhan dan hubungan baru di masa mendatang. Ini adalah tindakan penyeimbang yang rumit yang harus diseimbangkan oleh para penyintas dalam jangka panjang.

Meskipun kita mungkin tidak akan pernah bisa mendapatkan kembali kepercayaan tulus dan optimisme cerah seperti yang pernah kita miliki sebelumnya, namun ada beberapa cara untuk mengatasi ketidakpercayaan kita.

Bertahun-tahun yang lalu, seorang mantan pendeta yang memiliki kisah menyakitkan tentang luka karena gereja, mengatakan kepada saya bahwa alih-alih mencoba membungkam suara skeptis di dalam dirinya, ia belajar untuk mengelolanya—dengan mengakuinya sebagai bentuk perlindungan diri terhadap bahaya di masa mendatang. Ketika kita menyambut kritik batin kita terhadap gereja, kita sebenarnya dapat “mengukur dengan tepat” pengaruh suara itu jauh lebih efektif dibandingkan jika kita mencoba mengabaikan atau membungkamnya. Hal ini, pada gilirannya, akan membantu kita untuk tetap hadir di hadapan Tuhan dan orang-orang di sekitar kita, alih-alih menjaga jarak secara emosional.

Bagi para penyintas, ada baiknya juga mengingat bahwa kepekaan dan kearifan kita sebenarnya dapat berguna bagi misi gereja dalam jangka panjang.

“Para pria dan wanita pemberani melangkah maju dengan mengatakan, ‘Ini bukanlah visi Kristus mengenai gereja, kepemimpinan, dan relasi.’ Mereka menuntut lebih banyak dari kita sebagai pemimpin,” kata profesional pelayanan pastoral Chuck DeGroat dalam sebuah wawancara dengan CT. “Mereka bersedia bekerja keras untuk membongkar sistem dan relasi yang toksik, menyebutkan realitas yang berbahaya, dan bergerak menuju pengharapan serta kebenaran dalam kasih.”

Seorang pria mengatakan kepada saya bahwa dia memiliki pandangan sebagai orang dalam tentang pelanggaran keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan seorang pendeta korup sebelum mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penatua. “Saya tidak lagi secara otomatis memercayai atau menghormati siapa pun hanya karena mereka mempunyai gelar, jabatan, atau pengaruh.” Dia menghadiri gereja yang baru—meskipun keterlibatannya hanya sedikit di luar kebaktian hari Minggu—namun dia tetap waspada terhadap tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan.

Dan meskipun dia sering mempertimbangkan untuk keluar secara diam-diam dari gerejanya saat ini, dia memilih untuk tetap tinggal: “Saya tahu bahwa saya akan bertanggung jawab kepada Sang Kepala gereja, dan penderitaan-Nya jauh melebihi penderitaan saya.”

“Saya tidak ingin menggunakan pengalaman saya dengan ‘gembala-gembala di Yehezkiel 34’ sebagai alasan untuk melepaskan diri dari Yesus,” kata seorang teman lainnya yang meninggalkan jabatannya di sebuah gereja menengah setelah mengalami konflik yang menyakitkan dan berkepanjangan. “Memikirkan untuk meninggalkan Yesus saja membuat saya menangis.” Kata-katanya mengungkapkan pentingnya menjalin hubungan yang lebih dalam dengan Kristus meskipun—atau mungkin justru karena—kesedihan yang terus-menerus dia proses dalam doa.

Rasul Paulus menekankan kepemimpinan Kristus sebagai Kepala kepada setidaknya dua jemaat yang sedang bergumul. Doanya dalam Efesus 1:18-23 menekankan bahwa Yesus yang telah bangkit memegang seluruh otoritas dan kekuasaan atas setiap lembaga dan pemerintahan manusia—bahkan pada saat budaya yang dominan menceritakan kisah yang berbeda.

Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose—yang mendapat serangan dari guru-guru palsu yang memberitakan Injil yang berbeda—Paulus menegaskan bahwa Kristus “Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu.” (Kol. 1:18)

Para penyintas tahu lebih baik daripada kebanyakan orang bahwa tidak semua yang terjadi di dalam jemaat mencerminkan karakter dan otoritas Yesus. Namun mengingat bahwa Kristus adalah Kepala Gereja-Nya, hal ini memberi kita kejelasan dan perspektif mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh gereja lokal kita. Seperti yang dikatakan oleh pendeta Benjamin Vrbicek, kesadaran kita yang berlebihan terhadap “gembala yang buruk” menunjukkan “kerinduan yang lebih dalam akan gembala yang baik—dan pada akhirnya, akan Sang Gembala yang Baik.”

Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Tuhan tidak mempunyai Rencana B jika gereja-Nya gagal—walaupun kita telah gagal dalam berbagai cara yang menakjubkan dan mengerikan selama dua milenium terakhir. Para bapa dan ibu rohani kita dalam iman mengingatkan kita selama berabad-abad bahwa gereja akan selalu membutuhkan reformasi. Dan reformasi tersebut mencakup kita semua yang pernah terluka.

Michelle Van Loon adalah penulis tujuh buku, termasuk Becoming Sage: Cultivating Meaning, Purpose, and Spirituality in Midlife.

Diterjemahkan oleh Budi M. Winata.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Ya, Karisma Memiliki Tempat di Mimbar

Namun jangan salah mengartikannya sebagai panggilan.

Christianity Today May 30, 2024
Illustration by Tim McDonagh

Karisma telah mengalami masa-masa sulit di gereja. Atau setidaknya sebagian dari kita sudah menjadi curiga terhadapnya. Keretakan-keretakannya sudah terlihat sejak beberapa tahun lalu. Sembilan tahun lalu, jauh sebelum Oxford University Press menobatkan rizz (bahasa gaul untuk jenis karisma yang mengilhami ketertarikan romantis) sebagai kata terbaik tahun 2023, Rick Warren mengamati, “Karisma sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan.”

Namun kita semua tahu bahwa karisma memang ada hubungannya dengan kepemimpinan, bukan?

Kita menyukai pemimpin dengan kepribadian yang dinamis. Kita tertarik pada mereka, baik di gereja maupun di dunia politik. Baik atau buruk, karisma adalah salah satu faktornya. Pemimpin yang berkarisma adalah ciri umum dari kisah awal mula banyak organisasi dan denominasi Kristen (dan non-Kristen). Banyak gerakan yang bermula dari orang dengan kepribadian menarik dan ambisi yang besar untuk Tuhan, yang efektivitas pelayanan mereka tampaknya lebih disebabkan oleh kepribadian mereka daripada panggilan Tuhan.

Sebagai contoh, Alkitab mengatakan bahwa Saul, raja pertama Israel, “seorang muda yang elok rupanya; tidak ada seorangpun dari antara orang Israel yang lebih elok dari padanya: dari bahu ke atas ia lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya” (1Sam. 9:2). Kesan yang didapat dari penampilan fisik Saul menunjukkan bahwa ia akan menjadi raja yang ideal.

Pengalaman selanjutnya membuktikan sebaliknya. Ketika nabi Samuel mencari pengganti Saul di antara anak-anak Isai, Tuhan memperingatkan dia agar tidak terpengaruh oleh hal-hal seperti itu. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah" kata-Nya. "Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1Sam. 16:7).

Namun, ketika Daud dibawa ke hadapannya, 1 Samuel 16:12 menyatakan bahwa ia ”kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok.”

Karisma, seperti halnya kecantikan atau ketampanan, ada di mata orang yang melihatnya. Jadi ada dimensi budaya dalam karisma. Salah satu alasan mengapa 1 Samuel menekankan penampilan fisik Saul dan Daud adalah karena raja juga seorang pahlawan. Orang-orang melihat raja sebagai seorang pembebas (1Sam. 8:19-20). Tinggi badan Saul dan kesehatan Daud menambah kehebatan mereka dalam pertempuran dan membuat mereka tampak seperti raja.

Namun Alkitab dengan jelas mengatakan: Keberhasilan apa pun yang mereka alami disebabkan oleh hal yang melebihi bakat natural mereka. Inilah fungsi karisma dalam pengertian teologis yang sesungguhnya. Mereka berhasil karena Roh Kudus turun ke atas mereka dengan penuh kuasa (1Sam. 10:10; 11:6; 16:13).

Namun kemudian mereka masing-masing berdosa secara terang-terangan. Kegagalan serupa dari para pemimpin berkarisma masa kini telah menjadi berita utama nasional dan dijadikan bahan untuk siniar dan film dokumenter. Kisah-kisah mereka menjadi pengingat yang tajam bahwa terkadang karisma, seperti halnya kecantikan atau ketampanan, hanya sebatas kulit semata.

Namun alur cerita mereka yang familier juga membuktikan bahwa karisma memberikan semacam kekuatan, entah kita menginginkannya atau tidak. Kita hanya tidak yakin jenisnya seperti apa. Apakah itu otoritas yang berasal dari Tuhan? Atau sekadar perbuatan daging?

Pemimpin yang berkarisma telah ada di sepanjang sejarah. Namun cita-cita pemimpin karismatik dibawa ke permukaan oleh sosiolog abad ke-20, Max Weber.

Dengan mengacu pada gagasan alkitabiah tentang kepemimpinan sebagai anugerah dari Tuhan (Rm. 12:8), Weber mendefinisikan karisma sebagai “kualitas tertentu dari seseorang yang membuatnya berbeda dari orang-orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang memiliki kemampuan supranatural, manusia super, atau setidaknya memiliki kekuatan atau kualitas yang luar biasa.” Bagi Weber, esensi dari karisma adalah kepribadian yang kuat dari seorang pemimpin yang mempengaruhi orang lain untuk mengikutinya.

Namun, menurut Weber, kepribadian yang kuat bukanlah satu-satunya hal yang menjadikan pemimpin tersebut menjadi karismatik. Karisma adalah hasil kumpulan sifat, termasuk kesucian karakter. Menurut definisi Weber, kombinasi yang membentuk karisma sangat langka.

Jika definisi sosiologis dari karisma adalah “kekuatan melalui kepribadian,” maka gagasan Alkitab tentang karisma menempatkan kekuatan di tempat lain. Karisma, menurut Alkitab, adalah kuasa Roh Kudus yang diberikan oleh anugerah Kristus. Kuasa yang diberikan Tuhan ini ditunjukkan melalui (dan terkadang terlepas dari) kepribadian. Dalam definisi alkitabiah ini, kepribadian adalah media yang digunakan untuk menunjukkan kuasa Allah, bukan sumber dari kuasa itu sendiri.

Dalam definisi ini, semua kepemimpinan bersifat karismatik karena kepemimpinan adalah anugerah dari Tuhan (secara etimologi karisma berarti anugerah dari Tuhan). Kemampuan menjalankan kepemimpinan bukan hanya merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada individu tertentu, tetapi individu itu sendiri juga merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada gereja (Ef. 4:7-13).

Karisma rohani ini bukan hanya diperuntukkan bagi segelintir orang di dalam gereja. Allah mengaruniakan Roh “kepada tiap-tiap orang…untuk kepentingan bersama” (1Kor. 12:7). Gereja memang memiliki pemimpin-pemimpin, tetapi kesehatan dan keberhasilannya tidak bergantung pada mereka saja.

Para pemimpin gereja—mereka yang menggunakan karunia-karunia rohani di tengah gereja dan juga mereka yang menjalankan fungsi dan tugas penting yang memampukan gereja memenuhi misinya—semuanya berkontribusi pada kepemimpinan karismatik dari Roh Kudus di gereja.

Kegagalan banyak pemimpin yang dinamis di hadapan publik merupakan pengingat akan bahayanya jika terlalu bergantung pada individu mana pun—termasuk diri kita sendiri.

Ketika ayah mertua Musa, Yitro, melihat Musa dikelilingi orang-orang Israel saat dia mengadili perselisihan mereka dari pagi hingga sore, Yitro segera melihat kebodohan dari model kepemimpinan seperti itu. “Tidak baik seperti yang kaulakukan itu,” kata Yitro.

“Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja” (Kel. 18:17–18). Solusi Yitro adalah menyebar beban dengan membagi tanggung jawab Musa kepada orang lain.

Allah tampaknya telah mengonfirmasi nasihat Yitro dengan menyebarkan Roh ketika Dia mengambil “sebagian dari Roh” yang ada pada Musa dan menaruhnya pada para tua-tua Israel (Bil. 11:17).

Tindakan ini tidak hanya mengantisipasi beban kepemimpinan bersama yang kita temukan di gereja Perjanjian Baru; tindakan ini juga menubuatkan pencurahan Roh Kudus yang lebih luas pada hari Pentakosta. Tidak semua orang di gereja dipanggil untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi kita semua telah dianugerahi Roh yang berdiam di dalam diri kita (Rm. 8:9).

Jika kuasa untuk memimpin pada akhirnya berasal dari Roh Kudus, lalu apa peran dari kepribadian? Apakah itu aset atau beban?

Pandangan umum mengatakan bahwa gaya kepemimpinan terbaik adalah gaya kepemimpinan yang tidak menonjolkan kepribadian. Seperti yang saya tulis di Preaching Today, kita mendengar gema dari pernyataan ini dalam sebuah doa yang sering diucapkan sebelum khotbah. Doanya kira-kira seperti ini: “Biarlah perkataan saya dilupakan, sehingga hanya apa yang datang dari-Mu saja yang diingat.” Doa-doa seperti itu memang bermaksud baik, tetapi tidak tepat sasaran, terutama karena tidak perlu tindakan Tuhan untuk melupakan apa yang diucapkan oleh pengkhotbah.

Dalam serangkaian kuliah yang disampaikan kepada mahasiswa di Yale, pakar khotbah abad ke-19, Phillips Brooks, mendefinisikan khotbah sebagai komunikasi “kebenaran melalui kepribadian.” Brooks memahami kepribadian sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar gaya pribadi. Kepribadian mencakup karakter, kasih sayang, kecerdasan, dan moral pengkhotbah. Ini adalah soal Tuhan bekerja melalui seluruh pribadi manusia.

Kepemimpinan dimediasi dengan cara yang sama. Kualifikasi kepemimpinan yang diuraikan dalam 1 Timotius 3 dan Titus 1 lebih berfokus pada karakteristik orangnya daripada tugas yang harus mereka lakukan.

Kepribadian penting dalam kepemimpinan. Sebuah penelitian terhadap gereja-gereja terbesar di Amerika yang dilakukan oleh Warren Bird dan Scott Thumma menegaskan bahwa, “pada umumnya, para pendeta gereja besar (megachurch) adalah pelayan gereja yang sudah sekian lama melayani di gereja mereka”—bukan pelaku kekerasan atau penjahat yang menjadi berita utama yang baru-baru ini menjadi perhatian kita. “Mereka menjaga fokus gereja pada vitalitas rohani, memiliki tujuan yang jelas, dan menghidupi misi tersebut.”

Mayoritas gereja-gereja ini telah mengalami pertumbuhan yang signifikan melalui pelayanan seorang pendeta berkarisma yang telah melayani gereja selama rata-rata 22 tahun.

Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor-faktor kepribadian tertentu—kemampuan untuk menginspirasi, ketegasan, dan keramahan—meningkatkan pelayanan perintisan gereja.

Tuhan bekerja melalui sifat manusia seperti halnya Dia bekerja melalui proses alami. Dia dapat mengirimkan roti dari surga, tetapi Ia lebih sering menyediakan makanan melalui penanaman dan pertumbuhan. Dia bisa menyembuhkan secara instan melalui mukjizat, tetapi lebih sering menyembuhkan melalui pelayanan dokter dan obat-obatan. Kristus telah membekali gereja dengan kepribadian-kepribadian yang memiliki karunia untuk mengajar, memimpin, dan mengatur, dan ini adalah cara yang biasa Ia lakukan.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa karisma pribadi dapat menjadi sebuah beban sekaligus aset. Sebuah penelitian di tahun 2018 menunjukkan bahwa semakin banyak karisma yang dimiliki seorang pemimpin, mereka semakin dianggap efektif oleh para pengikutnya. Namun ini hanya benar sampai titik tertentu. Kesulitannya adalah menentukan seberapa banyak karisma yang berlebihan.

Bagaimana para pemimpin dapat mengetahui kapan mereka telah berubah dari merasa percaya diri menjadi terlalu percaya diri? Sayangnya, hal ini sepertinya merupakan pelajaran yang biasanya diperoleh melalui kegagalan.

Kepribadian yang berkarisma bisa menjadi egois dan narsis. Namun tidak ada gereja yang mencari pendeta dan berkata, “Mari kita pekerjakan orang brengsek yang sombong!” Dengan cara yang sama, tidak ada orang yang mencari gereja yang berpikir, Di mana saya bisa menemukan pendeta yang melakukan kekerasan saat ini? Kita tertarik pada pemimpin yang narsistik karena mereka menarik.

Para pemimpin yang narsis memang punya pengaruh. Mereka menarik. Mereka menjanjikan hal-hal besar. Banyak dari mereka memberikan hasil yang mengesankan, setidaknya untuk sementara. Gereja-gereja yang mengharapkan seorang pemimpin mesianik mungkin merasa gaya narsistik yang sering menyertai kepemimpinan karismatik, sangatlah menarik. Mereka menoleransi pelecehan, dengan harapan bahwa pendeta tersebut akan membawa mereka ke tanah perjanjian dari keberhasilan pelayanan.

Seperti halnya setiap hubungan kodependen, hubungan ini dibangun di atas sistem penghargaan yang disfungsi. Jemaat memungkinkan terjadinya perilaku narsistik karena mereka mendapat sesuatu dari pemimpinnya. Mungkin itu adalah dorongan adrenalin dari kepribadian yang diagung-agungkan yang diungkapkan melalui khotbah. Seringkali, ini merupakan kemampuan untuk menarik perhatian banyak orang.

Gereja-gereja yang menoleransi pelecehan dari para pemimpin narsistik sering kali takut bahwa tidak ada orang lain yang mampu memberikan hasil serupa. Atau mereka khawatir kepergian pendeta tersebut akan mengurangi jumlah kehadiran jemaat. Semakin besar gereja, semakin sulit untuk melepaskan diri karena tampaknya ada begitu banyak hal yang dipertaruhkan. Seringkali mereka juga akhirnya mengembangkan sistem sosial yang memperkuat pelecehan.

Orang-orang narsistik mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang membuat mereka merasa istimewa. Lingkaran dalam ini mengalami sensasi yang luar biasa karena diasosiasikan dengan pemimpin. Asosiasi ini sering kali disertai dengan fasilitas atau perlakuan khusus, meskipun itu hanya akses terhadap orang yang dianggap sebagai selebriti. Hasilnya adalah lingkaran kodependen yang membutakan mereka yang bertanggung jawab untuk meminta pertanggungjawaban si pemimpin narsis itu, sehingga membuat mereka terlibat dalam pelecehan tersebut.

Pemimpin yang narsistik biasanya merupakan perundung. Pemimpin seperti ini mengembangkan budaya organisasi yang ditandai dengan rasa takut dan hukuman. Mereka menggunakan kekuatan jabatan rohani mereka untuk menghentikan siapa pun yang menantang mereka. Mereka menciptakan budaya yang membungkam keberatan dan menghukum orang-orang yang menolak.

Selalu ada harga yang harus dibayar oleh mereka yang menantang para pemimpin yang narsis. Anggota-anggota gereja yang mempertanyakan agenda atau cara pelayanan para pemimpin yang narsis akan dituduh memecah-belah dan merusak rencana Allah. Dalam penerapan yang keliru atas 1 Samuel 26:9 dan 11, beberapa orang memperingatkan mereka yang mengkritik pendeta untuk tidak “menyentuh orang yang diurapi Tuhan.” Ancaman dan pembalasan pun dijelaskan sebagai “disiplin gereja.”

Weber menggambarkan prosesnya seperti ini: “Jemaat memilih seorang pemimpin yang mereka percayai. Lalu pemimpin terpilih berkata, ‘Sekarang diamlah dan patuhi saya.’” Pendekatan ini terdengar tidak nyaman seperti filosofi banyak pemimpin gereja terkenal, yang kepribadiannya yang kuat membuat mereka menonjol tetapi gaya intimidasinya kemudian membuat mereka tercela.

Lalu, di manakah kita harus mencari kepribadian kepemimpinan yang ideal? Ini tampak seperti salah satu pertanyaan Sekolah Minggu yang jawabannya selalu “Yesus.” Meskipun Alkitab menguraikan standar karakter bagi para pemimpin gereja, kita tidak menemukan satu pun tipe kepribadian yang dianggap ideal, baik melalui contoh yang diceritakan maupun perintah yang eksplisit.

Penggambaran Alkitab tentang pemimpin-pemimpin yang hebat (tetapi tentu saja penuh dengan kesalahan) memberikan gambaran yang beragam. Musa tidak seperti Daud, dan tidak seperti Paulus. Tidak ada yang dapat memahami bagaimana Roh Kudus membentuk orang-orang yang Tuhan pakai sebagai pemimpin atau bagaimana Dia menggunakan satu tipe kepribadian tertentu. Orang ekstrovert, introvert, perencana terperinci, orang yang tanggap intuitif, kepribadian yang dinamis, dan tipe penyabar, semua tampaknya memiliki tempat.

Demikian pula, pilihan Yesus terhadap para rasul hampir tidak mengungkapkan satu pun tipe yang sama. Secara keseluruhan, para murid-Nya tampak seperti kelompok yang tidak terduga dan berasal dari latar belakang yang sangat berbeda dengan nilai-nilai dan cita-cita yang bertentangan—kecuali mungkin karena mereka memiliki kecenderungan yang sama untuk tidak memahami maksud-Nya. Mereka adalah nelayan, orang Zelot, separatis, dan kolaborator Romawi. Hal ini memungkiri keseragaman yang sering kita lihat dalam profil yang menggambarkan kepribadian kepemimpinan ideal.

Bahkan jika ada profil kepribadian yang umum untuk para pemimpin karismatik, sebagian besar pemimpin dalam Alkitab tidak termasuk dalam kategori ini.

Misalnya saja Paulus dan Apolos. Saat ini, kita lebih tahu banyak mengenai karya Paulus daripada karya Apolos. Namun ketika mereka masih hidup, Apolos sepertinya lebih bersinar. Bagaimanapun juga, dia memiliki karisma. Berasal dari kota besar Aleksandria, Apolos adalah “seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci,” serta seseorang yang berbicara dengan “bersemangat” (Kis. 18:24–25). Sifat-sifat ini membuat Apolos memiliki banyak pengikut di gereja Korintus (1Kor. 3:4).

Paulus juga mempunyai pengikut di Korintus. Namun bagi sebagian orang di sana, karisma Paulus hanya sebatas surat-suratnya saja. Menurut 2 Korintus 10:10, mereka mengeluh, “surat-suratnya memang tegas dan keras, tetapi bila berhadapan muka sikapnya lemah dan perkataan-perkataannya tidak berarti.”

Mereka yang dipanggil untuk tugas yang sama, mungkin tidak melaksanakannya dengan cara yang sama. Contoh para pemimpin seperti Musa, Petrus, dan Paulus menunjukkan bahwa Allah mempersiapkan kepribadian yang berbeda dari para pemimpin untuk tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Saya yakin persiapan ini mengandung kekurangan dan juga kelebihan. Allah memanggil mereka yang bodoh, lemah, kurang ajar, dan penakut (1Kor. 1:26-29).

Kepemimpinan yang sukses bergantung pada karisma dalam arti yang lebih luas dan alkitabiah. Ini adalah anugerah yang Tuhan berikan melalui Roh-Nya. Kemampuan kepemimpinan, dan juga pemimpin itu sendiri, diberikan oleh Tuhan saat ini, sama seperti yang ada dalam Alkitab. Kepribadian mereka sama beragamnya dengan pemimpin mana pun yang kita baca di Alkitab dan sama tidak sempurnanya.

Kita mungkin lebih suka memilih Yesus saja sebagai pemimpin kita. Menurut saya, kita merindukan sebuah gerakan yang dorongannya hanya berasal dari Roh Kudus dan bukan sebagai respons terhadap kepribadian seseorang.

Hal seperti itu tentu saja mungkin terjadi, tetapi itu bukanlah hal yang biasa. Pada sebagian besar waktu, Tuhan bekerja melalui manusia. Di mana pun ada manusia, kepribadian selalu menjadi faktornya. Firman yang “sudi dikandung Santa Perawan”, sebagaimana dinyatakan dalam himne kuno, tidak segan-segan menyatakan diri-Nya melalui kepribadian para hamba-Nya.

Kegagalan spektakuler dari begitu banyak pemimpin terkemuka seharusnya membuat kita, orang Kristen, waspada untuk tidak terlalu percaya pada kepribadian seseorang. Gereja tidak mempunyai ruang untuk pemujaan terhadap kepribadian. Hanya ada satu Mesias bagi umat Allah, dan nama-Nya adalah Yesus.

Namun hal itu seharusnya tidak membuat kita takut terhadap kepribadian itu sendiri. Kepribadian dapat terdistorsi oleh dosa, tetapi kepribadian juga merupakan media utama Allah untuk menampilkan citra-Nya dalam kehidupan kita. Kepribadian bukanlah suatu beban dalam kepemimpinan. Kepribadian adalah wajah dari jiwa.

John Koessler adalah seorang penulis, penyiar siniar, dan dosen emeritus di Moody Bible Institute. Buku terbarunya adalah When God Is Silent yang diterbitkan oleh Lexham Press.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Jangan Diam-diam Meninggalkan Gereja

Kita hendaknya terus membiarkan diri kita takjub dengan karya Allah yang indah, kapan pun dan di mana pun kita menemukannya.

Christianity Today May 29, 2024
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Getty

Artikel ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini.

Konsep “diam-diam meninggalkan” (quiet quitting)—menolak untuk melakukan apa pun selain upaya yang minimal—marak dibicarakan di berbagai media akhir-akhir ini. Para komentator memperdebatkan apakah para pekerja masa kini, terutama karyawan usia Gen Z, diam-diam meninggalkan pekerjaannya.

Saya termasuk orang yang skeptis. Beberapa pembicaraan tentang diam-diam meninggalkan pekerjaan hanyalah karikatur generasi lainnya (saya belum melihat buktinya). Bisa saja para pekerja menyelesaikan pekerjaan mereka sesuai yang diharapkan atau lebih dari itu, tetapi mereka memberikan batasan yang sehat antara diri mereka sendiri dan pekerjaan mereka.

Mungkin fenomena diam-diam meninggalkan ini sedang terjadi di beberapa tempat kerja, meskipun saya rasa hal ini tidak selalu terjadi di mana-mana. Namun, walau hanya mitos, gagasan ini menunjukkan sesuatu yang nyata dalam kehidupan banyak orang: Perasaan bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan, bahwa segala sesuatunya tidak akan pernah berubah.

Saya menemukan mentalitas ini sebagai godaan yang nyata dalam konteks gereja.

Kita yang melihat apa yang terjadi dalam kehidupan bergereja, mungkin akan mudah sampai pada kesimpulan yang sama bahwa tidak ada yang akan berubah, apa pun yang kita lakukan. Kita mungkin tetap datang ke gereja, tetap berdoa, terus mengajar, terus melayani—tetapi kita tidak akan pernah benar-benar menantikan sesuatu yang berbeda dari krisis yang sama.

Saya sendiri menemukan tendensi ini di dalam diri saya selama seminggu terakhir.

Baru-baru ini, saya berkhotbah di sebuah kota yang jauh dari rumah, dan seorang pemuda Kristen Baptis yang mengesankan dan berusia 20 tahunan menjemput saya dari bandara. Saat kami berbicara tentang pelayanan dan apa yang dia lakukan di gereja, dia merefleksikan sesuatu yang saya tulis di sini—tentang betapa banyak pemimpin yang saya kenal mengalami demoralisasi akibat kegilaan saat ini, baik di dalam maupun di luar gereja.

Sejak ia beranjak dewasa selama satu dekade terakhir, ia mengatakan bahwa ia tidak dapat mengingat masa di mana provokasi di media sosial, keruntuhan institusi, politik yang memecah-belah keluarga dan gereja, serta gelombang skandal yang bergulir tidak dianggap sebagai sesuatu yang normal.

Inilah yang saya takutkan selama ini. Mengenai krisis integritas yang dihadapi gereja saat ini, saya tentu saja mengkhawatirkan mereka yang meninggalkan gereja dengan perasaan jijik. Namun saya jauh lebih khawatir dengan mereka yang melihat keadaan gereja—dan negara—yang rusak saat ini sebagai sesuatu yang “normal.”

Pemuda Kristen ini telah dimuridkan dan dapat melihat lingkup sejarah dengan cukup baik untuk membedakan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya ada. Namun saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana dengan mereka yang tidak bisa? Saat kami berbincang-bincang, ponsel saya berbunyi karena ada pesan teks yang masuk—yang memberitahu saya bahwa ada rekan pelayanan yang mengundurkan diri karena suatu krisis.

Setelah itu, saya bertemu dengan sekelompok pendeta yang juga mengesankan, mereka berasal dari berbagai denominasi Injili yang berbeda. Banyak dari mereka berbicara tentang rekan-rekan dalam pelayanan yang mengalami keadaan darurat kesehatan mental karena kesulitan dalam memimpin gereja mereka melewati pandemi COVID-19 dan perpecahan politik. Banyak yang berbicara tentang orang-orang muda yang mereka kenal yang menyimpulkan bahwa gereja tidak lebih dari sekadar oportunisme politik, atau lebih buruk lagi.

Sementara saya berusaha memberikan semangat kepada para pendeta ini, saya terus memikirkan kabar buruk yang datang melalui pesan teks, kekhawatiran yang muncul dari percakapan di mobil, dan pertaruhan yang sedang dihadapi gereja saat ini.

Bahkan bagi seseorang yang baru saja menulis di minggu itu tentang bahaya fatalisme, ekspektasi saya menurun, pola pikir saya semakin gelap, dan saya mulai mati rasa karena mendengar begitu banyak cerita ini. Semua ini tidak lagi mengejutkan saya.

Kemudian sebuah percakapan lain mengguncang perhatian saya.

Minggu lalu adalah minggu pertama seminar yang saya ajar dari Kitab Kejadian. Setelah itu, seorang pemuda—mungkin berusia 19 atau 20 tahun—datang menyapa. Dia bersekolah di sekolah kejuruan di daerah tersebut dan mengatakan kepada saya bahwa dia berharap bisa mengikuti jejak kakeknya.

Kakeknya, seorang montir, tidak hanya melayani komunitasnya dengan memperbaiki kendaraan, melainkan juga, di sepanjang hidupnya, melayani dan memberitakan Injil di tempat penampungan tunawisma dan penjara—menunjukkan kasih kepada mereka yang telah dilupakan oleh banyak orang.

Pemuda ini berkata bahwa dia ingin menjadi seperti kakeknya—mempelajari suatu keterampilan dan mempraktikkannya dengan sangat baik (bukan diam-diam meninggalkan) dan belajar bagaimana melayani para narapidana, tunawisma, dan kelompok orang lainnya sesuai panggilan yang Yesus berikan bagi dirinya. Pemuda itu berbinar-binar saat dia berbicara tentang berada di sekitar orang non-Kristen dan kesempatan untuk merepresentasikan Yesus dengan kasih dan integritas.

Saya pun pulang dengan perasaan bersemangat dan dikuatkan akan masa depan gereja. Kakek ini, yang namanya saja bahkan saya tidak tahu, merupakan teladan integritas Injil yang membuat cucunya bercita-cita menjadi seperti dia. Saya bahkan tidak tahu apakah pria tua itu masih hidup atau sudah meninggal, tetapi pelayanannya masih terus membara—mendorong cucunya ke arah yang sama.

Belum lagi semua orang dari penjara dan tempat penampungan tunawisma yang saat ini melayani Kristus karena kesaksian kakek tersebut. Berapa banyak jiwa yang terselamatkan, berapa banyak orang yang diarahkan kepada kekekalan, dan berapa banyak keluarga yang disatukan kembali melalui perbincangan yang dia lakukan mengenai pompa bahan bakar yang rusak atau alternator yang tidak berfungsi?

Percakapan saya dengan cucu dari pria ini merupakan anugerah yang mendisrupsi hidup saya.

Saya tidak menganggap diri saya sinis, tetapi mungkin saya sudah terlalu dekat dengan hal itu hingga pertemuan ini mengingatkan saya mengapa saya menjadi seorang Kristen. Saya benar-benar percaya bahwa Yesus hidup, bahwa Roh Kudus sedang bergerak, dan bahwa Injil masih bekerja seperti biasanya—seperti ragi yang berfermentasi atau benih yang bertunas, seperti kehidupan dari kematian

Saya menjadi tidak sabar dengan mereka yang berkata, “Baiklah, jangan berbicara mengenai hal-hal buruk; berbicaralah tentang semua hal baik yang sedang terjadi,” mengingat semua kekejaman yang terjadi dalam kekristenan Amerika saat ini. Bukan itu yang saya maksud di sini. Itu adalah manajemen hubungan masyarakat, dan semua orang dapat melihatnya sebagaimana adanya—perlindungan suku.

Cara mengasihi gereja adalah dengan menjadi saksi—yang berarti menyampaikan kebenaran. Jika kita tidak berbicara jujur tentang cara-cara gereja yang menyimpang dari misi Kristus, maka kita tidak benar-benar percaya dengan apa yang kita katakan: bahwa gereja dimaksudkan untuk menjadi terang bagi dunia, yaitu umat yang telah ditebus yang menunjukkan apa yang artinya bertobat dan mengikut Jalan Tuhan.

Ketika kita tidak melihat atau mengakui alasan-alasan yang sangat baik mengapa banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap gereja—atau ketika kita hanya menyoroti bagian-bagian yang tidak mengajak kita untuk bertobat—maka sama saja kita berkata kepada banyak orang, hampir secara harfiah, “Persetan denganmu.”

Cara kita untuk menolong mereka yang skeptis terhadap gereja adalah dengan mengasihi mereka, mendukung mereka, dan melakukan yang terbaik agar dapat dipercaya. Namun kita dapat melakukannya hanya jika kita tetap bertahan dan tidak menyerah. Kita berhutang budi kepada mereka yang kehilangan harapan, untuk tetap memberikan pengharapan bagi mereka.

Pengharapan tidak muncul begitu saja. “Pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” tulis rasul Paulus. “Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun” (Rm. 8:24–25). Lebih lagi, Paulus menulis, harapan muncul melalui kesengsaraan—karena “kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan” (Rm. 5:3–5).

Pengharapan bukanlah strategi hubungan masyarakat atau pemasaran. Pengharapan tidak mengabaikan mereka yang sedang menderita atau berjuang untuk bertahan. Akan tetapi, bahkan ketika kita bertahan, bahkan ketika kita berharap, kita mungkin saja mendapati diri kita menjadi mati rasa terhadap cara-cara Tuhan, yang tidak hanya menggoncangkan gereja-Nya, melainkan juga membangun, mereformasi, dan membentuknya kembali.

Terkadang Tuhan menyegarkan kembali pengharapan kita dengan memberi kita sedikit kilasan kesadaran akan apa yang sedang terjadi di luar pandangan kita. Terkadang kita memerlukan percakapan yang tak terduga untuk melihat betapa terang pancaran kemuliaan-Nya.

Ini juga berarti kita tidak boleh berhenti membiarkan diri kita takjub dengan anugerah atau dikejutkan oleh sukacita. Baik dengan terang-terangan ataupun diam-diam, mari kita jangan menyerah.

Russell Moore adalah pemimpin redaksi di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Joseph Lebani.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Pertobatan Bersifat Vertikal dan Horizontal

Hati kita belum dipersiapkan bagi Tuhan sampai kita siap untuk mengasihi orang lain.

Christianity Today May 29, 2024
Illustration by John Hendrix

Kitab Injil Lukas, lebih dari kitab-kitab Injil lainnya, menyajikan pandangan yang luas tentang ajaran Yesus mengenai etika. Lebih dari separuh perumpamaan yang kita peroleh dari Yesus adalah perumpamaan yang hanya ada di Injil Lukas. Perumpamaan-perumpamaan tersebut mencakup topik-topik seperti bagaimana mengelola uang dan bagaimana Yesus memandang orang-orang yang diabaikan oleh dunia, seperti orang miskin, penyandang cacat, dan perempuan.

Yang mendasari semua itu adalah Yesus dan khotbah-Nya tentang kerajaan Allah.

Saya telah menghabiskan lebih dari 40 tahun kehidupan akademis profesional saya dalam pelayanan vokasi Kristen dan dalam studi Injil Lukas. Teks-teks penting di dalamnya telah membuka mata saya terhadap cakupan misi Yesus dengan cara yang jarang saya dengar ketika saya masih seorang Kristen muda.

Perikop pertama yang seperti demikian terdapat di pasal pertama Injil Lukas. Malaikat Gabriel menubuatkan kelahiran dan panggilan hidup Yohanes Pembaptis kepada ayahnya, Zakharia, dengan mengatakan bahwa Yohanes akan mempersiapkan jalan bagi Mesias.

Ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan, Allah mereka, dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya (ay. 16–17)

Salah satu hal yang saya pelajari dalam membaca Alkitab adalah mendefinisikan istilah-istilahnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap teks tersebut. Di sini muncul pertanyaan, “Apa artinya menjadi umat yang dipersiapkan bagi kedatangan Tuhan?” Teks ini memberikan jawaban yang terdiri dari dua bagian.

Pertama, bagian yang diharapkan: Yohanes akan membuat manusia kembali kepada Tuhan. Hal ini mencerminkan dengan tepat apa yang seharusnya dilakukan oleh para nabi.

Komponen kedua—yang juga merupakan bagian dari panggilan Yohanes dan apa yang Tuhan cari dari orang-orang yang siap untuk menerima pembebasan—adalah hal yang luput dari perhatian saya sebelumnya. Malaikat Gabriel mengumumkan bahwa Yohanes akan membuat orang kembali satu sama lain dalam dua bidang utama: hubungan dalam keluarga (“membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya”) dan kebijaksanaan etis yang diterapkan dalam kehidupan publik (“hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar”).

Hal ini menunjukkan arah pertobatan yang horizontal (manusia ke manusia), bukan hanya arah vertikal (manusia ke Tuhan). Pertobatan tidak hanya bersifat satu dimensi.

Baik hubungan saya dengan Tuhan maupun hubungan saya dengan orang lain ada dalam pikiran Tuhan ketika Yohanes menerima panggilan-Nya untuk mempersiapkan umat bagi datangnya pembebasan. Rekonsiliasi dan relasi merupakan inti dari apa yang sedang dipersiapkan oleh Allah melalui Yesus.

Istilah alkitabiah untuk pertobatan, yaitu berbalik, memiliki satu tujuan yang sama: membawa manusia kembali kepada Allah sekaligus membawa mereka kembali kepada satu sama lain.

Teks ini adalah tentang bergerak dan hidup sedemikian rupa untuk menyatukan hati, mengejar kasih, dan mengupayakan kebaikan bagi orang lain.

Bagaimana hal tersebut dilakukan, dan siapa yang mengambil inisiatif? Yohanes Pembaptis menunjukkan caranya.

Jika ada keraguan mengenai pendekatan holistik terhadap pertobatan ini, teks selanjutnya tentang pengajaran dan baptisan Yohanes Pembaptis memperkuat tujuan ini.

Orang-orang berpartisipasi dalam baptisan Yohanes sebagai respons pertobatan, dengan mengatakan, saya siap menyambut kedatangan Tuhan.

Perhatikan Lukas 3:8–14 (Saya mentransliterasi bahasa Yunani pada istilah-istilah tertentu untuk menunjukkan kaitannya):

“Jadi hasilkanlah [poiēsate] buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami!” … Orang banyak bertanya kepadanya: "Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat [poiēsōmen]?” Jawabnya: "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: "Guru, apakah yang harus kami perbuat [poiēsōmen]?” Jawabnya: "Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan bagimu." Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: "Dan kami, apakah yang harus kami perbuat [poiēsōmen]?” Jawab Yohanes kepada mereka: "Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.”

Tema teks ini adalah tema Yohanes Pembaptis: pertobatan. Kelompok-kelompok yang berbeda dalam Lukas 3:10, 12, dan 14 menanggapi panggilan Yohanes untuk menghidupi (menghasilkan buah dari) pertobatan mereka. Inilah penerapan dari nubuat tentang panggilan Yohanes untuk mempersiapkan kedatangan Mesias.

Kedua catatan peristiwa dalam 1:16–17 dan 3:10–14 merupakan catatan yang unik dalam Injil Lukas. Lukas adalah satu-satunya kitab Injil yang menyatakan hal ini dan keterkaitannya. Jika kita menyamaratakan kitab-kitab Injil lainnya, dengan asumsi bahwa kitab-kitab tersebut mengatakan hal yang sama tentang Yohanes Pembaptis, maka kita akan kehilangan penekanan penting dalam Injil Lukas ini.

Terjemahan-terjemahan bahasa Inggris dari bagian ini dalam Lukas 3 mengaburkan kata yang menggema dalam pertanyaan orang-orang yang baru dibaptis dan nasihat Yohanes di ayat 8. Istilah-istilah yang saya transliterasikan dalam bagian ini merupakan variasi dari kata kerja Yunani poieō, yang berarti “membuat” atau “melakukan.” Kelompok-kelompok tersebut menanyakan bagaimana menerapkan pertobatan yang diserukan Yohanes dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ingat: Yohanes sedang mempersiapkan jalan bagi Yesus dalam menyampaikan pesan ini.

Sebuah kejutan menanti kita dalam jawaban-jawaban Yohanes. Dalam setiap kasus, penerapannya tidak membahas bagaimana saya merespons Tuhan, melainkan bagaimana saya merespons orang lain dalam situasi sehari-hari.

Saya harus bermurah hati dengan apa yang Tuhan telah berikan kepada saya (dalam kasus orang banyak, dengan baju dan makanan) dan dalam peran yang saya miliki (dalam kasus pemungut cukai, dengan tidak mengambil keuntungan dari orang lain secara finansial; dan dalam kasus para prajurit, dengan tidak menyalahgunakan kekuasaannya).

Anehnya, Tuhan tidak disebutkan secara langsung dalam jawaban Yohanes. Intinya, pertobatan bukan hanya tentang bagaimana saya berhubungan dengan Tuhan, melainkan juga tentang bagaimana saya berinteraksi dengan orang lain.

Dengan berbalik kepada Tuhan, saya juga bersiap untuk berbalik kepada orang lain. Ini berarti saya memiliki hati yang berinisiatif untuk bergerak ke arah orang lain. Ini adalah persiapan rohani untuk menyambut datangnya kerajaan yang Yesus hadirkan. Mereka yang siap menyambut Yesus akan melakukan pertobatan hingga sejauh ini.

Hal ini membawa saya ke ayat berikutnya dalam urutan ini, yaitu Lukas 5:32. Di sini Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”

Konteksnya sangat penting (ay. 29–32). Yesus sedang makan malam bersama para pemungut cukai, sementara beberapa pemimpin agama mengeluh karena Dia melakukan hal tersebut. Mengapa makan bersama dengan orang-orang yang ditolak oleh banyak orang?

Jawaban Yesus adalah, seperti seorang dokter, Ia merawat mereka yang membutuhkan. Refleksi yang tersirat adalah: Dan siapakah yang tidak membutuhkan Tuhan?

Seruan Yesus untuk bertobat muncul dalam banyak teks di Injil Lukas (4:16–19; 14:7–24). Melalui teladan-Nya sendiri, Yesus menunjukkan siapa yang harus diperhatikan oleh para pengikut-Nya. Ia menunjukkan prioritas-Nya dengan melayani dan menunjukkan perhatian khusus terhadap orang-orang yang sering diabaikan.

Kita bersaksi tentang Tuhan yang peduli untuk menjangkau semua orang sebagaimana kita juga menunjukkan kepedulian mereka. Yesus, yang melanjutkan poin Yohanes bahwa pertobatan seharusnya menghasilkan buah, memanggil kita agar mengambil inisiatif untuk memperbaiki hubungan.

Jadi bagaimana cara kerjanya? Mungkin salah satu contoh paling jelas mengenai pandangan holistik tentang pertobatan ditemukan dalam kisah Zakheus (Luk. 19:1–10). Kisah ini dimulai dengan perjumpaan Yesus yang ramah dengan pemungut cukai yang dibenci orang. Interaksi ini mengarah pada perubahan hati, yang diilustrasikan dalam pernyataan Zakheus tentang niatnya untuk membalikkan kesalahannya dan berdamai dengan komunitasnya.

Inti dari pertobatan holistik ini adalah perjumpaan dengan Yesus. Ada sesuatu dalam cara Yesus menyambut orang-orang yang membutuhkan Tuhan, yang membuat mereka tertarik kepada-Nya. Ia kemudian mengambil inisiatif dengan bergerak ke arah mereka sebagai cara untuk menunjukkan kepedulian Tuhan sekaligus menantang mereka. Yesus mengajak kita untuk mengikuti teladan ini dan siap mengulurkan tangan untuk melakukan rekonsiliasi dan kepedulian. Inilah inti dari seruan tentang kerajaan yang akan datang.

Semua teks dalam Injil Lukas ini mengubah saya. Perubahan tersebut tidak terjadi dalam waktu semalam, melainkan secara bertahap serangkaian penerapan ke arah yang baru menjadi jelas.

Pola pikir yang segar ini perlahan-lahan menghilangkan titik buta dalam cara saya memandang pertobatan dan memberi saya visi tentang betapa komprehensifnya program Tuhan untuk keselamatan dan transformasi pribadi kita.

Bagian-bagian dalam Injil Lukas mengungkapkan dimensi relasional dan etis dari sebuah istilah—pertobatan—yang sering kali saya anggap sebagai sesuatu yang hanya berkaitan dengan Tuhan dan diri saya sendiri.

Keterkaitan dengan orang lain inilah yang membuat saya terkejut.

Hal ini membuka seluruh lautan penerapan yang selama ini saya lewatkan ketika saya merenungkan elemen-elemen pertobatan secara korporat, sosial, dan relasional.

Saya merasakan keyakinan yang lebih besar dari ayat-ayat Alkitab ini tentang jenis hati seperti apa yang Tuhan cari dari saya dan semua orang yang berusaha memiliki cara pikir kerajaan. Hati seseorang yang dipersiapkan untuk Mesias bergerak ke arah orang-orang, bahkan kepada mereka yang secara alami tidak ingin bergerak ke arah itu.

Apakah pertobatan saya sudah mempersiapkan saya untuk selaras dengan hati Tuhan dalam segala hal yang Dia minta? Apakah saya telah mengabaikan beberapa hal yang Tuhan tunjukkan yang seharusnya menyertai respons saya?

Saya harus merenungkan betapa dangkalnya respons saya selama ini dan apa artinya mencari pengampunan Tuhan. Pengampunan-Nya dirancang untuk membawa saya, tidak hanya kepada Dia, melainkan juga ke dalam hati-Nya bagi manusia.

Dua tema yang berkaitan kemudian menjadi jelas ketika saya mempelajari Injil Lukas: Bagaimana kita harus mengampuni sebagaimana Allah telah mengampuni kita, dan bagaimana kita harus memahami Hukum yang Terutama.

Doa Bapa Kami mencakup permohonan untuk “ampunilah kami akan dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami” (11:4). Saya harus belajar sebuah pendekatan terhadap hubungan yang mencerminkan apa yang Tuhan lakukan bagi saya saat saya tidak pantas mendapatkannya. Tuhan menunjukkan kesiapan untuk mengampuni kita.

Dalam dunia kita, di mana kita sering kali menyimpan dendam, ini adalah sebuah ide yang revolusioner. Saat kita mengampuni, kita mencontohkan bagaimana Tuhan memperlakukan kita. Pengampunan Tuhan itu lengkap dan beraneka ragam. Memahami hal ini akan membantu kita untuk lebih menghargainya dan dimaksudkan untuk mengubah diri kita serta respons kita terhadap orang lain.

Hukum yang Terutama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi serta mengasihi sesama seperti diri sendiri (Luk. 10:27). Hal ini menciptakan segitiga etika—Tuhan, saya, dan orang lain—persis seperti yang ditekankan dalam Lukas 1:16–17 dan 3:8–14.

Ini bukan sekadar gagasan Perjanjian Baru. Hal ini juga terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah, yang kelompok aturan pertamanya didedikasikan untuk bagaimana saya berhubungan dengan Allah dan kelompok kedua tentang bagaimana saya berhubungan dengan orang lain.

Bersama-sama, semua teks ini memperjelas inti etika-relasional tentang bagaimana Tuhan ingin mengarahkan hati kita kepada-Nya dan orang lain ketika kita meneladani dan mencerminkan Dia.

Gagasan tentang kasih yang Yesus ajarkan secara eksplisit mencakup musuh (Luk. 6:27–36), sesuatu yang menurut Yesus harus membuat orang Kristen berbeda. Kasih yang seperti itu menunjukkan karakter Allah dan menunjukkan bahwa kita adalah anak-anak-Nya yang bertobat. Saat kita merefleksikan hati-Nya, maka cakupan pertobatan kita meliputi segalanya.

Menurut saya, gagasan tentang pertobatan sejati ini merupakan salah satu pemikiran yang paling komprehensif dan revolusioner di dalam Alkitab. Di sinilah Allah ingin membawa orang-orang percaya ketika Dia mengubah hati kita, mengarahkan kita kepada-Nya, keluarga kita, dan sesama kita.

Umat yang dipersiapkan untuk dan berpartisipasi dalam kedatangan Tuhan harus siap, bersedia, dan mampu melakukan hal tersebut.

Jika gereja menerapkan tujuan ini secara konsisten, saya percaya hal ini akan mengubah dunia kita sekaligus menarik orang lain kepada Tuhan. Panggilan Tuhan untuk mempersiapkan diri adalah panggilan untuk mengambil inisiatif agar menjadi bijaksana, pemaaf, dan penuh kasih serta kepedulian terhadap orang lain—bahkan terhadap beberapa orang yang pada awalnya mungkin tidak menginginkannya.

Dengan berbalik kepada orang lain, kita juga berbalik kepada Tuhan. Kita bahkan mungkin mengajak mereka untuk kembali kepada Tuhan dan sesama dengan cara yang tidak mereka bayangkan.

Darrell L. Bock adalah direktur eksekutif untuk keterlibatan budaya dan profesor riset senior studi Perjanjian Baru di Dallas Theological Seminary. Ia telah menulis banyak buku, yang terbaru adalah Cultural Intelligence: Living for God in a Diverse, Pluralistic World.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Pendeta Juga Perlu Menetapkan Batasan

Strategi untuk membawa ritme yang sehat ke dalam budaya gereja yang disfungsi.

Christianity Today May 28, 2024
Illustration by Anson Chan

“Jika saya melakukan perubahan ini, saya mungkin akan kehilangan pekerjaan,” kata seorang pendeta kepada saya.

Dengan jujur saya menjawab, “Ya, mungkin saja.”

Saya punya banyak versi percakapan semacam ini dengan para pendeta yang saya bimbing. Banyak yang merasa frustrasi, kelelahan, dan siap untuk berhenti. Beberapa pendeta belum pernah mendapat liburan selama bertahun-tahun. Ada pula yang mengalami serangan kepanikan atau gejala stres ekstrem lainnya. Pernikahan, anak, kesehatan fisik, dan hobi pribadi mereka semuanya terabaikan. Mereka mendapati diri mereka bekerja 60, 70, atau bahkan 80 jam seminggu.

Selama 20 tahun terakhir, saya mengkhususkan diri dalam memberikan konseling bagi para pendeta—10 tahun terakhir saya bekerja di pusat retret untuk pendeta dan pemimpin pelayanan. Banyak dari para pendeta ini menyadari bahwa mereka tidak dapat lagi melakukan pelayanan seperti sebelumnya. Namun mereka juga sangat menyadari kenyataan yang menyakitkan: Menetapkan batasan yang sehat mungkin tidak akan didukung oleh gereja mereka. Bahkan, hal itu bisa berujung pada pemecatan mereka.

Sebelum Anda pergi

Adalah baik dan pantas bagi para pendeta untuk berupaya menetapkan batasan-batasan yang sehat, tetapi itu baru setengah dari masalahnya. Ada dua pihak dalam hubungan ini: pendeta dan jemaat. Bagaimana jika jemaat tidak merestui batasan yang sehat dari seorang pendeta? Bagaimana jika mereka terus mengharapkan pendeta untuk selalu siap sedia sepanjang waktu, setiap hari dalam seminggu? Untuk melakukan pemberkatan pernikahan dan memimpin pemakaman? Untuk memimpin setiap program? Lalu apa?

Ketika istri saya, Kari, dan saya menjalankan praktik konseling pribadi, kami kadang-kadang memberikan konseling kepada orang-orang dewasa muda yang masih tinggal di rumah tetapi berada dalam situasi yang tidak berjalan dengan baik, misalnya dengan orang tua yang bergumul dengan kecanduan. Orang-orang dewasa muda itu sangat ingin hidup sehat. Oleh karena itu saya menilai, mereka memiliki empat pilihan potensial:

  1. Berusaha untuk tetap sehat dalam sistem yang tidak berubah dan disfungsi.
  2. Mengubah sistem agar semua orang menjadi lebih sehat.
  3. Keluar dari sistem dan menjadi sehat.
  4. Menyerah dan menerima sistem yang disfungsi tersebut.

Para pendeta bisa berada dalam situasi yang sangat mirip, dan menurut pengalaman saya, banyak yang mengambil pintu 3 atau 4. Mereka mungkin pada awalnya mencoba pintu 1. Namun mencoba berulang kali untuk mempertahankan batasan yang sehat di tengah tekanan yang terus-menerus menolak hal tersebut, pada akhirnya akan lebih melelahkan daripada sekadar menyerah pada ekspektasi yang tidak realistis. Akibatnya banyak pendeta keluar dari pelayanan, karena percaya bahwa tidak ada yang akan berubah di gereja mereka. Atau mereka menyerah terhadap perubahan yang mereka harapkan, pasrah bahwa memang begitulah adanya dalam pelayanan, jadi sebaiknya mereka membiasakan diri.

Apakah pendeta harus keluar atau menyerah? Tidak. Dalam banyak kasus, sebelum mereka benar-benar harus keluar dari organisasi tersebut—atau sebelum mereka diberhentikan—mereka dapat mencoba cara yang kedua: menjadi sehat dan membawa serta jemaat mereka untuk menjadi sehat juga. Seorang pendeta dapat mengembangkan batasan-batasan yang baik dan secara strategis menolong gereja dalam proses ini juga.

Siapa yang bisa membantu?

Seringkali para pendeta yang datang ke pusat retret kami semalaman sudah begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas terakhir sehingga tanggung jawab mereka tidak terabaikan selama mereka tidak hadir. Semua usaha terakhir ini mengungkap realitas umum di dalam gereja: Tidak ada seorang pun yang terlatih untuk mengambil alih berbagai aspek dari peran pendeta, sehingga sekarang ia kesulitan untuk menemukan orang yang dapat melakukannya. Kabar baiknya adalah bahwa para pendeta biasanya memang akan menemukan orang-orang yang bersedia membantu dan terlibat.

Søren Kierkegaard menulis, “Semakin seseorang memberikan batasan bagi dirinya, maka ia akan menjadi semakin berguna.” Banyak pendeta menjadi mahir dalam melakukan banyak hal. Pergeseran dalam budaya gereja dapat dimulai ketika seorang pendeta dengan jujur mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana jika saya tidak dapat hadir minggu depan? Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan melakukan apa? Apa yang hanya bisa dilakukan oleh saya—dan apa yang perlu saya fokuskan? Dalam kata-kata Kierkegaard, Bagaimana saya bisa fokus pada intensitas dan bukan pada keluasan?

Menemukan dan melatih orang-orang lain yang bersedia memenuhi berbagai tanggung jawab pendeta adalah langkah mendasar dalam menjaga batasan yang sehat. Sebagai contoh, berikanlah bimbingan kepada seorang penatua yang mempunyai kerinduan untuk berkhotbah. Ajaklah seorang jemaat yang memiliki hati pastoral untuk melakukan kunjungan ke rumah sakit. Latihlah seseorang untuk memimpin pertemuan saat pendeta tidak hadir. Hal ini tidak hanya akan membantu menjaga segala sesuatunya tetap berjalan baik ketika seorang pendeta sedang tidak ada di tempat atau fokus pada tugas-tugas lain, melainkan juga dapat menuntun pada terbentuknya pelayanan awam yang teratur.

Memperlengkapi orang lain secara intensional untuk membantu dalam beberapa tanggung jawab pastoral akan menolong gereja bertumbuh dan menjadi dewasa. Hal ini akan meringankan beban pendeta, membuat para pemimpin awam lebih memahami dan berempati terhadap posisi pendeta, dan ini merupakan intervensi langsung untuk menjaga batasan pendeta dari penolakan. Alasan utama orang-orang menolak batasan orang lain adalah karena mereka percaya bahwa batasan tersebut menyebabkan hilangnya sesuatu yang mereka inginkan atau butuhkan. Orang-orang di gereja kurang suka ketika seorang pendeta berkata, “Tidak, saya tidak akan melakukan itu,” karena mereka pikir mereka kehilangan sesuatu. Hal ini dapat berasal dari rasa takut, rasa tidak aman, kemalasan, rasa memiliki, atau bahkan rasa bangga mereka akan kemampuan pendetanya dalam menjalankan peran. Namun ketika sudah jelas bahwa orang lain dapat melakukan tugas tertentu, jemaat belajar bahwa mereka tidak perlu takut kehilangan sesuatu.

Buatlah secara tertulis

Komponen utama dari gereja yang menghormati batasan-batasan sehat dari pendetanya adalah memiliki deskripsi pekerjaan tertulis yang realistis, yang memberikan kejelasan tentang ekspektasi gereja terhadap peran tersebut. Seorang pendeta dapat bertemu dengan pimpinan gereja untuk mengevaluasi dan menyesuaikan deskripsi pelayanannya, menambahkan kekhususan jika memungkinkan—seperti merinci jam kerja mingguan yang diharapkan, jumlah hari Minggu yang diharapkan dari si pendeta untuk berkhotbah setiap tahun, atau jumlah maksimum upacara pernikahan yang diharapkan ia berkati dalam setahun.

Salah satu rintangan besar yang mungkin dihadapi seorang pendeta adalah ketika para pemimpin lain di gereja (seperti penatua atau majelis gereja) tidak memiliki gambaran lengkap tentang semua yang pendeta itu kerjakan. Dalam situasi ini, seorang pendeta dapat membuat catatan selama satu bulan, mencatat seluruh waktu yang dihabiskan untuk tugas-tugas pelayanan (termasuk hal-hal seperti percakapan teks dengan anggota gereja). Catatan ini akan membantu para pemimpin lain untuk memahami pergumulan pendeta dalam membatasi jumlah jam pelayanan per minggu dan dapat mendorong diskusi yang bermanfaat tentang bagaimana memprioritaskan tugas-tugas utama pendeta, seperti persiapan khotbah.

Ketika tanggung jawab pastoral diberi batasan, spesifik, dan didukung serta jemaat merasakan pendetanya lebih segar, bersemangat, fokus, dan antusias, maka mereka akan melihat manfaat dari pendeta yang memilih dengan bijak mana yang ingin ia fokuskan dan mana yang tidak.

Biarkan Alkitab mengajar

Ketika para pendeta bertumbuh dan memperdalam kedewasaan rohani serta kesehatan mereka di dalam Kristus—khususnya dalam hal batasan—mereka dapat meneruskan pelajaran ini kepada jemaat mereka melalui mimbar. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi para pendeta itu sendiri, melainkan juga bagi semua orang yang mendengarkannya, karena hal ini menumbuhkan langkah yang bijaksana dan prioritas yang serupa Kristus di dalam diri jemaat awam maupun para pemimpin gereja.

Khotbah tentang nilai-nilai alkitabiah yang mendasari batasan-batasan yang baik dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, para pendeta dapat berkhotbah tentang tema-tema alkitabiah, seperti betapa pentingnya menjaga hati karena itu adalah sumber kehidupan, atau bagaimana setiap anggota tubuh Kristus dipanggil menjadi tangan atau kaki atau mata dan batasan dapat membantu orang untuk tetap berada dalam panggilannya. Khotbah-khotbah dapat mengeksplorasi betapa pentingnya memprioritaskan istirahat Sabat atau bagaimana identitas kita di dalam Kristus membebaskan kita untuk mengatakan ya atau tidak terhadap berbagai hal. Pesan-pesan seperti ini dapat menumbuhkan budaya gereja yang menetapkan ekspektasi-ekspektasi yang sehat, baik bagi para anggota gereja maupun staf pastoral.

Untuk lebih memperjelas jemaat mengenai apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pendeta, maka khotbah tentang peran pendeta yang sesuai Alkitab (terutama khotbah yang disampaikan oleh pengkhotbah tamu) bisa menjadi cara yang efektif. Akan lebih bijaksana juga jika seorang pemimpin selain pendeta membagikan komponen-komponen kunci dari deskripsi tugas pendeta kepada jemaat dalam sebuah pertemuan di gereja.

Risiko yang berharga

Ketika seorang pendeta merasa takut bahwa jemaatnya mungkin tidak menyetujui batasan-batasannya, saya percaya lebih baik bagi pendeta tersebut untuk menyampaikan kepada pimpinan gereja bahwa pengaturan yang ada saat ini tidak berhasil dan berusaha membantu mengubah keadaan daripada keluar diam-diam atau menunggu dipecat. Menetapkan batasan, meminta dukungan pimpinan dan jemaat, serta mendelegasikan peran adalah langkah yang tepat untuk dilakukan—sekalipun semua itu bisa saja gagal.

Meskipun saya telah melihat para pendeta sungguh-sungguh berdoa di tengah keputusasaannya dalam melakukan upaya terakhir untuk menetapkan batasan yang dapat diterima oleh para pimpinan gereja dan jemaat, sayangnya, saya juga melihat penolakan dari para penerimanya. Ini hanyalah kenyataan pahit yang dihadapi beberapa pendeta. Meski tidak ada jaminan akan sukses, berusaha mengubah budaya gereja dengan sabar dan strategis agar batasan yang sehat dapat dihargai (termasuk batasan pendeta) adalah hal yang baik bagi semua orang. Hal ini sepadan dengan risikonya. Pendeta yang menjadi pendeta sesuai dengan panggilannya, yang berinteraksi dengan setiap orang dalam jemaat sesuai panggilan masing-masing, akan menciptakan sebuah ekspresi yang indah dari tubuh Kristus, sebagaimana panggilan Tuhan bagi kita semua.

Michael MacKenzie adalah konselor berlisensi dan pendeta. Dia telah membimbing para pendeta dan pemimpin Kristen lainnya selama 20 tahun terakhir dan saat ini menjabat sebagai direktur eksekutif Marble Retreat. Dia adalah penulis buku Don’t Blow Up Your Ministry.

Diterjemahkan oleh Kalvin Budiman.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul dan Surat-surat Para Rasul

Menyelidiki ajaran tentang hubungan Roh Kudus dengan Kitab Suci, Kristus, dan orang-orang kudus.

Christianity Today May 21, 2024

Hanya sekali, selama jangka waktu sepuluh hari, para pengikut Kristus pernah didapati dalam keadaan menunggu. Tuhan sendiri tidak lagi hadir secara fisik untuk mengajar umat-Nya, dan Roh yang dijanjikan belum datang. Namun segera setelah Roh Kudus datang, kelompok tersebut digerakkan ke dalam aktivitas yang terarah. Mereka dimampukan untuk memberitakan suatu kesaksian yang menjungkirbalikkan dunia.

Pekerjaan-pekerjaan yang Lebih Besar

Sangat jelas bahwa Yesus telah memilih perkataan-Nya dengan hati-hati saat Dia memberi tahu kelompok orang pilihan-Nya di Ruang Atas bahwa lebih baik bagi mereka jika Dia pergi. Jika Dia tidak pergi, Dia menegaskan, Roh Kudus tidak akan datang. Para pengikut-Nya mungkin bertanya, apa yang bisa lebih menguntungkan mereka selain kehadiran terus-menerus dari Tuhan dan Guru mereka secara jasmani? Namun kini, di suatu hari yang hampir tidak dapat dipercaya, mereka telah hidup untuk mengalami penggenapan pernyataan Yesus. Roh Kudus telah datang dan dengan kedatangan-Nya, pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar telah mulai dinyatakan. Penuaian jiwa-jiwa yang lebih banyak daripada yang pernah dituai oleh Yesus selama tiga tahun yang panjang dan melelahkan, telah dituai dalam satu hari pencurahan berkat Pentakosta ini.

Kita tidak perlu meragukan keakuratan laporan Lukas mengenai hari yang sangat penting itu. Siapakah yang berani mengklaim bahwa pemberitaan para rasul mencapai keberhasilan yang lebih besar daripada upaya Tuhan Yesus? Namun keberhasilan ini, meskipun dikaitkan dengan Roh Kudus, telah menimbulkan masalah. Memang benar bahwa Yesus telah menubuatkan era baru yang penuh kuasa dan pencapaian ini; namun realisasi hal ini tampaknya mengkompromikan keunikan-Nya sendiri sebagai Pengantara, Pendiri Gereja, Allah Yang Mahatinggi. Bukankah Roh Kudus lebih berkuasa daripada Yesus? Bukankah pencapaian Roh Kudus lebih cemerlang daripada pencapaian Sang Juruselamat?

Semua ini hanya terlihat benar dalam penampilannya saja. Sebenarnya, jika Anak Allah tidak mengorbankan diri-Nya untuk dosa-dosa manusia dan jika Bapa tidak membangkitkan Dia dari kematian, maka tidak akan ada demonstrasi kuasa Roh Kudus pada hari Pentakosta. Lebih jauh lagi, otoritas tertinggi Sang Anak dijaga di dalam fakta bahwa Ia yang mengutus Roh Kudus. Pekerjaan Roh adalah karya Yesus yang terus berkelanjutan. Kesaksian dari Roh Kudus adalah apa yang didengar oleh Roh dari Kristus yang bangkit (Yoh. 16:13,14). Tuhan Yesus adalah Dia yang membaptis dengan Roh. Perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan melalui tangan para rasul oleh Roh juga berasal dari Kristus yang hidup (Rm. 15:18, 19). Karunia-karunia yang dilimpahkan oleh Roh secara cuma-cuma kepada Gereja pada akhirnya juga dapat ditelusuri berasal dari kemurahan Tuhan yang telah bangkit (Ef. 4:8 dst). Tidak pernah Roh Kudus bertindak secara independen tanpa keterlibatan Anak Allah yang ditinggikan.

Mengingat pentingnya Yesus menekankan kedatangan Roh Kudus dalam pengajaran-Nya kepada kedua belas murid dan mengingat partisipasi pribadi mereka dalam pengalaman dipenuhi dan dikuatkan oleh Roh, maka tidaklah mengherankan jika mereka mengaitkan keputusan-keputusan, tindakan-tindakan, dan hasil dari kerja keras mereka dengan tuntunan dan kendali Roh Kudus. Generasi-generasi orang percaya berikutnya pun dapat berbicara tentang doktrin Roh Kudus. Orang-orang ini lebih mengetahui fakta tentang kehadiran dan kuasa Roh dalam kehidupan mereka.

Api Roh Kudus

Gereja mula-mula dicirikan dengan penekanan yang terbatas pada organisasi. Tentu saja kita membaca tentang para rasul, penatua, dan diaken, tetapi jaminan sesungguhnya dari ketertiban, otoritas yang sebenarnya dalam disiplin, kemampuan yang sesungguhnya dalam pelayanan Firman terletak pada Roh Kudus. Ananias dan Safira belajar bahwa mencoba menipu Roh Kudus bisa berakibat fatal. Petrus belajar bahwa dia dapat dengan aman bergerak di tengah kelompok yang dilarang oleh tradisi dan kebiasaannya, selama dia yakin bahwa Roh Kudus mengutusnya. Diperhadapkan pada prasangka yang sama terhadap orang-orang bukan Yahudi seperti yang dialami Petrus pada awalnya, gereja di Yerusalem sampai pada titik mengakui bahwa orang dari luar bangsa Israel itu pun harus diterima dalam persekutuan Kristen tanpa keharusan untuk mematuhi hukum Yahudi. Gereja di Yerusalem dengan bebas mengakui bahwa keputusan mereka didorong oleh Roh Kudus (Kis. 15:28). Memang benar, jemaat ini hampir tidak mungkin bertindak sebaliknya, karena Roh Kudus telah menunjukkan arahan ini dengan datang ke atas orang-orang bukan Yahudi ketika Petrus berkhotbah kepada mereka (Kis. 15:8). Jemaat terkemuka lainnya, yaitu jemaat bukan Yahudi di Antiokhia, yang juga merupakan hasil dari kerja keras pelayanan misi, didorong oleh Roh Kudus untuk mengutus para pemimpinnya yang paling berpengaruh untuk menyebarkan berita Injil ini ke tempat-tempat yang lebih terpencil (Kis. 13:2).

Gereja apostolik inilah Gereja yang kita lupakan. Kita ingat bahwa Gereja ini adalah sebuah gereja yang misioner, dan kita berusaha menjadi seperti itu. Kita ingat kembali bahwa Gereja ini memberitakan Firman, dan kita menasihati satu sama lain untuk memberitakan Injil tanpa ragu-ragu. Namun entah kenapa roda-rodanya terasa berat. Kita terbebani dengan upaya-upaya kita. Kita senang dengan adanya gerakan, bahkan sekalipun kita tidak dapat dengan jujur menyebutnya sebagai kemajuan. Orang-orang yang memiliki hasrat yang sama dengan diri kita untuk membentuk Gereja apostolik. Mereka kadang-kadang bersalah karena ketidakharmonisan. Mereka berbuat kesalahan. Namun puncak kredensial mereka adalah bahwa mereka hidup dan melayani di bawah kesadaran akan otoritas Roh Kudus. Gereja di zaman kita tidak akan berhasil melayani di dalam krisis dunia saat ini jika Gereja tidak dapat menangkap kembali sikap dasar tersebut.

Rujukan-rujukan kepada Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul merupakan karakteristik yang menunjukkan bahwa hal itu adalah bagian dari situasi kehidupan Gereja mula-mula. Rujukan-rujukan tersebut bukanlah materi pengajaran formal tentang Roh Kudus. Untuk hal ini kita harus merujuk kepada Surat-surat para rasul. Data yang luas tidak dapat dengan mudah dirangkum dalam beberapa bagian saja, tetapi kami mengusulkan untuk memeriksa pengajaran ini dalam kaitan relasi Roh Kudus dengan Kitab Suci, dengan Kristus, dan dengan orang-orang kudus.

Roh Kudus dan Kitab Suci

Dari sudut pandang inisiasinya, kita belajar bahwa tidak ada bagian dari Kitab Suci yang dapat disebut sebagai hasil karya manusia. Sebaliknya, manusia berbicara dari Allah ketika mereka dibimbing oleh Roh (2Ptr. 1:20, 21). Oleh karena itu, mustahil untuk mengatakan bahwa Alkitab adalah karya manusia yang kemudian disahkan oleh Tuhan. Alkitab merupakan Firman-Nya karena aktivitas Roh Kudus dalam mendorong dan mengendalikan manusia sebagai penulisnya. Dari 1 Petrus 1:10-12 kita belajar bahwa beberapa hal yang diberikan kepada para nabi Perjanjian Lama begitu jauh melampaui pemahaman mereka sendiri sehingga mereka memerlukan penerangan khusus untuk dapat memahami aspek temporal dari nubuatan-nubuatan mereka mengenai karya penebusan Mesias.

Firman Tuhan bukan hanya rumah harta karun yang berisi informasi ilahi, melainkan juga gudang senjata yang dapat digunakan oleh para prajurit Kristen. Senjata-senjata peperangan kita adalah senjata rohani. Secara khusus, Firman Allah adalah pedang Roh (Ef. 6:17). Pedang itu menusuk ke dalam hati dan nurani. Pedang itu mengalahkan si jahat.

Jika Roh Kudus benar-benar menulis Firman yang tertulis, yang dengan Firman itu Tuhan kita berseru, baik di tengah pencobaan, perdebatan, maupun pengajaran, maka betapa tidak masuk akalnya bagi orang Kristen untuk merendahkan Firman itu dengan menyatakan bahwa ada tuntunan dan otoritas Roh Kudus yang melampaui Firman itu sendiri dan membebaskan seseorang dari belenggu nubuat-nubuat kuno dan statis. Ketika Paulus membedakan antara hukum yang tertulis mematikan dan Roh yang memberi hidup (2Kor. 3:6; Rm. 7:6), ia tidak bermaksud untuk memberikan pembenaran bagi pemikiran modern ini. Ia hanya mengontraskan karya dari Roh, yang menghasilkan Injil, dengan karya dari hukum Taurat, yang menghasilkan hukum Musa.

Tuhan dan Roh Kudus

Seiring kita beralih untuk mempertimbangkan relasi antara Roh Kudus dan Kristus, penting untuk dicatat di awal bahwa kritik yang keliru telah salah menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Penekanan Paulus pada Kristus sebagai Roh (1Kor. 15:45 dan mungkin 2Kor. 3:17) telah ditafsirkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan gagasan kebangkitan tubuh (sebuah pemutarbalikan yang ironis dari ayat yang terdapat di dalam pasal mengenai kebangkitan yang agung) atau sebagai indikasi bahwa bagi Paulus, Yesus yang historis tidak begitu penting; yang penting adalah persepsi seseorang tentang Dia di dalam eksistensi rohani-Nya saat ini. Antitesisnya terkadang dituangkan dalam bentuk ini: Yesus sebagai manusia versus Kristus sebagai Roh. Di tangan para kritikus, hal ini berfungsi untuk memberikan ketidakjelasan mistis pada sosok Kristus. Namun ketika Paulus menghubungkan Roh dengan Yesus, hasil yang sebenarnya bukanlah penyempurnaan Yesus menjadi Kristus, melainkan penajaman kepribadian dan historisitas dari Roh. Paulus telah berkomitmen pada pentingnya Yesus yang historis bagi iman Kristen (1Kor. 11:1).

Apa yang diberikan oleh rasul Paulus dalam Galatia 4:4-6 merupakan sebuah representasi yang khas. Allah mengutus Anak-Nya untuk menebus; kemudian ke dalam hati mereka yang menerima Sang Anak, Ia mengutus Roh Anak-Nya, yaitu Roh yang sama yang berdiam di atas-Nya pada waktu Ia menjadi manusia, dan yang sekarang datang untuk memuliakan Dia. Bagaimana mungkin Roh ini, dalam memenuhi fungsi-Nya, mengalihkan perhatian dari Yesus yang historis, Pribadi yang mengutus Roh itu untuk mewujudkan gambaran karakter-Nya yang hidup di dalam diri para pengikut-Nya dan untuk mengingatkan mereka kembali akan Firman dan perbuatan-Nya serta membimbing mereka ke dalam kebenaran-Nya?

Tidak diragukan lagi, Roh Kristus yang mengalir itu tidak hanya dimaksudkan untuk melihat kembali sekilas kehidupan Yesus di dunia, melainkan juga untuk menekankan bahwa hanya melalui Roh itulah maka Yesus yang ditinggikan di sebelah kanan Bapa dapat berdiam di dalam hati umat-Nya.

Roh dan Orang-orang Kudus

Sejauh ini, pengajaran paling kaya dalam Surat-surat para rasul tentang Roh Kudus berkaitan dengan relasi-Nya dengan orang-orang kudus. Di sini keseluruhannya dimulai dari pertobatan hingga penyempurnaan. Setiap fase kehidupan orang percaya berada di bawah pengaruh dari Sang Parakletos yang penuh kasih karunia dan kuasa. Kehidupan kristiani dalam kaitannya dengan ajaran Surat-surat para rasul tidak mungkin ada tanpa pemberdayaan-Nya. Dia bahkan adalah Sang Pemberi kehidupan (Rm. 8:2,6,10).

Karunia Roh

Oleh karena kita sudah familier dengan kebenaran bahwa setiap orang percaya memiliki Roh Allah (Rm. 8:9), kita berada dalam bahaya untuk mengabaikan kebenaran bahwa Roh itu kita peroleh berdasarkan anugerah ilahi. Kristus diberikan satu kali; Roh Kudus diberikan setiap kali hati terbuka terhadap kedatangan Kristus. Karunia-karunia Allah tidak dapat ditarik kembali. Berdiamnya Roh Kudus adalah permanen. Namun, orang tidak akan mengetahuinya jika menilai dari doa-doa dan nyanyian pujian kita. Berkali-kali kita memohon agar Roh Kudus datang. Doa seperti itu tampaknya merupakan pengakuan bahwa kita belum mengembangkan kehadiran-Nya dengan benar, bahwa kita masih asing dengan persekutuan Roh.

Secara garis besar, Roh Kudus diberikan kepada kita untuk mengembangkan potensi hidup baru kita di dalam Kristus Yesus. Roh itu selalu menjadi Hamba dari Tuhan kita yang terpuji, sama seperti Kristus yang mengambil rupa sebagai Hamba dalam hubungan-Nya dengan Bapa pada saat Ia menjadi manusia. Dalam pengudusan, urutannya bukanlah seperti dalam keselamatan, Kristus, kemudian Roh, melainkan sebaliknya. Kita dikuatkan oleh Roh di dalam batin kita agar dapat menyadari sepenuhnya akan Kristus yang berdiam di dalam hati kita (Ef. 3:16,17). Tujuannya adalah manusia baru di dalam Kristus yang sedang dibentuk di dalam diri kita (Gal. 4:19).

Kebenaran itu adalah demi kebaikan. Salah satu bagian dari pekerjaan Roh Kudus adalah memimpin umat Allah ke dalam kebenaran, menyingkapkan hal-hal terdalam dari Allah kepada mereka, agar mereka dapat menjadi “rohani,” yang Paulus definisikan sebagai memiliki pikiran Kristus (1Kor. 2:16). Dari penderitaan jemaat Korintus, kita belajar bahwa kebenaran Firman yang diperlukan untuk membangun kita dapat dijauhkan dari kita melalui hal-hal seperti perpecahan dan pertikaian, yang merupakan bagian dari kehidupan lama dan tidak sesuai dengan kehidupan yang baru. Dari Roh Kudus, kita harus “mempelajari Kristus,” menemukan apa yang tidak diinginkan-Nya dan apa yang selaras dengan kehendak-Nya.

Roh dan Daging

Sulit bagi seseorang untuk mempertimbangkan pengudusan tanpa memperhatikan sebutan yang berulang kali muncul, yaitu Roh Kudus. Meski hampir tidak ada dalam Perjanjian Lama, kata ini muncul sesekali dalam kitab-kitab Injil, sering sekali dalam Kisah Para Rasul (lebih dari 40 kali) dan cukup sering dalam Surat-surat para rasul (sekitar 25 kali). Namun ketika kita mencari kaitan antara penggunaan sebutan ini dan situasi di mana sebutan ini digunakan, hal ini sangat jarang terlihat di dalam Injil (mungkin Lukas 1:35 merupakan satu-satunya contoh). Dalam Kisah Para Rasul, hal ini hampir lazim, meskipun 5:3 mungkin merupakan pengecualian. Akan tetapi, dalam Surat-surat para rasul, sebutan tersebut tampaknya sengaja dipilih agar memperkuat tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan kehadiran-Nya yang kudus (1Kor. 6:19; Ef. 4:30; 1Tes. 4:8).

Paulus gemar menempatkan Roh dalam antitesis yang tajam dengan daging. Jika daging (yang mencakup sikap mental dan nafsu jasmaniah) tidak berdaya untuk menyenangkan Allah dalam keadaan manusia yang belum bertobat, maka sama halnya dengan daging yang masih ada di dalam diri orang percaya, tidak dapat menyenangkan Allah. Satu-satunya harapan untuk mengalahkan kecenderungan dari daging terletak pada ketundukan yang sungguh-sungguh kepada Roh (Rm. 8:4; Gal. 5:16).

Kehadiran dan Kepenuhan

Dalam Surat-surat para rasul, seperti dalam Kisah Para Rasul, terdapat perbedaan antara kehadiran Roh dan kepenuhan-Nya. Dalam keselamatan, orang percaya adalah penerima pasif Roh Kudus, yang datang sebagai meterai ilahi dari transaksi keselamatan tersebut. Namun dalam mencapai kepenuhan Roh, kehendak anak Tuhan adalah aktif. Kita diperintahkan untuk memiliki kepenuhan seperti itu (Ef. 5:18). Jelas bahwa ini bukanlah pengalaman esoteris. Perintah ini ditujukan kepada semua orang—para istri, suami, anak-anak, para budak, yang semuanya memiliki kewajiban khusus yang diuraikan dalam ayat-ayat berikutnya. Tentu saja implikasinya adalah bahwa bahkan tuntutan-tuntutan sederhana yang dibebankan kepada mereka tidak dapat dipenuhi tanpa adanya keterlibatan penuh dari Roh Kudus. Namun kepenuhan Roh Kudus ini tidak hanya terkait dengan realisasi tugas sederhana saja. Kepenuhan ini lebih terlihat sebagai upaya yang dilakukan dengan sukacita dan penuh ucapan syukur, sehingga segala kewajiban dapat ditangani dengan hati yang ringan (Ef. 5:19, 20).

Logikanya, kepenuhan Roh berhubungan erat dengan buah Roh (Gal. 5:22,23), meskipun dalam konteks terdekatnya, Paulus lebih memilih istilah-istilah seperti dipimpin oleh Roh dan hidup oleh Roh. Ia membedakan keadaan-keadaan ini dari sekadar hidup dalam Roh (Gal. 5:25). Sebagian orang percaya di zaman kita, seperti di zaman para rasul, terpikat oleh karunia-karunia Roh yang spektakuler seperti berbahasa roh. Sekalipun hal ini harus diselidiki dan dikembangkan, perlu diingat bahwa rasul Paulus merujuk pada buah Roh (yang tidak termasuk karunia-karunia spektakuler) sebagai cara yang lebih unggul. Jika buah Roh tidak ada, maka kuasa Roh Kudus tidak akan menghasilkan pembaruan. Kasih mempunyai keunggulan dalam membangun orang-orang kudus.

Hal ini menuntun kita pada pengamatan bahwa Roh yang sama yang menyatukan setiap orang percaya dengan Kristus, juga mempersatukan orang-orang kudus satu sama lain. Istilah tubuh Kristus sangatlah penting. Sebagaimana manusia terdiri dari tubuh dan roh, demikian pula gereja lebih dari sekadar kumpulan individu yang dipandang sebagai satu kesatuan. Gereja menjadi organisme yang hidup karena Roh Kudus yang mendiaminya.

Tugas Roh Kudus memang sangat lembut. Dalam Firman yang telah diilhami-Nya, Ia harus berbicara tentang diri-Nya sendiri. Namun Ia melakukannya dengan kerendahan hati yang sempurna. Ia tidak menamai diri-Nya sendiri. Gelar-gelar-Nya pun hampir tidak berbeda, karena Allah adalah Roh dan Allah itu kudus. Sebagai Roh Allah atau Roh Kristus, Ia menempatkan diri-Nya dalam ketergantungan yang nyata pada Allah Bapa dan Tuhan Yesus. Ia tidak pernah meminta tindakan iman tertentu terhadap diri-Nya sendiri. Ia senantiasa mengarahkan kita kepada Anak Allah dan melalui Yesus kepada Bapa. Merupakan kemuliaan bagi-Nya untuk memuliakan Kristus. Tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: “Terkutuklah Yesus!” dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan,” selain oleh Roh Kudus (1Kor. 12:3).

Everett F. Harrison lahir di Alaska dari orang tua misionaris. Beliau meraih gelar A.B. dari University of Washington, A.M. dari Princeton University, Th.B. dari Princeton Theological Seminary, Th.D. dari Dallas Theological Seminary dan Ph.D. dari Universitas Pennsylvania. Sejak tahun 1947 ia menjadi Profesor Perjanjian Baru di Fuller Theological Seminary. Dia adalah penulis The Son of God Among the Sons of Men dan A Short Life of Christ.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Tidak Ada yang Namanya ‘Ruang Aman’

Budaya kita menghargai perlindungan diri. Namun kasih sejati menuntut kita untuk saling mendekat.

Christianity Today May 16, 2024
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Getty

Satu argumen tertentu akan terekam dalam cerita keluarga kami selama beberapa generasi: orang-orang dewasa di lantai atas, saling melontarkan tuduhan keras, sementara anak-anak di lantai bawah perlahan-lahan menyadari bahwa film di masa liburan yang direncanakan untuk sore hari tidak akan terjadi.

Bertahun-tahun kemudian, saya tidak dapat mengingat alasan konflik di antara anggota keluarga besar kami. Saya hanya tahu bahwa kondisinya memang tepat. “Saat yang paling indah dalam setahun” telah tiba, dan ekspektasi sedang berada pada puncaknya.

Ini adalah urusan yang berisiko, hal yang kita sebut kasih. Sayangnya, dalam lingkungan budaya kita saat ini—ketika keselamatan pribadi sangat dijunjung tinggi—saya khawatir kita akan semakin tidak toleran terhadap dampak buruk yang biasa terjadi dalam relasi-relasi manusia. Kita akan mengasihi selama kita tidak pernah disakiti.

Menjelajah secara cepat di media sosial mengungkapkan banyak nasihat tentang relasi yang berpusat pada perlindungan diri. Kita diajarkan untuk waspada terhadap ketidakadilan, menolak relasi yang tidak sehat, dan menghindari situasi yang membuat kita merasa tidak aman. Hukum "tidak boleh masuk tanpa izin" menjadi hal yang tidak dapat diganggu gugat.

Untuk memperjelas, saya sangat mendukung penekanan yang semakin besar pada akuntabilitas. Melindungi korban dari pelaku kekerasan adalah hal yang baik dan benar, dan saya menyambut baik cara-cara yang lebih tepat untuk menyebutkan pelanggaran terhadap kepercayaan manusia. Lebih penting lagi, Injil Kristen tidak pernah menghilangkan trauma dosa dan perlunya perbaikan. Dengan Mesias yang tersalib sebagai pusatnya—Pribadi yang dikambinghitamkan dan dibuat menderita karena dosa-dosa dunia—kisah ini adalah kisah yang menjunjung tinggi pentingnya keadilan.

Namun, saya khawatir kita semakin tidak realistis dalam ekspektasi-ekspektasi kita terhadap relasi manusia. Kita mencari keamanan, yang sering kali kita artikan dengan kekebalan. Kita membayangkan bahwa luka yang timbul dalam suatu hubungan menandakan alasan untuk berhenti, bukannya risiko dari usaha yang sangat baik.

Dalam beberapa tahun terakhir, keretakan hubungan, khususnya di Amerika Serikat, telah menjadi pandemi, dan semakin sulit untuk mengupayakan perbaikan dalam pertemanan, keluarga, dan gereja kita. Dengan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap institusi, kita memiliki otoritas yang lebih sedikit untuk menengahi konflik. Dalam era digital yang mendorong kita untuk memilih “kebenaran” berdasarkan diri sendiri, kita mengukuhkan cara-cara yang berbeda dalam memandang dunia, bahkan dunia yang berbeda sama sekali.

Belum lagi semangat malaise yang merajalela, yang oleh para ayah dan ibu di gurun pasir disebut acedia. Kita dipadamkan oleh upaya penyelesaian konflik yang akan menuntut kita untuk menolak tuntutan kasih, seperti yang didefinisikan oleh Rebecca DeYoung.

Kita membayangkan bahwa luka yang timbul dalam suatu hubungan menandakan alasan untuk berhenti, bukannya risiko dari usaha yang sangat baik.

Sebagaimana terlihat jelas dalam Alkitab, konflik merupakan aspek yang tak terelakkan dalam relasi manusia dan juga sebuah kenyataan yang menuntut kebijaksanaan. Jika konflik terjadi lebih langka dan bukan hal yang biasa, maka tampaknya Paulus terlalu melebih-lebihkan tentang perlunya membuang dosa-dosa seperti “perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian” dan lebih mengutamakan “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri” (Gal. 5:20–23).

Jika konflik adalah pengecualian dan bukan kelaziman, maka mungkin Yesus sendiri terlalu berlebihan saat mengatakan bahwa pengampunan dalam relasi-relasi manusia akan menjadi keputusan yang penuh dengan ketekunan selama “tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22).

Namun ternyata tidak demikian. Perintah yang terus-menerus untuk hidup rukun ini (lihat permohonan Paulus kepada Sintikhe dan Euodia dalam Filipi 4:2) mengungkapkan bahwa kita pasti akan menghadapi konflik. Konflik adalah percikan api—dan terkadang merupakan tong mesiu—dalam hubungan antarmanusia. Siap mengasihi (atau mencoba mengasihi) berarti siap untuk gagal, bahkan terkadang melukai dengan sengaja. Kasih Tuhan itu sabar dan murah hati, dan kita bukanlah Tuhan.

Sambil kita belajar untuk mengantisipasi konflik dalam relasi-relasi, kita dapat berkomitmen untuk bertumbuh dalam hikmat yang dibutuhkan di saat konflik. Untuk jelasnya, hikmat, sebagai kategori biblikal, bukanlah produk dari kiat-kiat relasi. Anda tidak dapat mempelajarinya dengan menonton video YouTube, membaca buku pengembangan diri, atau bahkan dengan mengikuti rutinitas kesadaran diri penuh (mindfulness). Hebatnya, hikmat itu praktis—tetapi keahlian praktikalnya bukan sekadar pengetahuan. Hikmat tumbuh pertama-tama dari orientasi hati kepada Tuhan. Prinsip hikmat yang pertama adalah takut akan Tuhan (Ams. 9:10).

Berelasi dengan Tuhan secara benar adalah langkah pertama untuk berelasi secara benar dengan sesama manusia. Doa Bapa Kami menyoroti dinamika ini ketika mengajarkan kita untuk berdoa terlebih dahulu memohon pengampunan atas dosa-dosa kita sendiri, kemudian meminta kemampuan untuk memberikan pengampunan kepada orang lain. Pengampunan yang kita cari dan berikan bukan hanya bersifat terapeutik, seperti yang dijelaskan Tim Keller dalam bukunya, Forgive. Kita berharap dan mengusahakan perbaikan serta pemulihan.

Saya dibesarkan dalam keluarga di mana ketiadaan konflik dianggap sebagai kesehatan relasional. Meskipun saya semakin dewasa untuk lebih memahami bahwa konflik, jika ditangani dengan penuh kasih, menunjukkan risiko dan manfaat dari keintiman, bukan berarti saya tahu cara menanganinya. Saya harus melakukan apa yang diminta oleh hikmat dari setiap muridnya: Carilah guru dan belajarlah. Berlatihlah dan akuilah segala kesalahan.

Saya dan suami mencoba mengajari anak-anak kami keterampilan untuk mengatasi luka personal yang timbul dalam relasi. Mereka akan berdosa dan dirugikan, dan hal ini tidaklah mengejutkan. Kami mengajari mereka kerangka sederhana untuk mengatasi kerusakan relasional: Katakanlah bahwa kamu menyesal. Sebutkan kesalahanmu. Mintalah pengampunan. Tidak ada satu langkah pun yang dapat dihilangkan, dan yang terbaik adalah mengatakannya dalam urutan tersebut.

Ya, terlalu sering permintaan maaf dilakukan secara asal-asalan—“Saya minta maaf,” namun diucapkan dengan nada gusar. Dan tidak, ajaran ini saja tidak mencakup semua dasar penyelesaian konflik yang tepat. Namun penerima permintaan maaf juga mempunyai peran penting. Dia didorong untuk tidak pernah meremehkan kesalahan (dengan mengatakan “Itu tidak masalah” atau “Bukan masalah besar”), melainkan cukup dengan mengatakan, “Saya memaafkanmu.”

Bersama-sama, saya dan suami mempraktikkan keterampilan-ketrampilan tersebut selama pandemi, ketika kami akhirnya mendaftar untuk mengikuti empat sesi konseling pernikahan. Dua puluh enam tahun pernikahan masih belum mengajarkan kami tentang bahaya yang melekat dari konflik—di mana saya terlalu terburu-buru untuk lari dan suami saya terburu-buru untuk melarikan diri. Kami membutuhkan keterampilan yang lebih baik, dan kami juga perlu memperkuat ketabahan yang dibutuhkan dalam semua hubungan. Syukurlah, janji pernikahan kamilah yang membuat kami tetap bertahan dan percaya, berharap dan tabah; iman kamilah yang menyadarkan kami untuk berpikir tentang diri kami dengan benar.

Tentu saja, tidak semua hubungan dijaga dengan komitmen yang mengikat, dan terkadang pola-pola konflik memang dapat menunjukkan bahwa persahabatan harus diakhiri. Akan tetapi, mungkin pemuridan Kristen sekarang harus menekankan (berlawanan dengan Zeitgeist budaya perlindungan diri yang rapuh) kesabaran dan ketekunan yang dituntut oleh kasih, usaha yang dihasilkan oleh semua hubungan. Saya tidak merasa aman untuk mengasihi orang lain jika yang saya maksudkan adalah saya tidak akan pernah mengalami rasa sakit. Namun saya bisa belajar untuk hidup dengan lebih sedikit sikap defensif, lebih sedikit rasa takut, mengakui dosa saya dan mengambil langkah-langkah menuju perbaikan.

“Maafkan saya. Saya salah karena telah menyakitimu. Maukah kamu memaafkan saya?”

Saya yakin begitulah akhir dari kejadian bertahun-tahun yang lalu, baik anak-anak maupun orang dewasa merasa lega. Kami melewatkan filmnya tetapi berhasil mengatur perayaan liburan. Pengalaman itu adalah kesempatan satu lagi untuk belajar bahwa kasih jauh lebih berisiko daripada yang kita kira—dan jauh lebih tangguh.

Jen Pollock Michel adalah penulis lima buku, termasuk In Good Time: 8 Habits for Reimagining Productivity, Resisting Rush, dan Practicing Peace (Baker Books, Desember 2022).

Diterjemahkan oleh Fernando Chandra.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube