NT Wright: Pandemi Yang Terjadi Seharusnya Membuat Kita Rendah Hati  — dan Tetap Giat

Kita tidak bisa tahu dengan pasti mengapa hal ini terjadi atau bagaimana cara menghentikannya. Tetapi Alkitab menyerukan agar kita berduka bersama Roh Allah dan mulai saling melayani sesama kita.

Christianity Today August 7, 2020
Illustration by Rick Szuecs / Source images: RealPeopleGroup / Getty / Andre Ouellet / Unsplash / Cynoclub / Envato

Di antara laporan-laporan berita yang tiada henti, wawancara dengan para ahli kesehatan masyarakat, serta para pakar yang mengeluarkan pro dan kontra mengenai berbagai strategi pemberantasan penyakit, kita hampir tidak pernah kehilangan informasi dan perspektif tentang COVID-19. Namun masih ada banyak pertanyaan yang kita gumuli untuk dijawab dengan keyakinan penuh: Mengapa ini terjadi? Apa yang harus kita lakukan dalam menanggapinya? Dan di mana Allah dalam semua ini? Dalam buku Allah dan Pandemi: Refleksi Kristiani tentang Virus Corona dan Akibatnya, seorang teolog dan penulis bernama N.T. Wright menunjukkan bagaimana Alkitab berbicara tentang kebingungan dan ketidakpastian kita. Andy Bannister, direktur Solas Centre for Public Christianity di Skotlandia, berbicara dengan Wright tentang bukunya.

Banyak orang Kristen telah menulis buku-buku tentang pandemi—dari John Lennox hingga John Piper, dan bahkan orang-orang yang namanya selain John. Apa yang menginspirasi Anda untuk mengkontribusikan buku Anda sendiri?

Pada Maret lalu, majalah Time meminta saya untuk membuat artikel tentang pandemi. Judulnya agak provokatif: “Kekristenan Tidak Memberikan Jawaban Tentang Virus Corona. Memang Tidak Seharusnya.” Yang ingin saya katakan adalah bahwa hal ini mengarahkan kita kepada Roma 8, di mana Roh itu berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (ayat 26)—ini adalah hal yang luar biasa yang dikatakan oleh Paulus. Dan apa yang dikatakan firman ini kepada saya adalah bahwa kita seharusnya merendahkan diri dalam menghadapi pandemi ini, bukan berpikir bahwa kita harus mengetahui semua jawaban.

Setelah artikel tersebut terbit, saya mulai mendapat umpan balik. Orang-orang mengirim email kepada saya untuk menanyakan, “Bagaimana bisa Anda berkata seperti itu?” Dan saya diberitahu tentang apa yang orang-orang katakan di Twitter (saya sendiri tidak pernah melihat Twitter). Sementara itu, saya terus mendengar orang-orang menggunakan ayat firman Tuhan dengan cara yang kurang memadai. Buku ini adalah upaya untuk mengeksplorasi bagaimana Alkitab, dalam keseluruhan narasi dan alurnya, benar-benar berbicara tentang keadaan-keadaan yang kita alami sekarang.

Ketika COVID-19 melanda, banyak dari kita yang terkejut. Menurut Anda, apakah gereja Barat telah hidup nyaman dan aman begitu lama sehingga lupa bagaimana untuk menghadapi kegelapan, penderitaan, dan krisis?

Benar! Saya berbicara dengan seorang pemimpin gereja senior beberapa minggu lalu tentang hal ini, dan dia berkata: “Anda tahu, Tom, kita tidak terlalu meratap dengan baik. Kita tidak terbiasa dengan hal tersebut. Tetapi kita pun tidak mengadakan perayaan dengan sangat baik pula. Nampaknya yang banyak kita lakukan adalah memuaskan diri sendiri.” Dan saya pikir dia benar. Saya sering mendengar orang-orang Kristen bertanya, “Mungkinkah ini akhir dari dunia?” Dan saya ingin mengingatkan mereka bahwa hal seperti ini telah terjadi berulang kali. Sebagai contoh, pada tahun 1917–1918, ada pandemi flu Spanyol yang hebat, di mana gereja-gereja di beberapa bagian dunia ditutup selama setahun. Kita lupa bahwa sebelumnya kita sudah pernah mengalaminya.

Selanjutnya, untuk generasi Baby Boomer, yang bertumbuh setelah Perang Dunia II, kita belum pernah mengalami perang di wilayah kita. Kita belum pernah mengalami pandemi. Memang, kita telah mengalami beberapa krisis ekonomi, tetapi sedikit banyak kita berhasil mengatasinya. Jadi kita hanya berputar-putar dan melanjutkan seolah-olah tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Kita lupa tentang sejarah.

Saya terkagum ketika membaca ulang surat-surat Martin Luther baru-baru ini, yang salah satunya saya kutip di dalam buku saya. Luther harus menghadapi hal-hal semacam ini setiap beberapa tahun, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang di kota-kota sekitarnya yang berteriak, “Tolong! Kita di masa epidemi yang hebat. Orang-orang sekarat. Apa yang kita lakukan?" Luther berbicara tentang mematuhi aturan minum obat, membantu secara praktis semampu Anda, dan tidak terlibat dalam menularkan penyakit kepada orang lain jika ada kemungkinan Anda terinfeksi. Dia sangat pragmatis, yang pada dasarnya berkata, "Inilah cara kita mengatasinya. Janganlah kita membuat kehebohan teologis yang besar tentang hal ini."

Buku Anda menggambarkan begitu banyak tema Perjanjian Lama, khususnya dari Mazmur dan Ayub. Mengenai Ayub, Anda berpendapat bahwa “bagian dari inti kitab Ayub justru adalah karakter kitab itu yang belum terselesaikan.” Menurut Anda, apakah orang Kristen masa kini bergumul dengan ambiguitas karena mereka tidak memiliki landasan yang lebih kuat di Perjanjian Lama?

Saya pikir Perjanjian Baru ada ruang untuk ambiguitas juga. Ada banyak tempat dalam Perjanjian Baru yang berakhir dengan semacam titik-titik-titik, karena itulah yang disebut hidup oleh iman.

Secara keseluruhan, saya pikir bagian dari masalah kita adalah rasionalisme yang berasal dari dua atau tiga ratus tahun terakhir di dunia Barat, yang telah meresap ke dalam gereja karena kritik rasionalis terhadap kekristenan yang mengatakan hal-hal seperti: “Aha, lihat, ilmu pengetahuan modern menunjukkan kepada kita bahwa kekristenan itu palsu!” Sebagai tanggapan, orang Kristen rasionalis mengatakan, “Tidak, mari kita tunjukkan bahwa semuanya benar-benar rasional!” Hal ini menyebabkan kita ingin untuk memiliki jawaban atas segalanya, sehingga kita mengatakan hal-hal seperti: “Karena Allah berdaulat, Dia pasti melakukan ini dengan sengaja atau setidaknya mengizinkannya terjadi dengan sengaja.” Kita berpikir kita harus bisa melihat apa yang Dia lakukan. Tetapi sesungguhnya saya tidak yakin bahwa kita diberikan akses semacam itu.

Salah satu momen favorit saya dalam Perjanjian Baru adalah dalam surat Paulus kepada Filemon tentang Onesimus, si budak. Dia menulis, "Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya" (1:15). Dengan kata lain, Paulus berpikir mungkin dia dapat melihat apa yang Tuhan rencanakan dalam situasi ini. Tapi dia tidak akan mengatakannya secara pasti.

Dalam hal ini dibutuhkan kerendahan hati. Kini pemahaman itu membuat kita bersikap sebaliknya, “Kita tidak tahu apa-apa, siapa peduli?” Ini tidaklah bijaksana, karena kita telah diberikan panduan. Tetapi untuk mengetahui semua detailnya, seperti kata pepatah, itu di atas nilai bayaran kita. Itu adalah pekerjaan Allah. Tugas kita adalah mengerjakan apa yang Allah beritahu untuk kita kerjakan dalam situasi yang khusus ini.

Ketika Anda berbicara tentang Injil, Anda menekankan contoh saat Yesus berdiri di depan makam Lazarus, dan menangis. Apa yang akan Anda katakan kepada seseorang yang bukan Kristen, yang bergulat dengan masalah penderitaan, dan yang bertanya: “Apa gunanya Allah yang menangis? Saya bisa menangis. Siapa saja bisa menangis. Yang kita butuhkan adalah tindakan; kita perlu melakukan sesuatu! Bagaimana Yesus yang menangis dapat menolong?”

Ada banyak tindakan di dalam kisah itu, dan tindakan tersebut bertumbuh dari air mata. Seperti yang sering terjadi, sesungguhnya air mata yang dicatat di dalam Injil terkadang merupakan elemen yang penting. Apa yang ditunjukkan oleh air mata adalah bahwa Allah yang menciptakan dunia ini, yang menjadi manusia sebagai Yesus dari Nazaret, tidak hanya duduk di suatu tempat di atas, melihat ke bawah dan berkata, “Oke, Aku akan membereskan kekacauanmu.” Sebaliknya, Dia adalah Allah yang datang dan rela tangan-Nya kotor dan tangan-Nya terpaku agar bisa berada bersama kita dan menyelamatkan kita. Sungguh sangat menghibur ketika tahu bahwa saat saya berduka, Yesus juga berduka bersama saya, dan Roh Kudus juga berduka di dalam diri saya, seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 8. Dan inilah salah satu hal yang menandai iman Kristen berbeda dari pandangan dunia lainnya yang saya tahu.

Apa yang diajarkan oleh bagian lain dari Perjanjian Baru — dan khususnya peran Roh Kudus — mengenai tanggapan kita terhadap pandemi?

Roma 8, yang baru saja saya sebutkan, adalah salah satu perikop terbesar di seluruh Alkitab. Ketika saya melayani sebagai seorang uskup, saat saya mewawancarai orang-orang untuk tugas pelayanan di paroki, terkadang saya bertanya, “Ayat Alkitab apa yang menjadi penghiburanmu?” Dan untuk membuatnya lebih sulit, saya akan menambahkan, “Anda sudah mendapatkan Yohanes 20 dan Roma 8, jadi jangan pergi ke sana. Itu sangat jelas sekali.”

Roma 8 penuh dengan kemuliaan. Penuh dengan keselamatan. Penuh dengan pekerjaan Roh. Akan tetapi, mudah terbawa suasana, dan bayangkan setelah kita melewati bagian-bagian yang sulit dari Roma 7, kita berlayar di tempat yang tinggi menuju penegasan Paulus bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah (8:38–39). Tetapi Anda masih harus melalui terowongan gelap di Roma 8:18-30, terutama ayat 26 dan 27, yang berbicara tentang Roh yang menjadi perantara bagi kita di dalam kelemahan kita.

Ketika dunia dalam kekacauan, seperti pada umumnya, tapi khususnya pada saat-saat seperti sekarang, akan sangat mudah untuk membayangkan gereja berdiri kembali dan berkata, “Sayang sekali dunia berada dalam kekacauan seperti itu. Tetapi setidaknya kita tahu jawabannya.” Namun tidak, Paulus berkata bahwa ketika dunia merintih kesakitan, maka kita, yang telah menerima karunia sulung Roh yang membangkitkan ciptaan Allah yang baru di dalam diri kita, juga mengeluh sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita (Rm. 8:23).

Anda mungkin berkata, oke, jadi gereja berbagi kekacauan yang ada di dunia ini, tetapi tentu saja Allah tahu apa yang sedang Ia lakukan. Yah, dalam arti tertentu, ya, Allah tahu apa yang sedang Ia lakukan. Tetapi di sini kita menemukan misteri Allah Tritunggal, karena Paulus mengatakan bahwa pada saat itu juga, Roh mengerang di dalam diri kita dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Lebih jauh lagi, menyinggung Mazmur 44, salah satu mazmur ratapan yang besar, Paulus berkata "Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus" (Rm. 8:27). Dengan kata lain, Allah Bapa mengetahui pikiran Roh. Tetapi pikiran Roh adalah pikiran yang tidak memiliki kata-kata untuk diucapkan tentang betapa mengerikannya hal-hal yang terjadi saat ini.

Ini adalah suatu perkara yang sangat aneh. Tetapi menurut saya, inilah yang dimaksudkan: bahwa dalam rangka menyelamatkan dunia, Allah datang dalam pribadi Putra-Nya untuk menanggung beban dosa atas diri-Nya. Dan Allah datang dalam pribadi Roh untuk menjadi pribadi yang mengerang di dalam gereja, di tempat di mana dunia sedang kesakitan. Begitulah cara Allah bergerak melalui rasa sakit-rasa sakit itu, dari keadaan yang mengerikan dan memalukan di dalam dunia menuju pada keselamatan—ciptaan Baru sepenuhnya, yang dijanjikan kepada kita.

Gagasan tentang Roh yang berduka dan mengerang membawa saya kembali kepada hal yang Anda bahas sebelumnya, yaitu ratapan. Di sepanjang buku ini, Anda berkata kita perlu “merengkuh ratapan.” Apakah ini sesuatu yang sedikit telah kita lupakan di gereja modern? Jika demikian, bagaimana kita menemukannya kembali?

Ya, sesungguhnya saya berpikir sebagian dari kita telah melupakannya. Bagi mereka yang ada dalam tradisi yang memakai Mazmur sepanjang waktu, ada baiknya kita meratap cukup sering meratap. Ketika saya berdoa memakai Mazmur, hari demi hari, saya akan sampai pada salah satu mazmur ratapan—dan seringkali inilah yang saya butuhkan, karena hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup saya.

Pada waktu lain, saya mungkin berjumpa dengan mazmur ratapan ketika saya sendiri sedang merasa cukup ceria. Maka, sebagai latihan spiritual, saya mencoba memikirkan cara untuk masuk ke dalam situasi orang-orang yang saya kenal di seluruh dunia: baik teman saya atau orang yang pernah saya lihat di televisi atau dalam berita, yang berada dalam situasi yang mengerikan saat ini—orang-orang yang berada di kamp pengungsi yang mengerikan dan jorok, atau apa pun masalahnya. Dan saya berdoa memakai mazmur ratapan untuk merangkul mereka dalam kasih Allah.

Kita perlu mengingat bahwa ratapan bukan hanya untuk masa Prapaskah. Ratapan juga ada pada masa Adven, saat kita mempersiapkan Natal. Keduanya adalah masa yang dapat kita gunakan untuk mengembangkan liturgi ratapan, yang membawa rasa sakit dunia ke hadirat Allah, dengan memakai mazmur ratapan – seperti Mazmur 22, 42, dan 88 – yang menggambarkan apa yang Yesus doakan di kayu salib: “Ya Tuhan Ya Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Terkadang doa-doa itu keluar dari kegelapan menuju terang. Dan terkadang tidak sama sekali, seperti Mazmur 88. Doa-doa tersebut tetap dalam kegelapan. Dan ada suatu perasaan bahwa Allah menyertai kita di dalam kegelapan itu.

Menjelang akhir buku, Anda berbicara tentang gereja dan tanggapannya terhadap berbagai perintah lockdown. Anda berpendapat bahwa kesediaan kita untuk menunda pertemuan langsung dan mengadakan ibadah online, secara tidak sengaja memperkuat gagasan sekuler bahwa iman adalah sebuah kegiatan pribadi. Bagaimana kita mengarahkan ketegangan antara panggilan untuk ibadah korporat dan pentingnya kesehatan masyarakat?

Saya mulai dengan poin yang dibuat Luther agar kita tidak menyebarkan infeksi. Menyebarkan infeksi tidaklah bertanggung jawab. Itu berarti bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dan jika kita lebih mencintai bangunan gereja daripada mencintai sesama kita, maka celakalah kita. Faktanya adalah, sebagian besar gereja di Inggris adalah bangunan tua, yang membuatnya sangat sulit untuk dibersihkan. Dan saya menanggapinya dengan sangat serius.

Tetapi di sisi lain, saya khawatir bahwa gereja online dapat dengan mudah menggoda kita untuk berkata, “Oh, kita tidak perlu bertemu langsung, karena ini adalah masalah rohani.”

Jadi, bisakah Anda menyembah Tuhan di kamar Anda, dengan memakai piyama, seperti di tempat lain? Ya, dalam arti tertentu Anda bisa. Tetapi agama Kristen adalah seperti olahraga tim. Sesuatu yang kita lakukan bersama. Pikirkanlah tentang buah-buah Roh: Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5:22-23). Semua itu adalah hal-hal yang kita lakukan bersama. Anda tidak bisa melatihnya terpisah satu sama lain. Dan semakin cepat kita bisa kembali bersama dengan bijak, semakin baik.

Tentang menerima Perjamuan Kudus, ya, kita dapat mengikutinya di layar, tetapi juga ada kesadaran akan berpuasa, kehilangan, pengasingan, karena tubuh Kristus — keluarga besar umat Allah — tidak hadir secara fisik bersama kita.

Saya sudah lama berpikir bahwa respons terpenting terhadap kejahatan dan penderitaan bukanlah kata-kata, melainkan tindakan, bahkan tindakan yang mungkin sangat mahal. Yesus mencontohkan hal ini untuk kita. Jadi, dalam pemahaman tentang penderitaan yang disebabkan oleh pandemi: Apa yang harus dilakukan orang Kristen sekarang? Lalu bagaimana kita harus menjalani hidup?

Ada perikop yang menarik di Kisah Para Rasul 11, di mana para murid di Antiokhia mendengar dari seorang nabi bahwa akan terjadi kelaparan (ay. 28). Mereka tidak menanggapi: Ya ampun, apa artinya ini? Apakah Tuhan marah kepada kita? Apakah ini artinya Tuhan akan datang kembali? Tidak, mereka begitu praktis. Mereka bertanya: Siapa yang paling berisiko? Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu? Dan siapa yang harus kita kirim? Hasilnya, Paulus dan Barnabas dikirim ke Yerusalem dengan membawa persembahan uang untuk gereja miskin di sana (ay. 29–30).

Hal ini serupa dengan kisah di awal Yohanes 9, kisah tentang orang yang dilahirkan buta. Yesus tetap giat dan mencegah murid-muridnya untuk menanyakan kesalahan siapa ini atau apakah dosa yang harus disalahkan (ay. 3). Sebenarnya itu bukan kesalahan siapa pun. Pertanyaan yang penting adalah apa yang Allah ingin kita lakukan dalam menanggapinya.

Jadi bagi kita, kita harus mulai dengan tetangga, teman, dan keluarga kita, menanyakan siapa yang bisa kita bantu dengan membawa beberapa makanan, peralatan, atau persediaan medis. Mungkin gereja kita bisa terlibat dengan sesuatu seperti mengelola bank makanan. Singkatnya, kita harus bertanya: Apa yang bisa kita lakukan?

Dalam bukunya yang luar biasa, Dominion: Bagaimana Revolusi Kristen Menciptakan Kembali Dunia, sejarawan Tom Holland menunjukkan bahwa banyak hal yang dulu hanya dilakukan oleh gereja, sekarang telah diambil oleh masyarakat sekuler yang lebih luas. Karena itu, banyak dokter dan perawat yang tidak mau menyebut diri mereka Kristen telah menanggapi perintah penting ini untuk merawat orang lain, bahkan dengan mempertaruhkan hidup mereka sendiri Itu hal yang mulia.

Tetapi di dunia kuno, hanya orang Kristen yang melakukan itu. Jadi, dalam arti tertentu, sebagian dari cita-cita Kristen itu telah menyebar ke dunia. Dan kita harus berterima kasih kepada Allah untuk itu. Tetapi di gereja, kita telah melakukan hal-hal seperti pengobatan, merawat orang miskin, dan pendidikan sejak permulaan. Hal itu tertanam mendalam di dalam DNA gereja. Jadi orang Kristen harus mengambil kembali dan berpegang teguh pada tradisi itu — dan tidak hanya ketika terjadi pandemi.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Bagaimana ‘The Blessing’ Menjadi Lagu Penyembahan Paling Viral di Dunia

Doa ucapan syukur dari Perjanjian Lama yang familiar bagi kita, dinyanyikan oleh 100 paduan suara virtual di seluruh dunia selama pandemi.

Christianity Today August 1, 2020
Elevation Worship

Hanya beberapa minggu sebelum pandemi coronavirus menghentikan seluruh kegiatan di AS, Kari Jobe menulis sebuah lagu bersama suaminya, Cody Carnes, dan Steven Furtick serta Chris Brown dari Elevation Worship. Bersama-sama mereka menuangkan dalam musik salah satu doa berkat yang paling terkenal dalam Alkitab, yaitu Bilangan 6: 24–26:

TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.

Ketika mereka memperkenalkan “The Blessing” di sebuah kampus Elevation Church di dekat Charlotte, North Carolina, pada tanggal 1 Maret, Jobe mengatakan kepada para jemaat bahwa lirik itu menunjukkan “hati Bapa bagi kita sebagai anak-anak-Nya” dan mengajak mereka untuk menerima lagu itu sebagai ”berkat atas dirimu, keluargamu dan anak-anakmu.”

Mereka tidak tahu berapa banyak orang Kristen yang mau mendengar dan menyanyikan kata-kata tersebut dalam pandemi ini. Hanya dalam lima bulan, “The Blessing” sudah menduduki puncak tangga lagu dan menjadi sensasi viral yang dicover oleh lebih dari 100 paduan suara virtual di seluruh dunia.

“Karena lagu ini berdasarkan pada Alkitab, pesannya tidak lekang oleh waktu, dan kami ingin merilis lagu ini secepatnya, mengetahui dampaknya terhadap setiap hati dan jiwa orang-orang, sama halnya terhadap kami,” kata Jobe kepada The Christian Beat. “Tuhan tahu itu akan menjadi sesuatu yang bisa kita pegang dalam musim hidup kita yang penuh ketidakpastian dan misteri.”

Video 12 menit pertunjukan langsung di Elevation ditayangkan perdana pada 6 Maret dan ditonton lebih dari 21 juta kali. Salah satu dari penonton pertama adalah Alan Hannah, asisten gembala di Gereja Allegheny Center Alliance di Pittsburgh, yang membantu paduan suara virtual pertama untuk meng-cover lagu tersebut.

Terinspirasi oleh para penyanyi studio Nashville yang membuat rekaman dengan telepon selulernya lagu “It is Well With My Soul,” dan memperoleh 1,3 juta penonton di YouTube, Hannah dan seorang rekan pendeta dari Pittsburgh bernama Jason Howard dari Gereja Amplify menghubungi para pemimpin pujian setempat untuk berpartisipasi dengan merekam diri mereka mereka menyanyikan lagu “The Blessing.”

Hampir 30 gereja berkontribusi dalam versi terakhir, yang dirilis pada hari Minggu Paskah. Idenya adalah untuk “bersatu sebagai sebuah gereja dan menyanyikan lagu ini bagi kota kita sebagai berkat di masa ketidakpastian dan penuh ketakutan,” kata Hannah.

Kompilasi mereka menjadi tren global. Dalam 24 jam setelah pemutaran perdana, “The Pittsburgh Blessing” menarik perhatian Tim dan Rachel Hughes, gembala di Gereja Gas Street di Birmingham, Inggris.

Keluarga Hughes menghubungi gereja-gereja dan pelayanan dalam jaringan mereka untuk membuat paduan suara virtual yang akan mewakili Inggris. UK Blessing tayang perdana pada 3 Mei. “Merupakan hal yang indah melihatnya bisa selesai,” kata Tim Hughes kepada Premier Christianity.

Lebih dari 100 paduan suara virtual telah menciptakan versi lagu tersebut, menyatakan berkat Tuhan atas kota, negara, dan seluruh benua.

Di luar AS dan Inggris, kompilasi telah dibuat di Australia, Burma, Chili, Kanada, Prancis, Ghana, India, Indonesia, Irlandia, Italia, Lebanon, Madagaskar, Malaysia, Meksiko, Belanda, Nigeria, Rumania, Spanyol, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Swedia, Vietnam, dan Zimbabwe. “The Arab World Blessing” menampilkan penyanyi dari 16 negara berbahasa Arab di Timur Tengah, Afrika Utara, Semenanjung Arab, Mesir, dan Sudan Selatan.

Proyek ini memberi kesempatan bagi gereja-gereja untuk bersatu di balik pesan yang sama. Di Australia, “ini adalah pertama kalinya hal seperti ini terjadi,” tulis panitia paduan suara. Tiga ratus gereja berpartisipasi dalam video, yang menampilkan gambar-gambar lanskap dan satwa liar Australia, sukarelawan yang mengepak makanan, penari, dan orang-orang First Nations.

Di New York City, video paduan suara virtual menyadari kota tersebut sebagai pusat dengan angka kematian COVID-19 yang tinggi dan juga peristiwa demonstrasi atas ketidakadilan dan kekerasan rasial pada akhir musim semi. Video tersebut menampilkan cuplikan drone dari landmark Kota New York bersama dengan gambar lapangan rumah sakit, dokter, dan pengunjuk rasa.

“NYC Blessing” termasuk di dalamnya 125 penyanyi dari 100 gereja bernyanyi dalam delapan bahasa, termasuk beberapa gereja terbesar di kota, seperti Christian Cultural Center dan Redeemer Presbyterian.

Penyusun video tersebut, Bonny Andrews, pendiri pelayanan Transform Cities, datang ke Kota New York dari India kurang dari setahun yang lalu. Sebelum lockdown, ia biasanya berdoa bagi kota setiap hari dalam perjalanannya naik feri. Ia melihat proyek itu sebagai tindakan kasih bagi kota, dalam semangat Yeremia 29:7, sebuah lagu ratapan dan harapan.

Tujuan dari “NYC Blessing,” kata Andrews, adalah untuk menginspirasi kota-kota di seluruh dunia untuk menyanyikan berkat bagi komunitas mereka menggunakan lagu-lagu yang unik untuk budaya mereka. “Kami ingin memenuhi Internet dengan lagu, karena lagu bisa pergi ke tempat yang tidak bisa dijangkau dengan khotbah,” katanya.

Bersama dengan kata-kata dalam “The Blessing”, ada pula tindakan berkat bagi masyarakat yang membutuhkan. Gereja-gereja yang terlibat dalam “NYC Blessing” memberikan pelayanan dalam bentuk makanan untuk masyarakat dan menyediakan masker dan alat perlindungan diri untuk para pekerja kesehatan garis depan.

Ke-65 gereja yang diwakili dalam “The UK Blessing”-mulai dari Katolik dan Ortodoks hingga Sidang Jemaat Allah dan Gereja Inggris-telah menyajikan 400.000 makanan hangat sejak awal lockdown COVID-19.

“Gereja bukanlah tentang bangunan. Gereja adalah untuk komunitasnya, maka ia dapat menyesuaikan. Gereja tidak hanya memproklamirkan kata-kata ini bagi komunitasnya, tetapi juga melakukannya, ”kata Hughes.

Gereja-gereja Irlandia menggunakan gagasan itu dan membuat paduan suara virtual dengan infleksi Emerald Isle. Lebih dari 300 gereja dari setiap daerah memberikan rekaman anggota gerejanya menyanyikan “Be Thou My Vision.”

“Kami ingin menghormati inspirasi itu, sementara pada saat yang sama, menghormati sejarah dan budaya pulau kami yang unik. Jadi kami memilih lagu yang akan beresonansi di seluruh pulau, dengan setiap denominasi dan pengelompokan budaya, yang dapat digunakan sebagai platform untuk menyanyikan Berkat atas tanah kami, semua pekerja kunci (key-workers) kami, dan yang mereka rawat, ”penyusun video menulis di kolom deskripsi video di YouTube.

Lagu-lagu penyembahan biasanya bergerak lambat, butuh berbulan-bulan untuk beralih dari popularitas di radio Kristen lalu dimasukkan ke dalam gereja. Tapi “The Blessing,” yang sekarang menjadi nomor 2 dalam daftar lagu terpopuler Christian Copyright Licensing International, melonjak ke puncak berkat cover-cover yang menjadi viral di YouTube. (CT juga meliput ketertarikan global pada lagu No. 1 dalam daftar, yaitu “Way Maker.”)

“The Blessing” dapat tersebar dengan cepat dalam berbagai bahasa, karena kata-katanya relatif sederhana dan mudah dipelajari maupun diterjemahkan. Lagu tersebut mengulangi bagian dari Bilangan 6 sebagai satu-satunya bait, dengan kata amin sebagai reff dan tiga bridge di bagian akhir.

Sejak video awal “The Blessing” tayang perdana pada bulan Maret, Bible Gateway telah melihat minat yang meningkat pada Bilangan 6: 24-26. Keterikatan di dalam perikop dan pencarian terkait untuk “berkat” naik 73 persen di seluruh dunia dibandingkan tahun lalu.

“Saya menangis berkali-kali ketika saya menyaksikan orang-orang dalam keberagaman di seluruh dunia mendeklarasikan berkat atas keluarga mereka, gereja dan bangsa mereka,” kata Jobe. “Hal itu mendatangkan damai sejahtera yang melimpah, terutama di masa kekecewaan, ketidakpastian dan ketakutan seperti yang sedang kita semua alami sepanjang tahun ini.”

Pada bulan Juli lalu, Elevation Worship melihat ketertarikan dunia terhadap “The Blessing” dan membawakan lagu itu secara langsung bersama dengan paduan suara global.

Christianity Today berkomitmen untuk melayani gereja secara global dengan menyajikan tulisan-tulisan pilihan dalam bahasa Indonesia.

Untuk mendapatkan pemberitahuan tentang artikel baru yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Gereja Foursquare Memperbarui Fokus terhadap Keberagaman

Dengan melihat perubahan demografi dan meningkatnya jumlah pendeta dari luar negeri, gereja-gereja Pentakosta menyambut ‘apa yang sedang Tuhan lakukan di Amerika.’

Christianity Today June 25, 2020
Delphine Lee

Mauricio Rodriguez menggunakan kata keluarga untuk menggambarkan orang-orang di gereja Angelus Temple. Ia masih mengingat senyuman dan pelukan yang ia, ibu dan saudara perempuannya terima di gereja Los Angeles itu waktu mereka pertama kali tiba pada tahun 1988 sebagai imigran yang melarikan diri dari perang saudara di Nikaragua. Mereka pergi ke gereja karena mereka membutuhkan makanan. Angelus Temple memberikan makanan sebagai bagian dari pelayanan yang dimulai selama Depresi Besar, oleh Aimee Semple McPherson, seorang revivalis terkenal yang mendirikan Gereja Internasional Foursquare Gospel.

Ia banyak memikirkan hal itu, karena The Foursquare Church, yang mengadopsi pelayanan multibahasa dalam tahun-tahun awalnya dan yang telah lama mengadvokasi kepemimpinan multikultural, untuk pertama kalinya mempekerjakan seorang pengacara keberagaman (diversity advocate) untuk bekerja pada tingkat denominasi. Rodriguez memegang posisi itu pada 2019, untuk penugasan satu tahun.

“Ada kesempatan yang sedang Tuhan letakkan tepat di depan kita,” kata Rodriguez. “Dengan cara yang sama ketika saya disambut waktu saya datang sebagai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang tidak mengerti bahwa saya adalah seorang imigran dan tidak mengerti bahasa mereka, kasih mengatasi hambatan bahasa yang ada dan juga apa pun, saat kita benar-benar mengasihi sesama kita seperti Tuhan mengasihi kita.”

Selama satu tahun, Rodriguez menemukan beberapa tantangan bagi orang-orang dari berbagai bahasa dan kelompok etnis untuk memulai gereja Foursquare di Amerika Serikat.

Ada pendeta-pendeta dari 74 negara, berbicara dalam 33 bahasa yang berbeda, dalam denominasi Amerika Serikat. Ada juga 477 jemaat imigran yang beroperasi sebagai pelayanan gereja-gereja Foursquare yang sudah didirikan. Pimpinan berharap untuk meluncurkan 200 lagi pada tahun 2020.

“Sangat mudah untuk membuat proses melalui lensa administrasi,” kata Rodriguez. “Cara pandang pun berubah ketika Anda pergi kepada orang-orang dimana anda terpanggil untuk melayani. Salah satu faktor kunci dari peran saya adalah untuk tidak pergi dan berbicara dengan koordinator lisensi kami atau administrator atau staf distrik tetapi untuk pergi ke lapangan dan mendengar perspektif [pendeta]. ”

Beberapa tantangan muncul saat mengurus proses perizinan. Salah satunya, sebagian besar pengurusannya dilakukan secara online. Itu bisa menjadi hal yang sulit bagi pendeta yang dari budaya yang berbeda, kata Dan Cho, yang bergabung dengan Rodriguez dalam wawancara dengan pendeta pada bulan September.

“Mereka datang dari negara-negara di mana mereka tidak mau untuk menaruh informasi pribadi mereka di situs web,” kata Cho, “atau membiarkan pemerintah mengetahui tentang informasi itu karena kasus penganiayaan.”

Mereka tidak selalu merasa mampu melakukan proses online yang “mandiri”. Banyak dari budaya mereka menegaskan tentang komunitas di atas nilai-nilai individualisme dan efisiensi Amerika Serikat.

Beberapa kata dan konsep dalam bahasa Inggris juga tidak diterjemahkan dengan baik. Seorang pendeta bivokasional Nepal bingung dengan pertanyaan lamaran tentang berapa jam yang dia habiskan untuk “melakukan pelayanan.” Pendeta tersebut, yang juga adalah seorang tenaga medis, menemukan konsep pelayanan bivokasional sulit untuk dipahami. Dia memberi tahu Rodriguez bahwa dia memandang perannya dalam bidang kesehatan sebagai bagian dari pelayanannya juga.

“Saya bahkan tidak pernah memikirkan pertanyaan itu,” kata Rodriguez. “Saya mendapati diri saya berkata, ‘Ya, kita semua melakukan pelayanan di mana pun kita berada.’ ”

Rodriguez menyelesaikan tugas satu tahunnya di bulan Desember. Dia dan Cho menyampaikan temuan dan rekomendasi mereka kepada kepemimpinan eksekutif Foursquare pada minggu pertama bulan Januari, dan gereja memutuskan untuk mejadikan pengacara keberagaman sebagai sebuah posisi tetap. Cho ditunjuk untuk pekerjaan itu.

Penugasan Rodriguez adalah bagian dari upaya lebih besar yang dilakukan Gereja Foursquare untuk menanggapi perubahan demografis bersejarah di Amerika Serikat — Biro Sensus memperkirakan negara itu akan menjadi mayoritas non-kulit putih pada tahun 2044 — dan melanjutkan warisannya dalam menyambut dan menyebarkan Injil ke berbagai bahasa, budaya, dan etnis. Denominasi Pentakosta memiliki sejarah panjang tentang multikulturalisme, melihat ke belakang waktu mereka mengadakan kelas sekolah Minggu dalam bahasa Spanyol, Jepang, dan Jerman pada tahun 1925.

“Ini bukanlah sesuatu yang baru bagi kami,” kata Emily Plater, yang ditunjuk tahun lalu untuk mengawasi misi Amerika Utara, termasuk pelayanan multikultural Amerika Serikat. “Kadang kita harus ingat bahwa itu adalah bagian penting dari kita … sejak awal kita berdiri. ”

Pada bulan September tahun 2018, Gereja Foursquare menyelenggarakan sebuah pertemuan summit untuk memfokuskan kembali pada keberagaman. Sekitar 70 pemimpin denominasi berkumpul di kantor pusat Foursquare di Los Angeles untuk membahas kepentingan teologis dari gagasan keberagaman dan komitmen dari setiap denimonasi untuk mendukung berbagai komunitas.

“Ini adalah percakapan tentang budaya-yang lebih luas di Amerika Serikat-tetapi kenyataannya hal ini adalah benar-benar percakapan kuno dan alkitabiah,” kata Plater. “Ketika saya berpikir tentang keragaman dalam konteks apa yang kita lakukan sebagai gereja dan denominasi, itu adalah cara yang praktis dan pragmatis untuk dibicarakan dan mengevaluasi komitmen absolut kita untuk memberikan akses kepada Injil bagi semua orang.”

Perhatian baru-baru ini tentang imigrasi memberi penekanan tentang perlunya mengambil langkah-langkah yang jelas untuk menyambut orang-orang dari seluruh dunia dan mendorong keragaman ras dan budaya, kata para pemimpin denominasi.

“Tuhan sedang membawa dunia ke Amerika,” kata Huey Hudson, ketua dewan pemimpin gereja dan pendeta senior dari Gereja Restorasi Foursquare di Madison, Alabama. “Kita harus menemukan cara untuk melibatkan orang-orang dari berbagai ras, budaya dan etnis ke dalam apa yang Tuhan sedang kerjakan di Amerika.”

Denominasi itu juga membawa seorang pengacara imigrasi, Debra Valladares, untuk membantu para imigran di gereja menavigasi kompleksitas hukum dalam sistem Amerika Serikat.

Gereja Foursquare sedang memasuki masa transisi. Pada musim gugur, Randy Remington akan menggantikan Glenn Burris Jr. sebagai presiden denominasi. Kepemimpinan yang baru ini diharapkan untuk dapat melanjutkan fokus pada keberagaman.

“Dukungan di balik proyek ini dari kepemimpinan senior kami sangat menyemangati,” kata Cho. “Tidak ada yang tidak tersedia, hal yang cukup mengejutkan bagi saya bahwa sebuah denominasi yang telah melisensikan orang-orang selama beberapa dekade bersedia untuk mengatakan, ‘Semuanya sudah tersedia. Anda bisa melihatnya. Jika ada sesuatu yang tidak masuk akal, Anda dapat mengubahnya.’ ”

Rodriguez berpendapat seperti itulah artinya untuk peduli kepada orang lain seakan mereka adalah keluarga.

Ia meninggalkan Amerika Serikat setelah penugasannya selama satu tahun, kembali ke Nikaragua untuk menjalankan pelayanan nirlaba bagi para ibu-ibu muda bernama Tree of Life ’84. Namun ia berharap denominasi itu akan terus menyambut dan melayani para pendeta dari setiap suku, bahasa, dan bangsa dengan cara yang sama dengan orang-orang di Angelus Temple menyambut keluarganya lebih dari 30 tahun yang lalu.

“Sudah seharusnyalah gereja peduli kepada orang-orang dan mengasihi mereka, sama seperti Tuhan kepada kita di mana pun kita berada,” kata Rodriguez. “Kami dalam denominasi akan terus bergerak maju dan bertemu dengan orang-orang di mana mereka berada saat mereka datang serta menjangkau bangsa ini.”

Lanie Anderson adalah seorang penulis dan mahasiswa seminari di Oxford, Mississippi.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can now follow our best articles on our new Telegram channel. Come join us!

Keadilan Sudah Terlalu Lama Tertunda

Sudah waktunya bagi gereja untuk memberikan ganti rugi atas dosa rasial.

Christianity Today June 16, 2020

“Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah.” – Kejadian 4:10

Kami di Christianity Today sangat mengasihi gereja. Melayani mempelai wanita Kristus, menumbuhkan cintanya kepada Allah, dan menceritakan tentang karya penebusan dan karyanya yang mengubahkan dunia adalah inti dari apa yang kami lakukan. Kita tidak bersuka-ria di atas dosa-dosa. Tetapi kita tidak dapat mengasihi saudara-saudara kita dengan baik jika kita tidak bisa menceritakan cerita mereka yang sesungguhnya. Dan kita tidak bisa menceritakan cerita mereka yang sesungguhnya jika kita tidak bisa mengakui peran kita di dalamnya. Alkitab dengan terbuka menceritakan kekurangan yang dimiliki orang yang paling luar biasa sekalipun. Kita harus mengikuti contohnya.

Dua dosa telah melanda bangsa ini sejak awal: pengrusakan penduduk asli dan lembaga perbudakan. Keduanya muncul dari kegagalan untuk melihat persamaan dalam ras yang berbeda. Seperti yang Uskup Claude Alexander katakan, rasisme tidak ada di dalam cairan ketuban dari mana bangsa kita lahir. Ada virus yang muncul dalam lingkungan kita yang mempengaruhi perkembangan negara kita, budaya, dan masyarakat kita. Virus rasisme menyerang gereja, Konstitusi dan hukum kita, sikap dan ideologi kita. Kita tidak pernah sepenuhnya mengalahkannya.

Perbudakan pertama tiba sebelum adanya sebuah perjalanan ziarah, sebelum ada Massachusetts atau Connecticut. Perbudakan telah terjadi selama 113 tahun ketika George Washington lahir dan 157 tahun ketika Deklarasi Kemerdekaan ditulis. Sembilan presiden pertama kita adalah pemilik budak. Perbudakan berarti suami dan istri, orang tua dan anak-anak dipisahkan dengan kekerasan dan tidak pernah bertemu lagi. Itu berarti pria kulit putih berulang kali melecehkan ratusan ribu gadis dan wanita kulit hitam. American Slavery As It Is, diterbitkan pada tahun 1839 dengan pencarian sumber yang luas oleh Theodore Weld dan Angelina Grimké, menulis bahwa budak:

sering dicambuk dengan begitu mengerikannya, digosokkan lada merah di tubuhnya yang luka tercabik-cabik, air garam panas, minyak terpentin, dan hal serupa lainnya, dituangkan di atas luka supaya semakin menyiksa; mereka sering ditelanjangi, punggung dan badan dipotong dengan pisau, memar dan hancur oleh puluhan dan ratusan pukulan dengan dayung … mereka sering diburu dengan anjing pemburu dan ditembak jatuh seperti binatang buas, atau dirobek-robek oleh anjing; tangan mereka diikat dan dicambuk serta dipukuli sampai mereka pingsan, dan ketika sadar kembali setelah diberikan obat, dipukuli lagi sampai mereka pingsan, dan kadang-kadang sampai mereka mati; telinga mereka sering dipotong, mata mereka dipukul, tulang mereka patah, daging mereka dicap dengan besi panas merah; mereka cacat, dimutilasi dan dibakar secara perlahan sampai mati.

Ini adalah adat yang bertahan di tanah Amerika selama hampir 250 tahun. Kita merasa ngeri saat kita memikirkan bukan hanya siksaan fisik tetapi juga penderitaan sosial — perasaan penghinaan dan pengabaian, bahwa masyarakat kulit putih di sekitar para budak sering tidak peduli terhadap tangisan mereka dan tidak memandang mereka sebagai manusia dan layak untuk dicintai — dan kita membayangkan luka mendalam yang ditinggalkannya dalam keberadaan suatu bangsa. Dalam perekonomian sebelum perang perbudakan adalah salah satu mesin pembuat kekayaan yang paling utama dalam sejarah bangsa kita. Hal itu menghasilkan modal ekonomi dan budaya yang mengalir kepada masyarakat yang makmur, dan peluang untuk bekerja dan berinvestasi serta kepada lembaga pendidikan yang melakukan penelitian, inovasi, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun orang Afrika-Amerika benar-benar terkucilkan.

Hanya sekitar 42 persen orang Kristen kulit putih yang percaya bahwa sejarah perbudakan terus berdampak pada orang Afrika-Amerika dewasa ini. Namun perbudakan adalah gejala dari virus, bukan virus itu sendiri. Bahkan setelah penghapusan perbudakan, ideologi yang mendukung dan membentuk perbudakan tetap bertahan. Gejalanya sudah berlalu. Virusnya bertahan dengan bermutasi.

Runtuhnya Reconstruction dan munculnya Jim Crow mengakibatkan pemisahan dan penindasan ras di daerah Selatan sampai tahun 1965. Karena pemilik perkebunan masih membutuhkan tenaga kerja murah setelah Perang Saudara, mereka mengeksploitasi petani penggarap dan petani penyewa mereka dan sering memperlakukan mereka dengan brutal seperti sebelumnya. Lynchings (penghukuman mati tanpa pengadilan) meneror keluarga kulit hitam dan menegakkan rezim dominasi dan kontrol, sementara legislator selatan menemukan cara untuk mencegah orang kulit hitam memberikan suara atau membela diri dan properti mereka. Di daerah Utara juga, terutama karena sejumlah besar orang kulit hitam melarikan diri dari penindasan di Selatan dan mencari pekerjaan di pabrik-pabrik di kota-kota di utara, diskriminasi sistematis di perumahan dan pasar tenaga kerja membuat hampir mustahil bagi orang Afrika-Amerika untuk membiayai kepemilikan rumah dan membangun kekayaan bagi keturunannya.

Banyak kebijakan progresif hanya memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi antara kulit hitam dan kulit putih. Undang-undang jaminan sosial di kesepakatan baru secara efektif mengecualikan sebagian besar orang kulit hitam dari bantuan pensiun federal, dan GI Bill tidak efektif dalam mendukung kepemilikan rumah dan hanya sedikit sekali berperan dalam pendanaan pendidikan perguruan tinggi untuk veteran kulit hitam yang kembali dari perang. Sebagai kebijakan dan prasangka, orang kulit hitam dipaksa masuk ke lingkungan kemiskinan yang semakin dalam, dan sangat sedikit yang bisa keluar. Orang-orang muda yang tumbuh dekat dengan kejahatan, dikelilingi oleh pengangguran, keluarga yang hancur, kecanduan, dan keputusasaan, tidak bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas, rumah, atau pekerjaan yang layak. Semua ini belum menggambarkan apa-apa tentang runtuhnya sistem peradilan pidana Amerika pada paruh kedua abad ke-20, yang menyebabkan penahanan yang berlebihan dan bentrokan yang semakin keras antara departemen penegak hukum dan komunitas yang mereka layani.

Orang lain telah menceritakan kisah ini dengan lebih rinci. Kami yakin bahwa penting untuk terus menceritakannya di halaman Christianity Today. Hasil dari cerita ini adalah kesenjangan kekayaan yang sangat besar: Nilai tengah rata-rata kekayaan keluarga kulit hitam di Amerika Serikat saat ini adalah sepersepuluh dari nilai tengah rata-rata keluarga kulit putih. Enam puluh dua persen anak-anak kulit hitam yang lahir antara tahun 1955 dan 1970 dibesarkan di lingkungan miskin, dibandingkan dengan 4 persen anak-anak kulit putih. Hasil untuk generasi yang lahir antara 1985 dan 2000 bahkan lebih buruk, dengan 66 persen anak-anak berkulit hitam dibesarkan di lingkungan miskin dibandingkan dengan 6 persen anak-anak kulit putih.

Satu-satunya cara untuk menjelaskan kisah di atas adalah kuatnya prasangka rasial dan keterlibatannya dalam aparat pemerintah. Izinkan saya untuk meminjam (tetapi dengan cara yang berbeda) metafora dari seorang sarjana Wendy Doniger. Dua penjelajah memasuki sebuah gua yang dipenuhi dengan sarang laba-laba yang paling rumit. Salah satu dari mereka tidak dapat menemukan laba-laba, dan karenanya mengganggap tidak ada laba-laba. Kamu melihat ada jaringnya, jawab yang satunya. Adanya laba-laba menjadi tersirat. Prasangka rasial adalah laba-laba tersirat yang telah menjalin jaring kebijakan dan praktik, ketidaksetaraan dan perlakuan kejam yang telah membatasi warga kulit hitam Amerika sekarang selama empat ratus tahun.

Apa peran gereja?

Tentu saja, beberapa orang Kristen kulit putih berjuang keras dan bahkan mengambil resiko besar untuk menghapus perbudakan, dan banyak yang menumpahkan darah mereka dalam perang yang membebaskan budak di negara-negara bagian Selatan. Ditafsirkan dengan benar, Alkitab di tengah-tengah gereja telah menjadi kekuatan besar tidak hanya untuk penebusan orang berdosa tetapi untuk kemajuan keadilan dan perbuatan amal. Tapi pengecualiannya terlalu sedikit. Banyak komunitas Kristen, termasuk komunitas injili, diam dalam menghadapi perbudakan atau bahkan terlibat di dalamnya.

Faktanya, keterlibatan bukanlah istilah yang cukup kuat. Meskipun hal itu membuat kita sedih sebagai orang yang mengasihi gereja, mungkin saja dosa paling mengerikan dari gereja kulit putih di Amerika adalah membentuk teologi superioritas rasial untuk melegitimasi dan bahkan mendorong lembaga perbudakan. Perbudakan tidak hanya diperbolehkan, banyak orang Kristen berkulit putih yang menentang, tetapi sejauh ini bermanfaat untuk membawa Injil dan budaya kepada orang-orang dalam kegelapan. Bahkan pada malam sebelum Perang Saudara, para pengkhotbah mendorong alasan pemisahan diri dengan menyatakan bahwa itu adalah bagian dari “kepercayaan takdir” Allah di negara-negara Selatan “untuk melestarikan dan melanggengkan institusi perbudakan domestik seperti yang sekarang ada.” Jika Tuhan telah menahbiskan hierarki rasial, siapakah kita untuk membatalkannya?

Banyak menteri yang sama yang mempertahankan perbudakan di selatan sebelum perang juga mempertahankan sistem rasis yang terjadi setelah Perang Saudara. Banyak denominasi Protestan memisahkan diri ketika cabang-cabang mereka di Selatan memepertahankan perbudakan dan supremasi kulit putih sebelum dan sesudah perang. Para pendeta Kristen dan pemimpin awam (lay leaders) turut ambil bagian dalam penghukuman mati tanpa pengadilan (lynching), di Ku Klux Klan, dan dalam perlindungan segregasi. Meskipun semakin banyak kaum injili yang muncul untuk mendukung gerakan hak-hak sipil, banyak kaum injili dengan keyakinan kuat pada individualisme tidak diperlengkapi untuk mengenali dan membongkar cara-cara di mana ketidaksetaraan rasial telah disistematisasikan dalam pemerintahan dan marketplace.

Bahkan setelah lembaga perbudakan lengah, teologi yang terbentuk tetap bertahan. Ini menyatakan persetujuan istimewa atas bias rasial dan menjadikan masuk akal berbagai cara untuk menegakkan prasangka terhadap orang Afrika-Amerika. Bryan Stevenson mengatakannya dengan baik: “Kejahatan besar perbudakan Amerika bukanlah perbudakan yang tidak disengaja; tapi adalah fiksi bahwa orang kulit hitam tidak sebaik orang kulit putih, dan tidak sama dengan orang kulit putih, dan kurang berkembang, kurang manusiawi, kurang mampu, kurang layak, kurang pantas daripada orang kulit putih.” Gereja-gereja orang kulit putih tidak hanya terlibat dalam penulisan fiksi ini; mereka juga membuatnya seakan-akan diizinkan oleh Tuhan.

Nama Phalaris tidak banyak diingat pada abad ke-21, tetapi pada era klasik (classical antiquity) nama itu terkenal buruk. Saat Agrigentum merajalela di pulau Sisilia, Phalaris dikenal karena alat penyiksaannya yang mengerikan: seekor banteng tembaga raksasa, berlubang di bagian dalam, diletakakan di atas api. Para korban dipaksa masuk ke dalam banteng dan dipanggang hidup-hidup, dari lubang hidung banteng itu terdengar jeritan orang yang sekarat, begitu nyaring memenuhi istana dengan musik. Anda mungkin menjadi tamu di pesta itu, tanpa menyadari bahwa hiburan Anda datang dari penderitaan orang lain.

Generasi hari ini mungkin mengatakan bahwa kita tidak menciptakan banteng ketidakadilan rasial. Tapi kita diuntungkan karenanya. Ketangguhan, kreativitas, industri, dan keyakinan gigih orang Afrika-Amerika terlepas dari semua yang telah mereka derita tak lain adalah keajaiban. Kita semua mendapat keuntungan tidak hanya dari kerja keras mereka tetapi juga dari inovasi dan usaha mereka, seni dan musik mereka, film dan puisi dan buku-buku mereka, nyanyian pujian dan khotbah mereka. Transformasi penderitaan orang kulit hitam menjadi kelimpahan ekonomi bagi Amerika, serta seni, semangat dan kecerdasan, telah membuat perayaan kita makin meriah. Mungkin kita dapat dengan jujur mengatakan bahwa kita tidak tahu apa yang diderita saudara-saudari kita. Sekarang kita tahu. Jadi hanya ada satu hal yang harus dilakukan: letakkan garpu kita dan keluarkan saudara-saudari kita dari perut banteng.

Ini adalah realitas menyakitkan di dunia yang kompleks. Amerika Serikat telah menjadi kekuatan luar biasa, pendukung kuat untuk demokrasi, hak asasi manusia, dan peluang ekonomi. Cita-cita yang diperjuangkannya telah membawa ratusan juta orang keluar dari kemiskinan dan penindasan, dan teknologi serta inovasi dan seni telah mengubah kehidupan setiap orang di planet ini. Demikian pula, gereja di Amerika telah mengedepankan Injil Yesus Kristus dalam banyak hal, dari mengirim misionaris untuk menerjemahkan Alkitab sampai ke pelayanan yang membawa terang dan kehidupan ke setiap sudut dunia. Namun, menurut sejarah, terlalu sering, kaum injili Amerika membisu, ikut terlibat, atau malah membela ketidaksetaraan ras. Seperti yang ditulis Alexander Solzhenitsyn, “Garis yang memisahkan antara yang baik dan yang jahat tidaklah berada di antara negara, atau di antara kelompok, atau di antara partai-partai politik — tetapi melalui hati setiap manusia-dan melalui hati semua manusia.”

Bagaimana seharusnya kita merespons?

Dua narasi alkitab ada dalam pikiran kita. Yang pertama (dari Kisah Para Rasul 10) menyangkut rasul Petrus, yang percaya bahwa sebagai seorang Yahudi ia tidak boleh bergaul dengan orang-orang dari bangsa lain. Orang Yahudi dan bukan Yahudi, menurutnya, harus tetap dipisahkan. Namun Tuhan menunjukkan kepadanya dalam sebuah penglihatan bahwa ia tidak boleh menyebut haram apa yang telah Allah halalkan. Dia pergi ke rumah seorang bukan Yahudi bernama Cornelius, memberitakan Injil, dan Roh Kudus dilepaskan. Ini adalah momen penting dalam penyebaran Injil kepada orang-orang bukan Yahudi, ketika Petrus mengakui bahwa apa yang dia pikir benar sebenarnya adalah tidak benar.

Demikian juga, sudah waktunya bagi kaum injili kulit putih untuk mengaku bahwa kita tidak memahami dosa rasisme dengan dasar dan keseriusan yang semestinya. Kesedihan dan kemarahan mendalam atas kematian George Floyd lebih dari sekadar kebrutalan polisi. Ini tentang masyarakat dan budaya yang mengizinkan pelecehan dan penindasan orang Afrika-Amerika terjadi berulang kali. Kita telah menjadi bagian dari masyarakat dan budaya itu, dan terkadang kita menjadi orang terakhir yang bergabung dalam perjuangan untuk keadilan rasial. Catatan dari Christianity Today tentang hal ini pun beragam. Neo-evangelikal umumnya percaya bahwa sudah cukup memberitakan pesan keselamatan dan percaya bahwa keadilan akan mengikuti. Nyatanya hal itu belum terjadi. Apa yang kita pikir benar itu tidak benar. Kita bertobat dari dosa kita.

Namun pertobatan tidak cukup. Narasi alkitab lain yang terlintas adalah kisah seorang pemungut cukai di Yerikho. Zakheus adalah kaki tangan otoritas Romawi yang menjabat, dan dengan menambahkan biaya pemerasannya sendiri, ia menjarah kekayaan orang-orang disekitarnya dan memperkaya dirinya sendiri. Yesus bertemu dengannya dan mengejutkan orang banyak dengan pergi ke rumahnya. Keselamatan datang ke rumah Zakheus pada hari itu. Dia mengatakan, “Tuhan! Setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Lukas 19:8).

Bukan Zakheus yang merancang sistem perpajakan Romawi yang tidak adil. Tetapi dia juga tidak mengecamnya; dia telah turut ambil bagian di dalamnya dan mendapat untung darinya. Jadi Zakheus tidak hanya bertobat dari caranya; dia melakukan penggantian rugi. Dia membuat apa yang kita sebut “Yayasan Sosial Zakeus” untuk mengembalikan milik orang-orang di sekitarnya. Apakah kita bersedia melakukan hal yang sama? Kehidupan orang kulit hitam berarti. Mereka sungguh berarti sehingga Yesus mengorbankan segalanya untuk mereka. Apakah kita juga mau berkorban?

Mungkin negara ini belum siap mengganti rugi. Tetapi sejarah ketidakadilan rasial adalah tanggung jawab pribadi dan kita bersama. Mungkin gereja dapat memimpin dalam restitusi Alkitab. Saya mengetahui satu “Yayasan Sosial Zakeus” di Atlanta, di mana orang-orang Kristen yang percaya bahwa orang Afrika-Amerika telah mengalami empat abad ketidakadilan dan penjarahan, mulai dengan rendah hati melakukan bagian mereka untuk memperbaikinya. Komite yang mayoritas berkulit hitam menggunakan dana tersebut untuk mendukung para pemimpin kulit hitam di gereja dan di marketplace. Itu tidak akan cukup, tetapi itu akan menjadi sesuatu yang berarti. Bagaimana jika ada dana Zakheus di setiap kota dan orang-orang percaya memberi dengan sepenuh hati, agar supaya saudara-saudari kita dapat dipulihkan dan agar orang di sekitar kita dapat melihat sekali lagi kasih seperti Kristus yang mengalahkan dunia?

Kita memiliki harapan. Kita percaya pada Tuhan yang membawa kesembuhan dalam kehancuran dan kehidupan dalam maut. Kita percaya bahwa kasih lebih kuat daripada maut. Kita melayani di gereja-gereja dengan semua warna kulit, dan telah melihat Roh Allah bekerja.

Pengantin Kristus itu indah. Ia bisa mengatasi wabah ini. Mari kita semua melakukan bagian kita.

Timothy Dalrymple adalah presiden dan CEO Christianity Today.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can now follow our best articles on our new Telegram channel. Come join us!

Books

Tim Keller Memohon Doa-Doa Untuk Kesembuhan Kanker Pankreas

Pendeta dan penulis yang tinggal di New York mengumumkan hasil diagnosisnya hari Minggu dan mulai menjalani kemo minggu depan.

Christianity Today June 12, 2020
Tim Keller

Tim Keller meminta pengikutnya untuk berdoa ketika ia memulai kemoterapi untuk kanker pankreas.

Penulis dan pendeta Kristen populer mengumumkan berita tentang diagnosanya dalam pembaruan berita di Instagram dan Twitter Minggu pagi [7 Juni].

“Kurang dari tiga minggu yang lalu saya belum tahu saya menderita kanker,” tulis Keller. “Hari ini saya menuju ke National Cancer Institute di [National Institutes of Health] untuk satu kali pemeriksaan lagi sebelum memulai kemoterapi untuk kanker pankreas minggu depan di New York City.”

Keller, 69, mengatakan dia merasa Tuhan hadir dan merasa kuat secara fisik ketika dia menjalani tes awal, biopsi, dan operasi. Dia melihatnya sebagai sebuah intervensi Ilahi ketika dokter menemukan kanker tersebut.

“Saya memiliki dokter, seorang manusia yang hebat, tetapi yang paling penting saya memiliki Tabib yang Agung dan DIA sendiri yang merawat saya,” tulisnya.

Keller mengundurkan diri sebagai pendeta senior di Redeemer Presbyterian Church di Manhattan pada 2017 setelah 28 tahun pelayanan di sana. Dia terus menulis, berkhotbah, dan bekerja sama dengan Tim Gereja Redeemer untuk gerakan penanaman gereja dari Kota ke Kota. Keller meminta doa agar ia dapat melanjutkan pekerjaannya meskipun ada efek samping dari perawatan yang dia terima.

Dalam beberapa minggu terakhir, Keller telah membagikan seri Gospel in Life tentang Injil dan ras dan mempromosikan Uncommon Ground , buku tentang kesaksian Kristen di tengah-tengah perbedaan yang ia sunting bersama dengan John Inazu.

Keller didiagnosis menderita kanker tiroid pada tahun 2002, yang ditulisnya dalam bukunya Walking with God Through Pain and Penderitaan . Dia sekarang memiliki wajah yang akrab di NIH: sutradara Francis Collins. Keller berbicara dengan Collins, seorang rekan Kristen dan ahli genetika pemenang penghargaan, bulan lalu selama percakapan online tentang iman di tengah pandemi coronavirus. Collins telah memimpin NIH dalam penelitian bersejarah seputar imunoterapi kanker, termasuk pengembangan untuk pengobatan pankreas, prostat, dan kanker payudara.

Kanker pankreas dapat menjadi bentuk kanker yang sulit didiagnosis dan agresif, terhitung sekitar 3 persen dari diagnosis kanker di AS dan 7 persen dari semua kematian akibat kanker.

Dalam dekade terakhir, sesama pemimpin injili termasuk teolog Dallas Willard dan mantan presiden InterVarsity Christian Fellowship Steve Hayner meninggal setelah berjuang melawan kanker pankreas.

Keller mengakhiri pengumumannya dengan merujuk pada Ibrani 12: 1–2: “Berlomba dalam pertandingan disediakan bagi saya dengan sukacita, karena Yesus telah menjalankan perlombaan yang jauh lebih sulit, dengan sukacita, untuk saya.”

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can now follow our best articles on our new Telegram channel. Come join us!

Books

Adakah Kaum Pentakosta terlalu membesarkan diri?

Lebih dari seperempat gereja secara global berada di bawah label yang baru dan diperdebatkan: “Kekristenan yang diperlengkapi dengan Kuasa Roh.”

Christianity Today June 4, 2020
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Jantanee / Lightstock

"Apakah kamu Pentakosta?"

Todd Johnson, co-direktur Pusat Studi Kristen Global di Gordon-Conwell Theological Seminary, tidak dapat menempatkan sama sekali umat Kristen dari Cina yang ia temui di sebuah konferensi di Afrika Selatan. Secara teologis, mereka terlihat Pentakosta, jadi dia menanyakan akan hal ini.

Mereka menjawab: "Sama sekali tidak."

"Apakah kamu berbicara dalam bahasa roh?" Tanya Johnson.

"Ya Tentu saja."

“Apakah Anda percaya kepada baptisan Roh Kudus?”

"Ya Tentu saja."

"Apakah Anda mempraktikkan karunia Roh, seperti penyembuhan dan nubuat?"

"Ya Tentu saja."

Johnson mengatakan bahwa di Amerika Serikat, hal-hal ini adalah beberapa ciri khas Pentakosta. Tapi mungkin hal ini berbeda di Cina. Mengapa tidak menggunakan istilah ini?

"Oh, ada seorang pengkhotbah Amerika di radio yang disorot sampai ke Cina," Orang Kristen Cina ini menjelaskan. "Dia seorang Pentakosta, dan kami tidak seperti dia."

Memberikan nama sebutan bisa menjadi agak rumit. Apa sebutan Anda untuk seorang Pentakosta yang tidak menyebut dirinya Pentakosta? Pertanyaan ini terdengar seperti berteka-teki, tetapi ini merupakan tantangan yang nyata bagi para sarjana bahasa. Mereka telah berusaha keras selama bertahun-tahun untuk menetapkan istilah terbaik untuk gerakan orang Kristen yang luas dan beragam yang menekankan hubungan orang percaya secara individu dengan Roh Kudus dan yang berbicara tentang kepenuhan Roh, baptisan Roh, atau kuasa Roh.

menurut laporan terbaru dari Pusat study Kekristenan Global, secara global, gerakan ini mencakup 644 juta orang, sekitar 26 persen dari seluruh orang Kristen. Penelitian ini dilakukan dengan bekerja sama bersama Universitas Oral Roberts, yang dikenal sebagai salah satu penginjil Pentakosta yang paling terkenal di abad ke-20, yang dibagikan di konferensi Empowered21, menampilkan 70 pembicara seperti Bill Johnson dari gereja Bethel dan pemimpin Assemblies of God George Wood. Konferensi, yang awalnya akan diadakan di Yerusalem, dilaksanakan secara online di mulai pada hari Minggu [Mei 31].

Laporan ini merupakan langkah awal analisis demografis yang komprehensif dari kelompok Kristen yang hampir mendekati 20 tahun. Temuan ini nantinya akan banyak dikutip oleh para sarjana bahasa dan jurnalis yang berusaha memahami orang-orang Kristen ini, terutama karena mereka berdampak pada tempat-tempat seperti Qatar, Kamboja, dan Burkina Faso, di mana jumlah mereka bertumbuh dengan pesat, dan tempat-tempat seperti Zimbabwe, Brasil, dan Guatemala, di mana sekarang ini mereka merupakan lebih dari setengah dari keseluruhan orang Kristen.

Dalam debat tentang apa yang disebut dengan gerakan — yang telah dijuluki "Pentakostalisme global," "Pentakosta / Karismatik," dan "pembaharuan" — Todd Johnson dan rekan penulis dan co-direktur Gina Zurlo mengusulkan opsi nama lain yaitu: Kekristenan yang diperlengkapi Kuasa Roh.

"Nama sebutan ini telah menjadi masalah menahun," kata Johnson kepada Christianity Today . “Salah satu hal pertama yang kami tanyakan adalah apakah kesamaan dari semua kelompok ini. Ternyata kesamaannya adalah tentang baptisan Roh Kudus. Orang-orang berbicara tentang dipenuhi dengan Roh Kudus dan istilah yang lebih lama menyebutkannya 'kepenuhan Roh.' Tetapi banyak kelompok yang menekankan tentang diberi kuasa.”

Seperti yang diungkapkan oleh orang Kristen Cina tersebut, “Pentakosta” dikaitkan dengan gereja-gereja Amerika, kata Johnson, seperti Sidang Jemaat Allah dan Gereja Tuhan Dalam Kristus. Istilah ini menunjukkan sebuah koneksi pada kebangkitan Azusa Street multiras di Los Angeles pada tahun 1906, di mana Los Angeles Times melaporkan "sekte fanatik baru yang membebaskan diri" dengan "bahasa lidah yang aneh." Istilah "Karismatik" terhubung dengan gerakan pembaharuan yang dimulai pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an, di mana orang-orang Kristen menerima baptisan Roh Kudus namun kebanyakan masih tetap di dalam denominasi mereka sendiri — terutama gereja Anglikan dan gereja Katolik.

Tetapi ada banyak kelompok lain yang independen dari denominasi besar dan tidak terhubung pada sejarah Amerika di Azusa Street. Mereka juga menekankan Kuasa Roh Kudus dan pentingnya pengalaman baptisan Roh, namun mereka tidak benar-benar “Karismatik” atau “Pentakosta” dengan cara yang sama.

“Bertanya kepada banyak kelompok, 'Apakah Anda percaya atau mempraktikkan baptisan Roh Kudus?' ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat baik, ”kata Johnson. "Apa yang kami temukan pada akhirnya adalah bahwa pertanyaan tentang baptisan sampai pada sebuah kesamaan."

Tidak semua sarjana bahasa yakin dengan istilah baru ini. Beberapa dari mereka bahkan tidak berpikir bahwa satu nama sebutan dapat berlaku untuk sebuah gerakan yang begitu beragam.

"Adalah Sulit untuk memakukan Jell-O ke dinding," kata Daniel Ramírez, seorang profesor agama di Universitas Claremont Graduate dan penulis Migrating Faith: Pentakostalisme di Amerika Serikat dan Meksiko di Abad ke-20.

Ramirez mengatakan bahwa kekuatan Pentakostalisme adalah bahwa orang-orang dapat mengambilnya dan menjadikannya sebagai milik mereka. Hal ini mudah beradaptasi, portabel, dan regeneratif. Seorang lelaki pribumi Meksiko, misalnya, menerima karunia Roh Kudus pada kebangkitan Azusa Street dan hal ini dicatat melalui seorang penerjemah yang berterima kasih kepada orang-orang di gereja tersebut. Tetapi kemudian orang ini pergi, kata Ramirez, dan tidak ada seorang pun di Azusa Street yang memiliki kendali atas teologi orang ini atau wewenang atas bagaimana dia membagikan pengalaman religius itu dengan orang lain ketika dia pergi dari gereja tersebut.

"Bagian inilah yang membuatnya menjadi menarik," kata Arlene Sánchez-Walsh, seorang profesor studi agama di Universitas Azusa Pacific dan penulis Pentakosta di Amerika . “Hal ini Sudah beragam sejak dari awal mulanya. Anda mencari istilah umum yang tidak jelas dan luas, dan saya menggunakan 'Pentakosta' untuk merekatkan kembali ke asalnya, tetapi kemudian saya ingin agar orang berpikir dua kali tentang asal-usul gerakan tersebut. Pentakostalisme tidak dimulai di satu tempat, apakah itu di Azusa Street atau kebangkitan di Wales atau di India, dan oleh karenanya hal ini menjadi selalu beragam.”

Satu nama sebutan juga dapat menyiratkan bahwa orang Kristen yang berbeda sesungguhnya lebih erat terkait daripada yang sebenarnya, kata Anthea Butler, seorang profesor studi agama di Universitas Pennsylvania dan penulis Women in Church of God in Christ.

Menyatukan orang-orang secara lintas tradisi dan budaya, Anda akan berisiko mengaburkan perbedaan historis dan teologis antara kelompok Katolik yang berbicara dalam bahasa roh, Gereja Vineyard yang mempraktikkan manifestasi Roh Kudus yang Tertawa, dan Celestial Church of Christ yang menekankan kemurnian dan nubuatan.

"Anda menyebutkan 'Kuasa Roh' dan seorang Pentakosta dari zaman dulu akan mengatakan 'Yah, Roh itu bisa saja setan,'" kata Butler. “Dan tidak ada yang akan mengundang seorang pendeta Katolik ke sebuah gereja Karismatik di Nigeria kecuali jika itu untuk acara pengusiran setan. Anda tidak bisa begitu saja memampatkan perbedaan teologis dan meratakan sejarah."

Konferensi Empowered21, yang dimulai pada hari Minggu Pentakosta, telah mengadopsi label “Diperlengkapi kuasa Roh”. Beberapa pengembangan dari gerakan ini tercermin dalam susunan konferensi : para Injili Amerika seperti pendeta gereja besar Chris Hodges dan ketua dewan Hobby Lobby Mart Green berbagi panggung virtual dengan Cindy Jacobs, bagian dari New Apostolic Reformation, dan Todd White, seorang Pendeta Word of Faith, selain para pemimpin dari Asia dan Afrika.

APapun istilah yang dipakai akan menyatukan beberapa orang dan memberi dorongan bagi yang lainnya, menurut Cecil M. Robeck, seorang profesor sejarah gereja di Fuller Theological Seminary. Robeck telah menjadi bagian dari dialog ekumenis sejak tahun 1984 dan berfikir bahwa istilah "Kristen yang diperlengkapi oleh Kuasa Roh" dapat membantu beberapa orang percaya melihat kesamaan mereka. Namun hal ini juga akan membangun sebuah tembok di mana seharusnya mereka tidak perlu ada.

"saya mengkhawatirkan tentang garis yang dibuat," kata Robeck. “Saya ingin mengetahui: Apakah kita memiliki masa depan ekumenis bersama? Saya ingin agar orang-orang mengalami Roh Kudus, tetapi saya juga tidak ingin mengatakan bahwa mereka harus melompati berbagai rintangan untuk bisa berbicara dengan saya.”

Johnson tidak terpengaruh akan kritik tersebut. Dia tidak berpikir bahwa "orang Kristen yang diperlengkapi kuasa Roh" adalah istilah yang sempurna, tetapi dia akan berpendapat bahwa "istilah tersebut sama bagusnya dengan yang lain."

"Kami menggunakan istilah 'pembaharuan' untuk sementara waktu," kata Johnson, "tetapi kami memutuskan itu adalah sebuah neologisme, dan kami berpikir, 'Yah, kami ingin menggunakan sesuatu yang lebih alami.' … Jika Anda mencoba untuk menemukan apa kesamaan yang dimiliki semua kelompok ini, maka 'Diperlengkapi oleh Kuasa' bukanlah pilihan yang buruk, tetapi juga bukan menjadi yang satu-satunya.”

Sebuah Studi baru, memperkenalkan Kekristenan yang Diperlengkapi Kuasa Roh, akan tersedia secara luas pada bulan September. Yang memprediksikan pada tahun 2050, jumlah orang Kristen yang diperlengkapi Kuasa Roh akan tumbuh melebihi dari 1 miliar, sekitar 30 persen dari keseluruhan orang Kristen. Tetapi ketika mendekati satu dari setiap tiga orang Kristen yang mempraktikkan baptisan Roh, para sarjana bahasa kemungkinan masih akan memperdebatkan apa panggilan sebutan mereka.

“Argumen ini akan selalu terjadi,” kata Nimi Wariboko, seorang teolog Pentakosta di Universitas Boston. “Apa yang mereka coba tangkap adalah pergerakan Roh. Orang Amerika sering menginginkan istilah yang mengingatkan orang-orang bahwa tali pusar kehidupan berpusat ke Barat. Tetapi esensinya bukanlah asal geografis. Esensinya bukanlah sejarah dan esensinya bukanlah doktrin dan esensinya bukanlah jumlah. Itu adalah Roh. Dan Roh bergerak."

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can now follow our best articles on our new Telegram channel. Come join us!

Bangsa yang Menyala-nyala Membutuhkan kobaran Api Roh Kudus

Di saat rasisme mengobrak-abrik negara ini, pesan di hari Pentakosta dapat membantu gereja menentukan suaranya.

Christianity Today June 4, 2020
Alex Wong / Staff / Getty Images

Akhir pekan ini, gereja-gereja di seluruh dunia berkumpul secara virtual untuk merayakan hari Pentakosta, suatu momen yang ajaib ketika lidah-lidah api turun bagi para pengikut Kristus dan Injil terdengar dalam berbagai bahasa. Pentakosta adalah mujizat yang mengikuti mujizat lainnya (Kenaikan Yesus), yang terjadi setelah suatu keajaiban (Kebangkitan Yesus).

Berbeda dengan murid-murid Kristus, kita merayakan hari Pentakosta tahun ini setelah dukacita, trauma, dan tragedi. Aksi demonstrasi dan kerusuhan di Minneapolis (dan banyak kota lainnya) setelah kematian George Floyd, yang tersekap sampai meninggal dunia sambil diborgol dan berusaha memohon untuk hidupnya. Selama sembilan menit, seorang polisi meletakkan lututnya di leher Floyd sementara lelaki itu memanggil ibunya. Ini terjadi setelah pembunuhan Breonna Taylor dan Ahmaud Arbery . Dan semua ini terjadi dalam konteks pandemi global yang lebih luas yang telah menewaskan 100.000 orang. Rasanya lebih seperti kita sedang berada di tengah masa Prapaskah bukannya pada minggu perayaan Paskah.

Beberapa orang akan berasumsi bahwa saya sedang membawa politik masuk ke dalam gereja. Mereka akan bertanya-tanya mengapa saya tidak kesal dengan kejahatan antar kulit hitam, atau kehancuran keluarga kulit hitam, atau aborsi, penjarahan, atau topik apa pun yang membuat kita tidak melihat ke "hal" tersebut. "Hal" itu adalah sebuah sejarah 400 tahun trauma rasial (kesukuan) dan penindasan yang masih menyakiti orang kulit hitam di negara ini.

Apa hubungan demonstrasi, kerusuhan, dan kekerasan polisi dengan Pentakosta dan perikop dalam Kisah Para Rasul 2: 1–21? Apakah kematian Mesias yang mati atas dosa-dosa kita ada hubungannya dengan bagaimana kita melihat kejadian di Minneapolis? Apakah gereja memiliki sesuatu untuk dikatakan, atau apakah kita akan didisiplinkan oleh Fox News dan kemudian MSNBC? Saat ini negara kita terpecah, lalu apa yang dikatakan Kitab Suci?

Tidak ada dunia lain untuk berbicara tentang Yesus selain dunia di mana seorang lelaki kulit hitam diinjak lehernya selama sembilan menit. Artinya: Satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah dengan melihat ayat dalam Alkitab menggunakan latar belakang kota-kota yang saat ini sedang terbakar.

Inilah yang dikatakan Firman Tuhan kepada kita.

Pertama, Injil menyatukan kita.

Kisah Para Rasul 2: 1–21 diawali dengan para pengikut Yesus berkumpul di satu tempat. Sungguh menakjubkan untuk berpikir bahwa pada satu titik dalam sejarah, semua orang Kristen di dunia dapat berkumpul dalam satu ruangan. Terlepas dari apa yang akan dikatakan buku-buku sejarah kepada Anda, Kekristenan bukanlah suatu agama untuk mendatangkan teror yang dibuat negara oleh Constantine untuk menjaga agar jumlah penduduknya tetap terkendali. Ia dimulai dalam kerendahan hati oleh sekelompok orang yang terdiri dari 120 orang, kebanyakan orang biasa yang telah mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah yang hidup. Di antara mereka adalah para wanita antara lain Maria, ibu Yesus, petani dari pedesaan, dan orang-orang seperti Matius, mantan pemungut cukai. Mereka berdua tidak jauh berbeda. Matius bekerja sama dengan para penindas Israel dan memeras uang dari orang-orang untuk dirinya sendiri. Orang-orang seperti Maria lah yang menjadi korban kekejaman semacam itu.

Gereja seperti apakah yang memiliki ruang untuk yang tertindas dan mantan penindas? Gereja Kristen. Apa yang menyatukan gereja mula-mula itu? Keyakinan mereka bersama tentang Yesus.

Apa yang sekarang menyatukan kita sebagai gereja? Seperti apa makna persatuan ini bagi keluarga George Floyd? Apa artinya bagi kita untuk bersama-sama dengan mereka? Apa artinya berada bersama komunitas kulit hitam di Amerika Serikat, yang selama bertahun-tahun mengalami penculikan, perbudakan, ketidakadilan di era Jim Crow, dan apa artinya litani penderitaan kontemporer yang kita alami sekarang?

Itu berarti bahwa, sebagai tindakan kasih, gereja berkata, "Tidak seharusnya seperti ini, dan saya akan menghabiskan hidup saya di sampingmu, bersaksi akan nilai-nilai Kekristenan yang ada dalam hidupmu."

Gereja memiliki kuasa untuk membuat pernyataan ini karena Roh yang sama turun atas setiap orang. Bukan satu Roh Kudus yang membuat kaum wanita menyatakan firman Allah lalu Roh yang lain untuk pria. Bukan satu Roh yang memberikan kata-kata kepada orang kaya lalu Roh lain kepada orang miskin. Bukanlah satu Roh Kudus yang membuat kita bisa berbicara kepada orang-orang Afrika dan Roh yang lain yang memungkinkan kita untuk berbicara kepada orang-orang Asia atau Eropa. Satu Roh mengirimkan satu Injil kepada setiap orang di muka bumi ini.

Pekerjaan Injil melalui Roh Kudus muncul dari status kita bersama sebagai gambaran Allah. Kita semua telah jatuh dan membutuhkan kasih karunia Allah. Setiap ideologi yang secara fungsional atau verbal menyangkal status bersama kita itu adalah bid'ah (atau bidaah). Dan siapa pun yang tidak dapat melihat bahwa prasangka rasial telah mempengaruhi orang-orang Kristen, melakukan hal yang sama.

Kedua, Injil menggerakkan kita keluar.

Injil menarik para murid mula-mula keluar dari budaya mereka sendiri untuk bisa berinteraksi dan hidup dengan orang-orang yang sangat berbeda dari diri mereka. Semua orang di Pentakosta adalah orang Yahudi, tetapi Yudaisme telah dibuat dalam berbagai bahasa dan komunitas di Kekaisaran Romawi. Hal pertama yang dilakukan Injil adalah untuk menyatukan semua orang dalam kebersamaan dimana Kristus sebagai Tuhan.

Jika Injil mebuat kita berkumpul bersama untuk mendengarkan karya Allah yang perkasa, mengapa kita tidak lagi bersama? Dan apa artinya bagi dunia untuk melihat kekristenan yang sesungguhnya bersama, secara rohani dan dalam kehidupan sehari-hari?

Orang Kristen berkulit hitam dapat berhadapan dengan orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki alasan mendukung kita. Kita bisa berhadapan dengan rasisme sekuler. Yang memilukan dan melelahkan adalah saat kita harus berjuang untuk hak kita untuk hidup dan kemudian menemukan bahwa musuh kita adalah saudara kita sendiri. Seperti yang dikatakan Mazmur, “Kalau musuhku yang mencela aku, aku masih dapat menanggungnya; kalau pembenciku yang membesarkan diri terhadap aku, aku masih dapat menyembunyikan diri terhadap dia. Tetapi engkau orang yang dekat dengan aku, temanku dan orang kepercayaanku: kami yang bersama-sama bergaul dengan baik, dan masuk rumah Allah di tengah-tengah keramaian. ”(Mzm. 55: 12–14, TB).

Hidup kita bersama, jika kita ingin dalam kebersamaan, tidak mungkin bisa jika harus mengorbankan kebebasan kita. Kita tidak harus bertarung dengan saudara-saudari kita untuk mendapatkannya.

Di sini sekali lagi, kisah Pentakosta memberikan gambaran. Ketika bangsa-bangsa dipersatukan, ada dua tanggapan: Satu kelompok mengatakan dalam banyak kata, “Mereka mabuk” (Kisah Para Rasul 2:13). Yang lain bertanya, "Apa artinya ini?" (Kisah 2:12). Satu kelompok menolak untuk mengakui apa yang sedang terjadi dan memanfaatkan pengalaman mereka yang diketahui untuk mengabaikan pekerjaan Allah. Yang lain mengajukan pertanyaan yang lebih dalam: Apa yang Tuhan lakukan di tengah-tengah mereka?

Peter menyahut kelompok pertama dengan beberapa kalimat tetapi membutuhkan lebih banyak waktu untuk menjawab pertanyaan tentang apa makna itu semua. Dia memberi tahu orang banyak bahwa mereka sedang mengalami Roh yang dijanjikan dalam Yoel 2: 28–32. Nabi Yoel mengklaim bahwa ketika Allah menebus umat-Nya, ia akan menebus pria dan wanita, tua dan muda, kaya maupun miskin. Petrus ingin mengingatkan gereja mula-mula bahwa karunia Roh lah yang merupakan kesaksian akan kuasa penyelamatan Injil.

Dengan kata lain, bentuk Pentakosta — wanita, pria, kaya, dan miskin yang menyatakan karya Allah yang luar biasa — mendukung teologi Pentakosta — gagasan bahwa Injil adalah untuk semua orang.

Itu berlaku untuk gereja mula-mula. Itu juga berlaku untuk gereja Amerika abad ke-21.

Saat ini, beberapa orang melihat kaum kulit hitam menuntut keadilan dan hanya bisa mendapatkan penjelasan politik. Para kritikus ini menanggapi dengan mengatakan, "Mereka hanyalah orang-orang Demokrat yang mencoba menghancurkan gereja," atau "Mereka adalah kaum liberal teologis yang terikat pada ajaran Marxisme." Tapi mungkin itu adalah cara supaya kita tidak melihat hal itu lagi. Apa yang sebenarnya sedang dikatakan saudara dan saudari kulit hitam, Latin, dan Asia ketika mereka menyerukan keadilan? Apa artinya? Dan apa yang Tuhan rencanakan? Dia sedang menarik orang-orang dari beragam perbedaan untuk berkumpul bersama-sama dan kemudian membawa kita ke ruang-ruang Injil yang baru dengan kuasa Roh Kudus.

Ketiga, Injil memberi kita harapan akan kerajaan yang akan datang.

Saya yakin bahwa harapan untuk negara ini tidak datang dari pemilihan umum ataupun partai politik. Suara rakyat penting, tetapi baik partai Demokrat maupun partai Republik tidak akan menyelamatkan kita. Yang kita butuhkan adalah Kekristenan yang dipenuhi Roh yang cukup besar untuk menyatukan orang-orang yang beragam.

Kesatuan ini melibatkan dua hal. Pertama, kita harus menyadari bahwa masalahnya bukan hanya "di luar sana." Itu ada di hati kita. Masalahnya bukan hanya bahwa orang-orang rasis ada di dunia. Masalahnya adalah bahwa kita semua dengan berbagai cara hidup dalam pemberontakan melawan Allah dan kehendak-Nya bagi kita. Injil menuntut keputusan dari kita masing-masing tentang dosa kita sendiri. Salah satu pesan Yesus yang sering diulang adalah, "Bertobatlah, karena Kerajaan Sorga sudah dekat" (Mat. 4:17).

Dia memanggil kita untuk secara pribadi bertobat atas dosa-dosa kita. Mengapa? Karena — dan inilah poin kedua — kerajaan Allah akan datang. Kerajaan ini digambarkan dalam khotbah pertama Yesus, di mana ia memberitakan kabar baik kepada orang miskin dan kebebasan bagi para tawanan (Lukas 4: 16–21). Yesus datang untuk menyelamatkan orang berdosa, tetapi orang-orang berdosa yang diselamatkan itu sekarang menjadi saksi dalam hidup mereka bagi visi kerajaan Allah. Kita tahu bahwa kerajaan itu akan datang karena Kristus telah bangkit. Petrus mengatakannya seperti ini: “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis. 2:36).

Siapa yang mengendalikan masa depan? Siapa yang membentangkan sejarah sesuai dengan tujuannya? Pribadi yang adalah Singa dan Anak Domba pada saat yang sama (Why. 5: 5–6). Pribadi yang mewujudkan keadilan dan belas kasihan.

Kita, gereja Amerika, memiliki pesan untuk negara dan dunia yang sedang membara: Ada Tuhan yang mengasihimu dan telah mati agar supaya kamu mengenal-Nya. Kasih ini cukup untuk mempersatukan orang-orang yang terpecah di dunia, bahkan ketika semua politisi dan filsuf gagal. Ada Allah Maha Adil yang melihat dan bertindak atas nama orang-orang terkepung di dunia, orang-orang seperti George Floyd. Ada seorang Raja dan kerajaan. Dan Dia telah memberi kita Roh-Nya untuk membuat-Nya dikenal sampai ke ujung bumi.

Esau McCaulley adalah seorang pendeta di Anglican Church di Amerika Utara, seorang lektor Perjanjian Baru di Wheaton College, dan penulis buku yang akan datang Reading While Black: African American Biblical Interpretation as an Exercise in Hope (IVP Academic).

Karya ini diadaptasi dari khotbah yang dikhotbahkan di Anglican Church of the Redeemer di Greensboro, North Carolina pada tanggal31 Mei.

Speaking Out adalah kolom opini pengunjung Christianity Today dan (tidak seperti tajuk rencana) tidak mewakili pendapat publikasi.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can now follow our best articles on our new Telegram channel. Come join us!

George Floyd Meninggalkan Warisan Injil di Houston

Sebagai sosok yang tenang, “Big Floyd” membuka peluang pelayanan di proyek perumahan bersubsidi Third Ward.

Christianity Today June 2, 2020
Nijalon Dunn / Courtesy of Resurrection Houston

Sebagian besar orang mengenal sosok George Floyd dari sebuah rekaman video yang diambil pada detik-detik terakhirnya hidupnya. Namun di Third Ward, Houston, mereka mengenal Floyd selama masa hidupnya — seorang mentor bagi generasi pria muda dan “sosok yang tenang” yang membawa masuk pelayanan ke daerah itu.

Sebelum pindah ke Minneapolis saat mendapat kesempatan kerja melalui program kerja Kristen, pria berusia 46 tahun ini menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Third Ward yang sebagian besar populasinya adalah orang kulit hitam, di mana ia dipanggil "Big Floyd" dan dianggap sebagai "OG" — pemimpin komunitas dan orang yang disegani, kata rekan sepelayanannya.

Floyd menyuarakan tentang pemutusan siklus kekerasan yang ia lihat terjadi di antara kaum muda dan menggunakan pengaruhnya untuk membawa pelayanan dari luar masuk ke daerah itu untuk melakukan pemuridan dan penjangkauan, khususnya dalam proyek perumahan Cuney Homes, yang oleh orang-orang setempat dikenal sebagai "the Bricks."

“George Floyd adalah sosok yang tenang yang diutus Tuhan untuk membantu kemajuan Injil di tempat yang tidak pernah saya tinggali,” kata Patrick PT Ngwolo, pendeta di Resurrection Houston, yang melakukan pelayanan di Cuney.

“Panggung kami untuk menjangkau lingkungan tersebut dan juga ratusan orang yang bisa kami jangkau pada masa itu hingga saat ini, dibangun di atas punggung orang-orang seperti Floyd,” katanya kepada Christianity Today.

Ngwolo dan para pemimpin lainnya bertemu Floyd pada tahun 2010. Dia adalah seorang tamu setinggi 198 cm yang menghadiri sebuah konser amal untuk Third Ward. Sejak awal, Big Floyd memiliki prioritas yang jelas.

“Dia berkata, 'Aku suka apa yang kalian lakukan. Lingkungan ini membutuhkannya, masyarakat membutuhkannya, dan jika kalian semua melakukan pekerjaan Tuhan, maka itu juga menjadi pekerjaan saya, '”ujar Corey Paul Davis, seorang seniman hip-hop Kristen yang beribadah di Resurrection Houston. “Dia berkata, 'Apa pun yang kalian butuhkan, ke mana pun kalian harus pergi, beri tahu mereka bahwa Floyd berkata kalian aman. Kalian bisa mengandalkanku.'”

Gereja memperluas keterlibatannya di daerah itu, mengadakan pendalaman Alkitab dan memberikan bantuan sembako dan layanan pengantaran untuk bertemu dengan dokter. Floyd tidak hanya menyediakan akses dan perlindungan; ia juga membantu ketika gereja melakukan pelayanan, turnamen bola basket tiga-lawan-tiga, pesta barbekyu, dan pembaptisan.

“Dia membantu memindahkan bak pembaptisan, memahami bahwa orang-orang sedang membuat keputusan iman dan dibaptis di lingkungan itu. Dia pikir itu luar biasa, ”kata Ronnie Lillard, yang tampil dengan nama Reconcile. “Hal-hal yang akan ia katakan kepada para pemuda selalu merujuk bahwa Tuhan melebihi budaya jalanan. Saya rasa ia ingin melihat pria muda tidak lagi menggunakan senjata dijalanan dan sepenuhnya mengandalkan Yesus.”

Lebih dari 50 orang telah terbunuh selama beberapa tahun terakhir dalam apa yang digambarkan pihak berwenang sebagai perang antar geng yang menyebar dari Third Ward dan Houston bagian tenggara.

Mungkin sulit bagi orang dari luar untuk memperoleh rasa percaya, atau bahkan memastikan keamanan, datang dengan sendirinya. "Tanda penerimaan" yang diberikan oleh tokoh seperti Floyd sangat penting untuk pergaulan urban, yang membutuhkan akses, arah dan keadaan sekitar yang membuat orang menjadi efektif.

“Iman yang ia miliki telah menawan hati komunitas Third Ward yang secara radikal diubahkan oleh Injil, dan misinya adalah mendorong orang-orang percaya lainnya untuk dapat bergabung dan memberitakan Injil,” kata Nijalon Dunn, yang dibaptis di Cuney. "Ada banyak hal yang dilakukan Floyd untuk kami yang tidak akan pernah kami pahami. Ada saat-saat di mana kami beribadah di The Bricks sampai jam 3 sore, dan pada pukul 4:30, mereka tembak-tembakan di lapangan basket.”

Dunn membagikan foto waktu Floyd dibaptis dan juga foto pertandingan basketnya. Handle Floyd dituliskan nama "BigFloyd4God."

Penghormatan dan ucapan belasungkawa dari umat Kristen bergulir di media sosial begitu tersebarnya berita kematian Floyd minggu ini. Di Twitter, Davis menggambarkan Floyd sebagai "definisi 'Jadilah perubahan yang ingin kamu lihat'" dan membagikan video penghormatan yang telah ditonton 1,1 juta kali. Artis hip-hop Kristen Propaganda membagikan ulang sebuah refleksi dari sesama seniman yang mengenal Floyd mengatakan, "Dia adalah teman dari teman-teman saya."

Floyd pindah ke Minnesota sekitar tahun 2018, keluarganya memberi tahu Houston Chronicle. Dia ada di sana untuk program pemuridan termasuk penempatan kerja, menurut pendeta Ngwolo. "Seorang 'Bricks Boy' tidak begitu saja meninggalkan Third Ward dan pergi ke Minnesota!" katanya. Floyd memberi tahu Dunn bahwa dia berencana untuk kembali musim panas ini.

Meskipun pada akhirnya ia tidak pernah datang kembali, ia akan “selamanya menjadi bagian komunitas Third Ward,” kata Lillard. “Lukisannya akan ada di dinding-dinding. Setiap remaja dan pemuda yang tumbuh akan mengenal George Floyd. Orang-orang yang mengenalnya secara pribadi akan mengingatnya sebagai terang yang positif. Orang-orang dari jalanan memandangnya seakan berkata, 'Sobat, jika orang ini bisa mengubah hidupnya, aku juga bisa mengubah hidupku.'”

Para pemimpin pelayanan mendengar dari warga Third Ward yang menyebut Floyd saudara mereka, paman, atau bahkan ayah mereka karena mereka tidak memiliki figur pria yang lebih tua yang bisa memberikan pengaruh positif.

Para pelayat berkumpul pada Selasa malam untuk acara doa bersama di Emancipation Park, sebuah lokasi bersejarah di Third Ward yang dulunya merupakan satu-satunya taman yang dibuka untuk orang Afrika-Amerika di Houston selama pemisahan Jim Crow. Minggu ini, Ngwolo akan bertemu dengan para pendeta setempat untuk bersama-sama berduka.

Video viral Floyd yang ditindih di trotoar oleh seorang polisi Minnesota menambahkan rekaman ponsel yang memperlihatkan bagaimana polisi menggunakan kekerasan terhadap pria kulit hitam. Teman-teman pelayanannya mengatakan saat berita itu muncul, mereka belum siap melihat video lain tidak lama setelah rekaman Ahmaud Arbery ditembak saat sedang jogging di Georgia dan video seorang wanita menelepon 911 melaporkan seorang pria kulit hitam sedang melihat burung di Central Park, New York. Tapi kemudian Lillard mengirim sms: Itu adalah Big Floyd.

Mereka sungguh tidak percaya akan pembunuhan dengan cara seperti ini. Mereka juga adalah pria kulit hitam. Meskipun mereka tidak bersalah, mereka beriman, berbuat baik, mereka punya kisah mereka sendiri bagaimana mereka dicurigai, dihina, dan diancam oleh pihak berwenang, Lillard mengatakan kepada CT.

Dan sekarang mereka mengenang seorang pria yang mereka kenal sebagai raksasa yang lembut, sosok inspiratif bagi lingkungannya, dan pembawa perubahan positif. Tapi mereka juga mengatakan itu tidak masalah. Dia adalah sesama pembawa gambaran Allah, dan itu seharusnya cukup untuk menghindarkannya dari perlakuan agresif seperti yang ada di video. Keluarga dan pendukung Floyd mengatakan para petugas yang terlibat — yang sudah dikeluarkan dari kepolisian — harus mendapat dakwaan pembunuhan.

Pastor Ngwolo masih berusaha untuk mengerti peristiwa itu, namun satu hal yang terus berkecamuk di benaknya adalah persitiwa penumpahan darah yang tiada berdosa. Setelah keangkuhan dan rasa permusuhan mendorong Kain untuk membunuh Habel, Alkitab mencatat, “Allah berkata, 'Apa yang telah kau perbuat? Dengarlah! Darah adikmu berteriak kepada-Ku dari tanah'” (Kej. 4:10).

“Jika Anda maju 2.000 tahun kemudian, ada Pribadi tak bersalah lain yang darah-Nya mengatakan hal yang lebih besar dari darah Habel. … Darah Yesus berkata bahwa Ia sanggup menebus kita melalui masa-masa yang gelap dan penuh bahaya ini, ”kata Ngwolo. “Saya memiliki harapan karena sama seperti Habel adalah figur Kristus, saya melihat saudara saya [Floyd] juga sebagai figur Kristus, mengarahkan kita pada realita yang lebih besar. Tuhan sungguh mendengar kita. Dia mendengar tangisannya bahkan dari tanah sekarang. Pembalasan akan terjadi baik di kayu salib ataupun akan terjadi pada Hari Penghakiman. "

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can now follow our best articles on our new Telegram channel. Come join us!

Books

Meninggal Dunia: Joyce Lin, Seorang Pilot Misionaris yang Mengangkut Pasokan Coronavirus

Orang Amerika itu mengalami kecelakaan hanya beberapa bulan setelah dia memulai penerbangan di Indonesia.

MAF pilot Joyce Lin

MAF pilot Joyce Lin

Christianity Today May 14, 2020
Courtesy of Mission Aviation Fellowship

Seorang pilot misionaris warga negara Amerika berusia 40 tahun yang mengirimkan pasokan COVID-19 ke desa-desa terpencil meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Indonesia pada hari Selasa.

Joyce Lin, seorang pilot dari Mission Aviation Fellowship (MAF), mengangkut peralatan rapid-test dan juga perlengkapan sekolah ke sebuah desa di Papua, provinsi paling timur di gugusan kepulauan yang jauh. Juru bicara MAF, Brad Hoaglun mengatakan, ia berangkat dari kota Sentani pada pukul 6:27 pagi dan membuat panggilan darurat dua menit kemudian. Menurut polisi setempat, tim SAR menemukan pesawat Kodiak 100 miliknya terjatuh di Danau Sentani dan menemukan jenazahnya di kedalaman 13 meter.

Lin adalah seorang pilot berpengalaman dan seorang instruktur penerbangan tersertifikasi. Dia melakukan penerbangan solo pertamanya untuk MAF pada bulan Maret. Disetujui untuk terbang ke 20 desa (dari sekitar 150 yang dilayani oleh MAF), ia memimpin upaya pengadaan sabun untuk misionaris dan tenaga bantuan yang menangani virus corona dan juga mengangkut obat-obatan, peralatan tes COVID-19, serta alat pelindung diri ke daerah setempat.

“Kami merasakan kehilangan yang luar biasa tetapi juga kelegaan yang besar, karena Joyce melakukan apa yang ia sukai dan ia setia mengerjakan panggilan Tuhan dalam hidupnya,” ujar David Holsten, presiden MAF, kepada Christianity Today. “Ia memberikan hidupnya melayani Tuhan dengan cara yang memberi dampak bagi orang lain.”

MAF tidak pernah mengalami kecelakaan yang fatal dalam 23 tahun, kata Holsten. Otoritas Penerbangan Sipil sedang menyelidiki penyebab kecelakaan tersebut. Menurut Hoaglun, tidak ada penumpang lain dalam pesawat dikarenakan pembatasan penerbangan akibat virus corona. Penerbangan masih dibatasi di Indonesia, namun MAF memiliki izin untuk penerbangan kargo dan penumpang yang mengalami kedaruratan medis.

Lin yang merupakan lulusan Institut Teknologi Massachusetts dan Seminari Teologi Gordon-Conwell telah bersiap dan berlatih untuk menjadi seorang pilot misionaris selama sepuluh tahun. Ia pertama kali magang di MAF pada tahun 2010, mendapatkan commercial pilot license-nya pada tahun 2015, dan pindah ke Papua pada tahun 2019.

"Rasanya luar biasa untuk mendaratkan pesawat Kodiak sendiri untuk pertama kalinya," tulisnya dalam sebuah surat-dukungan pada bulan Desember. “Ini adalah pesawat impian saya sejak saya mengetahui tentang penerbangan misi. Saya mendaratkan pesawat Kodiak di landasan terbang beraspal juga yang tidak beraspal dan berlatih melakukan prosedur darurat.”

Lin dibesarkan di Colorado dan Maryland, putri dari imigran Kristen Taiwan. Ia menjadi seorang Kristen sejak kanak-kanak melalui suatu program penjangkauan di sebuah gereja injili lokal. Setelah mendapatkan gelar dalam bidang ilmu komputer dari MIT dan bekerja di bidang TI selama sepuluh tahun, Lin merasa terpanggil untuk terjun dalam pelayanan. Di Gordon-Conwell, ia menemukan tentang penerbangan misionaris: pekerjaan yang menggabungkan minatnya dalam penerbangan, keterampilan komputernya, dan panggilannya untuk pelayanan Kekristenan.

Dia lalu semakin diyakinkan akan panggilan Tuhan dan mengarahkan hidupnya untuk menjadi seorang pilot misionaris. Selain menerbangkan pasokan untuk para misionaris dan tenaga bantuan kemanusiaan di Papua, ia juga membantu mengatur sistem komputer supaya mereka bisa mendapatkan akses internet.

Pada bulan Desember, Lin membela pekerjaan misionaris melalui sepucuk surat kepada teman-teman dan keluarganya di Amerika Serikat.

“Sebelum ada orang yang keberatan dengan orang Kristen atau orang Barat yang mengubah cara hidup orang lain,” ia menulis, “penting untuk mengetahui bahwa Papua bukanlah surga tropis sebelum kedatangan misionaris Kristen. Suku-suku Papua hidup saling bunuh satu dengan yang lain. … Orang-orang hidup dalam ketakutan yang terus menerus terhadap suku-suku lain dan terhadap dunia roh.”

Pada salah satu penerbangan pertamanya dengan MAF, Lin harus melakukan pengalihan pendaratan di Wamena — kota terbesar di dataran tinggi Papua — karena cuaca buruk. Di bandara, ia melihat seorang wanita yang membutuhkan penerbangan evakuasi darurat karena harus menjalani tindakan operasi besar. Semua penerbangan dibatalkan karena lockdown akibat COVID-19, namun Lin diizinkan untuk menerbangkan wanita itu ke Sentani.

Lin melihat ini sebagai bukti bahwa ia dipakai Tuhan.

“Ada sebuah ayat terkenal yang sering dikutip orang Kristen dari Roma 8:28,” tulisnya, “yang mengatakan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya. Melihat kembali hari-hari yang telah saya lalui, sungguh menyenangkan menyaksikan begitu banyak cara di mana ayat ini benar-benar nyata terjadi dalam panggilan saya untuk melayani di Indonesia.”

Pada hari Selasa, sebuah memorial kecil berupa mawar merah diletakkan di atas landasan tempat Lin dijadwalkan mendarat. "Pilot Joyce Lin," tertulis di sebuah kartu, "sampai kita berjumpa lagi."

Lin meninggalkan orang tua dan dua orang saudara perempuannya.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can also read or share this article in English, Chinese (Simplified or Traditional), Korean, Portuguese, French, and Spanish.

You can now follow articles like this on our new Telegram channel. Come join us!

Bagaimana Gereja Anda Dapat Dibuka Kembali Dengan Aman Sampai Ada Vaksin Coronavirus

Seorang pakar kesehatan global menyarankan rencana bertahap untuk diaktifkannya kembali pertemuan jemaat lagi dalam masa pandemi ini.

Christianity Today May 7, 2020
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Anshu A / Unsplash / WikiMedia Commons / MirageC / Getty Images

Catatan editor: Versi sebelumnya menyiratkan bahwa orang tidak boleh bernyanyi selama pertemuan. Sarannya adalah mengenakan masker saat bernyanyi atau berbicara. Lihat tabel yang diperbarui untuk info lebih lanjut.

Empat bulan terakhir telah menjadi periode yang luar biasa bagi dunia kita. Penyebaran virus corona baru, COVID-19, meledak melanda seluruh dunia. Di baliknya adalah gambar ruang UGD yang penuh sesak, pasien ICU yang menggunakan ventilator, dan keluarga yang berduka karena kehilangan orang yang mereka cintai. Untuk membatasi penyebaran virus ini, sebagian besar pemerintah harus menerapkan perintah tinggal di rumah dengan ketat. Tindakan yang sama sekali bukan basa-basi ini diperlukan karena banyak negara tidak siap untuk penyebaran virus yang cepat ini. Jika tidak ada yang dilakukan, maka infeksi yang meningkat pesat ini akan menjadi prahara bagi sistem perawatan kesehatan dan kematian akan meningkat dengan cepat.

Selama periode ini, gereja-gereja di seluruh negara telah menutup pintu gereja mereka untuk ibadah dan pelayanan langsung. Berbagai upaya tindakan pencegahan ini, pada awalnya mungkin kita tidak bisa paham bagaimana bisa membatasi penyebaran COVID-19 Tetapi saya yakin bahwa ini telah mencegah banyak infeksi dan kematian yang akan terjadi di antara jemaat dan keluarga serta teman-teman mereka.

Setelah enam minggu atau lebih dari perintah tinggal di rumah, klaim pengangguran menumpuk, orang-orang menjadi gelisah di rumah mereka, dan aspirasi yang semakin menuntut pemerintah untuk melonggarkan pembatasan mereka.

Meskipun para ahli kesehatan masyarakat memperingatkan bahwa negara tersebut kurang dalam pengujian, pelacakan kontak sentuhan langsung dan karantina yang diperlukan untuk menjaga pandemi tetap terkendali, beberapa negara melonggarkan pembatasan mereka dan mengizinkan bisnis "yang tidak terlalu penting" untuk dibuka kembali.

Gereja-gereja kita menghadapi serangkaian keputusan baru: kapan harus melanjutkan pelayanan langsung dan bagaimana melaksanakan pelayanan ini dengan aman ketika mereka akan melanjutkannya.

Dalam artikel ini, saya mengusulkan agar kedepannya mengambil pendekatan selangkah demi selangkah yang dapat menolong gereja untuk menjalani panggilan misionalnya, memenuhi kebutuhan jemaatnya, dan melindungi kesehatan mereka yang ada di gereja dan di komunitas kita.

Catatan: Gereja-gereja di bagian lain dunia menghadapi tantangan yang sama tentang kapan dan bagaimana melanjutkan kembali pelayanan langsung ketika pengisolasian yang diperintahkan pemerintah mereda. Pendekatan yang diuraikan di sini dapat dipakai untuk sebagian besar negara di luar AS meskipun selalu ada kebutuhan untuk adaptasi terhadap situasi lokal. Rencana selangkah demi selangkah sebagaimana yang dijelaskan tidak sulit atau mahal untuk diterapkan dan dapat membantu memastikan lingkungan yang aman bagi jemaat gereja-gereja.

Pedoman kita dalam pengambilan keputusan

Untuk memahami panggilan Allah bagi gereja-gereja yang saya sarankan di kota saya, saya mengandalkan dua pedoman: kebenaran alkitabiah dan pengetahuan ilmiah, yang keduanya telah diberikan oleh Tuhan untuk menolong kita saat ini.

Amanat Agung menyatakan, "Kamu harus mengasihi Tuhan, Allahmu … dan mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri." Selama pandemi ini, mengasihi diri sendiri diungkapkan dengan cara kita melindungi diri kita sendiri dari terinfeksi. Dengan cara yang sama, mengasihi sesama kita juga diekspresikan dengan cara kita melindungi mereka dari terinfeksi.

Bahkan saat kita fokus pada pencegahan infeksi COVID-19, akan tetapi, ada kebutuhan spiritual, emosional, dan sosial yang tidak boleh kita abaikan – pada diri kita sendiri dan orang lain. Selama periode jarak sosial ini, hal ini mungkin bahkan menjadi lebih penting lagi agar gereja-gereja kita memenuhi kebutuhan ini.

Sebagai murid Kristus, kebutuhan-kebutuhan ini terpenuhi ketika kita menjalani panggilan kita untuk beribadah, berdoa, menguatkan, bersaksi, memuridkan, dan melayani. Namun, kita sekarang harus melakukan semua ini dengan cara yang meminimalkan risiko penularan COVID-19. Karena itu, kita perlu menggunakan pengetahuan ilmiah tentang virus ini untuk mencegah penyebarannya di gereja-gereja kita.

Pengetahuan ilmiah terkini tentang COVID-19

Dengan para pemikir terbaik di dunia yang sedang mengerjakan COVID-19 saat ini, ada banyak kumpulan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat tentang virus ini. Kami juga mengumpulkan pembelajaran dari banyak negara tentang apa yang berhasil dan yang tidak berhasil untuk mengendalikan penyebaran COVID-19. Beberapa wawasan baru-baru ini sangat relevan bagi gereja untuk mempertimbangkan bagaimana melanjutkan pelayanan langsung.

Pertama, kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana virus menyebar

Bertentangan dengan pemahaman awal kita, kita sekarang tahu bahwa COVID-19 dapat ditularkan sebelum seseorang tersebut mengalami gejala. Ini menjelaskan mengapa virus menyebar begitu mudah dan dengan diam-diam, dan ini sangatlah mempersulit upaya untuk mengekang penyebarannya.

Kita juga tahu bahwa tidak setiap orang yang terinfeksi akan menulari orang lain. Faktor-faktor lain yang diperlukan untuk memfasilitasi transmisi. Termasuk:

  • Infeksi pada pasien COVID-19
  • Aksi yang meningkatkan pelepasan semburan cairan pernapasan dan aerosol ke udara di sekitarnya
  • Dekat dengan orang yang terinfeksi (dalam jarak 1,8 meter)
  • Lingkungan tertutup dengan ventilasi terbatas ke luar
  • Jumlah waktu yang dihabiskan bersama dengan orang yang terinfeksi
  • Jenis jaringan sosial, mis. Pencampuran antar generasi

Dengan semakin banyaknya faktor-faktor ini, maka semakin tinggi risiko penularan. Tetapi ketika kita dapat mengurangi faktor-faktor ini secara efektif, maka risiko penularan akan menurun. (lihat Tabel 1 di bawah).

Ada bukti yang berkembang bahwa orang-orang yang lebih muda dan anak-anak lebih susah terpengaruh oleh COVID-19. Anak-anak juga lebih kecil kemungkinannya untuk menunjukkan gejala ketika terinfeksi oleh COVID-19. Namun, jumlah virus yang mereka bawa dan kemampuan mereka untuk menyebar ke orang lain tampaknya tidak berbeda. Karena orang tua lebih rentan untuk mendapat COVID-19, implikasinya adalah bahwa kontak antar generasi harus diminimumkan untuk mengurangi transmisi COVID-19.

Kedua, kita tahu lebih banyak tentang efek berbahaya COVID-19

Awalnya, sebagian besar perhatian tentang bahaya COVID-19 berfokus pada orang lansia karena mereka memiliki tingkat fatalitas kasus yang jauh lebih tinggi. Kemudian kami mempelajari bahwa orang dewasa yang lebih muda dengan kondisi kronis umum seperti hipertensi dan diabetes juga memiliki peningkatan risiko komplikasi serius. Faktanya, hampir 60% dari yang diterima di rumah sakit COVID-19 di AS termasuk di antara mereka yang berusia kurang dari 65 tahun.

Sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa 45% orang dewasa Amerika memiliki faktor risiko yang menempatkan mereka pada risiko komplikasi COVID-19 yang serius. Karena mereka yang menghadiri gereja-gereja kami rata-rata lebih tua dari populasi umum, bahkan proporsi jemaat gereja kami yang lebih tinggi beresiko untuk komplikasi COVID-19 yang serius.

Ketiga, kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang tindakan pengendalian apa yang berhasil

Pengujian, pelacakan kontak sentuhan langsung, dan karantina kasus serta kontak dapat menurunkan epidemi COVID-19 tanpa harus pengisolasian besar-besaran. Namun, tindakan tersebut harus diambil dengan sangat cepat dan efektif. Korea Selatan dan Taiwan telah melakukan ini. Dalam 2-3 hari sejak timbulnya gejala, pasien COVID-19 diuji dan sebagian besar mereka dikarantina secara efektif. Ini bisa berhasil karena Korea Selatan dan Taiwan memiliki kader pelacak kontak yang terlatih dengan baik dan bersamaan dengan pengawasan elektronik untuk menemukan kontak dengan cepat dan mengimplementasikan karantina.

Ada bukti yang kuat bahwa menggunakan masker wajah secara substansial mengurangi pelepasan semburan cairan pernapasan dan aerosol ke udara di sekitarnya, bahkan ketika seseorang batuk atau berteriak. Manfaat utama dari menggunakan masker wajah adalah untuk mengurangi penyebaran COVID-19 dari sumber infeksi – orang yang terinfeksi. Terdapat juga perlindungan terbatas bagi orang yang rentan untuk terinfeksi. Masker buatan sendiri kurang efektif daripada masker bedah namun masih efektif. Selain itu, mengenakan masker wajah mencegah orang yang terinfeksi menggosok hidungnya dan menempatkan virus pada permukaan yang dia sentuh.

Keempat, para ahli sepakat bahwa COVID-19 akan berada di AS untuk masa yang mendatang dengan tingkat infeksi yang berfluktuasi di masyarakat.

Beberapa negara bagian telah mulai mengabaikan perintah tetap tinggal di rumah meskipun kasus COVID-19 mereka tetap tinggi atau baru saja mulai menurun. Hal ini akan menyebabkan peningkatan dalam transmisi dan kasus baru. Peningkatan ini dapat dikurangi dengan pengujian ekstensif, pelacakan kontak sentuhan langsung yang efektif, dan karantina kontak sentuhan langsung. Namun belum ada negara bagian yang memiliki kapasitas pengujian dan tenaga yang terlatih untuk melakukan penelusuran dan karantina kontak sentuhan langsung yang efektif.

Lalu ada tantangan penyebaran COVID-19 dari satu negara ke negara yang lainnya. Selama salah satu dari negara ini masih memiliki pengendalian epidemi yang buruk, maka negara-negara bagian yang telah secara signifikan mengurangi kasus pandemi akan tetap rentan terhadap penyebaran COVID-19 dari daerah-daerah tersebut.

Menerapkan ilmu sains terbaru untuk membuat perencanaan

Ketika mempertimbangkan keputusan untuk memulai kembali pelayanan secara langsung, pertama-tama kita harus melihat gereja sebagai tempat yang beresiko tinggi untuk terjadinya transmisi COVID-19. Ada banyak faktor dalam kegiatan di gereja kita yang mempengaruhi terjadinya penyebaran COVID-19 melalui udara (lihat Tabel 1 di bawah), dan jemaat kita berisiko lebih besar untuk mengalami komplikasi serius dari COVID-19. Karena itu, gereja harus memiliki perencanaan yang jelas tentang kapan dan bagaimana memulai kembali pelayanan secara langsung. Perencanaan tersebut harus mencakup hal-hal di bawah ini:

  • Mengurangi risiko penularan COVID-19 melalui udara selama kegiatan gereja. (Lihat tabel di bawah)
  • Mampu meningkatkan serta mengurangi aktivitas di gereja seiring dengan bertambah atau berkurangnya infeksi COVID-19 di masyarakat
  • Dengan cepat mampu mengidentifikasi riwayat kontak dengan orang yang terinfeksi serta membantu melacak jika diperlukan
  • Melanjutkan kegiatan gereja secara langsung hanya jika ada bukti yang jelas tentang penurunan infeksi di masyarakat
https://datawrapper.dwcdn.net/

Pendekatan langkah demi langkah untuk memulai kembali pelayanan langsung

Saya telah mengembangkan perencanaan 4 langkah dengan kegiatan-kegiatan gereja yang telah dimodifikasi yang bisa gereja kita gunakan. Perencanaan langkah-demi-langkah ini mencakup kegiatan-kegiatan yang dapat "ditambahkan" atau "dikurangkan" tergantung pada tingkat kejadian infeksi dalam masyarakat.

Selama pandemi ini, perencanaan tersebut bertujuan untuk membantu gereja-gereja kita untuk:

  • Menjalani panggilan misional kita
  • Memenuhi kebutuhan sosial, emosional, dan spiritual kita
  • Memberikan perlindungan melawan COVID-19
  • Mendukung upaya-upaya yang ada untuk mengendalikan COVID-19

Ketika menyadur perencanaan ini untuk gereja Anda, sangat penting untuk mematuhi peraturan-peraturan pemerintah setempat. Karena itu, jumlah orang yang diizinkan untuk berkumpul dalam perencanaan Anda mungkin berbeda dari perencaaan ini karena pembatasan setempat. Kegiatan dalam sebuah langkah dimaksudkan untuk dilakukan pada tingkat kejadian infeksi dalam masyarakat yang kurang lebih sama.Tabel ini hanya mencakup beberapa kegiatan gereja yang umum dilakukan. Dalam mengatur tentang bagaimana kegiatan lain dapat dilaksanakan dengan aman, pertimbangkanlah faktor-faktor dalam Tabel 1 dan di mana kegiatan yang dimodifikasi harus ditempatkan pada Tabel 2.

https://datawrapper.dwcdn.net/

Menjalani panggilan misi kita melalui pertemuan kelompok kecil

Seiring pembatasan yang mengharuskan kita tinggal di rumah mulai dilonggarkan, perkumpulan kelompok kecil akan mulai diizinkan. Oleh karena itu, pertemuan kelompok kecil harus menjadi kegiatan pertama yang dilakukan. Kita harus bersemangat tentang hal ini, karena pertemuan kelompok kecil adalah cara yang baik untuk menjalani panggilan Tuhan bagi kita. Dalam kelompok kecil, kita dapat membangun hubungan yang lebih dalam satu sama lain, tumbuh dalam Firman Tuhan, menumbuhkan lingkungan yang lebih aman untuk saling bertanggung jawab, dan mendorong satu sama lain untuk hidup dalam kasih dan berbuat baik. Kelompok-kelompok ini dapat menjangkau banyak orang yang tidak mau memasuki gedung gereja tetapi mau diajak berkumpul di sebuah rumah. Mereka juga dapat membantu mempersiapkan dimulainya layanan ibadah langsung dengan berkumpul setiap minggu untuk beribadah, dan kemudian bergabung dengan kelompok-kelompok kecil lainnya untuk menghadiri ibadah langsung saat nanti dimulai kembali.

Seperti orang-orang Kristen yang teraniaya dalam Kisah Para Rasul 8, yang terserak di luar Yerusalem, pelayanan kita telah terserak dari batas gedung gereja kita. Dengan membangun kelompok-kelompok kecil yang kuat dan menjaga semuanya tetap kembali, kita sementara membangun fondasi yang kuat dan fleksibel untuk pelayanan gereja.

Risiko penularan COVID pada kelompok ini rendah. Risikonya dapat lebih lagi dikurangi dengan menjaga anggota kelompoknya tetap dan dalam kelompok usia yang sama. Jika tingkat infeksi di masyarakat masih tinggi, gunakan masker untuk perlindungan tambahan. Karena anggota kelompok saling mengenal satu sama lain, mereka dapat dengan cepat saling menginformasikan jika seseorang mulai mengalami gejala mirip COVID-19. Ini akan memudahkan anggota kelompok lainnya untuk melakukan karantina mandiri.

Memenuhi kebutuhan sosial, emosional, dan spiritual kita

Kita semua membutuhkan kontak dengan sesama manusia, tetapi terkadang kontak itu hanya di permukaan saja. Pandemi ini memberikan kita kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih dalam. Untuk mengurangi risiko infeksi, kita harus mengurangi jumlah orang yang berhubungan dengan kita. Tetapi selalu bertemu dengan orang-orang yang sama dan hanya dengan orang-orang dalam kelompok usia yang sama dengan kita, juga mengurangi risiko terinfeksi.

Bayangkan strateginya seperti membuat gelembung-gelembung kecil pengaman dalam gereja. Semakin banyak jemaat yang tinggal di dalam gelembung mereka, semakin aman semua orang dalam jemaat, sementara infeksi di komunitas tetap ada. Berkumpul dengan kelompok orang yang sama dan dalam tahapan kehidupan yang sama juga dapat lebih memenuhi kebutuhan sosial, emosional, dan spiritual kita.

Memberikan perlindungan melawan COVID-19

Ketika pelayanan langsung di gereja dimulai kembali, penting untuk memeperhatikan jarak fisik setidaknya 6 kaki atau 2 meter. Meskipun jarak fisik biasanya diatur perseorangan, dapat juga diatur pada tingkat unit sosial. Misalnya, mereka yang hidup bersama adalah satu kesatuan sosial dan tidak perlu dipisahkan secara fisik di gereja. Sebagai sebuah unit mereka dapat secara fisik dipisahkan dari unit sosial lainnya.

Penggunaan masker bisa sangat membantu. Karena siapa pun yang masuk ke gereja kita bisa menjadi penyebar tanpa gejala, penggunaan masker pada setiap orang yang memasuki gereja dapat mengurangi penyebaran virus. Untuk meningkatkan jumlah pengguna masker, mintalah semua orang untuk menggunakannya. Ini akan menghilangkan stigma dari penggunaan masker dan membuat semua orang menggunakannya karena melihat teman sebayanya juga menggunakan masker.

Karena penggunaan masker, terutama yang buatan sendiri, tidak dapat mencegah semua penularan, kita juga harus tetap memperhatikan penerapan pendekatan lain untuk mengurangi penyebaran COVID-19. Karena jaga jarak fisik biasanya tidak bisa dilakukan dalam pertemuan kelompok kecil di rumah, menggunakan masker menjadi penting mengingat tingkat infeksi yang tinggi di masyarakat.

Mendukung upaya-upaya yang ada untuk mengendalikan COVID-19

Karena COVID-19 akan bersama kita dalam waktu yang cukup lama, penularan virus ini dapat terjadi selama dimulainya kembali kegiatan gereja secara langsung. Karena itu, demi keselamatan seluruh jemaat serta teman-teman dan tetangga mereka, gereja harus siap membantu lembaga kesehatan untuk mengidentifikasi dan mencari orang-orang yang pernah kontak dengan mereka yang terinfeksi.

Bekerja dengan lembaga kesehatan setempat, tugas pertama adalah dengan cepat mencari tahu siapa saja yang pernah kontak dengan pasien tersebut waktu ia ke gereja. Kemudian, jika diminta, gereja-gereja harus siap untuk dengan cepat memberitahukan orang-orang yang pernah kontak terserbut untuk melakukan karantina mandiri dan dievaluasi untuk COVID-19. Dengan cara ini, bahkan jika kontak ini terinfeksi, kita dapat meminimalisir penyebaran.

Ingat, kecepatan adalah yang paling penting dalam melakukan identifikasi kontak dan penelusuran.

Untuk itu, gereja Anda harus membuat sistem yang mengumpulkan informasi tentang semua jemaat. Berikut adalah beberapa saran untuk melakukan hal tersebut:

  • Membuat catatan di mana setiap orang duduk. Tetapkan nomor kursi dan baris (atau nomor meja) pada ruang pertemuan Anda.
  • Daftarkan semua orang yang memasuki ibadah. Catat nama mereka, informasi kontak, dan tempat mereka duduk. Untuk setiap rumah tangga, hanya satu orang yang perlu mendaftar tetapi ia harus membuat daftar jumlah orang dalam kelompoknya.
  • Pertahankan catatan tersebut setidaknya selama 3 minggu.
  • Tunjuklah orang dalam gereja untuk bertanggung jawab mengatur pendaftaran dalam ibadah, berhubungan dengan lembaga kesehatan dan membantu mengidentifikasi orang-orang yang kontak dan menghubungi mereka jika diperlukan.

Keputusan kapan harus pindah ke fase yang berbeda

Mungkin aspek yang paling sulit dari menggunakan pendekatan langkah-demi-langkah ini adalah keputusan kapan harus bergerak dari satu langkah ke langkah lain – apakah akan meningkatkan atau menurunkan kegiatan-kegiatan di gereja.

Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Baru-baru ini, saya membaca pernyataan ini: pemerintah tidak bisa membuka perekonomian, masyarakatlah yang harus melakukannya. Demikian juga, gereja-gereja tidak dapat menjalankan kembali pelayanan langsung, jemaatlah yang harus melakukannya. Karena itu, salah satu faktor paling penting untuk dipertimbangkan adalah kebutuhan anggota gereja kita. Ketika ada kebutuhan nyata yang baiknya dipenuhi atau hanya dapat dipenuhi secara tatap muka, maka kita harus berusaha untuk memulai kembali pelayanan langsung lebih cepat.

Namun saya sangat menyarankan agar setiap gereja mulai dengan penilaian tingkat infeksi COVID-19 di lingkungannya. Apabila tingkat infeksinya meningkat atau masih tinggi, jangan dulu kita mulai kembali pelayanan langsung. Tetapi jika tingkat infeksi mulai menurun dan rendah, maka aman untuk melangkah ke langkah 1 dari perencanaan kita.

Lebih spesifik lagi, saya ingin melihat penurunan kasus dan angka kematian yang konsisten selama setidaknya 3 minggu sebelum kita mempertimbangkan langkah 1 dari perencanaan ini. Tetapi penurunan tidaklah cukup, kita juga harus memiliki tingkat infeksi yang rendah. Hal ini menjadi rumit, karena tanpa pengujian yang menyeluruh, kita tidak tahu jumlah sebenarnya dari infeksi yang ada di lingkungan kita. Sampai pengujian mulai ditingkatkan, kita hanya bisa memperkirakan saja berdasarkan jumlah kasus dan angka kematian yang dilaporkan. Tapi ini jelas bisa menimbulkan masalah.

Dengan adanya penurunan dan tingkat infeksi yang rendah, kita dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain yang membuat kita bisa memulai lagi pelayanan langsung lebih awal atau nanti saja. Penting untuk melibatkan pimpinan gereja kita dan jemaat umum dalam proses ini. Kita perlu membantu jemaat kita memahami mengapa dan bagaimana kita membuat keputusan ini.

Sebagai contoh, untuk populasi seperti daerah tempat saya tinggal (2,2 juta populasi), dan dengan penurunan angka kematian dan jumlah kasus yang konsisten, satu set kriteria mungkin terlihat seperti ini (menggunakan moving average selama 3 hari):

  • Langkah 1: Secara konsisten <5 kematian per hari selama 3 minggu berturut-turut
  • Langkah 2: Secara konsisten <1 kematian per hari selama 3 minggu berturut-turut
  • Langkah 3: Secara konsisten <5 kasus per hari selama 3 minggu berturut-turut
  • Langkah 4: Secara konsisten <1 kasus per hari selama 3 minggu berturut-turut

Tapi saya hanya membuat tebakan yang masuk akal berdasarkan informasi dan pengetahuan yang terbatas. Seiring berjalannya waktu, kita akan belajar lebih banyak dan bimbingan yang lebih baik dapat diberikan.

Kesimpulan

Pandemi ini secara dramatis telah mengubah hidup kita dan telah memutarbalikkan dunia kita. Bagi banyak orang, hal ini sulit, sangat sulit. Baru beberapa bulan kita berada dalam pandemi ini, tetapi rasa sakit dan kekhawatiran yang kita atau orang-orang di sekitar kita rasakan sangatlah nyata.

Bagi gereja-gereja kita, keputusan yang harus segera diambil adalah kapan harus memulai kembali pelayanan langsung dan bagaimana untuk melakukannya dengan aman. Untuk membantu membuat keputusan-keputusan tersebut, saya telah menggunakan kebenaran Alkitab dan ilmu sains yang ada sebagai pedoman untuk mengembangkan pendekatan langkah-demi-langkah.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan kita akan satu kepastian. Pandemi COVID dalam bentuknya yang sekarang ini akan berlalu. Suatu hari nanti kita akan melihat kembali ke saat ini dan melihat dengan jelas bahwa Tuhan ada bersama kita dan Dia bekerja di tengah-tengah kita untuk mendatangkan kebaikan. Mengetahui hal ini, kita dapat berpaling kepada-Nya hari ini dan meminta Dia untuk memberikan kita kebijaksanaan, belas kasih, dan iman untuk memimpin gereja-gereja kita saat ini.

Doa saya adalah agar artikel ini akan membantu gereja Anda menjalani panggilan misionalnya, memenuhi kebutuhan jemaat Anda, dan melindungi kesehatan mereka yang ada di gereja dan komunitas Anda dalam masa sulit ini.

Daniel Chin adalah seorang dokter yang ahli dalam pengobatan paru-paru dan perawatan kritis dan epidemiologi dengan 25 tahun pengalaman menangani kesehatan masyarakat global. Pada tahun 2003, ia memimpin banyak bantuan WHO ke Cina untuk mengatasi epidemi SARS.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

You can now follow articles like this on our new Telegram channel. Come join us!

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube