Terkadang Anda Harus Mengebaskan Debu dari Kaki Anda

Keluar adalah cara untuk menanggapi institusi yang sangat tidak sehat.

Christianity Today September 6, 2021
Renan Lima / Pexels / Edits by Rick Szuecs

Salah satu pengalaman yang paling membuat frustrasi—namun akhirnya melegakan—selama tiga dekade pelayanan pastoral saya adalah mengundurkan diri dari sebuah gereja yang didominasi orang kulit putih di tengah kota yang sebagian besar warganya adalah orang Afrika-Amerika. Banyak orang dari ratusan jemaat mengapresiasi pelayanan saya sebagai seorang pengkhotbah, guru, pemimpin, musisi, suami, dan ayah. Tetapi ada orang-orang minoritas namun berpengaruh di pinggiran kota—yang digoyahkan oleh isu-isu terkait ras dan sosial ekonomi—yang sikap oposisinya melemahkan kepemimpinan saya.

Anak saya yang tertua, ketika mengingat beratnya tantangan menjadi seorang pemuda Afrika-Amerika di gereja itu, sering berkata, “Ayah, kau perlu menulis sebuah buku dan menyebutkan nama!” Putra saya tahu bahwa saya mencoba untuk menjalani sebuah pelayanan multi-etnis yang tulus meskipun baru mengalami kesulitan-kesulitan karena dikritik.

Saya tidak mau menulis buku yang menceritakan semuanya dengan detail sebagai bentuk pelampiasan, tetapi dalam pendampingan yang saya lakukan terhadap para pendeta muda, saya mencoba, seperti Paulus, untuk membagikan Injil sebagaimana hidup saya (1Tes. 2:8). Mengundurkan diri sebagai pendeta dari gereja itu adalah sebuah lompatan iman yang menyakitkan. Saya pun tidak memiliki tawaran pelayanan yang lain. Tetapi menjadi pengangguran rasanya lebih baik daripada diremehkan dan akhlak saya dirusak.

Dalam eksodus yang signifikan baru-baru ini dari Southern Baptist Convention, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh terkenal seperti Beth Moore dan Charlie Dates dari Progressive Baptist Church. Kisah Jemar Tisby, yang baru-baru ini ia ceritakan dalam sebuah wawancara yang menjelaskan alasan dia keluar dari gereja orang kulit putih, beresonansi dengan orang-orang Kristen kulit berwarna dan kumpulan wanita yang mempertaruhkan diri mereka pada organisasi-organisasi Kristen yang mengklaim menghargai keragaman, namun kemudian dihantam oleh realitas kehidupan di dalamnya akibat patriarki supremasi kulit putih.

Semua kepergian adalah sulit, namun segalanya berpotensi memberi kehidupan. Mereka yang keluar sering kali pada akhirnya memperoleh penguatan melalui visi yang diperbarui, wawasan yang disegarkan, dan pemulihan terhadap pendirian dan kepribadian mereka. Organisasi yang ditinggalkan juga memiliki kesempatan untuk mawas diri.

Beberapa institusi Kristen akan membela reputasi mereka dengan mengacu pada Kitab Suci yang mengutuki pengajaran palsu (seperti Yud. 1:4). Tujuan mereka adalah untuk menjelek-jelekkan orang-orang yang keluar. Kecaman seperti itu tidaklah membantu dan seringkali tidak akurat. Orang-orang seperti saya memilih keluar bukan karena kami menganut ide-ide sesat secara historis. Kami pergi karena institusi tersebut sangat tidak sehat.

Setelah berkhotbah di gereja yang didominasi oleh orang kulit putih, saya mengetahui bahwa para pemimpin yang mendoakan saya membuat lelucon rasis sebelum saya tiba. Saya menyuarakan keprihatinan saya kepada para pemimpin denominasi, tetapi mereka menyangkal adanya rasisme dan justru marah kepada saya karena telah menyarankan gagasan tersebut. Saya mengebaskan debu mereka dari kaki saya dan melanjutkan hidup (Mrk. 6:11).

Memilih untuk keluar bisa menjadi tindakan profetik yang menghilangkan pengaruh beracun dari sebuah institusi. Yeremia dikenal karena berdiri di luar Bait Suci Yerusalem, di depan pintu gerbangnya, menyerukan pertobatan dan reformasi (Yer. 7:1–3).

Ia mengambil risiko mengatakan kebenaran untuk membawa umat Tuhan kembali ke jalan yang benar. Dia mengajukan dakwaan terhadap sistem Bait Suci yang tidak sehat sebagai penutup ketidakadilan: “Sudahkah menjadi sarang penyamun di matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?” (ay. 11).

Perhatikan orang-orang setia yang terluka dan memilih untuk keluar. Kata-kata mereka mungkin adalah firman Tuhan.

Yesus mengulangi tindakan Yeremia saat Ia membalikkan meja-meja penukar uang (Mat. 21:13). Ahli Perjanjian Lama, Walter Brueggemann, mengamati, “Bait Suci dan liturgi megahnya diekspos sebagai sarana kontrol sosial, yang pada saat krisis tidak akan menepati janji-janji agung mereka. Bait Suci terbukti bukan menjadi perwujudan transendensi, melainkan sekadar arena manipulasi sosial.”

Keputusan untuk keluar tidak dilakukan dengan sikap yang pongah, melainkan terjadi setelah melakukan perenungan dan doa yang intens. Lembaga-lembaga pelayanan juga harus memeriksa diri dan berani mengubah nilai-nilai inti yang hanya merusak keberhargaannya. Pernyataan-pernyataan fasih yang sering disuarakan di lembaga pelayanan yang didominasi orang kulit putih tentang kesetaraan dan keragaman terlalu sering berakhir dengan menyudutkan etnis minoritas. Sejarah kekristenan mengandung momen-momen epik tentang mereformasi perbedaan pendapat. Perhatikan orang-orang setia yang terluka dan memilih untuk keluar. Kata-kata mereka mungkin adalah firman Tuhan.

Mungkin suatu hari nanti saya akan menulis memoar itu, menyoroti perjuangan saya untuk menemukan rumah gerejawi. Saya telah belajar untuk mempercayai pendirian saya yang berbeda, dan mengumpulkan keberanian untuk marah terhadap ketidakadilan institusional. Saya berdoa agar mereka yang mengaku setia kepada Yesus akan mengerahkan keberanian untuk mendengarkan orang-orang yang keluar dan berani menghadapi dosa-dosa mereka sendiri. Sebagaimana dibutuhkan pembilasan untuk membersihkan pakaian, dibutuhkan pergolakan para nabi untuk membersihkan institusi.

Dennis R. Edwards, seorang pendeta dan pendiri gereja, adalah profesor Perjanjian Baru di North Park Theological Seminary di Chicago. Dia adalah penulis Might from the Margins: The Gospel’s Power to Turn the Tables on Injustice (APG) dan 1 Peter (the Story of God Bible Commentary).

Diterjemahkan oleh: Paul Sagajinpoula

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Bukti Bahwa Hak Istimewa Politik Berbahaya bagi Kekristenan

Analisis kami terhadap 166 negara menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi perkembangan kekristenan bukanlah penganiayaan, kemakmuran, pendidikan, atau pluralisme. Dukungan negaralah ancaman terbesarnya.

Christianity Today August 31, 2021
Illustration by Rick Szuecs / Source Images: NurPhoto / Contributor / Getty / Ross Sokolovski / Eva Dang / Unsplash / Artdesigner Geno / Luis Quintero / Pexels

Mengapa kekristenan bertumbuh di beberapa negara tetapi menurun di negara-negara lain?

Hampir selama abad ke-20, para ahli ilmu sosial menjawab pertanyaan ini dengan mengacu pada apa yang disebut tesis sekularisasi, yaitu teori bahwa sains, teknologi, dan pendidikan akan mengakibatkan penurunan pengaruh sosial kekristenan.

Baru-baru ini, beberapa ahli berpendapat bahwa penyebabnya adalah lebih kepada akumulasi kekayaan. Meningkatnya kemakmuran, diyakini membuat banyak orang merasa tidak perlu mencari kuasa yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, ada kaitan langsung antara kemakmuran dengan ateisme.

Dalam studi yang dipublikasikan jurnal Sosiologi Agama, saya dan rekan saya menantang pandangan umum bahwa pendidikan dan kemakmuran berarti kematian kekristenan.

Dalam analisis statistik kami terhadap sampel global 166 negara dari 2010 hingga 2020, kami menemukan bahwa penentu terpenting dari perkembangan kekristenan adalah sejauh mana pemerintah memberikan dukungan resmi bagi kekristenan melalui peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan mereka. Namun, itu tidak seperti yang diharapkan oleh orang percaya yang taat.

Dengan meningkatnya dukungan pemerintah bagi kekristenan, jumlah orang Kristen menurun secara signifikan. Hubungan ini berlaku bahkan ketika memperhitungkan faktor-faktor lain yang mungkin mendorong tingkat pertumbuhan Kristen, seperti tren demografis secara keseluruhan.

Kami mengakui bahwa metodologi dan kumpulan data kami tidak dapat menjelaskan faktor yang sangat penting bagi orang Kristen: campur tangan Roh Kudus. Namun, banyak uji statistik kami dari data yang tersedia mengungkapkan bahwa hubungan antara dukungan negara terhadap kekristenan dan penurunan jumlah orang Kristen adalah hubungan sebab akibat, bukan hanya terdapat korelasi.

Studi kami mencatat tiga paradoks berbeda dari semangat kekristenan: Paradoks pluralisme, paradoks hak istimewa, dan paradoks penganiayaan.

1. Paradoks pluralisme

Banyak orang Kristen percaya bahwa cara terbaik bagi kekristenan untuk berkembang adalah dengan melarang semua agama lain. Ironisnya, agama Kristen seringkali menjadi yang terkuat di negara-negara di mana ia harus bersaing dengan tradisi agama lain dalam situasi yang setara untuk semua agama.

Mungkin penjelasan terbaik untuk ini berasal dari The Wealth of Nations, karya terpenting Adam Smith. Ekonom terkenal itu berpendapat bahwa sama seperti ekonomi pasar yang mendorong persaingan, inovasi, dan kekuatan di antara perusahaan dengan memaksa mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar, situasi keagamaan yang tidak diatur akan memiliki efek yang sama pada lembaga-lembaga keagamaan.

Persis seperti besi menajamkan besi, persaingan mengasah agama. Konteks pluralisme memaksa orang Kristen untuk memberikan argumen terbaik untuk keyakinan mereka, bahkan ketika agama lain dipaksa untuk melakukan hal yang sama. Hal ini mengharuskan orang-orang Kristen untuk memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kepercayaan mereka, untuk mempertahankannya di tengah para pemeluk agama lain.

10 Populasi Kristen yang Pertumbuhannya Paling Cepat:


(yang kurang atau tidak mendapat dukungan resmi dari pemerintah terhadap kekristenan, hurufnya ditebalkan)

1. Tanzania

2. Malawi


3. Zambia

4. Uganda
5. Rwanda
6. Madagaskar
7. Liberia


8. Kenya

9. Republik Demokratik Kongo
10. Angola

Studi kami menemukan bahwa seiring dengan meningkatnya komitmen suatu negara terhadap pluralisme, meningkat pula jumlah penganut Kristennya. Tujuh dari 10 negara dengan populasi Kristen yang tumbuh paling cepat, memberikan dukungan yang sedikit atau tidak sama sekali terhadap kekristenan. Paradoksnya, kekristenan melakukan yang terbaik ketika harus berjuang sendiri.

Paradoks pluralisme dapat dilihat di dua wilayah dunia di mana agama Kristen tumbuh paling cepat: Asia dan Afrika.

Peningkatan terbesar kekristenan selama seabad terakhir terjadi di Asia, di mana iman telah tumbuh dua kali lipat dari jumlah penduduk. Ledakan pertumbuhan kekristenan di bagian dunia ini bahkan lebih luar biasa ketika kita mengingat bahwa di wilayah Asia hanya ada satu negara yang mayoritas Kristen: Filipina.

Bagaimana kita menjelaskan paradoks ini? Berbeda dengan Eropa, kekristenan di negara-negara Asia belum menerima perlakuan istimewa dari negara, dan kenyataan ini telah menghasilkan tingkat pertumbuhan kekristenan yang menakjubkan. Iman kristiani sebenarnya diuntungkan dengan tidak terikat secara institusional pada negara untuk memacu pertumbuhan dan vitalitasnya.

Pertimbangkan kasus Korea Selatan, yang dalam kurun waktu satu abad telah berubah dari negara tanpa kekristenan menjadi salah satu negara eksportir kekristenan yang terbesar. Saat ini negara tersebut menempati peringkat sebagai pengirim misionaris terbesar kedua di dunia, hanya di belakang Amerika Serikat.

Contoh ini menggambarkan paradoks pluralisme dengan baik. Karena Korea Selatan bukanlah negara Kristen, maka kekristenan tidak menikmati hubungan khusus dengan negara. Bahkan, kekristenan di Korea mengalami penganiayaan brutal dalam masa pemerintahan kolonial Jepang, di mana gereja-gereja ditutup secara paksa dan properti mereka disita. Memang, gereja bertahan melalui kemiskinan, perang, kediktatoran, dan krisis nasional di sepanjang sejarah Korea.

Sejak Perang Dunia II, kekristenan Korea telah tumbuh secara eksponensial, dengan puluhan ribu gereja dibangun dan seminari menghasilkan ribuan lulusan setiap tahun. Saat ini, sekitar sepertiga penduduk Korea beragama Kristen.

Afrika adalah wilayah lain di dunia di mana kekristenan telah mengalami pertumbuhan yang menakjubkan, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Saat ini, ada hampir 700 juta orang Kristen di Afrika, menjadikannya benua di dunia dengan populasi orang Kristen yang terbesar. Memang, 10 negara yang disebutkan di atas dengan populasi Kristen yang tumbuh paling cepat di dunia dari tahun 2010 hingga 2020, semuanya berada di sub-Sahara Afrika.

Kekristenan dapat menerobos masuk ke Afrika bukan karena kekristenan mendapat perlakuan istimewa dari negara, melainkan karena kekristenan harus bersaing dengan tradisi agama lain dalam situasi yang setara. Di antara negara-negara di mana kekristenan telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa, hanya satu, Tanzania, yang memiliki tingkat dukungan resmi untuk agama yang berada pada tingkat rata-rata global. Dalam kasus lainnya (termasuk Kenya dan Zambia dengan peringkat sedang), dukungan untuk kekristenan berada di bawah—dan biasanya jauh di bawah—rata-rata global.

Singkatnya, kekristenan di Afrika, seperti di Asia, berkembang pesat bukan karena didukung oleh negara, melainkan justru karena tidak didukung.

2. Paradoks hak istimewa

Sembilan dari 10 negara dengan penurunan populasi Kristen tercepat di dunia memberikan dukungan resmi tingkat menengah hingga tinggi kepada kekristenan. Sementara persaingan antar agama merangsang vitalitas kekristenan, favoritisme negara terhadap agama justru secara tidak sengaja menekannya.

10 Populasi Kristen yang Penurunannya Paling Cepat:


(yang cukup atau tinggi tingkat dukungan resmi dari pemerintah terhadap kekristenan, hurufnya ditebalkan)

1. Republik Ceko
2. Bulgaria
3. Latvia
4. Estonia


5. Albania

6. Moldova
7. Serbia
8. Jerman
9. Lituania
10. Hongaria

Ketika orang Kristen melihat ancaman yang berasal dari agama minoritas, mereka mungkin meminta bantuan negara untuk membantu dalam persaingan tersebut. Hak istimewa itu dapat mencakup pendanaan dari negara untuk tujuan keagamaan, akses khusus ke lembaga negara, dan pengecualian dari peraturan yang diberlakukan pada kelompok agama minoritas. Namun, secara paradoks, negara yang mengistimewakan agama Kristen dengan cara ini tidak membantu gereja, menurut data kami.

Orang-orang Kristen yang mencoba mendapatkan dukungan negara menjadi teralihkan dari misi mereka karena mereka lebih asyik dengan hal-hal tentang kekuasaan daripada hal-hal tentang Tuhan untuk mempertahankan kedudukan istimewa mereka.

Memang benar bahwa gereja-gereja yang disukai dapat menggunakan posisi istimewa mereka untuk memberikan pengaruh kepada seluruh masyarakat; namun, ini dicapai terutama melalui berbagai ritual dan simbol-agama sipil-daripada semangat spiritual. Karena alasan ini, gereja-gereja yang didukung negara sering kali kehilangan substansi spiritual yang dianggap berharga oleh orang-orang yang mempraktikkan iman, sehingga membuat orang-orang awam meninggalkan gereja.

Menariknya, beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa misionaris dari gereja-gereja yang didukung negara ternyata kurang efektif dibandingkan misionaris dari gereja-gereja yang tidak tergantung pada negara.

Para ahli agama telah lama mencatat bahwa kecenderungan ke arah sekularisasi tampak paling kuat di negara-negara Barat, khususnya di Eropa, di mana gereja selama berabad-abad memainkan peran utama dalam kehidupan masyarakat. Banyak jajak pendapat telah mendokumentasikan tingkatan yang relatif lemah dari kepercayaan dan kehadiran pada ibadah keagamaan di belahan dunia ini.

Pemahaman bahwa Eropa adalah wilayah paling sekuler di dunia—dan juga yang terkaya—telah membuat banyak orang menganggap adanya hubungan sebab-akibat antara kemakmuran dan kemerosotan agama Kristen.

Studi kami justru berpendapat bahwa sekularisasi Eropa secara terpusat berasal dari dukungan luas yang diberikan negara kepada kekristenan.

Di Inggris Raya, misalnya, undang-undang menetapkan Gereja Inggris sebagai gereja negara dan Kristen sebagai agama negara, sehingga memberikan hak istimewa yang tidak diberikan kepada kelompok agama minoritas. Kemerosotan umat Kristen juga terjadi di negara-negara Protestan di Skandinavia, di mana hubungan gereja-negara ditandai oleh hak istimewa (termasuk subsidi publik di masa lalu). Misalnya, Gereja Swedia menikmati hubungan dekat dengan negara, dengan raja Swedia berperan sebagai kepala gereja dan mengangkat para uskup (catt: Pada tahun 2000, gereja dan negara memisahkan diri).

Pola serupa dapat dilihat di negara bagian yang mayoritas beragama Katolik. Selama sebagian besar abad ke-20, negara-negara seperti Portugal, Spanyol, Belgia, dan Italia memberikan dukungan kuat kepada Gereja Katolik Roma dan secara aktif melakukan diskriminasi terhadap penganut agama lain di bidang hukum keluarga, penyiaran agama, kebijakan pajak, dan pendidikan. Sementara hak istimewa agama Katolik di negara-negara ini telah melemah di banyak negara Eropa, kesetaraan agama tetap tidak seimbang dalam hal-hal yang penting, terutama yang berkaitan dengan hambatan masuk bagi gerakan keagamaan baru.

Hubungan antara hak istimewa politik dan kemunduran agama Kristen paling kuat terjadi di negara-negara yang didominasi oleh agama Kristen Ortodoks Timur. Misalnya, pemerintah Rusia telah memberikan banyak hak istimewa kepada Gereja Ortodoks Rusia—seperti pendanaan untuk situs-situs suci, akses ke lembaga-lembaga negara, dan otonomi atas urusannya sendiri—bahkan memberlakukan pembatasan pada pesaing gereja Ortodoks, termasuk penolakan visa kepada pendeta asing, deportasi misionaris, dan pemotongan hak atas tanah. Negara-negara Kristen Ortodoks seperti Rusia kemungkinan besar akan mengintegrasikan gereja dan negara.

Hasilnya adalah bahwa gereja-gereja di Eropa tidak perlu khawatir bersaing dengan agama lain secara setara. Akibatnya, gereja-gereja ini menjadi lesu, karena mereka bergantung pada negara untuk kelangsungan hidup mereka.

Kehadiran jemaat di gereja pada negara-negara ini tetap yang terendah di dunia Kristen, terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar warga di negara-negara ini mempertahankan keanggotaan gereja resmi mereka. Gereja-gereja Eropa telah mengambil sebagian besar fungsi seremonial, tetapi memainkan peran yang sedikit dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Katedral megah yang dirancang untuk melayani ratusan orang biasanya hanya menyambut segelintir jemaat dalam kebaktian Minggu mereka secara normal.

Singkatnya, kekristenan di Eropa telah memudar bukan karena tidak adanya dukungan negara, melainkan justru karena adanya dukungan tersebut.

3. Paradoks penganiayaan

Pada abad kedua, Tertulianus, seorang bapa gereja mula-mula, mencapai kesimpulan yang mencengangkan bahwa “darah para martir adalah benih gereja.” Menariknya, penelitian kami menemukan bahwa konteks diskriminasi anti-Kristen umumnya tidak memiliki efek melemahkan kekristenan; dalam beberapa kasus, penganiayaan bahkan memperkuat gereja.

Seperti persaingan agama yang sehat, penganiayaan agama—untuk alasan yang sama sekali berbeda—tidak membuat orang Kristen berpuas diri. Yang pasti, dalam beberapa kasus, penganiayaan anti-Kristen telah sangat merusak agama Kristen, seperti di Afrika Utara abad ke-7, Jepang abad ke-17, Albania abad ke-20, dan Irak masa kini. Namun dalam banyak konteks diskriminasi dan penganiayaan (semacam kekerasan genosida), gereja telah melewati banyak rintangan—tidak hanya bertahan untuk tetap eksis, melainkan juga, dalam beberapa kasus, bahkan berkembang.

Dalam situasi seperti itu, orang percaya berpegang pada iman mereka sebagai sumber kekuatan, dan keteguhan mereka ini menarik orang-orang di luar keyakinan mereka.

Di seluruh dunia, ratusan juta orang Kristen tinggal di negara-negara di mana mereka mengalami banyak penganiayaan . Meski demikian, kekristenan terus terbukti sangat tangguh, sama seperti gereja mula-mula di bawah tekanan Julius Caesar.

Saat ini kekristenan berkembang pesat di negara-negara Muslim tertentu seperti Iran dan Afganistan, di mana orang-orang percaya mengalami banyak penganiayaan. Open Doors menempatkan Iran sebagai tempat terburuk kedelapan di dunia bagi orang Kristen, dengan tingkat penganiayaan yang “ekstrim.” Di Republik Islam, pemerintah melarang pindah agama dari Islam, memenjarakan orang-orang yang menyebarkan agama lain, dan menangkap orang-orang yang menghadiri gereja-gereja rumah bawah tanah atau yang mencetak dan mendistribusikan literatur Kristen.

Namun demikian, meskipun pemerintah mengancam, menekan, dan memaksa orang Kristen, gereja di Iran telah menjadi salah satu gereja yang paling cepat berkembang di dunia dalam hal pertobatan. Meskipun sulit untuk menentukan dengan tepat berapa banyak orang Kristen yang tinggal di Iran, mengingat kebanyakan mereka merahasiakan iman mereka karena takut dianiaya, diperkirakan—didukung oleh data survei—bahwa mungkin ada sebanyak satu juta orang Iran yang percaya Yesus. Pertumbuhan iman yang mengejutkan di Iran telah menyebabkan keprihatinan yang meluas di antara para pembuat kebijakan Iran bahwa kekristenan mengancam fondasi Republik Islam.

Kisah serupa terjadi di tetangga Iran di timur, Afganistan. Open Doors menempatkan negara itu sebagai tempat terburuk kedua bagi orang Kristen, hanya di belakang Korea Utara. Seperti di Iran, adalah ilegal di Afganistan untuk pindah agama dari Islam, dan mereka yang melakukannya menghadapi hukuman penjara, kekerasan, dan bahkan kematian. Umat Kristen menghadapi penganiayaan tidak hanya dari pemerintah Islam, tetapi juga dari militan Islam yang menargetkan pemeluk agama minoritas. Komunitas Kristen Afganistan telah dihantam peperangan selama beberapa dekade.

Tidak mungkin untuk memberikan angka yang tepat untuk jumlah orang Kristen di Afganistan. Namun demikian, bukti yang ada menunjukkan bahwa kekristenan terus bertumbuh, ditopang oleh keberadaan gereja bawah tanah, meskipun penindasan yang meluas dan intens dihadapi oleh orang-orang Kristen. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa agama Kristen bahkan telah menyebar di kalangan elit Afganistan dan anggota parlemen negara itu. Satu contoh terbuka: Rula Ghani, Ibu Negara Afganistan, adalah seorang Kristen Maronit dari Lebanon.

Di luar dunia Muslim, pengalaman gereja teraniaya terbesar di dunia—gereja di Tiongkok—mencerminkan gereja mula-mula di bawah tekanan Julius Caesar ketika gereja saat itu juga mengalami pertumbuhan yang eksponensial.

Selama tiga dekade pertama pemerintahan komunis di Tiongkok, gereja menjadi sasaran penganiayaan berat, terutama selama era yang dikenal sebagai Revolusi Kebudayaan dari tahun 1966 hingga 1976. Diluncurkan oleh Mao Zedong, kampanye tersebut berusaha untuk melestarikan komunisme di Tiongkok dengan melancarkan perang melawan pihak-pihak yang dianggap musuh, termasuk agama. Ratusan ribu orang Kristen, baik Katolik maupun Protestan, binasa selama masa ini.

Namun kekristenan bertahan dengan pergi ke bawah tanah. Hebatnya, Protestan bahkan menyaksikan pertumbuhan yang cukup besar pada akhir Revolusi Kebudayaan. Sosiolog agama Fenggang Yang mencatat bahwa sejak 1950, agama Kristen Protestan tumbuh dengan faktor 23. Setidaknya 5 persen dari populasi Tiongkok yang hampir 1,5 miliar orang sekarang menganut agama Kristen.

Fenggang Yang memperkirakan persentasenya akan tumbuh secara eksponensial selama beberapa tahun ke depan sehingga pada tahun 2030 Tiongkok akan memiliki lebih banyak orang Kristen daripada negara lain. Pada tahun 2050, setengah dari Tiongkok bisa menjadi Kristen.

Sangat memungkinkan bahwa tahun-tahun mendatang dapat membuktikan proyeksi-proyeksi ini terlalu optimis, karena Partai Komunis Tiongkok terus melakukan tindakan kerasnya yang besar-besaran terhadap kelompok-kelompok agama. Tetapi sepertinya penindasan di Tiongkok tidak akan mampu menghentikan pertumbuhan kekristenan.

Singkatnya, godaan hak istimewa politik, dan bukan ancaman penganiayaan, itulah yang nampaknya menjadi penghalang yang lebih besar bagi iman Kristen.

Pelajaran untuk Kekristenan

Paradoks ini memegang konsekuensi penting bagi komunitas Kristen di seluruh dunia.

Di Eropa, politisi dan partai politik di Hongaria, Italia, Polandia, Slovenia, Prancis, Austria, Italia, Jerman, Belanda, dan Swiss menyerukan untuk memperdalam hubungan antara kekristenan dan pemerintah mereka. Beberapa politisi sukses telah memposisikan diri sebagai pembela kekristenan melawan agama Islam yang mengancam integritas kekristenan di negara mereka masing-masing.

Dalam banyak kasus, partai populis sayap kanan telah terbukti mampu meningkatkan bagian suara mereka, sebagian karena pembelaan mereka terhadap “bangsa Kristen.” Jika tren seperti itu terus berlanjut, kita dapat melihat korosi lebih lanjut dan penurunan kekristenan di bagian dunia ini karena alasan yang dijelaskan di atas.

Kisah serupa dapat dilihat di seberang Atlantik. Kekristenan di Amerika Serikat, dan khususnya gerakan Injili, saat ini berdiri di persimpangan jalan yang sangat berbahaya.

Meskipun AS, tidak seperti negara-negara Eropa lainnya, tidak memiliki dukungan resmi negara untuk agama, ini tidak berarti bahwa agama Kristen tidak terikat dengan negara. Ketika agama Kristen semakin terkait dengan politik partisan, AS telah mengalami penurunan religiusitas selama beberapa dekade secara bersamaan—sebuah tren yang dikonfirmasi dalam sejumlah studi ilmiah.

Selama 30 tahun terakhir, AS telah menyaksikan peningkatan yang tajam dalam jumlah orang Amerika yang tidak berafiliasi dengan agama, dari 6 persen pada tahun 1991 menjadi 23 persen saat ini, meskipun populasi Amerika secara keseluruhan telah mengalami pertumbuhan yang signifikan selama masa ini. Argumen kami menunjukkan bahwa peningkatan jumlah orang yang tidak berafiliasi secara keagamaan ini, sebagian, karena upaya orang Kristen untuk mendapatkan dukungan dari negara (dan terkadang menerimanya).

Umat Kristen konservatif awalnya terlibat dalam politik pada tahun 1970-an sebagai cara untuk melawan erosi “nilai-nilai Kristen” di masyarakat dan untuk “mengambil kembali Amerika bagi Tuhan.” Untuk tujuan ini, mereka terlibat dalam politik partisan.

Jalinan agama dan politik dengan cara ini, bagaimanapun, telah menjauhkan orang-orang dari kekristenan yang melihat iman Kristen sebagai pendukung jenis politik tertentu yang tidak mereka setujui secara pribadi. Akibatnya, agama Kristen yang terpolitisasi mampu menarik sekelompok individu yang terbatas, ketika hal itu membuat kaum liberal dan moderat menjauh dari gereja.

Sakralisasi politik menunjukkan bahwa AS mungkin menuju ke jalan yang sama seperti rekan-rekan Eropa-nya. Kabar baik bagi orang-orang Kristen yang prihatin adalah, jika penelitian dan analisis kami benar, kecenderungan ke arah sekularisasi dapat dibalikkan.

Ini akan membutuhkan institusi iman untuk menghindari godaan hak istimewa dan untuk tidak melihat persaingan agama sebagai ancaman dan sesuatu yang harus ditutup. Pendekatan seperti itu tidak akan menuntut orang Kristen untuk memisahkan diri dari kehidupan publik atau meninggalkan politik sama sekali; namun, pendekatan tersebut akan sangat memperingatkan orang Kristen agar tidak menyamakan partai politik, ideologi politik, atau bangsa dengan rencana Tuhan.

Penelitian kami menyarankan, cara terbaik bagi komunitas Kristen untuk memulihkan kesaksian Injil mereka adalah dengan menolak upaya mendapatkan hak istimewa politik karena tidak sejalan dengan ajaran Yesus. Dengan melakukan itu, mereka akan menunjukkan bahwa mereka menganggap serius janji Kristus bahwa tidak ada kekuatan yang dapat menang melawan gereja-Nya. Dan dengan menolak hak istimewa tersebut akan membuat orang percaya lebih bergantung pada Roh Kudus untuk membuka hati orang terhadap pesan Injil.

Nilay Saiya adalah asisten profesor Kebijakan Publik dan Urusan Global di Nanyang Technological University, Singapura. Dia adalah penulis Weapon of Peace: How Religious Liberty Combats Terrorism (Cambridge University Press, 2018).

Metodologi: Pengukuran kami terhadap tingkat pertumbuhan Kristen bersumber dari

Pew-Templeton Global Religious Futures Project

, sedangkan pengukuran kami terhadap favoritisme negara atau diskriminasi terhadap kekristenan bersumber dari

Religion and State Project

. Data ekonomi dan populasi bersumber dari

World Bank’s World Development Indicators

.

Speaking Out adalah kolom opini tamu Christianity Today dan (tidak seperti tajuk rencana) tidak mewakili pendapat publikasi.

Diterjemahkan oleh: George Hadi S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Khotbah Anda Bukanlah Karya Allah. Andalah Karya Allah.

Betapa transformasi batin membentuk proklamasi lahiriah.

Christianity Today August 28, 2021
Giacomo Flisi / Unsplash

Khotbah Anda bukanlah karya Allah. Andalah karya Allah. Saya menerima pemahaman ini dengan cara yang unik.

Ketika saya sedang sibuk memikirkan bagaimana memimpin sebuah yayasan yang dapat membantu denominasi-denominasi untuk merintis gereja-gereja baru, tanpa diduga seorang konsultan rekrutmen mendatangi saya untuk menanyakan apakah saya tertarik memimpin Alpha USA. Saya selalu menyukai titik persimpangan antara penginjilan, gereja, dan budaya. Saya sangat menghormati para pemimpin Alpha internasional, jadi saya sungguh-sungguh mencari pimpinan Tuhan sebelum mengambil peran baru ini.

Sebagai bagian dari pencarian itu, saya menelepon teman saya, Dallas Willard. Dallas dapat merasakan tekanan yang berlebihan pada diri saya dalam memilih pekerjaan. Dia berkata: “Todd, pekerjaanmu bukanlah karya Allah. Andalah karya Allah. Pekerjaanmu hanyalah satu konteks di mana Anda melatih dirimu sendiri kepada Yesus.” Saya menjadi tahu bahwa apa yang saya pelajari tentang pekerjaan di hari itu, berlaku juga bagi khotbah: Todd, khotbah Anda bukanlah karya Allah. Andalah karya Allah. Khotbah mengalir dari karya Allah di dalam diri kita.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Sebelum Proklamasi Khotbah

Memproklamirkan berarti meneriakkan sesuatu di depan umum. Kita para pengkhotbah menyukai proklamasi—aktif dan energik. Kita juga cenderung disemangati oleh gagasan tentang apa yang Tuhan lakukan melalui kita. Kita seakan terbang melayang karena kita dipakai oleh Tuhan. Ini sangat menyenangkan! Hal ini sendiri pada dasarnya bukanlah masalah, selama kita menyadari bahwa proklamasi khotbah membutuhkan “preklamasi”—pernyataan hati kita yang tenang dan tersembunyi untuk Tuhan sehingga motivasi utama kita, tidak peduli berapapun banyaknya orang, adalah untuk berkhotbah bagi satu Pendengar saja.

Khotbah yang seperti demikian adalah ekspresi eksternal dari suatu perjalanan batiniah. Patut diakui, berkhotbah sangatlah terkait erat dengan kehidupan pribadi si pengkhotbah. Realitas batin si pengkhotbah adalah permulaan aliran yang dari sanalah khotbah mengalir. Apa yang Tuhan lakukan dalam diri saya tercurah melalui khotbah saya.

Terdapat hubungan erat antara transformasi batiniah dan proklamasi lahiriah. Transformasi batiniah kita, tak dapat dipungkiri dan tak terhindarkan, akan mewarnai proklamasi lahiriah kita. Kita bisa mencoba berpura-pura, tetapi hati yang datar pasti akan menghasilkan pengajaran yang datar pula. Hati yang berduri akan meluap menjadi khotbah yang berduri dan kasar. Hati yang cemas memancarkan pesan yang menimbulkan kecemasan. Hati yang penuh penghakiman meracuni khotbah. Dan hasrat dalam berkhotbah agar “Tuhan, bicaralah melalui saya” akan menghasilkan perangkap yang serius jika kita tidak terlebih dahulu berdoa, “Tuhan, berbicaralah pada diri saya.” Kita harus memperhatikan pertanyaan yang penting: “Apa yang Tuhan lakukan dalam diri saya?”

Harta yang Berharga dalam Hati Anda

Eksegesis dan hermeneutika yang mendalam sangatlah penting. Bentuk homiletik yang efektif juga baik. Tetapi kita, para pengkhotbah, membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam. Kita mendambakan kuasa istimewa yang mengalir dalam diri kita dan membanjiri melalui hidup kita.

Apa yang membuat khotbah menjadi hebat? Harta dari hati seseorang. Saya memahami bahwa mempraktikkan hikmat Yesus tentang hati, akan merenovasi khotbah: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”; “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati”; “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu” (Mat 6:21; 12:34; 22:37).

Afeksi hati kita akan nampak nyata di dalam khotbah, sebagaimana halnya (atau bahkan mungkin lebih dari) kecerdasan kita. Afeksi yang diatur dengan benar itulah yang disinggung oleh Dallas, teman saya. Untuk menerapkan hal ini dalam berkhotbah, ia menulis:

Para pria dan wanita dalam pelayanan yang tidak menemukan kepuasan di dalam Kristus, cenderung menunjukkannya dengan kerja keras dan persiapan yang berlebihan untuk berkhotbah, dan tanpa merasakan damai terhadap apa yang mereka lakukan setelah mengkhotbahkannya. Jika kita belum datang kepada Allah dan menenangkan diri di dalam Dia, kita akan kembali dan berpikir, "Oh, andai saya melakukan ini," atau "Oh, mengapa saya tidak melakukan itu?" Ketika Anda datang ke tempat di mana Anda meminum banyak dari Tuhan dan memercayai Dia bertindak bersama Anda, maka akan ada kedamaian tentang apa yang telah Anda komunikasikan.

Berkhotbah tanpa kepuasan di dalam Yesus berisiko mengubah jemaat, yang adalah tubuh Kristus, menjadi pendengar yang darinya kita memperoleh semangat kedagingan dan kepuasan semu yang fana. Godaannya seperti ini: Saya tidak merasa puas di dalam Kristus, jadi ketika khotbah saya hanyalah bernilai 6,5 daripada 10, saya merasa tidak aman dan membutuhkan sesuatu dari orang banyak untuk meyakinkan bahwa saya adalah orang yang berharga. Tetapi para pengkhotbah yang benar-benar puas di dalam Yesus biasanya tidak tergoda memakai orang banyak untuk membuat diri mereka merasa aman atau terjamin.

Mengembangkan bentuk kepuasan ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Kita mungkin melakukannya dengan baik di beberapa masa dalam hidup kita dan melakukannya dengan buruk di masa yang lain. Tetapi sikap-sikap yang konsisten dan keadaan emosi yang stabil akan datang saat kita memupuk hati seperti yang dijelaskan di atas oleh Yesus. Parafrase saya atas Amsal 4:23 membantu saya menyelaraskan diri dengan apa yang Yesus inginkan: “Tempatkan semua yang Anda miliki ke dalam hatimu—yang tersembunyi, yang menjadi penyebab, dan yang memotivasimu-karena dari situlah memancar segala yang Anda lakukan. Itulah sumber sejati dari kehidupan lahiriah Anda. Hati menentukan seperti apa hidup Anda.”

Hari Minggu adalah sebuah Tuntutan yang Melelahkan

Hari Minggu dan segala tuntutan khotbahnya datang terus-menerus seperti roda yang tak henti-hentinya menggilas kita. Dan gilasan segala tuntutan tersebut, seiring waktu, dapat merusak semangat kita, yang kemudian menghancurkan khotbah kita. Paulus menyadari hubungan antara semangat dan khotbahnya. Bahkan, ia berkata, “Karena [Allah], yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil…" (Rm. 1:9). Frasa "dengan segenap hatiku" pada dasarnya berarti “secara rohani.” Ini mengacu pada khotbah yang berasal dari kedalaman hati kita. Ini adalah khotbah yang bukan hanya aktivitas mental atau jasmani saja, melainkan yang muncul dari segenap hati dan jiwa seseorang.

Di tengah tuntutan mingguan yang melelahkan untuk mempersiapkan khotbah-khotbah, bagaimana kita melindungi hati dan jiwa kita? Apa yang dapat membuat khotbah kita tetap segar, memerdekakan, dan berbuah? Ini sulit, tetapi saya menemukan bahwa saya tidak harus menjadi korban tuntutan tersebut. Beberapa prinsip membantu saya.

Eugene Peterson, ketika menjelaskan tentang lahan yang menjadi tempat khotbah terbaik bisa bertumbuh, mengutip dari Moby-Dick karya Herman Melville: “Untuk memastikan efisiensi terbesar dari panahan, para pemain tombak di dunia ini harus mulai berdiri dari kemalasan, dan bukan dari kesibukan bekerja keras.” Daripada selalu istirahat berkhotbah, saya belajar untuk berkhotbah dari istirahat yang esensial. Saya juga memakai waktu berkontemplasi dan menerima anugerah dan damai sejahtera. Hal ini membebaskan saya dari upaya untuk mengontrol apa yang dihasilkan. Ketika mengetahui bahwa Allah melakukan bagi kita, para pengkhotbah, apa yang tidak dapat kita lakukan sendiri, hal ini memberikan ketenangan hati bagi saya untuk berkhotbah.

Tuntutan berkhotbah tidak lagi mempengaruhi kita ketika kita memupuk kebergantungan yang semakin bertumbuh di dalam Roh Kudus. Bagi saya, perbuatan berbicara di depan umum merupakan luapan dari sikap mendengarkan secara pribadi. Hati yang tenang dan mau mendengarkan Roh Kudus, firman Tuhan, dan konteks hidup saya, tampaknya menjadi bahan utama untuk khotbah yang efektif.

Khotbah yang Penuh Anugerah, Kemurahan, dan Menumbuhkan

Sebagai seorang pengkhotbah muda, saya dulu cenderung berdoa untuk berbagai macam kesuksesan: untuk berbicara dengan baik, mendapatkan undangan lain untuk berkhotbah, atau agar banyak orang menginginkan rekaman khotbah saya. Tetapi doa-doa saya di tahun-tahun terakhir lebih selaras dengan ide-ide yang telah kita diskusikan.

Sekarang, sebelum berdiri untuk berkhotbah, saya meletakkan tangan di hati saya, tempat meluapnya kata-kata, sebagaimana yang Yesus katakan. Saya berdoa, "Tuhan, tolong saya untuk benar-benar hadir saat ini dan bagi kumpulan orang ini. Pancarkan di dalam dan melalui saya, kehadiran yang penuh anugerah, kemurahan, dan menumbuhkan. Mazmur 23 juga berguna pada saat-saat itu. Saya membayangkan dalam pikiran saya elemen-elemen tubuh yang tersirat dalam kata-kata pemazmur: “Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah” (ay.5).

Dengan kesadaran bahwa saya adalah karya Allah dan bahwa Ia telah berkarya di dalam saya, maka saya meminta agar apa yang telah Tuhan nyatakan dalam diri saya, dapat membawa kebaikan bagi orang-orang lain. Dengan mengingat wawasan dari Tuhan, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati," saya pun naik ke mimbar, berusaha untuk berkhotbah dari dalam hati saya memancar ke luar melalui perkataan.

Todd Hunter adalah uskup dari Churches for the Sake of Others di Gereja Anglikan Amerika Utara. Seorang penulis dan profesor, dia juga adalah mantan presiden dari Vineyard USA dan Alpha USA.

Diterjemahkan oleh: Ivan K. Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Para Pendeta, Utamakanlah Hadirat Ilahi Daripada Performa

Betapa pekerjaan pelayanan bergantung pada partisipasi kita di dalam Kristus.

Christianity Today August 28, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Larisa Birta / Unsplash / Wynnter / Getty Images

Sesudah kita melewati satu tahun karantina wilayah akibat COVID-19 dan semakin banyak gereja yang mulai berkumpul kembali secara fisik, sungguh sangat menenangkan ketika merenungkan setahun terakhir pelayanan ini. Pada Agustus 2020, saya menemui jalan buntu. Saya kelelahan secara fisik, kering secara emosional, dan tidak mampu mengatasinya dengan baik. Saya dan istri baru saja memulai Bright City Church pada September 2018, jadi wajar saja jika karantina wilayah tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang akankah jemaat kami dapat bertahan melewati pandemi.

Saya pernah menghadapi beberapa kecemasan dan depresi di masa lalu, dan perasaan-perasaan itu mulai muncul lagi. Saya menyadari bahwa sumber utama kecemasan dan kelelahan emosional saya pada saat itu adalah tekanan yang saya rasakan untuk “tampil” sebagai seorang pendeta. Dari bagaimana saya berkhotbah hingga seberapa berdampaknya pelayanan kami, serta bagaimana saya memimpin tim, mengadakan pertemuan-pertemuan, juga membimbing jemaat kami, saya terus-menerus menilai diri berdasarkan performa saya. Saya telah mengadopsi sebuah model pelayanan yang tidak sehat—meski sangat umum.

Ketika saya bergumul dengan kelelahan ini, kata-kata Yesus yang berharga ini memenuhi jiwa saya: “Tinggallah di dalam Aku.” Meskipun tampak sederhana, kata-kata itu merujuk pada salah satu realitas teologis yang paling mendalam di seluruh Perjanjian Baru: partisipasi kita di dalam Kristus.

“Partisipasi dalam Kristus” berarti kita mengalami hubungan Kristus dengan Bapa melalui kuasa Roh Kudus. Bisa juga dikatakan bahwa kehidupan Kristus itu sendiri terulang di dalam kita. Hubungan Kristus dengan Bapa ditandai setidaknya oleh tiga hal—keintiman dengan Bapa (Yoh. 1:18), kedamaian di hadirat Bapa (Yoh. 14), dan kepuasan dari Bapa yang memberi kesenangan dan kepuasan di dalam diri-Nya (Yoh. 5:19). Saat saya mengalami masa pelayanan yang sulit ini, saya mulai berpikir, “Tentunya pengalaman dari hubungan Kristus sendiri dengan Bapa ini pasti mengandung sebuah pesan untuk pelayanan yang melelahkan ini.”

Apa yang saya temukan untuk diri saya sendiri adalah yang saya rekomendasikan di sini: Pelayanan paling baik dipahami sebagai pengulangan kehidupan Kristus sendiri di dalam kita, dan bahwa sebagai pendeta, kita akan paling merasa tenang, paling damai, dan paling puas ketika kita melakukan pelayanan dengan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya. Dengan cara demikian, pelayanan menjadi konteks di mana kita mengambil bagian dalam hubungan Yesus sendiri dengan Bapa.

Yesus sering mengatakan hal itu di sepanjang Injil Yohanes: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku” (14:7). “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah Bapa” (14:9). “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (15:10). Karl Barth mengatakannya seperti ini: “Saat Yesus Kristus memanggil kita dan panggilan itu didengar oleh kita, Ia memberi kita Roh Kudus-Nya agar hubungan-Nya dengan Bapa dapat terulang di dalam kita.”

Meski kedengarannya baik, ada banyak rintangan untuk melihat pelayanan dengan cara seperti ini. Sebaliknya, kita malah terhanyut sehingga melihat pelayanan sebagai hal yang mendefinisikan identitas kita, menetapkan nilai kita, sarana untuk mencapai tujuan kita sendiri, atau sekedar menyampaikan pengetahuan kita tentang Tuhan kepada orang lain.

Ketika pelayanan adalah pengulangan dari hubungan Kristus sendiri dengan Bapa di dalam kita, kesetiaan perjanjian-Nya itulah yang mendefinisikan identitas kita, bukan penampilan kita di mimbar. Penerimaan Tuhan yang tanpa syarat menentukan nilai kita, bukan pujian yang berubah-ubah dari manusia. Kemerdekaan untuk mengejar tujuan-Nya dalam pelayanan menggantikan tekanan untuk mengejar tujuan kita sendiri. Kedamaian pelayanan yang ditopang oleh tindakan dari Allah yang terus berlangsung, menggantikan beban pelayanan yang disebabkan oleh usaha-usaha kita sendiri. Sebuah fokus agar kita sendiri mengalami pengenalan akan Tuhan, menggantikan tekanan yang kita rasakan untuk sekedar mengomunikasikan pengetahuan tentang Tuhan itu secara memadai kepada orang lain.

Seperti apa jadinya pelayanan itu jika kita melihatnya sebagai pengulangan dari kehidupan Kristus itu sendiri di dalam hidup kita?

Yang terlihat adalah pelayanan itu akan menggantikan kecemasan sesaat dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Itu berarti “menemukan kebahagiaan terus-menerus dalam persekutuan ilahi,” seperti yang ditulis Frater Lawrence dalam Practicing the Presence of God. Itu berarti memercayai pemahaman yang Paulus terima: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna" (2Kor. 12:9). Itu berarti hidup dalam kerendahan hati yang sejati, yang sepenuhnya bergantung pada Allah.

Jika apa yang Kristus miliki dengan Bapa adalah yang juga kita inginkan (keintiman dengan Bapa, kedamaian di hadirat-Nya, dan kepuasan dari Dia yang mendatangkan kesenangan dan kepuasan pada diri kita), maka saya terpikir tiga prioritas bagi perubahan paradigma dalam pelayanan.

1. Prioritaskan keintiman daripada efisiensi

Pada tahap awal perintisan gereja, mudah sekali bagi kita untuk terobsesi dengan efisiensi. Seberapa cepat saya dapat menyelesaikannya? Apakah ada cara yang lebih cepat? Apa yang bisa saya delegasikan? Kepada siapa saya dapat mendelegasikannya? Meski demikian, keintiman dengan Tuhan, menyisakan sedikit ruang bagi ketertarikan kita terhadap efisiensi.

Keintiman membutuhkan waktu; berjalannya perlahan. Keintiman tidak bisa diburu-buru atau tergesa-gesa. Keintiman tidak dapat bertumbuh ketika perhatian kita terbagi-bagi. Dengan cara yang sama, partisipasi kita dalam hubungan Anak dengan Bapa adalah sesuatu untuk dihayati, diresapi, dinikmati. Tak satu pun dari semua ini akan terwujud dengan baik bila dilakukan dengan tergesa-gesa. Dan mengapa kita mau untuk tergesa-gesa? Tidakkah kita lebih suka berlama-lama di hadirat-Nya dan dipuaskan oleh kedamaian dan keintiman dengan Tuhan? Bukankah kita lebih suka melayani secara intensional?

Ketika kita memprioritaskan keintiman daripada efisiensi, kita menemukan kebenaran ini: Mengerjakan lebih sedikit bersama Tuhan masih lebih banyak daripada yang bisa saya lakukan sendiri.

2. Prioritaskan kehadiran daripada performa

Tekanan untuk berprestasi adalah salah salah satu rintangan terbesar untuk menikmati hadirat Tuhan dalam pelayanan. Tekanan tersebut adalah mempertanyakan secara internal, “Apakah saya melakukan pekerjaan dengan baik?” Hal ini mengalihkan perhatian pada diri kita sendiri dibanding kepada Tuhan, dan tentunya menjauhkan kita dari jemaat gereja yang ada di depan kita.

Ketika kita menggeser prioritas kita kepada kehadiran, keasyikan kita dengan diri sendiri akan dikoreksi. Kita kembali melihat lagi orang-orang yang diutus untuk kita layani. Kita tidak dikuasai oleh kecemasan akan persiapan kita. Kita bersekutu dengan sang Kebenaran: “Tuhan, Engkau telah memberikan segala yang saya perlukan untuk saat ini. Saya di sini untuk mereka, bukan untuk saya. Saya akan melakukannya dengan kekuatan-Mu, bukan dengan kelemahan saya.”

3. Prioritaskan untuk menyerupai Yesus daripada membuat orang lain terkesan.

Barangkali rintangan terbesar untuk mengalami kehidupan Kristus itu sendiri adalah godaan agar kita berfokus untuk membuat orang lain terkesan, daripada untuk kita menyerupai Yesus. Dalam The Selfless Way of Christ: Downward Mobility and the Spiritual Life, Henri Nouwen berkata, “Kita bertindak seolah-olah visibilitas dan ketenaran adalah kriteria utama untuk menilai apa yang kita lakukan.” Apakah pelayanan saya berharga? Apakah saya berharga jika jumlah penonton tidak banyak, penayangan tidak viral, dan pengikut tidak bertambah banyak?

Nouwen mengamati bahwa kebutuhan untuk membuat orang lain terkesan terkait erat dengan kepribadian dan identitas kita. “Untuk menjadi seseorang dan untuk dilihat, dipuji, disukai, dan diterima hampir sama diinginkan oleh banyak orang. Siapakah saya jika tidak ada yang memperhatikan, mengucapkan terima kasih, atau mengakui karya saya?” Sayangnya, semakin kita merasa tidak aman, semakin kita merasa sangat butuh untuk mengesankan orang lain. Hal inilah yang memulai kembali seluruh model pelayanan yang melelahkan: Saya perlu tampil mengesankan, oleh karena itu saya harus tampil dengan lebih baik lagi, dan untuk tampil lebih baik, saya harus menjadi lebih efisien. Ini adalah siklus yang kejam dengan sedikit sekali ruang untuk ketenangan, kedamaian, kehadiran, dan keintiman.

Solusinya adalah meniru cara Kristus yang tidak mementingkan diri sendiri dalam bentuk mobilitas ke bawah, kata Nouwen. Di situlah kemerdekaan sejati ditemukan. Mobilitas ke bawah adalah cara Kristus memasuki dunia, mengosongkan diri-Nya dari hak istimewa ilahi-Nya, dan berjalan di antara kita sebagai seorang hamba (Fil. 2). Ia berpindah dari kekuatan kepada kelemahan, dari kepenuhan menuju pengosongan, dari berjubahkan kemuliaan di atas takhta menuju ketelanjangan di kayu salib. Ketika kita melepaskan diri dari usaha yang melelahkan untuk membuat orang lain terkesan, maka kita sekarang bebas mengarahkan diri kita tanpa pamrih kepada orang lain.

Partisipasi dalam Kristus artinya hidup menurut cara yang sama seperti yang Kristus lakukan dalam inkarnasi-Nya, yaitu ke bawah untuk mengubah dunia kita. Dalam usaha untuk menjadi bukan apa-apa, kita memberi ruang bagi Tuhan untuk menjadi segala-galanya. Kemerdekaan terbesar dalam pelayanan ditemukan ketika kita mengosongkan diri dari semua hal yang kita pikir seharusnya kita lakukan, sehingga Ia dapat memenuhi kita dengan apa yang Dia inginkan dari kita.

Ike Miller adalah penulis Seeing by the Light dan memiliki gelar Ph.D dalam bidang teologi dari Trinity Evangelical Divinity School. Ia adalah gembala jemaat di Bright City Church di Durham, Carolina Utara, di mana dia tinggal bersama istrinya, Sharon, dan ketiga anak mereka.

Diterjemahkan oleh: Kalvin Budiman

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Latihlah Remaja: Sebagian Besar Kaum Muda Injili Menganut Iman Orang Tua Mereka

Orang tua Kristen mempertimbangkan tantangan pemuridan kaum remaja.

Christianity Today August 17, 2021
Elisa Schulz / Lightstock

Mayoritas remaja Amerika masih mengikuti jejak orang tua mereka dalam hal agama. Tren tersebut berlaku, baik dalam keluarga yang religius atau tidak-tetapi ini adalah kabar baik terutama bagi kaum Protestan Injili, yang paling peduli tentang anak-anak mereka agar memiliki iman yang sama.

Remaja Injili, seperti orang tua mereka, tampil menonjol sebagai kaum yang paling percaya diri dan aktif dalam iman jika dibandingkan dengan teman-teman sebaya mereka, menurut laporan terbaru dari Pew Research Center tentang praktik-praktik keagamaan dari anak usia 13-17 tahun.

Komposisi religiusitas remaja saat ini sebagian besar menyerupai populasinya secara keseluruhan. Sekitar sepertiganya adalah “kalangan nones” (yang mengidentifikasi diri sebagai bukan siapa-siapa khususnya dalam hal agama, ateis, atau agnostik). Ini merupakan kategori terbesar. Kemudian, sekitar seperempatnya mengidentifikasikan diri beragama Katolik dan 21 persen adalah Injili.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Bahkan sebagai remaja, lebih dari separuh kaum Injili yang disurvei mengatakan bahwa mereka menghadiri gereja setidaknya setiap minggu (64%), berdoa setidaknya setiap hari (51%), dan tergabung dalam persekutuan kaum muda (64%), dibandingkan dengan minoritas responden remaja dari kalangan Kristen lainnya. (Data ini bukan hanya karena tekanan dari orang tua. Dalam survei tersebut, dua pertiga remaja Injili mengatakan bahwa mereka menghadiri gereja karena mereka ingin pergi ke gereja, bukan untuk menyenangkan ibu dan ayah.)

Keluarga berperan besar dalam kehidupan devosional kaum muda Injili. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka menikmati kegiatan keagamaan bersama keluarga mereka (88%), dengan 55% membaca Alkitab bersama, 80% berdoa saat makan bersama keluarga, dan 88% berbicara tentang agama, ungkap Pew Research.

Praktik-praktik ini sesuai dengan keyakinan yang lebih besar dalam kepercayaan agama mereka. Sementara hampir semua remaja yang menganut tradisi Kristen mengatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan, 71% remaja Injili mengatakan bahwa mereka “benar-benar mantap” dengan keyakinan mereka, dibandingkan dengan aliran utama kekristenan lainnya yang kurang dari setengah (49%) dan remaja Katolik (45%). Remaja Injili juga satu-satunya kelompok di antara kalangan remaja yang setuju bahwa hanya ada satu agama yang benar.

Tetapi tidak semua keluarga berada pada jejak langkah rohani yang sama ketika anak-anak mulai masuk usia remaja. Dua belas persen remaja dengan orang tua Injili tidak beragama. Secara keseluruhan, sekitar setengah dari remaja masa kini mengatakan bahwa setidaknya beberapa keyakinan mereka berbeda dari orang tua mereka, meskipun masih dalam aliran yang sama. Cara paling umum remaja memandang keyakinan mereka ketika membandingkannya dengan keyakinan ayah dan ibu mereka, ada kaitannya dengan tingkat kepastian: 14 persen remaja mengatakan bahwa mereka memiliki lebih banyak pertanyaan atau lebih tidak yakin.

Menurut Pew Research, dua pertiga remaja yang tidak memiliki keyakinan yang “sepenuhnya sama” seperti orang tua mereka berkata bahwa keluarga mereka tahu tentang perbedaan tersebut, sementara sepertiga lainnya mengatakan tidak. Remaja yang sedang membentuk pandangan dan pendekatan religius mereka sendiri seiring mereka beranjak dewasa bisa cukup membingungkan bagi anggota keluarga lainnya. Pew Research menemukan bahwa orang tua yang salah menilai keyakinan anak-anak mereka cenderung melebih-lebihkan tentang betapa pentingnya iman bagi mereka pribadi.

Ini juga bisa menjadi topik yang sensitif untuk dibahas oleh orang tua dengan anak remaja mereka. Sekitar tujuh dari sepuluh orang tua Injili menganggap “sangat penting” untuk membesarkan anak-anak dalam iman mereka. Mereka lebih memprioritaskan hal ini ketimbang aliran Kristen lainnya—setengah dari kaum Protestan mengatakan hal yang sama. Tetapi sebanyak apapun mereka memberi teladan iman, mengelilingi anak-anak mereka dengan komunitas Kristen, dan berdoa bagi keselamatan anak-anak mereka, para orang tua Injili ini juga sadar bahwa putra putri mereka—dengan anugerah Allah dan kuasa Roh Kudus—pada akhirnya harus belajar untuk memahami Injil itu secara pribadi.

CT bertanya kepada orang tua dari para remaja tentang seberapa pentingnya keyakinan anak remaja mereka agar selaras dengan keyakinan mereka dan bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap iman anak-anak mereka pada tahap ini. Berikut tanggapan mereka:

Dorena Williamson, pembicara, penulis, dan salah satu pendiri Strong Tower Bible Church di Nashville:

Saya mendekati iman anak-anak saya dengan pemahaman bahwa tidak mudah tumbuh bersama orang tua yang terpanggil untuk melayani di gereja. Saya juga seorang anak pendeta dan paham bahwa otentisitas adalah kuncinya. Saya mencari cara untuk mendorong iman mereka dalam suasana yang ada di rumah. Saya selalu mendoakan mereka, mencari tahu musik yang mereka sukai, dan membangun percakapan tentang masalah terkini yang penting bagi mereka. Mudah-mudahan, hal ini dapat menunjukkan bahwa saya peduli dengan minat mereka. Saya tidak berharap perjalanan iman anak-anak saya mencerminkan perjalanan iman saya. Masa-masa ini memiliki berbagai tantangan dan kesempatan baru, dan mereka memiliki jalannya sendiri untuk ditempuh. Pada tahap kehidupan rohani mereka ini, saya berdoa agar mereka dapat mengasihi Tuhan dan sesama dengan sepenuh hati mereka. Saya tahu hal itu menyenangkan hati Tuhan dan merupakan warisan yang akan terus bertahan.

Beth Felker Jones, profesor teologi di Wheaton College:

Doa terbesar bagi anak-anak saya adalah agar mereka mengasihi Yesus dan menyerahkan hidup mereka kepada-Nya. Saya percaya ini bukanlah sesuatu yang bisa saya kontrol, karena hal ini adalah anugerah, namun saya mendoakannya dan mencoba mengusahakannya dengan cara berbicara dengan mereka tentang iman dan memastikan bahwa mereka memiliki komunitas orang Kristen dewasa yang kuat di dalam hidup mereka. Saya berharap anak remaja saya datang ke gereja dan ke persekutuan remaja, berdoa bersama keluarga, membaca Kitab Suci. Saya berharap mereka dapat berbicara bebas dengan saya dan ayah mereka tentang pertanyaan-pertanyaan iman.

Saya tidak berpikir orang tua dapat mengubah anak-anak menjadi klon kami, dan ketika menyangkut hal-hal yang tidak penting, saya mencoba untuk tidak terlalu mempermasalahkan bilamana mereka tidak sepenuhnya sependapat dengan saya. Jika mereka menjadi orang dewasa yang hidup bersama dan bagi Yesus, maka doa-doa saya telah terkabul, dan saya akan melakukan yang terbaik untuk tidak meributkan apakah mereka pergi ke gereja yang berbeda dengan saya atau memiliki kepercayaan yang berbeda tentang apa arti baptisan. Dan hal ini adalah sesuatu yang saya coba komunikasikan langsung kepada anak remaja saya: Saya tidak berharap membuat mereka seperti saya. Saya ingin mereka akan mencintai Yesus dan menjadi seperti Dia.

John Starke, pendeta utama di Apostles Church Uptown di New York:

Seringkali saat kita berbicara tentang menginginkan anak-anak kita untuk menyelaraskan kepercayaan mereka dengan kepercayaan kita, hal itu sesungguhnya merupakan semacam bentuk kultural dari kepercayaan, namun bukan iman yang alkitabiah, dan ini cenderung menjadi iman yang tertutup, bukan iman yang berdasarkan pemahaman. Pada saat yang sama, kita percaya adanya surga dan neraka, bahwa Tuhan menginginkan pertobatan, dan bahwa budaya masa kini menggoda kita agar tidak percaya dan memberontak pada Tuhan. Harapan saya adalah mereka memperoleh belas kasihan dan mengalami anugerah melalui iman.

Kami ingin mereka memahami iman kami, mengenali kepalsuan kulturalnya, tetapi juga merasakan kebebasan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit sambil "mencoba memakai iman" tersebut saat mereka beranjak dewasa. Saya ingin anak-anak saya merasa bahwa mereka juga memiliki iman yang sama, karena hal itu mungkin akan membuat mereka merasa paling aman sebagai individu seiring mereka beranjak dewasa dan menumbuhkan identitas diri mereka sendiri yang terpisah dari kami dan ketika mereka mulai tumbuh dan membentuk iman mereka sendiri di dalam Kristus.

Jen Michel, penulis Surprised by Paradox, Keeping Place, dan Teach Us to Want:

Kami ingin memberi anak-anak kami formasi rohani Kristen yang terbaik di rumah kami, dan tentu saja kami melakukannya dengan tidak sempurna. Tetapi ketika anak-anak kami kini satu per satu meninggalkan rumah, kami menyadari bahwa iman yang mereka bawa haruslah milik mereka sendiri, bukan milik kami.

Saya baru saja menulis surat kelulusan yang sangat terlambat untuk putra saya yang berusia 17 tahun (mendekati usia 18 tahun). Dia tidak mau menyebut dirinya sebagai seorang Kristen, dan itu sangat sulit. Saya ingin dia mengenal realitas Yesus, tetapi saya juga sepenuhnya sadar bahwa dia membutuhkan lebih dari sekedar iman yang diwariskan. Sebaliknya, putri kami, yang saat ini kuliah di tingkat dua, hidup di dalam Yesus dan terlibat pelayanan di kampusnya. Itu merupakan kegembiraan yang luar biasa, dan kami bersyukur kepada Tuhan atas hal ini.

Melissa Cain Travis, asisten profesor bidang apologetika di Houston Baptist University:

Saya menganggapnya sebagai suatu tanda yang sangat positif ketika putra remaja saya berdebat secara teologis dengan saya. Hal ini berarti mereka sedang berpikir secara kritis dan mendalam tentang doktrin kekristenan! Ini jauh lebih baik daripada ketidaktertarikan, dan hal ini memicu percakapan yang kaya (dan terkadang sangat panjang) di mana saya dapat menunjukkan rasa hormat secara intelektual kepada mereka sambil menawarkan bimbingan yang lembut.

Saya mencoba untuk mengembangkan etos kekristenan asali dalam diskusi kami, namun menjelaskan bahwa isu seputar teologis sekunder tetap perlu dipertimbangkan dengan cermat. Saya benar-benar senang ketika putra-putra saya membahas tentang hal-hal yang tidak terlampau penting dan mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda namun telah dipikirkan dengan matang. Dalam hal tersebut, saya hanya memastikan bahwa mereka memahami kegunaan dari perspektif saya.

Kara Powell, direktur eksekutif Fuller Youth Institute:

Hubungan anak-anak saya dengan Yesus merupakan hal yang sangat penting bagi saya. Sebagai ibu dari anak berusia 19, 17, dan 14 tahun, ada banyak hari di mana saya berdoa lebih banyak untuk iman mereka ketimbang hal lainnya. Sejujurnya, sebagian diri saya sebenarnya menginginkan anak-anak saya mempercayai seperti saya dan beribadah seperti saya (dan punya pilihan politik seperti saya, makan seperti saya; daftarnya bisa terus berlanjut). Tetapi ketika saya mengupas lebih dalam, sebenarnya yang saya rindukan adalah agar mereka tahu bahwa Yesus mengasihi mereka dan mereka mau mengasihi-Nya juga. Saya ingin mereka tahu bahwa Yesus menawarkan jawaban terbaik untuk pertanyaan mereka tentang identitas, kepemilikan, dan tujuan.

Saat anak-anak kita memiliki iman secara pribadi, cara mereka mengalami kasih Tuhan, dan mengungkapkan kasih mereka sebagai balasannya, sudah terlihat berbeda dari saya. Berdasarkan penelitian untuk buku kami Growing With, saya mencoba mengajukan dua pertanyaan kepada setiap anak saya: “Apa yang tidak kamu yakini lagi namun yang menurutmu masih saya yakini?” Dan, “Apa yang kini kamu yakini, namun yang menurutmu tidak saya yakini?” Saya ingin kami dapat mendiskusikan apa saja tentang Yesus dan iman, terutama ketika kami tidak sepakat. Dengan kedua putri kami yang masih sekolah menengah atas … mereka lebih progresif dalam beberapa isu budaya dan bahkan terlihat lebih bersemangat tentang keadilan. Ketika perbedaan itu muncul dalam diskusi kami, saya dengan sengaja menyarankan, “Ketika kalian lebih dewasa nanti, ada baiknya kalian mencari gereja yang mencerminkan apa yang kalian yakini.” Pada akhirnya, saya ingin anak-anak saya mencintai gereja Tuhan, bukan gereja saya.

Amy Whitfield, pembawa acara SBC This Week dan wakil presiden asosiasi dengan Komite Eksekutif SBC:

Iman kita bersama di dalam Kristus, bersama dengan keterlibatan di gereja lokal, sangatlah penting dalam kehidupan keluarga kita. Saat remaja kita beranjak dewasa, pemuridan jelas merupakan bagian dari pengasuhan kita, tetapi peran iman dalam hubungan kita berubah. Ketika mereka masih muda, kami mengambil peran kepemimpinan yang sangat proaktif. Kami berdiri di depan dan secara sistematis mengarahkan mereka pada kebenaran Injil. Sekarang, saat mereka bertumbuh secara rohani, kami mulai berjalan bersama mereka sebagai kakak pembimbing di dalam Kristus, mendorong mereka untuk belajar Alkitab secara pribadi dan membantu mereka memahami dan menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Diterjemahkan oleh: Timothy Daun

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Jika Anda Melihat Sesuatu, Katakan Sesuatu

Gereja kekurangan saksi yang jujur akan kegagalan moral.

Christianity Today August 17, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Alexander Krivitskiy / Unsplash

Saya biasanya tidak marah ketika membaca berita. Sekarang tidak lagi. Setelah 20 tahun bekerja di CT, saya terbiasa membaca tentang dosa manusia. Bagian dari pekerjaan saya dahulu adalah memilah-milah setiap berita keagamaan yang menarik dan menyoroti berita-berita teratas untuk para pembaca daring kami. Rentetan berita setiap hari tentang para pemimpin pelayanan yang mengundurkan diri atau dipecat karena kegagalan moral menjadi sangat biasa sehingga saya jarang memperhatikannya. Tetapi hal itu adalah demoralisasi. Selama satu periode, ada masa di mana saya berharap saya mendengar berita lain. Setelah satu bulan penuh membaca kisah kegagalan moral, saya mencari bantuan rohani. Krisis saya pun berlalu.

Karena itu, saya terkejut ketika mendapati diri saya berduka di bulan ini saat membaca sebuah berita. Berduka, dan marah.

Ada Patrick Sookhdeo, salah satu advokat yang paling menonjol bagi orang-orang Kristen teraniaya, terutama di negara-negara mayoritas Muslim. Pengadilan Inggris memutuskan dia bersalah karena menyentuh secara seksual seorang karyawan wanita dan mengintimidasi para saksi.

Kira-kira pada waktu yang sama, aktivis hak asasi manusia Chai Ling menuduh apologet Yuan Zhiming memperkosanya pada tahun 1990, sebelum mereka berdua menjadi orang Kristen terkenal. (Lihat “Matius 18, 25 Tahun Kemudian.”)

Dan bukan hanya dua kasus ini saja yang kami selidiki di bulan ini. Tetapi kasus Sookhdeo dan Yuan menggambarkan respons defensif yang cenderung kita dapatkan dari organisasi-organisasi pelayanan ketika dosa pemimpin mereka dipublikasikan.

Lembaga Barnabas Aid International bersikeras bahwa dari penyelidikan internalnya sendiri, tidak ditemukan adanya kesalahan terkait tuduhan yang ditujukan kepada Sookhdeo. Setelah keputusan pengadilan, para pemimpin pelayanan di Barnabas Aid berulang kali mengarahkan CT ke artikel daring yang menyiratkan bahwa korban berusaha menjatuhkan Barnabas Aid. Penulis artikel tersebut kemudian membandingkan korban dengan istri Potifar dan mengatakan Sookhdeo tidak akan mempertaruhkan kariernya karena payudara yang “tidak layak untuk dilihat.” Barnabas Aid mengatakan kepada CT bahwa mereka menerima pengunduran diri Sookhdeo sebagai pengurus yayasan, tetapi ia bisa tetap di posisinya jika dia mau. Ia tetap menjadi direktur internasional Barnabas Aid.

Demikian pula, China Soul for Christ Foundation, lembaga pelayanan Yuan, bersikeras bahwa hanya mereka yang memiliki hak dan kemampuan untuk menentukan kebenaran dari tuduhan-tuduhan yang diajukan terhadap pendiri dan presidennya. “Pendeta Yuan mengundurkan diri dari tugas dan pelayanan pastoralnya, tetapi bukan dari gelar dan posisinya, untuk menenangkan diri di dalam Tuhan dan memperbarui dirinya selama pencobaan ini,” kata juru bicara lembaga pelayanan itu kepada CT. “Pengunduran diri bukanlah suatu bentuk hukuman apa pun.”

Dalam kabar berita yang kami sampaikan, kami telah berusaha untuk mewakili semua pihak secara akurat dan adil. Tetapi, secara umum, ketika kasus seperti itu muncul, saya mendapati bahwa klaim tidak bersalah semakin sulit dipercaya. Pengalaman saya mengajarkan bahwa para pemimpin organisasi secara dramatis meremehkan kapasitas mereka sampai menipu diri sendiri dan menutup mata.

Ya, saya pernah mengenal orang-orang terluka yang membuat tuduhan palsu. Beberapa orang benar-benar berusaha untuk mengambil keuntungan dari dosa orang-orang Kristen lainnya. Saya sangat berhati-hati terhadap budaya kita yang suka mengawasi orang lain dan budaya media sosial kita yang suka menghina sekaligus menganggap diri benar.

Meski begitu (dan saya benci menggunakan kata-kata yang digunakan oleh pihak keamanan bandara): Jika Anda melihat sesuatu, katakan sesuatu. Saya yakin Anda sudah terbiasa dengan bahaya dari tuduhan palsu. Namun hampir pasti, Anda kurang terbiasa dengan upaya Anda untuk mengakui kesalahan yang dilakukan oleh teman, kolega, dan pemimpin pelayanan Anda.

Tanyakan kepada jurnalis agama, mana yang lebih sering mereka temui: saksi palsu dan tukang fitnah, atau orang yang tahu secara langsung suatu perbuatan yang salah tetapi tetap diam?

Tanyakanlah William Lobdell. Dia adalah reporter agama untuk Los Angeles Times. Dia sudah tidak bekerja di sana lagi. Dia juga bukan seorang Kristen lagi. Bertahun-tahun melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pastor Katolik dan penipuan spiritual oleh TBN membuatnya terpukul keras. Tetapi yang paling menghancurkan bagi dia adalah sikap para uskup yang menutup-nutupi dan para pendeta Injili yang menolak mengomentari TBN.

Ada banyak orang lain seperti Lobdell—yaitu orang-orang yang imannya tidak terlalu terguncang oleh dosa para pemimpin, tetapi mereka lebih terguncang oleh sikap gereja dan lembaga pelayanan yang mengizinkan dosa tersebut. “Pendeta tersebut melakukan sesuatu yang salah” itu menyedihkan. “Orang-orang itu tahu dan tidak melakukan apa-apa” itu sangat menghancurkan hati.

Ini bukanlah seruan untuk menjadi paranoia atau berasumsi bahwa setiap orang bermaksud jahat. Ini bukan panggilan untuk berburu penyihir. Ini adalah seruan untuk memeriksa diri—dan memohon. Jika Anda mengetahui sesuatu, beri tahu seseorang. Jika Anda berharap sesuatu akan selesai dengan sendirinya, Anda perlu menjadi takut bahwa hal itu akan meledak dan dampaknya sangat buruk. Jika Anda berdoa agar Tuhan akan menyingkapkannya, dengarkanlah panggilan-Nya untuk “Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu” (Ef. 5:11). Saat kita mengatakan sesuatu, kita membantu memastikan bahwa perbuatan-perbuatan kegelapan yang dilakukan secara rahasia tidak lagi mendatangkan malapetaka dalam kehidupan orang yang tidak bersalah.

Ted Olsen adalah redaktur pelaksana berita dan jurnalisme daring untuk Christianity Today.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Penelitian: Pemahaman Alkitab yang Membahas tentang Trauma Mengurangi Depresi, Kecemasan, dan Kemarahan

Penelitian di penjara Virginia dapat membantu gereja mengatasi dampak emosional dari pandemi.

Christianity Today August 2, 2021
Godong / Getty Images

Suatu hari nanti pandemi ini mungkin akan berlalu, dan COVID-19 akan menjadi kenangan. Tetapi trauma—dari isolasi, menyaksikan orang-orang yang meninggal, menghadapi tekanan finansial, dan hidup dengan rasa kehilangan dan kecemasan terhadap hal yang tidak diketahui—akan terus berlanjut untuk waktu yang lama.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit), persentase orang dewasa Amerika dengan gejala gangguan kecemasan dan depresi baru-baru ini meningkat lebih dari 5 poin dalam jangka waktu musim panas 2020 hingga musim semi 2021. Satu dari setiap 10 orang melaporkan bahwa mereka memiliki kebutuhan perawatan kesehatan mental yang tidak terpenuhi.

“Kita akan melihat tingkat trauma ini selama bertahun-tahun,” kata Nicole Martin, direktur eksekutif penyembuhan trauma di American Bible Society (ABS). “Trauma ini tidak akan hilang begitu saja ketika semua orang divaksinasi dan semua orang diizinkan masuk ke dalam ruangan.”

Martin dan American Bible Society ingin memenuhi kebutuhan itu dengan pemahaman Alkitab yang membahas tentang trauma, yaitu mengajarkan orang-orang tentang penyembuhan trauma dengan menggunakan Kitab Suci.

Sebuah penelitian ABS baru-baru ini oleh para peneliti dari Baylor University menemukan bahwa menggabungkan pendidikan tentang praktik layanan kesehatan mental yang terbaik dengan pemahaman Alkitab dapat memberikan manfaat yang signifikan. Dalam penelitian mereka, hal ini dapat mengurangi gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan meningkatkan pengampunan, kasih sayang, dan kesadaran akan tujuan.

“Saat Amerika mengalami krisis kesehatan mental, penelitian ini menunjukkan manfaat potensial dari perawatan yang peduli akan pentingnya iman bagi orang-orang yang mengalami trauma,” kata Robert L. Briggs, presiden dan CEO ABS. “Alkitab telah terbukti menjadi sumber yang vital bagi penyembuhan emosional, spiritual, fisik, dan mental.”

Penelitian ini melihat keefektifan kurikulum ABS Healing the Wounds of Trauma (Penyembuhan Luka Trauma), yang diajarkan di dalam Penjara Regional Riverside di North Prince George, Virginia.

Sekelompok orang yang terdiri dari 210 pria dan wanita yang dipenjara menjadi sukarelawan untuk mengikuti program lima sesi, di mana para fasilitator terlatih membacakan dan merenungkan Kitab Suci bersama-sama dengan peserta dan memandu mereka melalui proses untuk mengenali rasa sakit mereka, membagikannya, dan membawa trauma mereka kepada salib Kristus untuk penyembuhan, sehingga mereka dapat terbebas untuk merawat diri mereka sendiri dan melayani orang lain. Para peserta menjawab pertanyaan tentang diri dan kesehatan mental mereka sebelum program, segera setelah program, satu bulan setelah program, dan tiga bulan setelah menyelesaikan program. Kelompok lain yang terdiri dari 139 orang yang dipenjara secara sukarela mengikuti survei tanpa mengikuti program tersebut.

Membandingkan kedua kelompok tersebut, peneliti menemukan bahwa program tersebut menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik.

“Setiap kali seseorang mengatakan bahwa program tertentu sangat efektif berdasarkan tingkat keberhasilan peserta, mereka tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan, ‘Dibandingkan dengan apa?‘” kata Byron R. Johnson, salah satu dari tiga peneliti di Institut Studi Agama Universitas Baylor yang mengerjakan penelitian tersebut. “Memiliki kelompok kontrol yang sebanding dengan kelompok eksperimental (kelompok studi) memungkinkan kami untuk menentukan apakah intervensi memiliki efek yang independen atau unik.”

Kelompok studi tersebut dipecah menjadi 22 kelompok, 10 kelompok laki-laki dan 12 kelompok perempuan. Peserta terdiri dari sekitar setengah orang berkulit putih dan setengah orang berkulit hitam, dan berusia di antara 18 hingga 65 tahun. Sebagian besar mereka berada di penjara Virginia karena pelanggaran pembebasan bersyarat atau masa percobaan, dan mereka telah dipenjara, rata-rata, lima atau enam kali. Kelompok kontrol cukup mirip, meskipun mereka cenderung kurang kristiani, telah menikah, atau telah melakukan pelanggaran yang berat sekali.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok yang mengikuti program tersebut menunjukkan penurunan perasaan depresi, kecemasan, dan kemarahan, bersamaan dengan “kesedihan yang rumit,” yang mencakup penyangkalan atas peristiwa traumatis, pengaruh negatif, dan menghindari kegiatan yang terkait dengan trauma. Mereka juga mengalami depresi yang berkurang dan lebih sedikit pikiran untuk bunuh diri.

Pada saat yang sama, dibandingkan dengan kelompok kontrol, orang-orang dalam kelompok studi mengalami peningkatan perasaan mau mengampuni dan belas kasih, dan melaporkan adanya peningkatan ketangguhan diri.

Johnson berkata bahwa dia bersama rekan peneliti Baylor, Sung Joon Jang dan Matt Bradshaw, berharap melihat beberapa perbedaan. Tetapi mereka tidak mengantisipasi seberapa jelas hal itu, bahkan segera setelah program selesai.

“Kami melihat penurunan gejala PTSD, peningkatan kesejahteraan emosional, dan perbaikan sikap terhadap Tuhan dan Alkitab,” katanya.

Dampaknya mungkin tidak sejelas pada populasi umum bila dibandingkan dengan orang-orang yang dipenjara, menurut Johnson. Orang-orang yang berada di penjara biasanya mengalami lebih banyak trauma dalam hidup mereka, dan ada perbedaan demografis dan konteks yang berbeda yang membuat ekstrapolasi dari penelitian ini menjadi tidak pasti. Tetapi Johnson mengatakan kurikulum tersebut tidak dirancang khusus untuk orang yang dipenjara, dan dia berharap memahami Alkitab yang membahas tentang trauma akan memiliki dampak yang sama bagi semua orang.

Heath Lambert, penulis banyak buku tentang konseling biblikal, mengatakan hal ini masuk akal jika Anda menyadari betapa Alkitab berbicara tentang trauma, isolasi, keterasingan, dan krisis.

“Untuk membahas itulah, maka Alkitab ditulis,” kata Lambert, seorang profesor di Southern Baptist Theological Seminary, di Louisville, Kentucky, dan pendeta senior dari First Baptist Church of Jacksonville, Florida. “Alkitab sangat dipenuhi dengan relevansi.”

Lambert telah melihat secara langsung beberapa dampak traumatis yang ditimbulkan pandemi terhadap orang-orang. Beberapa orang di gerejanya telah kehilangan orang yang dicintai. Banyak yang berhadapan dengan kesepian yang tak tertahankan—terpisah dari gereja dan keluarga mereka.

“Kesepian itu mengisolasi dan sangat sulit serta melukai,” katanya. “Saya telah berbicara dengan orang-orang tersebut di telepon, dan mereka menangis.”

Gereja bisa menjadi solusi praktis bagi kesepian dan isolasi, menurut Lambert. Tetapi dengan Alkitab, para pelayan Kristen juga dapat membantu orang untuk bertemu dengan Tuhan yang berdaulat, yang mengendalikan dan mencintai mereka secara pribadi.

“Gereja mengatasi masalah ketakutan dengan berbicara tentang Tuhan yang besar yang menggenggam dunia,” katanya.

Meskipun masih sulit untuk mengatakan apa pun secara pasti pada saat ini, Lambert mengatakan dia berharap akan ada peningkatan jumlah orang yang datang ke gereja setelah pandemi, karena mereka mencari jawaban dan komunitas.

ABS ingin membantu gereja bersiap-siap, dengan materi berdasarkan Alkitab yang membantu orang berusaha melewati trauma.

“Hal tersebut mengubah cara Anda berpikir,” kata Martin. “Hal tersebut mengubah cara Anda berpikir tentang rasa sakit. Hal tersebut mengubah cara Anda berpikir tentang penderitaan.”

Dan meskipun penderitaan yang langsung dari pandemi ini mungkin akan segera berakhir, kebutuhan untuk mengatasi trauma tidak dimulai dengan keberadaan COVID-19 dan akan terus berlanjut lama setelahnya.

“Kita semua memiliki luka. Kita semua merasakan sakit,” kata Martin. “Undangan untuk bertemu dengan ‘Sang Penyembuh bagi yang Terluka’ melalui Alkitab memiliki kekuatan untuk mengubah hidup.”

Diterjemahkan oleh: Janesya S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Beth Moore Menginspirasi Banyak Wanita dari Kalangan Baptis Selatan. Mereka Tidak Menyalahkan Dia atas Kepergiannya.

Rekan-rekan pemimpin wanita dari SBC berdoa agar kepergiannya memimpin pada semacam pencarian jiwa dalam denominasi yang terpecah.

Christianity Today August 2, 2021
Courtesy of Baptist Press

Suatu generasi pengajar Alkitab, penulis, dan pemimpin pelayanan wanita merasa mendapat tempat di Southern Baptist Convention (SBC) karena keteladanan yang diperlihatkan oleh Beth Moore.

Kini setelah Moore merasa tidak lagi memiliki tempat untuk dirinya di dalam denominasi tersebut, mereka terus berjuang demi keyakinan yang telah Moore gugah dalam diri mereka dan berharap akan ada semacam peringatan yang akan menyadarkan denominasi mereka.

Seperti cuitan salah satu pemimpin pelayanan wanita Baptis Selatan di Twitter pada hari Rabu, “Para pendeta sekalian, saya harap kalian memperhatikan para wanita di SBC dan tanggapan mereka terhadap Beth Moore…”

Dalam banyak hal, Moore adalah sosok teladan di kalangan Baptis Selatan—sebuah denominasi terkenal di antara umat Kristen. Pemahaman Alkitab yang ia ajarkan menjangkau 21 juta wanita selama 20 tahun pertama pelayanannya. Ia juga cukup mudah didekati untuk sekadar berpelukan dan berswafoto dengan para pengikutnya di berbagai acara, dan mau menulis di Twitter untuk menyampaikan ucapan belasungkawa ketika nenek seseorang meninggal atau menasihati tentang cara merawat panci.

Banyak rekan wanita dari Baptis Selatan menjadi sedih namun tidak terkejut ketika ia memutuskan untuk meninggalkan SBC. Para wanita yang mengikuti jejaknya sangat mengetahui dengan baik ketegangan yang dialami Moore, kecewa pada masalah-masalah seperti pelecehan, rasisme, nasionalisme Kristen, dan kepresidenan Trump, serta bagaimana semua masalah tersebut telah memecah-belah, alih-alih memperdalam kesaksian Injil denominasi ini—semua masalah itu muncul dalam berita Religion News Service baru-baru ini terkait keputusan Moore.

Para pengikut di gereja-gereja Baptis Selatan menyaksikan saat Moore, yang sekarang berusia 63 tahun, tumbuh dari seorang penulis buku pemahaman Alkitab terlaris kemudian menjadi seorang pendukung yang vokal bagi para korban seksisme dan pelecehan selama lima tahun terakhir, kemudian mengungkapkan tentang misogini yang dia hadapi di lingkaran kalangan Injili.

Selain mempermasalahkan perannya sebagai pembicara dan dalam pengajaran di gereja, para kritikus melihat keterusterangan Moore tentang isu-isu terkini sebagai pemecah belah. Mereka percaya ia telah salah memfitnah gereja dalam beberapa tahun terakhir ketika dia menentang para pendeta yang membela Donald Trump atau ketika dia meneriakkan adanya supremasi kulit putih di gereja.

Christine Hoover, seorang pengajar Alkitab dan istri pendeta SBC, ingat ia pernah bertanya pada dirinya sendiri, “Jika Beth diperlakukan dengan sangat hina di hadapan publik, apalagi yang dikatakan secara pribadi? Dan apa yang dikatakan tentang bagaimana, dalam praktiknya, SBC menghargai kontribusi wanita bagi kerajaan Allah?”

“Saya tidak bisa melebih-lebihkan seberapa besar pengaruh Beth terhadap para wanita di gereja-gereja kami,” kata Hoover. “Pada tahun-tahun itu saya pernah satu ruangan dengan para pemimpin wanita SBC dari berbagai tempat, yang mengatakan bahwa mereka juga memperhatikan dengan cermat, dan sebagian besar dari kami bertanya-tanya apakah kami sebagai wanita benar-benar mendapat tempat terhormat di SBC.”

Presiden Komisi Etika dan Kebebasan Beragama Baptis Selatan, Russell Moore—yang tidak ada hubungan keluarga dengan Beth, meski ia sering bercanda bahwa mereka adalah keluarga—pernah berkata, “SBC yang tidak memiliki tempat untuk Beth Moore tidak memiliki tempat bagi banyak dari kita.”

Pernyataan itu muncul dua tahun lalu, ketika Moore menjadi sasaran selama terjadi perselisihan lain tentang peran perempuan, yang didorong oleh sebuah cuitan yang merujuk pada pelayanan firman dalam rangka Hari Ibu di gereja.

Perdebatan-perdebatan yang berulang-ulang ini adalah titik tekanan lainnya. Wanita seperti Moore, yang tidak mengejar pelayanan mimbar dan memegang keyakinan komplementer dari SBC, menjadi khawatir bahwa perdebatan terus-menerus tentang apakah wanita dapat berkhotbah atau menggembalakan, akan mengurangi upaya untuk mengangkat keberadaan wanita dalam berbagai peran pelayanan lainnya.

Berita-berita tentang kepergian Moore telah membangkitkan penghormatan dari para wanita di dalam dan di luar SBC, yang memuji dia karena telah memimpin mereka ikut dalam pelayanan atau berterima kasih padanya karena telah berani angkat bicara di saat mereka takut bahwa para pemimpin telah diam tentang masalah seputar pelecehan.

Trillia Newbell (@trillianewbell) mentweet di twitter:

Saya sangat mengasihi dan menghormati @BethMooreLPM. Ia memberi tahu saya bahwa ini terjadi karena dia adalah manusia, dan dia sangat mengasihi orang-orang lain. Saat saya memikirkan tentang kecenderungan kita untuk menganalisa dan memisahkan satu sama lain, saya berharap kita akan melawannya dan lebih memilih berdoa. https://religionnews.com/2021/03/09/bible-teacher-beth-moore-ends-partnership-with-lifeway-i-am-no-longer-a-southern-baptist/…

Jen Wilkin (@jenniferwilkin) mentweet di twitter:

Terima kasih, @BethMooreLPM atas cahaya yang Anda bawa, atas welas asih yang mendorongmu, atas ketabahan yang mendefinisikanmu. Saya tidak akan bisa mengajar hari ini jika saya tidak melihatmu melakukannya terlebih dahulu. Saya mungkin akan menyerah jika saya tidak melihatmu bertahan. Betapa kami berhutang budi padamu.

Megan Lively (@megannlively) mentweet di twitter:

Hal ini benar kemarin dan tetap benar hari ini, @BethMooreLPM. Kebenaran alkitabiah dan kasih bagi sesama yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah akan selalu lebih besar daripada institusi dan denominasi. Terima kasih, telah menunjukkan hal ini ke dunia yang rusak, Beth Moore. Semoga kesetiaan kami terlihat seperti kesetiaanmu. https://twitter.com/megannlively/status/1369052620975902720…

Jacki King, yang melayani di komite pengarah Jaringan Kepemimpinan Wanita SBC, mengatakan Moore merintis jalan bagi wanita untuk memimpin di SBC dan, terlepas dari pertikaian saat ini dalam denominasi tersebut, dia melihat banyak hal untuk dirayakan. Sejumlah besar wanita mendaftar di seminari SBC dan ditunjuk untuk melayani di komite denominasional, di samping keterlibatan mereka dalam misi dan gereja lokal dengan setia.

King menunjuk pada pertemuan tahunan yang akan datang di Nashville pada bulan Juni sebagai kesempatan bagi wanita yang memiliki kepedulian yang sama dengan Moore untuk memilih para pengurus yang akan berdiri membela keyakinan mereka dan memperjuangkan peran wanita.

“Kami membutuhkan wanita yang memimpin dan melayani di gereja lokal untuk menjadi pembawa pesan, menjadi akrab dengan calon-calon pemimpin, dan memilih orang yang mereka yakini akan memimpin konvensi kami dalam kerendahan hati dan persatuan,” kata King, seorang pemimpin pelayanan wanita dan istri pendeta di sebuah gereja SBC di Arkansas.

Jacki C King (@JackiCKing) mentweet di twitter:

Para pendeta, Saya harap kalian memperhatikan para wanita di SBC dan tanggapan mereka terhadap Beth Moore. Apa pun pikiran atau perasaan kalian, ada rasa syukur yang mendalam untuknya dan kehilangan yang dirasakan oleh banyak orang. Jangan hanya mengabaikannya. Perhatikan, dengarkan, dan tanyakan.

Presiden SBC yang telah menyelesaikan masa jabatannya, J. D. Greear, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa doanya adalah agar kepergian Moore akan menyebabkan para pemimpin Baptis Selatan meratap dan berdoa sebelum pertemuan bulan Juni. “Saya berduka setiap kali seseorang yang percaya pada ineransi Kitab Suci, yang berbagi nilai-nilai dan keinginan-keinginan dengan kita untuk bekerja sama, kemudian mengatakan bahwa mereka tidak merasa betah dalam denominasi kita,” kata Greear, yang memuji pelayanan Moore.

Baru bulan lalu, Greear berkhotbah menentang perpecahan sekunder yang mendorong terpisahnya Baptis Selatan, dengan mengatakan kepada Komite Eksekutifnya, “Setiap kebohongan melemahkan tekad kita dalam menyampaikan Injil kepada bangsa-bangsa, dan setiap kali saya terlibat dalam argumen konyol atau menghabiskan waktu untuk menyanggah ketidakbenaran, itulah saat ketika saya tidak fokus pada Amanat Agung.”

Para wanita khawatir bahwa keputusan Moore untuk pergi merepresentasikan gangguan lain terhadap pemberitaan Injil yang dilakukan SBC.

“Dengan kehilangan Beth, kami telah kehilangan pemberian yang besar bagi denominasi kami,” kata Hoover. “Saya berdoa agar keputusannya, bersama dengan kepergian beberapa pendeta kulit hitam yang sangat kita hormati, mendorong terjadinya pencarian jiwa di dalam diri para pemimpin dan pendeta SBC. Kami tampaknya selalu berjuang untuk menyingkirkan liberalisme, tetapi saya khawatir metode kami justru mendorong beberapa orang terbaik kami keluar.”

Diterjemahkan oleh: Fanni Leets

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kontes Esai Christianity Today

Bagikan pengetahuan, perspektif, dan pemahaman teologis Anda. Kami akan menerjemahkannya.

Christianity Today July 26, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Nguyen Dang Hoang / Unsplash / WikiMedia Commons

Dalam tahun terakhir ini, kami telah menerbitkan lebih dari 500 terjemahan artikel Christianity Today dalam 14 bahasa. Kami senang mengetahui bahwa ada begitu banyak dari tulisan dan berita yang kami terbitkan telah menggema kepada para pembaca di seluruh dunia. Sekarang kami ingin membawa pengetahuan, perspektif, dan pemahaman teologis Anda kepada para pembaca kami yang berbahasa Inggris.

Tahun ini, kami mengadakan sebuah kontes esai dalam Bahasa Indonesia, demikian pula dalam bahasa Portugis, Spanyol, dan Perancis. Untuk mengikuti kontes ini, Anda perlu menuliskan karya tulis dalam bahasa Anda, dan tulisan tersebut akan dinilai oleh tiga hingga lima pemimpin Kristen dan teolog dari Indonesia. Esai yang menang akan diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dan diterbitkan di situs web Christianity Today.

Esai Anda haruslah faktual, diteliti dengan baik, dan – seperti yang diperlihatkan dalam nama kami – berkaitan dengan kekristenan modern. Kami tertarik dengan esai-esai yang ditulis dengan baik, disertai dengan dukungan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan perspektif yang menyegarkan, dan menghubungkan pesan Injil dengan tren, budaya, peristiwa, dan berita masa kini. Mohon jangan hanya memberitahu orang-orang Kristen apa yang harus mereka lakukan, melainkan undanglah mereka untuk sungguh-sungguh memikirkan iman mereka dengan lebih baik, yang terkait dengan peristiwa dan persoalan tertentu.

Kami tertarik untuk membaca argumen-argumen yang unik dan mengejutkan, yang mengomunikasikan perspektif Injil terkait isu tertentu yang akan menarik perhatian pembaca dan membuat mereka lebih penasaran. Untuk jenis artikel yang memakai sudut pandang orang pertama, sertakan pengalaman pribadi Anda, untuk memperluas konsep iman dan kebenaran alkitabiah yang Anda sampaikan. Kami sangat tertarik sekali dengan kisah-kisah orang-orang Kristen yang menghidupi iman mereka dengan cara-cara yang unik yang berdampak bagi dunia dan mengomunikasikan kebenaran dengan cara yang mendalam, memberi nuansa yang berbeda, dan menantang.

Berikut ini adalah tiga tema yang dapat menjadi pilihan tulisan Anda:

Inkarnasi

Jelaskan tentang apa yang luar biasa mengenai inkarnasi di tahun 2021. Sebagai contoh:

  • Apa peristiwa-peristiwa terkini yang menyebabkan Anda berpikir secara berbeda tentang inkarnasi Kristus?
  • Bagaimana studi yang lebih mendalam tentang inkarnasi membentuk hubungan Anda?
  • Perspektif apa yang unik tentang inkarnasi dari budaya atau tradisi Anda yang dapat dibagikan kepada gereja di seluruh dunia?
  • Mengapa inkarnasi Kristus sangat bermakna dalam penginjilan, secara khusus dalam konteks budaya Anda saat ini?
  • Bagaimana pengalaman, relasi, atau peristiwa unik tertentu dari hidup Anda dapat berfungsi sebagai jendela refleksi yang lebih mendalam tentang inkarnasi?
  • Atau pertanyaan terkait lainnya yang menarik menurut Anda.

Restorasi dan Rekonsiliasi

Beritahu kami tentang hal mengejutkan yang Tuhan lakukan di tahun 2021 dan bagaimana Ia sedang menyelesaikannya. Sebagai contoh:

  • Mempertimbangkan adanya polarisasi politik yang kuat dan semakin banyaknya ujaran kebencian di berbagai konteks dunia, menurut Anda bagaimana orang Kristen dapat berkontribusi dalam mengembangkan pelayanan rekonsiliasi yang menyatukan orang-orang dalam nama Yesus, alih-alih memisahkan mereka?
  • Apa yang perlu diketahui oleh dunia tentang perubahan/pemulihan/pertumbuhan yang Anda lihat dari dekat?
  • Dalam konteks Anda, hal apa yang telah dilanggar oleh gereja lokal? Usaha-usaha apa yang telah dilakukan gereja lokal tersebut untuk mengatasi kerusakan yang ditimbulkan?
  • Adakah bagian tertentu dari Kitab Suci yang berbicara tentang pemulihan dengan cara yang sangat relevan dalam konteks budaya Anda saat ini? Jelaskan.
  • Adakah contoh pemulihan yang menarik perhatian (orang, kelompok, peristiwa, dll.) yang dapat menyampaikan kebenaran yang kuat bagi konteks gereja yang lebih luas?
  • Pernahkah Anda kehilangan iman karena Tuhan tidak memulihkan sesuatu dalam hidupmu? Bagaimana Anda bergumul dengan hal ini?
  • Bagaimana Roh Kudus menghidupkan pelayanan pemulihan? Pernahkah Anda melihat pekerjaan Roh yang membawa kesembuhan dan keutuhan di tengah kehancuran? Jelaskan.

Pengharapan

Ceritakan kepada kami, seperti apa pengharapan orang-orang Kristen di masa ini. Sebagai contoh:

  • Apakah ada saat-saat di mana orang Kristen harus menyerah dan berhenti berharap? Mengapa?
  • Apa yang secara khusus memberi Anda harapan di tengah kegelapan? Seperti apa sebenarnya pengharapan bagi seorang Kristen di saat-saat yang sulit?
  • Apa bedanya harapan Kristen yang sejati dengan pemahaman tentang harapan yang hanya bersifat sentimental dan emosional? Jelaskan.
  • Apa yang dibutuhkan oleh orang-orang Kristen untuk memiliki kredibilitas ketika mendorong orang-orang non-Kristen untuk berharap?
  • Bagaimana Anda memahami pengharapan sebelum pandemi? Bagaimana peristiwa baru-baru ini mengubah pemikiran Anda yang sebelumnya?
  • Bagaimana seharusnya gereja berharap bersama?
  • Bagaimana Anda menemukan harapan ketika memikirkan dan bergumul dengan isu perubahan iklim?
  • Ceritakanlah satu kisah atau contoh nyata dari konteks kehidupan Anda yang memperlihatkan pengharapan Kristen yang teguh!

Informasi Pendaftaran

Mohon email berkas pendaftaran ke MFennita@christianitytoday.com paling lambat 25 September 2021.

Cantumkan di bagian subyek email: "Kontes Esai Christianity Today – (Nama Lengkap)"

Nama dokumen esai: Nama terakhir, nama pertama – Judul

Kirimkan esai Anda berupa tautan (link) atau lampiran (attachment).

Sertakan nama lengkap Anda dan biodata singkat di email (sekitar 50 kata).

Infokan jumlah hitungan kata dari esai Anda.

Detail

Jumlah kata untuk setiap esai antara 1.200 hingga 1.500 kata, diketik 1 spasi.

Anda dapat mengirimkan lebih dari satu esai dan memungkinkan bagi kami untuk menerbitkan lebih dari satu kiriman esai per orang. Akan tetapi hanya satu esai per orang saja yang akan menjadi pemenang dan runner up.

Keterlambatan pengiriman esai akan mengakibatkan esai tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut untuk keikutsertaan dalam kontes. Namun kami akan tetap mempertimbangkannya untuk dipublikasikan.

Semua konten harus orisinil.

Periksalah ejaan dan tata bahasa. Tautkan ke sumber luar mana pun jika ada.

Esai akan dinilai berdasarkan kriteria:

  • Gagasan (Orisinal, jelas, kreatif, dan relevan): 25%
  • Penguraian (Sistematis, analitis, alkitabiah, inspiratif, argumentatif, dan aplikatif): 50%
  • Penulisan (diketik rapih, ketelitian ejaan, kesesuaian batasan jumlah kata, gaya bahasa komunikatif dan mudah dipahami): 25%

Esai Anda akan diedit oleh editor Christianity Today sebelum dipublikasikan dan judul dapat diubah.

Pemenang dan Hadiah

Pemenang kontes esai [Bahasa Indonesia] adalah satu pemenang.

Pemenang akan mendapatkan:

Uang senilai $250

Berlangganan Christianity Today selama 3 tahun.

Esainya diterbitkan di situs web Christianity Today

Meski esai Anda tidak berhasil menang, kami mungkin akan tetap menerbitkannya. Oleh karena itu, ketika mengajukan esai dalam kontes ini, Anda setuju untuk mengizinkan esai Anda dipertimbangkan oleh editor Christianity Today untuk penerbitan di masa mendatang.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Menggembalakan di Masa Pandemi

Berdayakanlah jemaat Anda. Mobilisasilah gereja.

Christianity Today July 21, 2021
Claudine Chaussé / Lightstock

Ketika krisis COVID-19 berlarut-larut, banyak pemimpin gereja merasa lelah, putus asa, dan cemas terkait implikasi jangka panjang dari pandemi ini. Para pendeta bertanya-tanya bagaimana mereka dapat menerapkan peran dan tujuan yang alkitabiah untuk pelayanan pastoral dalam konteks yang berubah secara radikal seperti ini. Pekerjaan seperti demikian membutuhkan gembala yang bijak—yaitu mereka yang bersedia mengambil tanggung jawab atas tugas mereka dalam bentuk yang baru dan kekinian.

Sementara tujuan dan definisi dari pelayanan pastoral tidak berubah, namun konteks seputar penggembalaan telah bergeser secara dramatis, berubah dengan cara yang tidak mungkin kelihatan saat kita masih berada di tengah-tengahnya. Ketika pandemi mulai menyebar, para pemimpin gereja diperhadapkan pada tugas yang tidak biasa: menggembalakan orang-orang dari kejauhan. Pekerjaan tersebut, yang semestinya menuntut kehadiran personal, kini harus terjadi di dunia maya. Undangan makan malam dan kunjungan rumah sakit diganti dengan video, email, SMS, dan panggilan telepon yang tak ada habisnya. Pekerjaan yang dulunya dari satu bahu ke bahu yang lain (bahu-membahu), sekarang menjadi dari satu perangkat ke perangkat lain. Dan para pendeta diharapkan bisa beradaptasi dengan cepat dan berlanjut tanpa batas waktu.

Untuk melihat dan memenuhi kebutuhan unik jemaat mereka dengan lebih baik, para pendeta dan pemimpin awam telah memakai media sosial, dengan kreatif memelihara anggota jemaat mereka, memimpin pertemuan Zoom yang tak terhitung jumlahnya, dan mengajar di depan kamera video di ruangan kosong. Tetapi melayani seluruh jemaat bisa menjadi sangat menantang, dan efek jangka panjang terhadap gembala jemaat masih belum jelas.

The Weekly People Check-in adalah penilaian lima menit dari Gloo dan Barna yang memungkinkan orang-orang untuk berbagi pengalaman mereka tentang kepemimpinan gereja, memberikan laporan status bagi para pendeta tentang bagaimana keadaan jemaat mereka dalam hal kesehatan, relasi, pekerjaan, keuangan, dan iman mereka di tengah krisis COVID-19. Selain alat ukur seperti ini, para pendeta juga bersandar pada nasihat yang bijaksana dan batasan-batasan yang tegas untuk melayani orang-orang sambil berusaha mempertahankan level kesehatan rohani pribadi.

Memperhatikan jemaat melalui gereja yang dimobilisasi

Pada permulaan karantina wilayah di Amerika Utara, hal pertama yang ingin dicapai oleh banyak pendeta adalah memastikan jemaat mereka merasa dirangkul dengan penuh kasih. Tentu saja, kebutuhan akan pengharapan selalu ada selama ini. Berbagai bentuk penderitaan yang sudah lama ada sebelum serangan COVID-19 belumlah berhenti. Orang-orang masih menderita kanker. Pernikahan masih runtuh. Dosa masih menghancurkan.

Pandemi ini telah membawa penyebab-penyebab baru bagi keputusasaan itu sendiri: ada lebih banyak jemaat yang menghadapi penyakit fisik, lebih banyak yang berduka karena kehilangan orang yang dicintai, lebih banyak yang tertatih-tatih karena kehancuran ekonomi, lebih banyak yang dibebani kecemasan dan depresi. Kebutuhan untuk memperhatikan orang lain, dari dulu dan sekarang, selalu sama.

Tetapi kelelahan pendeta adalah hasil yang dapat diperkirakan, terutama bagi mereka yang berlari dengan kecepatan pelari jarak pendek tetapi dengan jarak tempuh seperti maraton. Menurut data Glo, para pemimpin gereja sangat ingin menyampaikan pesan iman dan harapan, tetapi sarana untuk mengomunikasikan pesan itu sulit untuk ditentukan. Tanggung jawab untuk memperhatikan dengan baik dari jauh bagi jemaat yang terluka sangatlah membebani, menguras cadangan emosi dan rohani. Ketika para pendeta tidak dapat memakai sarana-sarana yang menurut orang paling meyakinkan—menatap mata, berdoa di samping tempat tidur, dan kehadiran secara fisik—lalu berusaha menjembatani kesenjangan fisik itu di saat penghiburan sangat dibutuhkan, semua itu terasa seperti tugas yang menakutkan dan sangat mungkin gagal.

Bagaimana para pendeta menghadapi keadaan yang seperti itu? Jawabannya, setidaknya sebagian, terletak pada gereja yang dimobilisasi. Satu orang pendeta atau satu program tidaklah cukup—kita membutuhkan setiap anggota yang ditugasi untuk saling memperhatikan, baik melalui doa, komunikasi, catatan penyemangat, atau tindakan pelayanan lainnya. Dwayne Milioni, pendeta Open Door Baptist Church di Raleigh, Carolina Utara, dan ketua dewan The Pillar Church Planting Network, telah mengalami dampak positif dari usaha gerejanya yang dilakukan secara intensional: “Kami benar-benar menemukan diri kami lebih terhubung dengan para anggota jemaat kami selama karantina.” Para pendeta mencurahkan diri mereka bagi para anggota jemaat, dan para anggota jemaat ini mengikuti dengan cara memperhatikan orang lain. Kesehatan rohani pun terjaga ketika kita melibatkan jemaat.

Banyak gereja telah bersatu padu menghadapi krisis, dan menemukan lebih banyak cara untuk memberdayakan para anggotanya. Clint Darst, pendeta dari King’s Cross Church di Greensboro, Carolina Utara, memiliki harapan atas keterlibatan jemaatnya. “Saya terdorong oleh kreativitas jemaat kami dalam menemukan cara-cara untuk melayani satu sama lain,” katanya. “Mobil-mobil berjajar di depan rumah-rumah untuk mengucapkan selamat ulang tahun, para mahasiswa menawarkan bantuan belanja ke toko kelontong bagi para orang tua, orang Kristen yang lebih tua memberi teladan untuk tetap mengucap syukur dan beriman bagi orang-orang Kristen yang lebih muda melalui platform daring yang belum pernah mereka gunakan sebelumnya, kemurahan hati dalam memberi untuk dana diakonia kami, memberikan perhatian lewat telepon kepada orang-orang Kristen di panti jompo. Saya bisa tambahkan daftarnya lebih panjang lagi.”

Kegiatan yang berfokus dari anggota ke anggota ini melindungi para pendeta agar tidak memikul beban berat sendirian dalam memperhatikan jemaat selama krisis. Daya tahan para pendeta meningkat ketika mereka tidak terlalu bergantung pada diri sendiri dan bentuk pemerhatian yang terprogram, serta mulai mempercayakan umat Tuhan untuk pemerhatian anggota jemaat yang termobilisasi untuk menemukan cara-cara strategis dalam menanggung beban di sekitar mereka.

Pemuridan melalui para pemimpin yang diperlengkapi

Karena pandemi ini membutuhkan lebih banyak usaha untuk terhubung, maka jelas bahwa pelayanan pribadi ke pribadi dari pemimpin hingga anggota jemaat, baik secara tatap muka atau virtual, adalah cara yang diperlukan untuk memuridkan di masa kini. Namun, terlalu sering, definisi pemimpin identik dengan jabatan pendeta, yang memberi kesan akan tanggung jawab yang menekan dan membebani mereka yang memegang peran itu. Agar para pendeta memiliki hubungan yang sehat dan berkelanjutan dengan jemaatnya, maka diperlukan lebih banyak pemimpin awam—bukan pendeta—untuk mengambil tanggung jawab rohani bagi pertumbuhan dan pendewasaan orang-orang lain.

Pada saat ini, sebagian besar tugas pendeta adalah memperlengkapi para pemimpin awam untuk mengembangkan pemuridan melalui teknologi atau percakapan empat mata dengan sesama anggota. Pekerjaan ini terletak tepat dalam lingkup tanggung jawab pastoral untuk “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh [Kristus]” (Ef. 4:12). Pada akhirnya, mereka yang mengalami kemacetan dalam pelayanan karena menyerahkan fungsi pelayanan hanya kepada segelintir pemimpin terpilih, kini benar-benar bergumul, sementara mereka yang memperlengkapi dan memberdayakan lebih banyak pemimpin, justru berkembang pesat. Untuk menjalankan tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi di tengah masa ini, para pemimpin dapat memanfaatkan relasi-relasi dan struktur yang sudah ada dalam memberikan pemerhatian dan keterhubungan bagi para anggota jemaat, seperti melalui kelompok kecil atau pelayanan Sekolah Minggu.

Ya, dibutuhkan lebih banyak upaya untuk melatih para pemimpin tentang bagaimana mengajar dan melatih orang lain daripada menulis khotbah eksposisi yang jelas, tetapi upaya ini akan melipatgandakan pengaruh dalam jangka panjang. Untuk menghindari kelelahan di kemudian hari, sebagai pendeta, kita sekarang harus mengembangkan diri kita ketika berbicara dengan para calon pemimpin dan murid, serta berdoa bersama orang-orang yang dapat kita pengaruhi. Setelah para pemimpin ini diperlengkapi, kita dapat yakin bahwa para pemimpin kita menyuarakan kebenaran satu sama lain melalui pertemuan Zoom, pesan teks, dan saat berjalan-jalan di sekitar lingkungan, bahkan ketika gereja tidak dapat berkumpul secara langsung.

Ketika pembatasan jarak sosial dihapus, para pemimpin yang diberdayakan ini juga memberikan harapan melalui banyak pertemuan yang lebih kecil, mungkin di rumah-rumah, sampai kelonggaran dibuat untuk pertemuan komunal yang lebih besar. Agar hal ini terjadi, para pendeta harus mendorong para pemimpin untuk memelihara hubungan rohani yang membangun—ini tugas yang membutuhkan kerendahan hati dan kebijaksanaan yang besar dari pendeta yang sering menjadi pusat dari berbagai pembinaan pemuridan yang terjadi di gereja. Namun, langkah-langkah seperti itu penting untuk keberlanjutan pastoral. Pendelegasian itu memang sulit, tetapi tanpa pemimpin yang banyak, maka beban pelayanan di masa ini akan terlalu banyak yang ditanggung. Dan menemukan cara-cara kreatif untuk melatih sekumpulan anggota gereja agar menanggung beban pelayanan gereja bersama-sama pasti akan membantu kesehatan gereja setelah pandemi berlalu.

Pelatihan melalui sarana yang dapat diperbanyak

Terakhir, pertimbangkan nilai dari format baru dan sarana-sarana yang dapat diperbanyak. Format khotbah mingguan harus disesuaikan dengan momen kita saat ini. Karena kebutuhan, sebagian besar gereja membuat ibadah mereka secara daring—tugas yang menakutkan bagi banyak gereja. Tetapi tanpa adanya umpan balik atas jalannya kebaktian dan percakapan-percakapan yang terjadi setelah kebaktian, maka berkhotbah secara daring membuat banyak orang bertanya-tanya bagaimana membedakan yang efektif: Pesannya atau medianya? Kekosongan seperti itu dapat membuat para pendeta kecewa.

Pertanyaan yang lebih sulit muncul ketika para pendeta bergumul dengan tantangan mengenai bentuk seperti apa yang perlu dipakai dalam kegiatan secara daring ini untuk jangka panjang: Haruskah kegiatan ini berisi pertemuan mingguan sebanyak mungkin, atau haruskah berfungsi sebagai pengisi saja untuk menunggu waktu sampai gereja dapat berkumpul bersama lagi secara fisik? Semakin lama potensi waktu menunggu sampai gereja dapat berkumpul kembali sepenuhnya, semakin besar kemungkinan para pendeta akan memilih untuk menawarkan pengganti yang sesuai untuk berbagai elemen, seperti waktu tanya jawab secara langsung sebelum atau sesudah khotbah, webinar daring tentang topik-topik seperti depresi dan kecemasan, kutipan renungan harian atau mingguan dari pemimpin pastoral, kebaktian secara drive-in (kebaktian yang dilakukan di lapangan parkir dan jemaat beribadah dari dalam mobil masing-masing), atau bahkan khotbah siaran langsung oleh pendeta atau pemimpin awam untuk pertemuan di rumah-rumah. Setiap gereja, dan para pendeta yang dipercayakan untuk pemeliharaannya, harus menentukan sejauh mana kegiatan-kegiatan daring atau pertemuan rumahan ini akan berlanjut ketika pertemuan masyarakat diizinkan untuk dibuka kembali.

Meski demikian, oleh anugerah Tuhan, pembicaraan ini akan bergerak jauh melampaui soal apakah mempertahankan atau meningkatkan kehadiran seseorang secara daring sebagai gereja. Masa disorientasi ini dapat menumbuhkan kecerdikan dan kreativitas terkait cara kita melatih para murid—salah satu tema umum dari gereja yang sukses dan berkembang adalah keinginan untuk menemukan cara sederhana dalam menyaring kebenaran. Kelompok-kelompok kecil berkumpul dan membahas seputar tema dasar kebenaran Injil dan menghubungkan kebenaran itu dengan komunitas gereja, konteks saat ini, dan misi mereka di dunia. Beberapa sarana terbaik untuk melatih orang-orang adalah sarana-sarana yang mudah dipahami, diterapkan, dan diduplikasi. Sekali lagi, ini adalah catatan yang penuh harapan untuk masa depan gereja. Dengan memproduksi konten sederhana dan dapat direproduksi, yang dapat mengerti dan dibagikan kepada orang lain oleh rata-rata anggota, pasti akan meningkatkan budaya pemuridan.

Tugas seorang gembala tidak pernah mudah. Tetapi kita tidak perlu putus asa, juga tidak perlu berusaha memikul beban itu sendiri. Pemahaman teologi menjadi penghiburan terbesar kita. Kita tidak menggembalakan sendirian. Gembala kita yang baik—Pribadi yang telah memberikan nyawa untuk para domba-Nya—adalah Pribadi yang mencintai gereja-Nya jauh melebihi kita, dan Dia, persis pada saat ini, memimpin gereja-Nya dan memanggil kita untuk memiliki iman dan mengikuti kemana pun Ia memimpin.

Matt Rogers, PhD adalah seorang pendeta di Greenville, SC yang juga menjabat sebagai Asisten Profesor Perintisan Gereja Amerika Utara di Southeastern Baptist Theological Seminary dan Ahli Strategi Kesehatan Gereja bersama The Pillar Network. Ia juga adalah penulis sejumlah sarana pemuridan yang dapat direproduksi seperti Seven Arrows for Bible Reading.

Penerjemah: Budi M. Winata

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube