Dosa demi Niat yang Baik Tetaplah Dosa dan Layak Dihukum

Mengapa Tuhan yang kudus tidak dapat mengabaikan pelanggaran sekecil apa pun.

Christianity Today July 20, 2022
Wikimedia Commons

Ketika tiba saatnya untuk mengembalikan tabut perjanjian ke Yerusalem, setelah merebutnya kembali dari bangsa Filistin, umat Israel meletakkan tabut tersebut di sebuah kereta. Ini menjadi suatu kesalahan mematikan yang akan merenggut nyawa seorang pria. Menurut hukum, tabut itu harus dipikul di atas bahu orang Lewi dengan tongkat. Tetapi alih-alih mengacu pada Firman Tuhan tentang bagaimana menangani barang-barang milik Tuhan, umat Israel memakai petunjuk dari orang Filistin.

Holier Than Thou: How God’s Holiness Helps Us Trust Him

Holier Than Thou: How God’s Holiness Helps Us Trust Him

B&H Books

192 pages

$9.99

Ketika mereka mencapai tempat pengirikan, lembu-lembu penarik kereta itu mulai tergelincir. Tabut itu pun—yang merupakan simbol berharga dari kehadiran Tuhan yang Mahakudus—mulai miring.

Saat itu terjadi, seorang pria bernama Uza mengulurkan tangannya untuk meraih tabut tersebut dan mencegahnya agar tidak menyentuh tanah, maka “bangkitlah murka TUHAN terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena keteledorannya itu; ia mati di sana dekat tabut Allah itu” (2Sam. 6:7).

Kita merasa kasihan pada Uza, bukan? Dari sudut pandang kita, dia hanyalah seorang pria dengan niat yang baik. Dia hanya mencoba membantu, kata kita. Namun Uza telah berdosa terhadap Allah.

Mungkin ia pikir dia cukup suci untuk menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya dia sentuh. Mungkin tabut itu, yang telah berada di rumah ayahnya selama dua dekade, telah menjadi terlalu biasa, jadi semacam ornamen. Namun bagaimanapun juga, hilangnya kekaguman dia, ditambah lagi dengan kegagalannya untuk bertindak sesuai ketentuan hukum Tuhan, mengharuskan keadilan Tuhan. Sebagaimana yang diamati RC Sproul, “Uza berasumsi bahwa tangannya lebih tidak tercemar dibandingkan tanah.”

Kapan pun Tuhan menghakimi seperti ini, kita tergoda untuk bereaksi seperti Daud, yang marah “karena Tuhan telah menyambar Uza demikian hebatnya” (2Sam. 6:8). Bagaimana mungkin, Tuhan yang dipuji karena kebaikan-Nya, tampak begitu kejam?

Karena Tuhan adalah transenden dan sebab itu tak terbandingi, murka-Nya tidak seperti murka yang kita ketahui melalui pengalaman. Tuhan tidak murka karena ego-Nya dilukai. Ia juga bukan Pribadi yang sadis, yang menikmati penderitaan kita. Tidak, murka ini, dalam kata-kata teolog Skotlandia John Murray, adalah “kejijikan yang kudus dari Pribadi Allah terhadap apa yang bertentangan dengan kekudusan-Nya.” Jika Ia mengabaikan pelanggaran terkecil sekalipun, maka Ia tidak kudus lagi.

Kita bersimpati terhadap orang-orang seperti Uza karena kita memiliki pandangan yang sangat rendah tentang dosa dan pemahaman yang biasa-biasa saja tentang kekudusan Tuhan. Namun Ia adalah tanpa noda, cacat, ataupun cela. Sebaliknya, dosa kita menjijikkan, memuakkan, sangat jahat, tidak benar, dan melanggar hukum. Jadi Tuhan harus menghakimi. Ia harus menghunus pedang-Nya pada orang yang bersalah. (2Sam. 24:16–17; 1Taw. 21:16).

Akan tetapi, meski jarang ditanyakan, inilah pertanyaan yang harusnya diajukan: Jika Tuhan harus menghakimi, lalu mengapa kita masih hidup? Bukankah kita sudah makan buah yang dilarang Tuhan? Bukankah kita menjalankan hukum Allah yang kudus dengan sesuatu yang kurang hormat? Meski demikian, di sinilah kita, masih berada di bawah matahari. Anugerah diberikan kepada orang-orang yang tidak pantas mendapatkan apa pun selain murka.

Diadaptasi dari Holier Than Thou: How God’s Holiness Helps Us Trust Him, oleh Jackie Hill Perry (B&H).

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Orang Kristen Akan Kembali ke Gereja—Namun Mungkin Tidak Sama Lagi

Di tengah segala pergeseran dan perubahan selama dua tahun terakhir, banyak gereja melihat perpindahan jemaat yang semakin meningkat.

Christianity Today July 5, 2022
Cavan Images / Getty / Edits by Christianity Today

Pada tahun 2017 Houston Northwest Church mengalami kerusakan parah akibat Badai Harvey. Ketika fasilitas gereja yang terendam banjir itu akhirnya dibangun ulang beberapa tahun yang lalu, jemaatnya baru saja kembali beribadah dengan kapasitas penuh selama enam minggu sebelum akhirnya terhenti karena pandemi.

Seiring gereja mengalami kemunduran demi kemunduran, pendeta senior Steve Bezner menyaksikan bagaimana kawanan domba itu pasang surut.

“Sekitar sepertiga dari jemaat kami yang hadir beribadah secara tatap muka adalah wajah-wajah baru,” katanya.

Gerejanya saat ini dihadiri 1.600 orang setiap minggunya, termasuk beberapa ratus orang yang beribadah secara daring—tidak jauh dari rata-rata mingguan sebelum pandemi, yaitu 1.700 orang. Bezner terpana akan jumlah anggota yang pergi selama pandemi dan jumlah pendatang baru yang hadir untuk menggantikan mereka.

“Ini akan membuat Anda percaya pada pemeliharaan Roh Kudus,” kata pendeta gereja Houston itu.

Perpindahan anggota jemaat memang wajar terjadi pada siklus kehidupan gereja, sama halnya dengan baptisan, pernikahan, dan pemakaman. Akan tetapi pandemi telah mempercepat datang dan perginya jemaat, serta menuntut strategi baru dalam menyambut dan mengasimilasi anggota jemaat baru ke dalam komunitas gereja. Tugas-tugas ini semakin diperumit dengan berkembangnya aturan pencegahan COVID-19 dan tantangan untuk mengidentifikasi siapa saja yang masih menjadi anggota gereja, ketika banyak orang masih terus beribadah secara daring.

“Ketiadaan waktu kumpul bersama telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan ini,” kata Steve Smith, pendeta eksekutif dari Highpoint Church di Naperville, Illinois. “Injil tidak berubah, dan kami akan selalu berpusat pada Alkitab, namun cara kami melibatkan orang-orang, itu sedang berubah.”

COVID-19 mendorong orang mengalami perubahan hidup dalam segala hal selama dua tahun terakhir, termasuk perubahan karier, relasi baru, dan relokasi. Beberapa perubahan terjadi karena desakan kebutuhan dan beberapa lainnya disebabkan oleh prioritas baru; riset Pew menemukan bahwa sebanyak tiga perempat orang Amerika telah melihat beberapa dampak positif dari pandemi.

Ini juga terjadi dengan pilihan-pilihan gereja. Bagi mereka yang memang sudah bergumul dengan gereja mereka, pandemi ini menjadi katalisator untuk mulai menjelajahi gereja lain. Seorang simpatisan gereja di Atlanta berkata bahwa pandemi ini mendorong dia ke arah perubahan setelah mengalami dinamika sosial yang sulit dalam kelompok dewasa mudanya.

“Saya memutuskan untuk memulai dengan yang baru di tempat lain,” kata Elisa Hoover, 27. “Lebih mudah untuk mengunjungi gereja lain selama pandemi, dan ketidakhadiran saya tidak terlalu diperhatikan dalam komunitas yang sangat erat di gereja saya.”

Bagi banyak orang, isolasi berkelanjutan dari pandemi meningkatkan kerinduan mereka akan hubungan dan komunitas rohani.

Banyak pendatang baru di Houston Northwest Church berasal dari kompleks apartemen besar di seberang jalan yang sebagian besar ditinggali oleh orang-orang dewasa yang masih lajang. “Mereka merasakan tekanan psikologis dari kesepian dan ingin mengeceknya,” kata Bezner. “Mereka ingin menemukan siapa Tuhan itu.”

Kerinduan akan hubungan dan landasan rohani ini melampaui demografi, memengaruhi semua orang, mulai dari kaum lajang yang tinggal sendiri hingga orang tua dengan anak-anak kecil sampai anggota jemaat yang tinggal jauh dari gereja mereka untuk terlibat secara mendalam.

Ketika pandemi melanda di tahun 2020, Dylan Parker dan istrinya menyadari bahwa mereka tinggal terlalu jauh dari gereja mereka di Arkansas untuk dapat tertanam di gereja lokal seperti yang mereka inginkan.

“Sampai pandemi memperlambat kami, kami tidak menyadari kerugian yang kami alami saat menjalani kehidupan lintas kota,” katanya. Mereka pun mulai mencari gereja yang lebih dekat dengan rumah, namun tak lama kemudian mereka mendapat kabar bahwa Parker diterima di program PhD di Fuller Theological Seminary dan akan pindah ke California. Parker dan istrinya kini tinggal berdekatan dengan gereja dan rumah jemaat lainnya yang dapat ditempuh hanya dengan jalan kaki.

“Kami sudah merasakan bahwa kami memiliki komunitas yang lebih dekat dan lebih kuat di sini daripada di Arkansas,” kata Parker.

Ayah dua anak ini juga menghargai pendekatan gereja barunya dalam menangani isu-isu menantang yang muncul selama pandemi, termasuk soal keadilan sosial. Meskipun ia mengatakan bahwa ia tidak akan pindah gereja karena alasan ini saja, ia mengakui bahwa ia merasa lebih cocok dengan gerejanya di California.

“Gereja saya sebelumnya tidak memberi ruang pembicaraan yang saya inginkan tentang keadilan sosial,” katanya. “Saya telah mencapai titik dalam hidup saya di mana saya membutuhkan ruang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.”

Menavigasi perspektif yang menantang

Mustahil untuk menganalisis topik perpindahan gereja selama pandemi tanpa mengakui latar belakang polarisasi nasional terkait isu-isu, mulai dari soal masker dan vaksinasi hingga ketegangan rasial dan politik. Sering kali, para pendeta merasa kurang diperlengkapi untuk membahas isu-isu ini dengan cara yang dapat memuaskan anggota-anggota jemaat yang mewakili berbagai sudut pandang.

Bezner menggambarkan turbulensi dalam dua tahun terakhir sebagai “trauma nasional yang semakin parah, yang telah menyebabkan kelelahan para pendeta dalam pengambilan keputusan.”

Keputusan-keputusan kontroversial, yang dibuat di bawah pengawasan ketat, bisa menjadi hal yang mendorong sebagian anggota jemaat untuk mengevaluasi kembali kecocokan terhadap gerejanya.

“Dulu suasananya lebih tenang, tetapi sekarang sekelompok orang pergi dan efeknya lebih keras terdengar dari sebelumnya,” kata Smith di Highpoint Church, Illinois.

Gereja-gereja sering kali kehilangan jemaat yang di “barisan belakang,” dengan adanya orang-orang yang sebelumnya sangat aktif menjadi lebih aktif lagi selama pandemi, dengan stabilnya orang-orang yang agak aktif, dan dengan banyaknya simpatisan yang kurang aktif menjadi mundur.

“Kami memperhatikan bahwa orang-orang yang datang 8 atau 12 kali setahun telah berhenti hadir,” kata Smith. “Otot rohani mereka berhenti berkembang.”

Dari tujuh lokasi Highpoint, gereja non-denominasi ini melihat segelintir dari orang-orang tersebut kembali aktif, terlepas adanya kampanye komunikasi yang gencar oleh para pemimpin dan juga sukarelawan gereja.

Menawarkan layanan virtual sangatlah membantu selama pandemi, tetapi hal ini juga membuat penghitungan jumlah anggota jemaat menjadi sulit. Gabungan orang yang berpindah gereja dan beribadah secara daring telah menciptakan misteri seputar jumlah anggota jemaat sebenarnya yang telah keluar dari gereja secara permanen.

Riset Lifeway mendapati bahwa hampir semua gereja telah dibuka kembali pada musim panas lalu, dengan hanya tiga perempat pengunjung rutin yang kembali beribadah.

Membangun komunitas yang lebih mendalam

“Anonimitas adalah suatu bagian besar dari pemandangan gereja Amerika,” kata Len Tang, direktur Church Planting Initiative di Fuller Theological Seminary. “Akan tetapi di gereja-gereja yang lebih kecil, Anda tidak bisa menjadi anonim.”

Dalam beberapa hal, gereja kecil dan gereja perintis memiliki posisi yang lebih baik untuk mempertahankan anggota jemaat selama pandemi. Gereja Tang, Missio Church di Pasadena, California, tidak mengalami banyak perpindahan jemaat selama pandemi.

“Orang biasanya setia terhadap visi perintisan gereja dan kecil kemungkinannya untuk berpindah gereja,” katanya. Riset Lifeway juga menemukan bahwa gereja-gereja yang lebih kecil pulih lebih cepat daripada gereja-gereja besar.

“Kebanyakan gereja kecil masih belum kembali ke tingkat pra-pandemi, tetapi ada lebih banyak dari mereka yang mencapai titik ini daripada gereja yang lebih besar,” kata Scott McConnell, direktur eksekutif Lifeway Research. “Mungkin gereja-gereja kecil terbantu oleh persepsi rasa aman dari kelompok pertemuan yang lebih kecil, perbedaan-perbedaan dalam pilihan teknologi untuk berkumpul secara daring, atau kekuatan koneksi relasional.”

Gereja-gereja besar dan kecil berfokus pada pemuridan kelompok kecil ketika kebaktian tatap muka dihentikan sementara.

“Gereja-gereja yang memahami pemuridan pada intinya dapat melanjutkan misi itu,” kata Tang.

Di gereja Highpoint, para pendeta tidak bisa lagi menggunakan jumlah kehadiran hari Minggu sebagai ukuran pemuridan gereja, jadi mereka menyesuaikan pendekatan mereka pada pelatihan kepemimpinan. Alih-alih hanya membagikan metode pemuridan, mereka berfokus untuk mengajar para pemimpin mengapa pemuridan itu penting dan bagaimana melibatkan orang-orang dengan penuh makna.

“Kami mencoba membantu mereka untuk memahami, ‘Bagaimana Anda dapat menarik keluar pergumulan dan kerinduan yang mendalam dari jemaat sebagai bagian dari pembinaan rohani?’” kata Smith.

Di gereja Houston, gereja Bezner ini mulai mengadakan jamuan makan malam untuk membicarakan visi gereja dalam rangka mengakomodasi lebih banyak orang daripada kelas anggota baru mereka.

Matt dan Dara Osborn dari Spring, Texas, baru-baru ini menghadiri salah satu jamuan makan malam tersebut untuk belajar lebih banyak tentang masa lalu gereja itu dan harapannya untuk masa mendatang.

“Beberapa gereja berfokus pada pembangunan kembali dan yang lain sedang berlari ke depan,” kata Matt Osborn. “Houston Northwest Church sedang berlari ke depan. Pada era baru ini, membuka kembali seperti memulai dari awal.”

Osborn percaya bahwa masa transisi selama pandemi ini dapat mempersiapkan gereja untuk fase pertumbuhan yang baru di masa depan. Ia berkata, “Mungkin Tuhan menempatkan orang-orang di tempat di mana mereka diperlukan agar kerajaan-Nya bertumbuh di masa pasca-pandemi.”

Diterjemahkan oleh: Catharina Pujianto

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Bagaimana Tidak Setuju dengan Santun tetapi Tidak Kehilangan Keyakinan Anda

Tidak semuanya adalah masalah alkitabiah-namun siapa yang menentukan?

Christianity Today July 5, 2022
Illustration by Jared Boggess / Source Images: Ekely / Sanjeri / Mikroman6 / Getty

Beberapa hari setelah Bill Clinton terpilih, saya (Rick) memfasilitasi sebuah pertemuan para pemimpin kelompok kecil. Salah satu pemimpin yang keyakinan politiknya sangat condong ke Partai Republik menyarankan agar kelompok-kelompok kecil kami sebaiknya mengambil waktu untuk meratapi hasil pemilu tersebut. Beberapa orang lainnya mengangguk setuju. Apakah ini saran yang baik?

Winsome Conviction: Disagreeing Without Dividing the Church

Winsome Conviction: Disagreeing Without Dividing the Church

IVP

224 pages

$8.49

Saya rasa tidak. Saya mengatakan kepada para pemimpin tersebut bahwa sekitar 80 persen kaum Injili memilih Partai Republik, sebuah fakta yang tampaknya sudah diketahui oleh sebagian besar orang. Kemudian saya meminta semua pemimpin itu untuk mengambil secarik kertas dan menuliskan dua atau tiga orang dalam kelompok mereka yang mungkin telah memilih Demokrat.

Semuanya terdiam. Tidak ada satu orang pun mengambil pensil mereka.

Akhirnya, seorang pemimpin angkat bicara dan mengatakan bahwa mereka rasa tidak ada seorang pun dalam kelompok mereka yang memilih Demokrat. Saya menunjukkan bahwa jika jemaat kami mencerminkan rata-rata nasional dari kaum Injili, maka dalam sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 12 sampai 14 orang setidaknya akan ada 3 orang yang memilih Demokrat. Saya hanya meminta mereka untuk berhenti sejenak dan memikirkan siapa saja orang-orang itu serta bagaimana perasaan mereka jika kita mengawali pertemuan kelompok kecil dengan mengambil waktu untuk meratap. Itu akan menjadi sebuah momen yang canggung.

Para pemimpin tersebut akhirnya menyadari bahwa mengawali kelompok kecil dengan waktu untuk meratap mungkin tidak disambut dengan baik oleh anggota tertentu dalam kelompok. Mereka juga menyadari bahwa waktu doa dalam beberapa minggu terakhir menjelang pemilihan mungkin terasa telah mengasingkan orang-orang tertentu. Kita cenderung buta terhadap keragaman keyakinan politik dalam kelompok kita.

Definisi kamus standar untuk keyakinan kira-kira seperti ini: sebuah kepercayaan yang tetap atau yang dipegang teguh, sebuah kepercayaan yang tak ingin kita lepaskan dengan mudah. Akan tetapi kita memiliki keyakinan seperti itu terhadap aritmatika, dan biasanya kita tidak menyebutnya sebagai keyakinan. Keyakinan bukan hanya tentang berbagai fakta umum, melainkan lebih tentang jenis kepercayaan tertentu. Dapat dikatakan bahwa keyakinan adalah kepercayaan moral atau agamawi yang kita pegang teguh, yang memandu keyakinan, tindakan, atau pilihan kita. Definisi ini memisahkan kepercayaan yang kita miliki terhadap masalah selera (bukan moral), dan dari kepercayaan yang kita pegang teguh tetapi dapat dilupakan atau diabaikan begitu saja (kepercayaan tersebut tidak memandu tindakan kita).

Perhatikan bahwa definisi ini memberi ruang terhadap dua jenis keyakinan yang berbeda, yang mungkin kita sebut sebagai keyakinan absolut dan keyakinan personal. Keyakinan absolut disebut absolut bukan karena semangat kita dalam memegangnya, melainkan karena kita merasa bahwa keyakinan itu harus berlaku "secara mutlak" untuk semua orang. Jenis keyakinan ini bersifat universal; berlaku bagi diri kita sendiri maupun sesama kita. Kredo-kredo Kristen yang utama merupakan contoh dari keyakinan absolut tersebut.

Pada sisi lain, keyakinan personal adalah hal yang kita yakini secara pribadi dan memandu perilaku personal kita, tetapi kita menyadari bahwa orang lain mungkin tidak menganut keyakinan yang sama dengan kita. Keyakinan ini mungkin soal menolak minum alkohol karena salah satu anggota keluarga pernah terbunuh oleh seorang pengemudi yang mabuk. Kita mungkin akan memegang keyakinan ini dengan teguh, tetapi kita juga tahu bahwa belum tentu semua orang berkeyakinan sama dengan kita. Perbedaan-perbedaan ini bukanlah hal baru; perbedaan ini hanya mencerminkan pepatah terkenal “Dalam hal yang hakiki, kesatuan; dalam hal yang tidak hakiki, kebebasan; dalam segala hal, kebaikan.”

Jadi bagaimana kita dapat membentuk keyakinan Kristen yang mendalam tanpa memecah belah gereja? Mari kita melihat lebih dalam terhadap keyakinan itu sendiri.

Keyakinan bagaikan cahaya, terdiri dari berbagai warna dan membentuk suatu spektrum. Misalnya kepercayaan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri—suatu kebenaran teologis abadi yang didasarkan pada Kitab Suci (Kej. 1:26). Keyakinan semacam ini bisa disebut sebagai keyakinan konfesional—suatu keyakinan absolut yang seharusnya dimiliki oleh semua orang Kristen.

Orang-orang cenderung setuju terhadap nilai-nilai itu sendiri, namun cenderung tidak setuju tentang bagaimana seharusnya nilai-nilai tersebut diprioritaskan.

Beberapa pasal kemudian dari kitab Kejadian, dalam Kejadian 9:5–6, kebenaran ini terbentuk menjadi sebuah mandat moral yang melarang membunuh seseorang karena semua manusia diciptakan menurut gambar Allah. Mandat moral ini dapat diperluas lagi ke dalam serangkaian klaim positif yang secara aktif menghargai kehidupan manusia. Jika kita mengurai sedikit kebenaran ini lebih lanjut, maka kita akan melihat bahwa menghargai kehidupan manusia mungkin berarti lebih dari sekadar menjadi “pro-kehidupan” dalam arti menentang aborsi. Sebaliknya, seseorang mungkin berpikir tentang “etika hidup yang konsisten,” sebuah ungkapan yang dicetuskan oleh Kardinal Joseph Bernardin. Etika semacam itu menghindari aborsi dan juga euthanasia, perang, dan kekerasan. Etika tersebut bahkan mungkin akan memiliki implikasi positif seperti akses terhadap kebebasan dasar manusia yang dibutuhkan oleh para pembawa gambar Allah, seperti misalnya kebebasan untuk beribadah menurut hati nurani dan kebebasan untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal.

Pertimbangan-pertimbangan yang semakin rinci ini tidak muncul karena kita menemukan semakin banyak ajaran Alkitab yang eksplisit, melainkan karena kita menguraikan semakin banyak implikasi dari keyakinan konfesional kita bahwa manusia dicipta menurut gambar Allah. Implikasi-implikasi ini dapat diringkas dalam sebuah pernyataan nilai inti sebagai berikut: “Setiap manusia harus dilindungi dari bahaya yang mengancam jiwa dan diberi akses kepada barang-barang esensial yang dibutuhkan untuk perkembangan kehidupan manusia.”

Jelaslah bahwa kita sedang bergerak melintasi suatu spektrum dan menjadi semakin spesifik seiring berjalannya waktu. Keyakinan konfesional dan mandat moral kita membentuk nilai-nilai inti dalam jiwa kita—membentuk hasrat dan kerinduan kita. Namun, nilai-nilai inti ini masih belum cukup spesifik. Pada akhirnya, kita harus memahami pedoman khusus bagi perilaku. Kita harus memutuskan apakah larangan mencabut nyawa pembawa gambar Allah berarti kita harus menentang aborsi dan hukuman mati atau hanya aborsi.

Perhatikan bahwa saat kita bergerak melintasi spektrum ini, setiap langkah membuat keyakinan kita menjadi semakin spesifik, tetapi ketika menjadi semakin spesifik, keyakinan kita juga menjadi semakin bisa diperdebatkan. Pada awalnya, pernyataan-pernyataan eksplisit dari Alkitab atau pengakuan-pengakuan iman universal menjamin kesepakatan di antara semua orang Kristen. Keyakinan-keyakinan tentang hal-hal ini adalah absolut dan universal. Namun, semakin spesifik penilaian-penilaian yang kita buat, maka semakin besar pengaruh budaya, kebijaksanaan, situasi historis, dan hikmat praktis terhadap kesimpulan kita, dan karena itu semakin beragam pula pendapat kita.

Kita dapat menghubungkan spektrum ini dengan tiga isu yang berbeda: isu-isu yang absolut, isu-isu yang dapat diperdebatkan yang termasuk dalam spektrum ini, dan isu-isu selera yang tidak termasuk di dalamnya. Spektrum tersebut dimulai dengan isu-isu absolut, lalu perlahan-lahan membahas isu-isu yang dapat diperdebatkan. Jauh di ujung yang berlawanan adalah bahasan soal isu-isu selera, tetapi hal itu tidak termasuk karena bukanlah hal yang membentuk keyakinan kita.

Empat Tipe keyakinan

Keyakinan konfesional. Keyakinan konfesional menentukan batas-batas kekristenan dan mendasari kepercayaan serta praktik-praktik gereja dan setiap orang percaya. Keyakinan ini sering diekspresikan dalam pernyataan kredo seperti Pengakuan Iman Rasuli atau Pengakuan Iman Nicea. Pengakuan-pengakuan iman umumnya diucapkan oleh seluruh gereja dalam ibadah umum. Pengakuan-pengakuan iman juga umumnya dituliskan sebagai pernyataan “Kami percaya” dan bukan “Saya percaya”.

Jelas implikasinya adalah bahwa semua anggota jemaat diharapkan untuk menerima keyakinan tersebut. Menyangkal pengakuan iman adalah alasan yang baik untuk meragukan keotentikan iman Kristen seseorang. Keyakinan konfesional ini berfungsi sebagai prasyarat bagi keyakinan kita. Kita bahkan dapat menyebutnya sebagai keyakinan Kristen dan bukan keyakinan pribadi karena kita percaya bahwa keyakinan ini adalah bagian tak terpisahkan dari iman Kristen itu sendiri. Keyakinan ini bukan sekadar keyakinan pribadi.

Sesuai sebutannya, keyakinan konfesional berfokus pada kepercayaan, bukan tindakan. Keyakinan ini sebagian besar terdiri dari pernyataan-pernyataan teologis yang abadi tentang natur Allah, manusia, dan keselamatan. Gereja-gereja dan setiap murid Kristus harus memutuskan apa saja yang dituntut dari mereka untuk menghormati Yesus sebagai Tuhan dalam waktu dan keadaan budaya tertentu di mana pun mereka berada.

Mandat moral. Mengidentifikasi mandat moral dan spiritual adalah langkah pertama dalam “mengoperasionalkan” keyakinan konfesional kita—yaitu, mewujudkannya dalam tindakan. Sebagaimana keyakinan konfesional, mandat moral dan spiritual bersifat universal atau mendekati universal di antara orang-orang Kristen. Mandat tersebut adalah padanan perilaku dari keyakinan teologis yang ditemukan dalam pengakuan-pengakuan iman dan kredo-kredo kita serta diturunkan dari perintah Alkitab, bahkan sebagaimana keyakinan konfesional yang berasal dari klaim-klaim teologis Alkitab.

“Mandat” adalah istilah praktis yang merujuk pada prinsip-prinsip tingkat tinggi yang memandu tindakan, namun perlu dicatat bahwa istilah ini mencakup berbagai macam perilaku. Sebagian dari mandat-mandat ini membahas tentang isu-isu spiritual yang berkaitan dengan ibadah yang benar dan pengabdian kepada Tuhan. Perintah-perintah yang lainnya berurusan dengan isu-isu etika tentang bagaimana kita memperlakukan sesama manusia. Kita akan menggunakan frasa “mandat moral” sebagai istilah umum yang mencakup masalah etika dan spiritual.

Nilai-nilai inti. Mandat moral dan spiritual membutuhkan spesifikasi lebih lanjut. Kita menyebut langkah berikut ini dalam spektrum keyakinan kita sebagai “nilai-nilai inti,” yang merujuk kepada hal-hal yang penting bagi kita—yang benar-benar kita hargai.

Istilah nilai biasanya digunakan oleh psikolog atau sosiolog moral untuk mengidentifikasi motivasi-motivasi yang mendasari tindakan. Nilai adalah tujuan akhir yang diinginkan, yang memandu pilihan kita dan membantu kita mengevaluasi berbagai kebijakan, orang, dan peristiwa. Belum lama ini, psikolog sosial Jonathan Haidt telah merumuskan “Teori Landasan Moral” yang mengidentifikasi enam nilai dasar manusia: kepedulian, keadilan, kesetiaan, otoritas, kesucian, dan kebebasan.

Bagaimana mungkin nilai-nilai umum menghasilkan pedoman tindakan yang berbeda? Alasannya adalah karena orang cenderung setuju dengan nilai-nilai itu sendiri tetapi cenderung tidak setuju tentang bagaimana nilai-nilai tersebut harus diprioritaskan. Sebagian besar isu kontroversial bersinggungan dengan lebih dari satu nilai, seperti dalam kasus di mana kebijakan yang mengedepankan kebebasan dapat mengurangi keadilan atau gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Misalnya, ketika membahas imigrasi, setiap orang mungkin setuju bahwa rakyat harus mematuhi pemerintah dan juga memperlakukan para imigran dengan kasih dan hormat, tetapi mereka mungkin tidak setuju tentang bagaimana menimbang hal ini dalam kasus-kasus tertentu. Lebih jauh lagi, seseorang tidak membangun satu hierarki nilai yang universal, melainkan lebih memprioritaskan nilai-nilai yang berbeda tergantung pada situasinya. Dengan kata lain, kita mungkin mempertimbangkan nilai-nilai secara berbeda dalam kasus pengungsi Suriah dan dalam kasus orang Amerika Tengah yang melintasi perbatasan di selatan. Singkatnya, nilai adalah tempat titik awal yang sama, yang mengarah ke titik akhir yang berbeda.

Pedoman perilaku. Langkah terakhir dalam spektrum keyakinan adalah mengembangkan pedoman perilaku yang spesifik. Pada langkah ini, mandat moral dan nilai-nilai inti menemukan ekspresi dalam keputusan kebijakan yang aktual, dalam respons terhadap dilema etika, dan dalam rencana tindakan menurut konteks budaya yang spesifik. Pedoman perilaku memperhitungkan jangka waktu, lokasi, dan audiens. Pedoman ini juga menjawab pertanyaan: Bagaimana saya dapat menghormati Kristus pada waktu, tempat dan keadaan di mana Ia telah menempatkan saya?

Hikmat dan pengetahuan praktis memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk pedoman perilaku. Tim Keller berpendapat bahwa mempedulikan orang miskin adalah pengajaran alkitabiah yang jelas dan merupakan sebuah mandat moral, tetapi mengenai cara terbaik untuk melakukannya apakah melalui perusahaan swasta atau redistribusi pemerintah atau kombinasi keduanya, itu adalah soal hikmat praktis. Demikian pula halnya mengasihi sesama dan melindungi kehidupan menurut gambar Allah memberikan mandat agar kita meringankan penderitaan manusia dan merawat yang menderita. Tidak ada jawaban “kristiani” yang tunggal untuk pertanyaan seperti ini. Meski demikian, kita harus memutuskan apa yang akan kita lakukan. Kita tidak bisa mengejar semua pilihan sekaligus.

Secara umum, tidak jarang kita memiliki intuisi yang kuat dan tajam tentang isu-isu moral dan politik. Hal ini belum tentu salah—hati nurani kita sering kali bekerja secara intuitif tanpa kita mampu mengidentifikasi prinsip-prinsip yang akan mendukung intuisi kita. Akan tetapi, sangatlah berguna untuk mengasah dan memperdalam intuisi kita melalui refleksi penalaran yang diterangi oleh hikmat dari orang-orang lain. Kita bukanlah sumber mandiri dari semua kebenaran.

Jennifer Herdt, seorang ahli etika Kristen di Yale Divinity School, mencatat bahwa ketergantungan yang mendalam terhadap Tuhan adalah hal yang esensial bagi pengembangan “kebenaran tentang karakter dan kapasitas seseorang [yang] memampukannya menerima kelemahan dan kekuatan, ketidakmampuan dan kemampuan, dengan seimbang.”

Kita mengupayakan kebenaran bersama, sebagai bagian dari komunitas. Bagian penting dari proses ini, seperti yang dikatakan Yakobus, yaitu “penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.” Kebajikan-kebajikan seperti itu akan menuntun pada “buah yang terdiri dari kebenaran” (Yak. 3:17–18). Sesudah kita mendengarkan orang lain dengan keterbukaan dan ketulusan, kita berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk mengejar harapan Paulus agar kita menjadi “benar-benar yakin dalam hati [kita] sendiri” (Rm. 14:5).

Diadaptasi dari Winsome Conviction oleh Tim Muelhoff dan Richard Langer. Hak cipta ©2020 oleh Tim Muelhoff dan Richard Langer. Diterjemahkan atas seizin InterVarsity Press, Downers Grove, IL. www.ivpress.com.

Diterjemahkan oleh: Kalvin Budiman

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Church Life

Bukan Gas Air Mata yang Mengejutkan Saya

Bagaimana Menggembalakan di Tengah Unjuk Rasa Mengubah Perspektif Seseorang

Foto Sampul oleh Thomas Chan

Christianity Today June 30, 2022

Di ujung jalan itu, hanya beberapa meter di belakang gedung apartemen saya, gumpalan gas air mata memenuhi di sudut jalan. Ratusan pengunjuk rasa melarikan diri ke arah lain, mereka berusaha mencari tempat berlindung yang aman dari bentrokan yang tak terlihat oleh saya.

Terlepas dari kekalutan suasana itu, bukan gas air mata yang mengejutkan saya. Setelah tiga bulan di mana setiap minggu terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi di lingkungan saya, asap pedas yang menyengat di mata saya telah menjadi pengalaman yang biasa. Namun yang mengejutkan saya adalah seseorang.

Mata saya langsung tertuju padanya. Dia tidak berpakaian seperti pengunjuk rasa lainnya, yang ditutup dengan topeng dan payung layaknya para pengunjuk rasa garis depan. Dia tidak punya pelindung apa pun untuk melindungi dirinya dari serangan berbahan kimia. Dia diam berdiri, berhadapan dengan gelombang orang-orang yang bergegas pergi. Sementara semua orang melarikan diri ke arah lain, dia berdiri terpaku di tempatnya.

Awalnya saya berpikir ini adalah tindakan pembangkangan—yang menunjukkan keberanian perlawanan tanpa kekerasan. Namun saat saya berdiri memperhatikan dia, saya melihat mulutnya bergerak-gerak saat kepalanya berputar dari satu sisi ke sisi yang lain. Ekspresi di wajahnya bukanlah ketakutan atau kemarahan, melainkan keprihatinan. Dia berbicara kepada para pengunjuk rasa yang melarikan diri, tetapi dia tidak berusaha membuat mereka berdiri tegak dan melawan. Sebaliknya, dia tampak prihatin dengan kesejahteraan dan keberadaan mereka. Dia berdiri melawan arus, dengan mengorbankan keselamatannya sendiri, untuk menawarkan semacam kehadiran yang menenangkan. Postur tubuhnya tidak provokatif. Itu sangat pastoral.

Ketika saya melihat semua ini, saya merasakan adanya gerakan Roh Kudus yang tidak nyaman di dalam diri saya. Saya telah menjadi pendeta di Hong Kong selama 20 tahun, tetapi pria ini mewujudkan kekuatan gereja lebih dari yang pernah saya miliki. Seperti Kaleb dan Yosua yang berdiri di hadapan pendapat mayoritas dari mata-mata yang kembali, pria ini membawa semangat yang berbeda. Saya menyadari betul bahwa saya tidak demikian.

Gereja di Hong Kong berada pada titik infleksi bagi Injil. Bersamaan dengan pandemi global, kota kami telah mengalami pergolakan sosial dan politik yang lengkap dalam tiga tahun terakhir sebagai akibat dari berbagai unjuk rasa dan tanggapan Tiongkok dalam upayanya untuk memulihkan ketertiban. Banyak orang menyambut kembalinya kedamaian dan ketenangan di jalan-jalan, sementara banyak orang lainnya dibiarkan memar-memar dan berkonflik. Dan gereja kini harus memutuskan bagaimana menanggapinya.

Akankah kita menjadi suara pengharapan, iman, dan identitas yang berani dan sentral di tahun-tahun mendatang, yang dengan berani mengakarkan diri kita di tanah yang subur dari Injil? Atau akankah kita dengan lemah menyusut ke dalam bayang-bayang kekhawatiran dan merawat kepentingan diri kita sendiri? Akankah gereja menjangkau kota yang terpecah-belah, bersedia hadir memberikan penggembalaan dalam situasi yang paling sulit? Atau akankah kita menerima Injil yang nyaman yang membuat lampu di gedung gereja kita tetap menyala tetapi memadamkan cahaya kenabian kita di lapangan umum?

Dalam komunitas lokal saya di Hong Kong, jenis kekristenan setengah hati yang hanya mencari kemurahan Tuhan—tanpa ketaatan yang mau berkorban yang diperlukan untuk mengikuti Yesus—tidak lagi menjadi pilihan. Mungkin memang tidak pernah. Jika gereja di kota kita memiliki masa depan, maka gereja harus beralih dari mengejar hal-hal yang relevan menjadi mengejar ketahanan Injil yang baru yang ditempa dalam api perubahan sosial yang dramatis. Dan kita membutuhkan para pendeta, seperti pria yang berdiri di depan gas air mata di ujung jalan itu, yang mampu menawarkan harapan pastoral yang berani di masa politik yang menakutkan.

John Chan adalah salah satu pendeta yang tunduk pada panggilan ini. Lahir dan dibesarkan di Hong Kong pada tahun 80-an, ia belajar dari Karl Barth di Jerman sebelum kembali ke Hong Kong untuk mengejar karir pastoral dan akademis. Kini di usia 40-an, Chan menjadi seorang yang cerdas, menarik, sangat teologis, dan dengan berani mampu menghubungkan Kitab Suci dengan perubahan sosial dengan cara yang mengundang orang-orang untuk memproses pengalaman traumatis mereka. Dia bersedia berdiri di ujung jalan yang berbahaya itu saat gas air mata politik merayap di tikungan. Dia di sana menawarkan kehadiran pengharapan yang tidak berubah.

“Saya dibesarkan di masa Hong Kong yang luar biasa,” kata John saat kami duduk bersama sambil minum kopi. “Masa di saat budaya kuat, ketika kami semua memimpikan masa depan yang baik, ketika pemuda kota ini memiliki harapan dan keinginan. Begitu banyak yang telah berubah sekarang.”

Keprihatinan pastoral Chan untuk Hong Kong berpusat di sekitar orang dewasa muda di kota itu, sebuah generasi yang terjebak di antara kesuksesan kemakmuran mereka yang di atas 40-an dan keluguan mereka yang di bawah 20-an. “Generasi saya tumbuh dengan berfokus pada usaha mencari uang dan sebagian besar netral secara politik. Akan tetapi generasi saat ini jauh lebih terlibat dan peduli secara politik. Dan ini menghadirkan suatu lingkungan yang penting namun menantang bagi gereja.”

Hal ini terutama terlihat pada tahun 2014, tahun dimulainya gerakan Occupy Central. Menandai gerakan unjuk rasa mahasiswa yang pertama secara politik, para pemimpin kunci secara terbuka mengakui iman Kristen mereka. Sebagai seorang akademisi pada saat itu, Chan memperhatikan bagaimana murid-muridnya mencari lembaga-lembaga Kristen di kota itu untuk menawarkan bimbingan. “Seminar-seminari kita perlu beralih dengan cepat, dari pengajaran teologi politik ke pengajaran etika politik. Kami tiba-tiba membutuhkan praksis lebih dari teori.”

Kebutuhan akan praksis di masa perubahan sosial yang cepat ini pada akhirnya harus mengalir dari aula akademi ke mimbar gereja-gereja lokal, tetapi pergeseran seperti itu berlangsung lambat. Banyak pendeta tidak diperlengkapi untuk menangani isu-isu yang diciptakan oleh pergolakan politik. Seperti yang diamati Chan, “Sangat sedikit pendeta yang merasa mampu mengatasi persoalan-persoalan utama yang berdampak pada jemaat mereka, seringkali karena takut dicap terlalu politis. Jadi pada saat sesuatu yang signifikan sedang terjadi, mimbar gereja justru perlahan-lahan terputus dari umat.”

Diskonesi ini muncul lagi di musim panas 2019, saat gas air mata merayap di sudut jalan dekat tempat tinggal saya. “Dengan gelombang kedua unjuk rasa mahasiswa pada tahun 2019,” kata Chan, “gereja tampaknya hanya belajar sedikit dari yang terakhir kali, dan banyak kesalahan yang sama dibuat. Dan hal ini menyebabkan banyak anak muda meninggalkan gereja. Tidak meninggalkan Yesus, hanya meninggalkan gereja.”

Eksodus ini menggerakkan Chan untuk mendirikan sebuah gereja baru yang akan cukup fleksibel untuk merangkul orang Kristen generasi muda yang menginginkan Yesus dan keadilan sosial duduk berdampingan, sambil terus memperdalam Injil melalui pemuridan yang bersedia berkorban. Ia menyebutnya Gereja yang Mengalir (Flow Church), dan hanya dalam beberapa tahun gereja ini telah berkembang menjadi lebih dari 400 orang, kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa muda.

Flow Church ada karena orang Kristen Hong Kong memiliki tantangan unik yang berbeda dengan Barat,” katanya. “Masalah kami bukanlah hubungan antara gereja dan negara. Masalah kami adalah bagaimana hidup dalam masyarakat dengan ketidakseimbangan kekuasaan yang tidak proporsional.”

Ketidakseimbangan kekuasaan ini lebih dari sekadar mabuk pasca-kolonial. Seperti yang dikatakan Chan, “Kami memiliki situasi yang unik karena kerajaan kami adalah tanah air kami.” Situasi yang tidak dapat diubah inilah yang menyebabkan beberapa orang putus asa akan masa depan mereka, dengan semakin banyaknya orang yang memilih untuk beremigrasi dari Hong Kong. Akan tetapi bagi Chan, dia berdiri teguh pada satu perikop tertentu yang telah menjadi dasar dari pelayanan penggembalaannya yang diperbarui. “Yohanes 10:10 menjanjikan kita bahwa Yesus datang supaya kita dapat memiliki hidup yang berkelimpahan. Ini tidak tergantung pada tempat atau waktu tertentu, atau tahap tertentu dalam kehidupan. Terlepas dari betapa sulitnya situasi Hong Kong saat ini, saya percaya masyarakat kita dapat mengalami kepenuhan hidup dan sukacita.”

Visi kehidupan yang penuh inilah yang mendorong pelayanan Chan. Ia dan gerejanya menggali akar yang lebih dalam di tanah kota itu. Gerejanya rindu untuk hadir secara stabil dan pasti dalam pelayanan pastoral di tengah derasnya perubahan liar di sekitar mereka. Dan hal ini membutuhkan keberanian, pengorbanan, dan kekuatan yang tidak sedikit.

Sebagai seorang pendeta yang bersama Chan dalam pelayanan di kota ini, saya mendapati diri saya dihidupkan kembali oleh keberaniannya. Saya tidak ingin tetap berada jauh dari jalan, sebagai pengamat jarak jauh terhadap keberanian rohani orang lain. Seperti Chan, saya ingin bisa berdiri di antara mereka yang terluka dengan keteguhan hati meski mata saya pedih.

Semangat yang berbeda ini—seperti yang terlihat dalam kisah Kaleb dan Yosua serta teman saya John—inilah yang disebut dengan sepenuh hati terhadap Tuhan. Ini menyadarkan saya, karena saya merasa hati saya sendiri terbagi, terkoyak oleh ketakutan, melindungi diri sendiri, dan keprihatinan institusional. Saya membutuhkan hati yang baru untuk panggilan baru ini. Kulit anggur baru, boleh dikatakan. Dan itu selalu merupakan gerakan Roh Tuhan.

Seperti yang dikatakan seorang teman baru-baru ini, “Panggilan tersulit adalah panggilan pertama kita: mati bagi diri sendiri.” Seperti pria di ujung jalan itu, menatap gas air mata dan menawarkan kenyamanan kepada orang lain, kiranya kita mengambil sisi yang akan mati sehingga orang lain dapat mengambil sisi yang hidup.

Church Life

Foniks Bangkit Setelah Perbudakan ISIS

Bagaimana Perjalanan Seorang Wanita Membawanya dari Tangan ISIS kepada Pengharapan di dalam Yesus.

Foto Sampul oleh Isaak Alexandre Karslian

Christianity Today June 30, 2022

Cerita ini mengandung konten yang mungkin dianggap mengganggu oleh sebagian orang.

Matahari sedang terik-teriknya di pinggiran kota Mosul. Saat itu tahun 2018, dan pasukan koalisi sedang menuju tempat persembunyian ISIS. Suasana terasa mencekam. Ada laporan-laporan tentang para pengebom bunuh diri yang menyergap pasukan koalisi dalam keputusasaan mereka untuk menghidupkan kembali impian Khilafah yang memudar.

Ketika para tentara mendobrak masuk ke rumah persembunyian itu, mereka tidak menemukan tentara ISIS melainkan puluhan wanita dan anak-anak yang dirantai ke dinding. ISIS memakai mereka sebagai tameng manusia atau pelaku bom bunuh diri. Para prajurit meyakinkan para tahanan bahwa mereka sekarang aman, dan ISIS tidak bisa lagi menyakiti mereka. Mereka membawa para wanita dan anak-anak itu ke pusat trauma di kota terdekat. Di tempat inilah pertama kali kami bertemu Nora.

Ia berjalan ke ruang tamu dan berdiri di depan kami dengan penuh kesakitan. Ia gemetaran, berlumuran kotoran, keringat, dan darah. Air mata mengalir di wajahnya. Dia tampak seperti tidak makan selama berhari-hari, namun satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana menutupi tubuh lusuhnya dengan kain rombeng dari bekas pakaian.

Pada tahun 2014, pasukan ISIS yang menyerbu Irak barat datang ke desa tempat Nora tinggal dan menyatakan seluruh penduduk desa sebagai kafir. Sebagian besar sejarawan negara Islam setuju bahwa ISIS didirikan oleh para jihadis yang ingin mengobarkan perang antara Sunni dan Syiah di Irak dan mendirikan kekhalifahan Islam yang pada akhirnya akan mengambil alih dunia. ISIS percaya bahwa versi Islam ekstremis mereka adalah satu-satunya jalan yang benar. Mereka membunuh atau memenjarakan siapa saja yang tidak setuju—bahkan termasuk juga sesama Muslim yang berpandangan moderat tentang Islam.

Ketika milisi ISIS menyerbu ke daerah tempat tinggal Nora, mereka menangkap ribuan wanita dan anak perempuan sebagai budak seks dan membantai banyak pria. Diculik dari rumahnya, Nora pun menyaksikan pembunuhan beberapa anggota keluarganya di jalan-jalan desa. Dia tinggal di markas ISIS di Mosul sampai pasukan koalisi membebaskannya empat tahun kemudian.

Setelah datang ke pusat trauma milik pemerintah, Nora menerima pakaian, selimut, perlengkapan mandi, dan makanan dari tim Impact Middle East (IME) kami. Ia pun bisa terhubung kembali dengan keluarga besarnya, dan mereka pergi untuk tinggal di tenda darurat sebuah kamp pengungsi di Irak Utara.

Selama pengambilalihan ISIS atas Irak dan Suriah, sekitar 7.000 anak-anak dan wanita Muslim, Yazidi, dan Kristen seperti Nora diambil sebagai budak. Meski banyak yang telah diselamatkan, 2.768 orang masih belum ditemukan. Bersama dengan IME Center, banyak pelayanan Kristen lainnya membantu para korban untuk menangani kebutuhan emosional, mental, dan fisik mereka.

Melalui perjalanan hidup yang berliku dan menyakitkan, Nora menghabiskan hari-harinya di dalam tenda, dengan sisa harapan yang semakin menipis dari hari ke hari. Bagaimana ia bisa tahu bahwa di tengah kesedihannya, menunggu hari-harinya di tenda pengungsian, hidupnya akan berubah?

Pada suatu hari yang terik, ketika pasir berhamburan dan bercampur dengan angin, seorang Kristen Arab bernama Jamila tiba di kamp itu dengan satu tujuan saja yaitu mengunjungi Nora.

Bertahun-tahun sebelumnya, Jamila telah meninggalkan pekerjaan bergaji tinggi di negaranya dan pindah ke Irak untuk bekerja dengan para mantan budak seks di kamp-kamp pengungsi. Didorong oleh keinginan yang membara untuk melihat Tuhan menyembuhkan orang yang patah hati, dia mempelajari perawatan dan konseling trauma. Sekarang Jamila adalah anggota staf IME yang menjalankan misinya untuk bekerja dengan gereja lokal di pusat komunitas terdekat.

Ketika Jamila bertemu Nora, ia mengundangnya ke sebuah pelatihan menjahit dan kelompok pemulihan trauma di mana tim dari gereja mengajari Nora keterampilan menjahit dan memberinya pinjaman untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Setelah sesi menjahit, para wanita akan berkumpul dengan Jamila dalam terapi kelompok dan sesi konseling tatap muka.

Saat Jamila dan Nora menjalin hubungan yang lebih erat, Nora pun mulai terbuka tentang kengerian yang pernah dia alami. “Pasukan ISIS menempatkan kami di kurungan-kurungan dan mengadakan lelang untuk menjual kami kepada penawar tertinggi. Mereka menyebut kami budak perempuan. Kami direduksi dari manusia menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.” Nora mengungkapkan isi hatinya pada Jamila tentang bagaimana ia dijual atau dihadiahkan dari satu jihadis ke jihadis lainnya dan bagaimana mereka memperkosa dan memukulinya, menyebutnya sebagai kafir.

Saat Nora membagikan ceritanya yang mengerikan itu, Jamila bisa melihat dengan jelas bagaimana Nora menyalahkan dirinya sendiri atas pelecehan yang terjadi padanya, dan bagaimana dia bergumul dengan kebingungan yang mendalam dan bahkan berpikir untuk bunuh diri. Nora telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia mungkin telah melakukan sesuatu yang salah—atau kurang berusaha untuk menghentikan pelecehan terhadap dirinya. Dengan beban ini, Jamila terdorong untuk berlutut mendoakan Nora setiap hari.

Levi Meir Clancy

Saat Jamila memimpin kelas menjahit, sambil mendengar kisah-kisah mantan budak ISIS, ia mengajari mereka bagaimana memahami trauma mereka dan membangun ketahanan emosional. Ia menawarkan mereka harapan bahwa pemulihan sangatlah mungkin terjadi. Selama sekian bulan, banyak wanita menunjukkan peningkatan yang luar biasa dan keinginan yang tulus untuk mendapatkan kembali kemandirian mereka.

Namun, Nora terus bergumul. Wajah-wajah keluarganya yang terbunuh terus menghantui dalam mimpi-mimpinya. Dia sering pingsan dan jatuh selama kelas menjahit, membenturkan kepalanya ke tanah. Jamila merasa sangat sedih terhadap Nora. Suatu malam, Jamila kembali dari kamp pengungsi ke rumahnya dan mengunci diri di kamarnya selama berjam-jam, menangis dan berseru kepada Tuhan.

Keesokan paginya, Jamila kembali ke IME Center dan meminta Nora untuk tetap tinggal setelah kelas selesai. Jamila meminta izin untuk mendoakannya dalam nama Yesus. Nora tahu tentang Yesus, tetapi percaya Yesus tidak lebih dari seorang nabi. Meskipun demikian, karena keinginannya yang besar untuk sembuh, Nora setuju. Jamila memegang tangannya dan memejamkan mata. Saat mereka berdoa, Jamila mengalami apa yang dia anggap sebagai penglihatan dari Tuhan. Dia melihat Nora berdiri di tendanya dengan pisau di pergelangan tangannya, mencoba untuk bunuh diri.

Jamila segera berhenti berdoa dan bertanya pada Nora apakah dia mencoba bunuh diri. Jamila menjelaskan gambaran yang ia lihat, pakaian yang dikenakan Nora, dan ruangan tempat dia berada. Nora ketakutan karena rahasianya terbongkar. Dia selalu mengenakan baju lengan panjang untuk menyembunyikan bekas luka dari usaha bunuh dirinya. Sambil menangis, dia bertanya pada Jamila dengan tidak percaya, “Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Bagaimana kamu bisa melihat itu?”

Jamila menjawab, “Tuhan kita adalah Bapa yang pengasih. Dia melihatmu. Dia melihat rasa sakit dan penderitaanmu, dan Dia peduli padamu. Dia ingin kamu tahu bahwa Dia bersamamu di tenda malam itu saat kamu mencoba bunuh diri.”

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nora berdoa kepada Tuhan sebagai Bapanya. Dia telah diajari sejak kecil untuk menganggap Tuhan sebagai tuan yang menuntut, tetapi malam itu dia mengalami kasih tanpa syarat dari Bapa surgawi untuk melakukan mujizat dalam hidupnya di tengah rasa sakit dan penderitaan yang luar biasa. Pada minggu-minggu berikutnya, Jamila mulai memuridkan Nora, mengajarinya tentang kasih sayang dan perhatian Tuhan untuknya.

Pada awal perjalanannya dengan iman yang baru, Nora masih bergumul dengan pertanyaan, “Di mana Tuhan saat ISIS menyerang desa saya? Bagaimana mungkin Bapa yang pengasih membiarkan begitu banyak kejahatan dan penderitaan?” Jamila mendampingi Nora dalam memahami konsekuensi dari kehendak bebas dan penderitaan karena dosa. Tuhan tidak hanya peduli dengan rasa sakit kita, kata Jamila, Dia juga menderita bersama kita.

Kata-kata pewahyuan bergema dengan harapan di dalam diri Nora yang terluka, suatu janji bahwa akan tiba waktunya di mana Tuhan akan menghapus segala air mata, dan “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why. 21:4).

Setelah beberapa bulan mengalami pewahyuan kasih ilahi ini, Nora berdoa bersama Jamila dari lubuk hati terdalam: “Abba mengajari saya bahwa saya dicintai, bahwa saya cantik, bahwa saya berharga. Ia memberitahu saya bahwa Ia adalah seniman ulung yang mampu memulihkan orang yang patah hati, membebaskan para tawanan, dan membuat sesuatu yang indah dari seonggok abu.”

Ketika Gereja Menjadi Mafia

Laporan pelecehan SBC baru-baru ini menunjukkan bahwa gereja-gereja kerap kali cenderung memprioritaskan persatuan dan keamanan kelompoknya ketimbang kebenaran yang dapat “memecah belah.”

Christianity Today June 22, 2022
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: WikiMedia Commons / cyano66 / Getty

Bagian ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini.

Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang baik untuk saya, tolong jangan mengirimkan bunga.

Jika saya melihat buket bunga di pintu, maka adrenalin saya mungkin akan segera bergejolak. Hal itu karena, selama bertahun-tahun dalam konteks saya di Baptis Selatan, ada tradisi lisan terkait pemimpin di dalam denominasi tersebut, yang sering kali dipandang layaknya bos partai atau bahkan uskup, yang akan mengirimkan buket bunga kepada orang-orang yang menentangnya, tanpa disertai tulisan apapun di atas kartu selain nama dirinya. Kiriman bunga tersebut seolah berkata, “Bagi saya kamu sudah mati” atau “Saya tahu apa yang kamu lakukan” atau semacamnya.

Ketika pertama kali saya mendengar hal ini, saya berhenti dan berpikir, “Tunggu dulu, kok jadi seperti mafia ya?”

Saya tidak tahu berapa banyak orang yang pernah menerima bunga seperti itu. Ketika orang-orang yang lebih muda bertanya tentang hal tersebut, sang pemimpin hanya tersenyum dan memalingkan mukanya. Mungkin legenda selalu lebih besar dari kenyataannya. Akan tetapi ketika berbicara tentang ketakutan dan intimidasi, yang dibutuhkan hanyalah legenda.

Dan di balik legenda ada kebenaran yang lebih besar—salah satunya yang sekarang dapat diintip sedikit oleh seluruh dunia, setelah perilisan investigasi independen yang menggambarkan budaya menutup-nutupi, pembalasan, dan menghalang-halangi, yang dilakukan oleh Komisi Eksekutif (KE) Southern Baptist Convention terkait persoalan pelecehan seksual di gereja, para penyintasnya, dan para advokat serta pelapor yang berdiri bersama mereka.

Sejak itu, banyak orang dari luar denominasi menelepon atau mengirim SMS seiring mereka menyaksikan beberapa proses pengadilan resmi, dan mereka semua mengungkapkan beberapa variasi respons tentang betapa mengerikannya kesopanan orang-orang Baptis Selatan—di mana semua orang memanggil satu sama lain dengan sebutan “Saudara.”

Kepada beberapa dari mereka saya menyampaikan sebuah cuitan dari seorang jurnalis agama bernama Bob Smietana: “Bagi mereka yang baru mengenal politik SBC. Ada banyak hal yang terjadi ketika orang memanggil satu sama lain ‘saudara’ atau mengatakan mereka ingin ‘mengubah arah’ dan berkata ‘Saya menghargai Anda.’ Semuanya terlihat begitu rohani, namun dengan pisau di belakangnya.”

Iya, pisau. Dan bunga juga.

Mereka bukan hanya seperti Mafia Mayberry yang bisa menyembunyikan taktik politik penghalang di balik retorika manis “saudara yang baik hati,” dan seterusnya. Orang-orang seperti itu juga bisa, dan sering kali, mengeksploitasi orang lain dengan dalih “persatuan” dan “kerja sama” dan “kasih kepada saudara seiman.”

Beberapa bulan setelah saya pergi, seorang reporter menghentikan saya ketika saya sedang membela orang-orang Baptis Selatan terkait sesuatu dan bertanya mengapa—saya kemudian menjawab, “Saya mengasihi mereka, dan 90 persen dari mereka adalah orang-orang hebat.” Dia berkata, “Saya pikir perhitungan Anda salah.” Ia menyiratkan, mungkin itu semacam sindrom Stockholm yang dialami seseorang yang tidak dapat berpikir sebaliknya.

Mungkin saja. Akan tetapi hal itu juga benar, meski mungkin tidak sepenuhnya akurat secara matematis. Pada kenyataannya, memang ada banyak orang baik di jemaat-jemaat itu. Sebagian besar dari mereka tidak akan pernah membayangkan bahwa ada orang yang akan melakukan taktik gaya mafia dengan mengatasnamakan komunitas mereka—dan, apalagi, mereka tidak akan pernah mendukung perlakuan buruk terhadap para penyintas pelecehan seksual dengan atas nama Yesus.

Saya masih percaya akan hal itu. Namun tidak masalah jika orang tidak menyadari bahwa bisnis mafia sedang terjadi di balik layar dan orang-orang itu tidak memahami cara kerjanya.

Cara kerja yang umum digunakan adalah lewat ketakutan akan pengasingan. Bunga di depan pintu—baik secara harfiah maupun tersirat—bukanlah ancaman untuk membunuh siapa pun. Namun hal itu merupakan ancaman untuk mengeluarkan seseorang dari kelompok-untuk mengasingkan orang tersebut sedemikian rupa sehingga siapa pun yang mendengarkan mereka terkait apa pun, akan terancam untuk diasingkan pula.

Upaya ini bahkan terbukti lebih efektif di gereja-gereja lokal. Jika seorang penyintas maju ke depan untuk berbicara tentang apa yang telah ia alami, dia mungkin akan diberitahu bahwa dia menabur perpecahan dan menghambat kesaksian gereja. Mereka yang mendukungnya akan segera dicap “kontroversial.” Dari sana, orang menemukan cara lain yang lebih populer untuk menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa mereka yang menyerukan reformasi sebenarnya bukan “salah satu dari kita.”

Rob Downen, jurnalis Houston Chronicle yang mengungkap kisah krisis pelecehan seksual SBC, merinci dalam utas Twitter tentang latar belakang krisis ini—termasuk penggunaan “teori ras yang kritis” (Critical Race Theory atau CRT) sebagai cara untuk mendiskreditkan orang-orang yang dianggap “liberal.”

Bahkan, sosiolog Ryan Burge menunjukkan dengan analisis pencarian Google tentang bagaimana “CRT” menjadi kontroversi di SBC selama dua tahun penuh sebelum hal itu mulai muncul dalam perang budaya nasional. Akan lebih mudah bagi saya untuk menemukan seorang anggota Baptis Selatan yang vegan pada saat doa pagi kaum pria ketimbang seorang Baptis Selatan yang berpegang pada teori ras kritis di mana saja. Namun, justru itulah alasan mengapa taktik ini berhasil.

Bayangkan di sebuah jemaat lokal, Saudara Tommy, seorang diaken, berkata dalam doa, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Kemudian sekelompok orang mulai membicarakan “keprihatinan” mereka terhadap Unitarianisme Tommy. Mereka mulai menyebarkan tautan Wikipedia tentang apa itu Unitarianisme, dan bagaimana hal itu merupakan bidat yang tidak akan membawa kebaikan.

Mereka bahkan mungkin akan menyewa seorang ateis untuk mengatakan bahwa Saudara Tommy adalah seorang Unitarian dan inilah sebabnya mengapa hal tersebut tidak konsisten dengan doktrin Kristen (bagian itu mungkin dibuat-buat; tentu saja hal itu tidak akan pernah terjadi, tetapi ini hanya perumpamaan jadi mari kita teruskan).

Saudara Tommy pun setuju bahwa Unitarianisme adalah sebuah bidat; sementara dia sendiri adalah sungguh-sungguh penganut Trinitarian sejati. Doanya mengutip sebuah ayat Alkitab dari Ulangan 6—dan doa yang ia panjatkan sepenuhnya konsisten dengan Trinitas. Ketika jemaat kemudian mulai berbicara mengenai betapa khawatirnya mereka tentang “Unitarianisme” di gereja kami, Saudara Tommy menjadi lengah.

Dia tidak membela Unitarianisme. Dia membenci Unitarianisme. Hal tersebut tidak ada di gereja itu. Namun faktanya, dia tahu ada banyak politeisme yang sedang terjadi. Akan tetapi jika dia menyampaikan tentang Perkumpulan Politeis tersebut, yang berkumpul setelah pertemuan bisnis Rabu malam, dia malah diberitahu untuk “berhenti memecah-belah.”

Ketika dia menjelaskan bahaya tiang Asyera yang ingin dipasang oleh beberapa orang di bazar gereja, dia diberitahu untuk “berhenti memecah belah.” Ketika ia mengutip Ulangan 6, dia diberitahu untuk “tidak bermain politik dan cukup fokus saja dalam pemberitaan Injil.” Jadi, untuk meruntuhkan Unitarianisme—yang pada waktu itu tidak menjadi masalah di gereja tersebut—Saudara Tommy harus terlebih dahulu menjelaskan bagaimana Ulangan 6 bukan soal Unitarian.

Kemudian ketika orang-orang yang lebih tahu—yang telah mengenal Tommy selama bertahun-tahun dan yang tahu bahwa tidak ada Unitarian di gereja itu—mulai berbicara tentang bagaimana mereka juga “menentang Unitarianisme,” berharap bisa meredakan kegelisahan orang banyak dan mempertahankan pendirian mereka dengan orang-orang yang telah salah menuduh Unitarianisme, lalu apa yang harus dilakukan?

Pada akhirnya, tidak ada yang mau berada di dekat Saudara Tommy, karena ia dianggap “toksik.” Tidak sedikit pun yang memperhatikan tentang Perkumpulan Politeis yang memasukkan satu patung lain di sebelah patung Zeus, dan masih belum ada Unitarian yang terlihat. Dan mungkin beberapa orang yang percaya kitab Ulangan—setelah diberi tahu bahwa itu adalah “Unitarianisme”—bisa saja akhirnya benar-benar menjadi Unitarian.

Sungguh ini adalah kekacauan yang membingungkan. Selain semua itu, jika ada juga beberapa hal yang sangat kelam terjadi pada orang-orang yang rentan—maka, siapa yang akan berani membicarakannya? Setidaknya apa yang disebut “Unitarian” telah dikalahkan.

Dalam konteks gereja, reformasi apa pun pada isu-isu yang nyata dapat menjadi sulit karena isu-isu tersebut tidak dapat ditangani dengan baik oleh orang dalam maupun orang luar.

Mereka yang tetap tinggal akan diberi tahu—terutama jika mereka memegang jabatan di gereja—bahwa mereka tidak dapat menunjukkan ketidaksetiaan dengan mencoba “meledakkan segalanya.” Jadi, mereka sering mencoba membereskan masalah tersebut pelan-pelan “lewat sistem,” berusaha melakukan segala sesuatu dengan “cara yang benar,” karena jika tidak demikian, maka hal tersebut-dan bukan persoalan pelecehannya-akan menjadi masalah.

Mereka sering menghadapi rintangan demi rintangan, mendapati bahwa diri mereka harus berjuang di 15 bidang lainnya—yang seringkali harus melawan masalah yang imajiner atau berlebihan—sehingga orang lain kemudian dapat berkata, “Lihat, mereka selalu berusaha menimbulkan masalah.”

Setelah menghadapi setiap tembok penghalang, mereka akan diberi tahu, “Bersabarlah. Percayailah prosesnya. Kami tidak ingin terburu-buru dalam menangani masalah yang sangat baru dan tiba-tiba ini, yang baru ditemukan 20 tahun yang lalu.” Di balik semua itu akan ada seruan untuk bertanggung jawab—“Kalian semua adalah pemimpin di gereja ini dan kalian jangan sampai mengobarkan perpecahan. Kita tidak bisa memperbaiki ini dalam kekacauan. Anda perlu menghormati para pemimpin lain dan mengatasi persoalan ini.”

Ketika tidak ada apa pun yang terjadi—dan mereka yang menyuarakan tentang reformasi masih hidup setelah melewati berbagai tusukan dan rintangan, dan sering kali juga mengalami manipulasi mental dan perang psikologis—mereka mungkin mencoba memberi tahu jemaat, dengan istilah yang paling sopan, bahwa ada masalah yang sedang terjadi. Dan ketika orang-orang terus mengabaikannya, mereka mungkin pada akhirnya akan berani mengutarakan secara eksplisit apa yang telah mereka alami.

Akan tetapi, mereka tahu bahwa masalah itu akhirnya akan menjadi “cara” mereka untuk mendekati persoalan tersebut. Mereka seharusnya tidak melakukannya seperti itu. Jika mereka mengatakannya di depan umum, mereka akan diberi tahu bahwa mereka “meledakkan segalanya untuk menghancurkan semua orang bersamamu.” Jika mereka mengatakannya secara pribadi kepada pimpinan, dan orang lain mengetahuinya, mereka akan dituduh mengatakannya secara pribadi padahal sudah tahu bahwa pada akhirnya masalah ini akan diketahui publik.

Pada saat itu—setelah banyak teman dan bahkan mentor mereka berpura-pura tidak mengenal “para pembuat onar” itu—mereka mungkin akan menyimpulkan bahwa tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Dan akhirnya, mereka pun pergi.

Kini, orang-orang yang sebelumnya mengatakan tidak pantas untuk berbicara karena mereka memiliki tanggung jawab di dalam, akan memberitahu bahwa mereka tidak pantas untuk berbicara karena mereka sudah berada di luar. “Anda sudah meninggalkan gereja ini, jadi Anda tidak boleh ikut campur lagi dalam masalah ini” atau “Mengatakan apa pun tentang masalah ini adalah sesuatu yang tidak pantas.” Hal tersebut bahkan bisa terjadi setelah apa yang mereka katakan itu terbukti benar.

Jika hal ini bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jemaat, bayangkan seberapa buruknya hal ini bagi mereka yang tidak berdaya dan tanpa suara, yang mengalami kejahatan atau pelecehan? Salah satu dari mereka mungkin melihat apa yang terjadi terhadap orang-orang yang mencoba menarik perhatian para mafia pemegang kuasa atas masalah itu dan menyimpulkan bahwa orang-orang tersebut tidak akan pernah memiliki kesempatan. Orang itu bahkan mungkin mulai percaya bahwa pelaku pelecehan dan para pelindung mereka adalah benar dan bahwa dia sendiri durhaka, kesetanan atau “gila.”

Dengan demikian, pesan yang diproyeksikan ke seluruh komunitas adalah “Kamu tidak ingin menjadi orang itu.”

Ini bukanlah masalah yang hanya dialami oleh denominasi Baptis Selatan. Hal ini bisa terjadi di gereja mana pun, di jemaat mana pun, di institusi mana pun. Dalam kehidupan Baptis Selatan, hal ini bisa berjalan dengan baik karena menjadi seorang anggota jemaat Baptis adalah bagian dari apa yang diajarkan kepada kami sejak lahir. Namun hal ini bisa terjadi di mana saja.

Langkah pertama untuk mencapai keadilan apa pun bagi siapa pun adalah pertama-tama mematahkan kekuatan ketakutan akan pengasingan. Dan hal itu sulit dilakukan. Namun pada akhirnya, orang akan mulai membedakan antara “keyakinan” dan ancaman mafia, antara “munculnya masalah yang sama kembali” dan politik kekuasaan, antara khotbah dan hasutan, antara kesopanan dan konspirasi kejahatan.

Hampir 30 tahun yang lalu, saya mendengar beberapa khotbah yang baik dari banyak orang yang merujuk pada peringatan Elton Trueblood tentang gereja “bunga potong”—di mana sebuah karangan bunga dalam vas bisa tampak indah dan hidup, tetapi ketika dipotong dari akarnya, ia hanya nampak hidup padahal tidak. Hal itu benar. Dan itu bukan hanya berlaku bagi orang-orang yang kehilangan iman mereka karena liberalisme, tetapi juga bagi mereka yang tersesat jalannya dari Kristus dengan cara apa pun. Dalam konteks apa pun juga, mafia—entah nyata atau metaforis—hanya terjadi jika yang diprioritaskan adalah kepemilikan dan keamanan.

Buket bunga hanya dapat menakuti Anda sampai Anda menyadari bahwa bunga-bunga itu sebenarnya telah mati.

Russell Moore memimpin Proyek Teologi Publik di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Baptis Selatan Akhirnya Merilis Daftar Pendeta, Membatalkan Cara Pendekatan Lama Terhadap Para Penyintas

Dibutuhkan banyak perubahan, kata para penyintas, tetapi pengacara yang baru memberi tanda-tanda harapan.

Pengacara Gene Besen dan Scarlett Singleton Nokes bersama presiden sementara Komisi Eksekutif, Willie McLaurin (tengah)

Pengacara Gene Besen dan Scarlett Singleton Nokes bersama presiden sementara Komisi Eksekutif, Willie McLaurin (tengah)

Christianity Today June 21, 2022
SBC EC / YouTube

Berhari-hari setelah laporan investigasi yang mengejutkan, Komite Eksekutif (KE) Southern Baptist Convention (SBC) memutuskan untuk melakukan apa yang ditolak oleh para pemimpin sebelumnya selama 15 tahun: merilis daftar pendeta yang secara kredibel dituduh melakukan pelecehan seksual.

Presiden KE Willie McLaurin diapit oleh dua orang pengacara baru dalam pertemuan melalui Zoom pada hari Selasa, membahas tanggapan awal KE. Mereka mengusulkan untuk segera mengeluarkan pernyataan yang menolak sikap meremehkan yang telah diambil oleh para pemimpin KE terhadap para korban di masa lalu dan mengumumkan daftar 700 tersangka pelaku pelecehan seksual yang dirahasiakan oleh mantan pemimpin.

Tindakan yang cepat ini kontras dengan pendekatan yang secara historis terekam dalam laporan investigasi dan pertemuan tahun lalu, di mana liabilitas yang meningkat menjadi pokok bahasan umum dan para pengacara memilih untuk menasihati para anggota pengurus dalam sesi tertutup.

“Kita telah menjadi terlalu familier dengan menggunakan teknik untuk memperlambat proses,” kata presiden SBC Ed Litton. “Kita harusnya sangat sadar bahwa dunia sedang memperhatikan, dan mereka tidak perlu melihat hal ini sebagai sesuatu yang biasa… kita harus melakukannya dengan benar.”

Dua pengacara dari Bradley Arant Boult Cummings LLP—Gene Besen dan Scarlett Singleton Nokes—awalnya hanya menjadi penasihat hukum luar di awal tahun. Mereka berbicara secara terbuka dalam pertemuan tersebut, di mana Nokes merefleksikan keyakinannya dan perlunya buah roh “kelemahlembutan” untuk mendorong kerja KE supaya masalah ini menjadi jelas.

Di Twitter, penyintas Jennifer Lyell menyebut ini “hal konsekuensial paling positif yang pernah terjadi di @sbcexeccomm dalam 20 tahun terakhir.”

Ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama, KE diwakili oleh pengacara selain Jim Guenther dan Jaime Jordan. Mereka adalah bagian dari firma Nashville yang sudah bekerja sama dengan Southern Baptist Convention sejak 1955 namun mengundurkan diri selama investigasi. Mereka telah menyarankan agar KE tidak mengizinkan Guidepost Solutions mengakses materi yang tercakup dalam hak istimewa antara pengacara dengan klien.

“Dengan pemungutan suara yang mereka lakukan pada tahun 2021, para utusan SBC menuntut KE menghadapi kenyataan mengerikan terkait penyerangan seksual dan berhenti mengabaikan para penyintas. Dua pengacara dari Bradley yang mewakili KE adalah pakar dalam hal ini dan menawarkan nasihat yang sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada mereka,” kata Adam Plant, seorang pengacara Alabama yang mengikuti kisah tersebut. “Akan tetapi mari kita perjelas, laporan ini mengungkap kebusukan yang tidak bisa diatasi hanya dengan memberikan nasihat hukum yang berbeda—dibutuhkan adanya perubahan sistemik.”

Namun, pertemuan itu menandakan apa yang diharapkan oleh para pengurus sebagai titik balik bagi organisasi Baptis Selatan. Salah satu pengacara yang baru, Besen, merujuk pada “mengubah arah,” dan presiden sementara yang baru, McLaurin, berbicara tentang “mengubah budaya.” Beberapa anggota pengurus menyebutnya sebagai kesempatan untuk melakukan hal yang benar.

Besen dan Nokes berasal dari Bradley, sebuah firma nasional yang berbasis di Birmingham. Nokes menjabat belasan tahun sebagai asisten Jaksa AS dan spesialis dalam Pasal IX dan investigasi penyerangan seksual.

Para pengacara sebelumnya dari Guenther, Jordan & Price, berfokus pada hukum nirlaba, perguruan tinggi, dan hukum pertanahan, dengan SBC sebagai klien utama selama lebih dari setengah abad. Guenther berusia 87 tahun ketika perusahaannya mengundurkan diri untuk mewakili KE tahun lalu. Minggu ini, situs webnya—gpjlaw.com—diprivat.

Guenther dan Jordan telah mengkritik laporan Guidepost Solutions karena salah paham tentang peran penasihat hukum dan, kata mereka, salah mengartikan motif para pemimpin KE yang telah bekerja bersama mereka selama beberapa dekade.

“Laporan itu berulang kali menyerang perusahaan kami karena menasihati Komite Eksekutif dan Southern Baptist Convention mengenai risiko yang dapat timbul dari berbagai tindakan,” kata mereka dalam sebuah pernyataan kepada Baptist Press.

Menurut laporan itu, mereka mengusulkan kemungkinan merilis ke publik daftar pendeta yang melakukan pelecehan. Guidepost menceritakan bagaimana Jordan telah menasihati mantan pemimpin KE dan penasihat umum Augie Boto pada tahun 2006 bahwa KE “dapat mempertimbangkan” untuk merilis daftar nasional pendeta yang melakukan pelecehan dan bahwa “mungkin sudah waktunya bagi pembuat kebijakan di SBC untuk berdiskusi.” Guenther juga menyarankan rencana untuk membuat tautan basis data dari situs web SBC. Boto menggagalkan upaya untuk menindaklanjuti saran-saran tersebut, meskipun dia sendiri menyimpan daftar ratusan nama itu.

Sebelum keterlibatannya selama beberapa dekade dengan KE, Boto adalah lulusan Baylor University dan pengacara di Dallas pada tahun 1980-an. Pada saat itu, ia terhubung dengan Paige Patterson di First Baptist Church Dallas ketika Kebangkitan Konservatif dimulai.

Boto mengatakan kepada penyelidik bahwa dia terus menentang gagasan basis data SBC karena alasan liabilitas. Tetapi banyak pemimpin SBC, termasuk presiden JD Greear dan Ed Litton, frustrasi dengan batasan liabilitas.

“Berulang kali menyembunyikan informasi yang dapat menghentikan para predator yang telah diketahui bisa melukai korban di masa depan adalah strategi hukum yang lebih berisiko dan sama sekali bertentangan dengan teladan Kristus,” kata Plant, yang merupakan praktisi hukum di Alabama.

Penasihat KE yang baru tidak melihat potensi liabilitas sebagai alasan untuk terus menahan daftar yang dimiliki Boto. Mereka telah memperoleh salinan dari Guidepost dan berencana untuk merilisnya pada hari Kamis.

“Saran saya kepada organisasi ini, kepada klien saya, Komite Eksekutif, adalah segera merilis daftar itu demi kepentingan bersama. Ini penting. Ini menjadi perhatian publik dan komunitas penyintas, dan kami akan segera melakukannya,” kata Besen.

Merilis daftar tersebut adalah sebuah langkah menuju transparansi tetapi kemungkinan besar tidak akan mengungkap banyak tersangka pelaku untuk pertama kalinya, karena laporan itu disusun terutama menggunakan laporan berita. Dari ratusan nama di daftar tersebut, Guidepost menemukan bahwa hanya sembilan pendeta yang masih aktif dalam pelayanan, dan hanya dua dari mereka yang berada di gereja-gereja SBC.

Besen juga mengatakan bahwa para pengacara berharap pengurus KE akan memberikan dukungan bulat pada pertemuan tahunan bulan depan terhadap rekomendasi yang dibuat oleh Satuan Tugas Pelecehan Seksual, yang mengawasi investigasi Guidepost.

Atas arahan KE, Guidepost terus menerima laporan melalui saluran telepon siaga (202-864-5578 atau SBChotline@guidepostsolutions.com) mulai sekarang hingga Juni, di mana konvensi tersebut akan mempertimbangkan potensi solusi jangka panjang untuk pelaporan pelecehan seksual.

Awal pekan ini, KE juga mengutuk surat Boto di tahun 2006 kepada penyintas Christa Brown di mana ia menulis bahwa “tidak akan positif atau bermanfaat” bagi KE untuk bekerja dengan pengacara penyintas.

Menurut pernyataan tersebut, KE “menolak sentimen ini sepenuhnya dan berusaha untuk secara terbuka bertobat atas kegagalannya untuk memperbaiki keadaan ini dan dengan sepenuh hati mendengarkan para penyintas.”

Brown mengatakan kepada CT bahwa dia “bersyukur” atas pernyataan itu, serta langkah-langkah lain yang dilakukan oleh KE dan pengacaranya, termasuk mempertimbangkan untuk menahan dana pensiun Boto.

“Hal ini sudah lama sekali, dan ini hanya satu langkah yang sangat kecil, dan masih banyak lagi yang dibutuhkan,” katanya, “tetapi saya berharap ini bisa menjadi awal dari era baru terkait bagaimana KE berhubungan dengan para penyintas pelecehan seksual yang dilakukan pendeta SBC.”

Komisi Etika dan Kebebasan Beragama SBC juga disebutkan dalam surat Boto tahun 2006 kepada Brown, dan presiden SBC yang sekarang, Brent Leatherwood, setuju untuk menyangkal dan menolak nasihat tersebut.

“Entitas ini sudah lama tidak sepakat dengan nasihat Tuan Boto di masa lalu, karena kami telah berusaha untuk belajar, melayani, dan menjadi advokat bagi para penyintas. Dengan apa yang kami ketahui sekarang, sangatlah mengerikan bahwa hal ini pernah diajukan sebagai nasihat hukum,” komentarnya kepada CT. “Akan tetapi inilah yang Anda dapatkan ketika Anda melihat individu-individu yang meminta bantuan sebagai ‘calon penggugat,’ daripada sebagai sesama yang pantas mendapatkan perhatian dan dukungan kami.”

Namun para penyintas menginginkan lebih dari permintaan maaf yang mereka terima di masa lalu dan menunggu perubahan berani pada pertemuan tahunan atau sebelum itu. Namun, tanda-tanda awalnya cukup menggembirakan.

“Hasilnya … sebaik yang kami harapkan dalam pertemuan semacam ini,” kata Todd Benkert, seorang pendeta Indiana dan pengacara penyintas. Dia melihat perlunya perubahan lebih lanjut, tetapi juga ada tanda-tanda harapan, menyebut pernyataan itu sebagai “langkah penting” dan menggambarkan pengacara yang baru “sangat baik.”

Pertemuan KE hari Selasa dimulai dengan pertemuan informasi, tetapi para pengurus memilih untuk menjadikannya pertemuan yang membahas perkara ini sehingga mereka dapat secara resmi menyetujui pernyataan yang disajikan oleh para pengacara dan mendukung tanggapannya. Biasanya ada 86 pengurus, yang dipilih untuk masa jabatan empat tahun, tetapi KE mengurangi jumlahnya menjadi 68setelah adanya gelombang pengunduran diri karena lingkup penyelidikan Guidepost. Ada enam puluh orang hadir dalam pertemuan tersebut.

Besen, sang pengacara, juga telah mendesak organisasi ini untuk fokus pada langkah selanjutnya.

“Jalan yang membawa kami kepada momen ini sangatlah buruk. Ada banyak penilaian jelek dan lemahnya kepemimpinan yang membawa kami ke sini. Akan tetapi saya percaya bahwa memperdebatkan tentang keputusan-keputusan masa lalu dan mengganti para pengurus tidak akan membantu kita. Memperdebatkan tentang materi yang diistimewakan dan apakah pengabaian itu tepat atau tidak, bukanlah masalah yang perlu kita hadapi hari ini,” katanya kepada para pengurus. “Kita di sini. Kita punya laporannya. Itulah yang perlu kita fokuskan dan bagaimana kita bergerak maju dari sini.”

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Inilah Kehancuran dari Baptis Selatan

Penyelidikan pelecehan tersebut telah mengungkap begitu banyak kejahatan daripada yang saya bayangkan.

Christianity Today June 14, 2022
Courtesy of Baptist Press / Edits by Mallory Rentsch

Mereka memang benar. Saya telah salah menyebut pelecehan seksual di Southern Baptist Convention (SBC) sebagai krisis. Krisis adalah kata yang terlalu kecil. Ini adalah kehancuran.

Seseorang bertanya kepada saya beberapa minggu yang lalu tentang apa yang saya harapkan dari penyelidikan pihak ketiga dalam penanganan pelecehan seksual oleh Komite Eksekutif Southern Baptist Convention. Saya katakan, saya sama sekali tidak mengira bahwa saya akan terkejut. Bagaimana bisa? Saya hidup selama bertahun-tahun dengan entitas itu. Sayalah orang yang menyerukan penyelidikan seperti itu sejak awal.

Namun, ketika saya membaca laporan itu, saya mendapati bahwa saya tidak dapat menggeser layar ke halaman berikutnya sebab kedua tangan saya gemetaran karena amarah yang besar. Hal itu disebabkan karena penyelidikan tersebut mengungkapkan kenyataan yang jauh lebih kejam dan tersistematis daripada yang saya bayangkan, seperti halnya ketidaktahuan saya tentang Komite Eksekutif SBC.

Kesimpulan dari laporan tersebut sangat besar sekali sampai hampir tak terhitung jumlahnya. Laporan ini menguatkan dan merinci tuduhan-tuduhan penipuan, penghalangan, dan intimidasi kepada para korban dan orang-orang yang menyerukan reformasi. Termasuk juga di dalamnya percakapan tertulis di antara staf tertinggi Komite Eksekutif dan pengacara mereka yang menunjukkan semacam ketidakmanusiawian yang hampir tidak dapat dituliskan untuk penjahat dalam drama kriminal di televisi sekalipun. Laporan ini mendokumentasikan usaha menutup-nutupi yang sangat tidak berperasaan yang dilakukan oleh beberapa pemimpin SBC dan tuduhan-tuduhan yang kredibel terhadap perilaku predator seksual yang pelakunya adalah beberapa pemimpin itu sendiri, termasuk di antaranya mantan presiden SBC Johnny Hunt (yang merupakan satu-satunya tokoh di SBC yang tampaknya dihormati di segala kalangan yang berbeda di dalam entitas tersebut).

Kemudian laporan tersebut juga menguatkan adanya penganiayaan yang didokumentasikan oleh Komite Eksekutif terhadap seorang penyintas pelecehan seksual yang selama bertahun-tahun hidupnya bagai di neraka, yang kisah pelecehannya diubah sehingga terkesan bahwa pelecehan terhadapnya merupakan hasil “perselingkuhan” yang konsensual.

Selama bertahun-tahun, para pemimpin di Komite Eksekutif mengatakan, untuk mencegah predator seksual berpindah secara diam-diam dari satu gereja ke gereja lain, kepada kumpulan korban yang baru, maka suatu basis data telah diselidiki secara menyeluruh dan didapati bahwa hal tersebut secara hukum tidak mungkin, mengingat adanya otonomi gereja Baptis. Mulut saya ternganga ketika saya membaca bukti yang terdokumentasi dalam laporan itu bahwa orang-orang ini tidak hanya tahu bagaimana memiliki suatu basis data, melainkan mereka bahkan sudah memilikinya.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa tuduhan-tuduhan kekerasan dan penyerangan seksual sudah diajukan, dalam suatu berkas rahasia di kantor pusat SBC Nashville. Berkas itu menampung lebih dari 700 kasus. Bukan hanya tidak adanya tindakan agar menghentikan para predator ini melanjutkan kejahatan mereka yang sangat kejam, melainkan para anggota staf juga melaporkan bahwa mereka diberitahu untuk tidak terlibat kepada siapapun yang bertanya tentang bagaimana menghentikan anak mereka dari pelecehan seksual oleh seorang rohaniwan. Laporan itu mengungkapkan bahwa basis data tersebut, alih-alih untuk melindungi para korban pelecehan seksual, justru malah dipakai oleh para pemimpin ini untuk melindungi diri mereka sendiri.

Memang benar, mereka yang menegur saya dan orang-orang lainnya karena menggunakan kata krisis untuk mengacu pada pelecehan seksual Baptis Selatan, tidak hanya tahu bahwa telah terjadi krisis seperti itu, melainkan mereka juga telah secara diam-diam mendokumentasikannya, bahkan ketika mereka memberi tahu orang-orang yang berjuang untuk reformasi bahwa kejahatan seperti itu jarang terjadi di antara “orang-orang seperti kita.” Ketika saya membaca komunikasi bolak-balik antara para presiden, staf tertinggi, dan pengacara mereka, saya bertanya-tanya hal ini bisa disebut apa lagi selain konspirasi kejahatan.

Kengerian yang sebenarnya dari semua ini bukan hanya tentang apa yang telah dilakukan, melainkan juga tentang bagaimana hal itu terjadi. Dua afirmasi yang luar biasa kuat dari keseharian orang-orang Baptis Selatan—kesetiaan yang alkitabiah dan misi yang kooperatif—digunakan untuk melawan mereka.

Mereka yang berada di luar dunia SBC mungkin tidak dapat membayangkan kekuatan mitologi Café Du Monde di French Quarter, New Orleans di mana dua pria, Paige Patterson dan Paul Pressler, sambil menikmati beignet dan kopi, memetakan di atas serbet bagaimana SBC dapat memulihkan komitmen pada kebenaran Alkitab dan kesetiaan pada dokumen-dokumen pengakuan imannya.

Bagi kalangan Baptis Selatan pada masa tertentu, kisah ini setara dengan pintu Wittenberg bagi kalangan Lutheran atau jalan Aldersgate untuk kalangan Methodis. Konvensi itu diselamatkan dari liberalisme oleh keberanian dua orang ini, yang kami percaya tidak akan mundur. Bahkan, saya mengajarkan cerita ini kepada mahasiswa-mahasiswa saya.

Kedua pemimpin legendaris itu pun sekarang dipermalukan. Yang satu dipecat setelah diduga salah menangani laporan korban pemerkosaan di sebuah institusi yang dipimpinnya sesudah dia terdokumentasikan membuat komentar publik tentang penampilan fisik gadis-gadis remaja dan nasihatnya kepada wanita-wanita yang dianiaya secara fisik oleh suami mereka. Yang lainnya sekarang dalam proses perdata terkait tuduhan pemerkosaan terhadap pria-pria muda.

Kami diberitahu bahwa mereka ingin melestarikan agama zaman dulu. Yang mereka inginkan adalah menaklukkan musuh mereka dan membuat jendela kaca patri di gereja untuk menghormati diri mereka sendiri—tidak peduli siapa yang terluka demi meraih hal tersebut.

Kini, siapa yang tidak bisa melihat kebusukan dalam budaya yang memobilisasi untuk mengasingkan gereja-gereja yang menyebut seorang rohaniwan wanita sebagai “pendeta” atau yang mengundang seorang rohaniwan wanita untuk berbicara di mimbar pada Hari Ibu, tetapi menganggap pemerkosaan dan penganiayaan sebagai “gangguan” dan upaya untuk mengusutnya sebagai pelanggaran terhadap otonomi gereja yang terhormat? Di lingkup SBC saat ini, wanita yang mengenakan celana legging adalah sebuah krisis media sosial, sedangkan berurusan dengan pemerkosaan di gereja adalah suatu gangguan semata.

Sebagian besar jemaat percaya pada Alkitab dan ingin mendukung para pemimpin yang demikian juga. Mereka tidak tahu bahwa beberapa orang pemimpin memakai kebenaran Alkitab untuk menopang kebohongan tentang diri mereka sendiri.

Bagian kedua dari mitologinya adalah tentang misi. Saya telah mengatakan kepada para mahasiswa dan anak-anak saya sendiri, persis seperti yang dikatakan kepada saya—bahwa Cooperative Program adalah strategi pendanaan misi terbesar dalam sejarah gereja. Kami semua yang tumbuh di gereja-gereja Baptis Selatan menghormati pelopor misionaris Lottie Moon. (Bahkan, saya memiliki patung perunggu kepalanya tepat di depan saya saat menulis ini.) Para misionaris Baptis Selatan adalah orang-orang yang paling tanpa pamrih, rendah hati dan berbakat yang pernah saya kenal.

Namun dorongan Baptis Selatan yang sangat baik untuk misi, untuk kerja sama, sering dipakai sebagai senjata oleh para pemimpinnya, sama seperti mereka memakai “anugerah” atau “pengampunan” dalam konteks yang tak terhitung jumlahnya untuk menyalahkan para penyintas atas pelecehan yang dilakukan oleh para pemimpin tersebut. Laporan itu sendiri mendokumentasikan bagaimana argumen-argumen digunakan agar para “korban profesional” dan orang-orang yang mendukung mereka akan menjadi alat Iblis untuk “mengalihkan perhatian” dari misi.

Mereka yang menyerukan reformasi diberitahu bahwa upaya tersebut dapat menyebabkan beberapa gereja menahan dana Cooperative Program dan dengan demikian menarik para misionaris dari ladang misi mereka. Mereka yang menyerukan luasnya masalah pelecehan tersebut—terutama Christa Brown dan sekelompok penyintas yang tak kenal lelah yang bergabung dalam pekerjaan itu—disebut gila dan pemberontak yang hanya ingin menghabisi semuanya. Cukup buruk sudah bagi para penyintas ini mengalami perang psikologis dan perundungan yang dilegalkan. Akan tetapi mereka juga terisolasi dengan implikasi bahwa jika mereka terus berfokus pada pelecehan seksual, orang-orang tidak akan mendengar Injil dan akan masuk neraka.

Kerja sama adalah cita-cita yang baik dan alkitabiah, tetapi kerja sama tidak boleh dilakukan demi “melindungi dasarnya.” Mereka yang telah menggunakan frasa seperti itu tahu artinya. Mereka tahu bahwa jika seseorang melangkah keluar dari barisan, ia akan dijauhi dan dianggap sebagai seorang liberal atau Marxisme atau feminis. Mereka tahu bahwa orang-orang yang paling kejam akan memobilisasi dan bahwa “orang-orang baik” akan tetap diam. Dan itu bukan apa-apa—tidak ada apa-apanya—dibandingkan dengan apa yang dialami oleh para korban pelecehan seksual, termasuk anak-anak, yang tidak memiliki “dasar.”

Ketika saya dan istri keluar dari pertemuan Komite Eksekutif SBC terakhir yang pernah kami hadiri, dia memandang saya dan berkata, “Aku mencintaimu, aku akan bersamamu sampai akhir, dan kamu dapat melakukan apa yang kamu inginkan, tetapi jika kamu masih seorang anggota Baptis Selatan pada musim panas, kamu akan berada dalam pernikahan lintas agama.” Ini bukan soal seorang wanita yang sedang memberi ultimatum, bahkan itu adalah yang pertama yang pernah saya dengar darinya. Namun dia telah melihat dan mendengar terlalu banyak. Begitu juga saya.

Saya tidak dapat membayangkan besarnya amarah yang dialami saat ini oleh para penyintas pelecehan seksual di gereja. Saya hanya tahu secara langsung besarnya amarah seseorang yang pernah sangat bangga untuk mengatakan “kita” ketika mengacu pada SBC, namun kini ia tidak akan pernah bisa melakukannya lagi. Saya hanya tahu secara langsung besarnya amarah orang yang mencintai mereka yang pertama kali memberitahu saya tentang Yesus, tetapi tidak dapat mempercayai bahwa inilah yang mereka ingin untuk saya lakukan untuk menjadi seperti mereka. Saya hanya tahu secara langsung besarnya amarah orang yang bertanya-tanya ketika membaca apa yang terjadi di lantai tujuh gedung Baptis Selatan itu, tentang berapa banyak anak yang diperkosa, berapa banyak orang yang diserang, berapa banyak teriakan yang dibungkam, sementara kami membual bahwa tidak ada yang bisa menggapai dunia bagi Yesus seperti kami.

Hal itu lebih dari sebuah krisis. Bahkan lebih dari sekadar kejahatan. Ini adalah penghujatan. Siapa pun yang peduli tentang surga harus marah sebesar-besarnya.

Russell Moore memimpin Proyek Teologi Publik di Christianity Today.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Baptis Selatan Menolak untuk Bertindak atas Kasus Pelecehan, Terlepas Adanya Daftar Rahasia Pendeta

Investigasi: Staf Komite Eksekutif SBC (Southern Baptist Convention) memandang seruan permohonan bantuan dari para advokat sebagai suatu pengalihan dari usaha penginjilan dan kewajiban hukum, menghalang-halangi laporan mereka dan menolak seruan untuk mereformasi lembaganya.

Christianity Today June 6, 2022
Courtesy of Baptist Press / Edits by Mallory Rentsch

Meskipun memiliki sebuah daftar rahasia yang berisi lebih dari 700 pendeta pelaku pelecehan, para pemimpin SBC lebih memilih untuk melindungi denominasi mereka dari tuntutan hukum daripada melindungi jemaat di gereja mereka dari ancaman pelecehan lebih lanjut.

Para penyintas pelecehan, advokat mereka dan beberapa anggota SBC telah menghabiskan waktu lebih dari 15 tahun menyerukan cara-cara untuk mencegah predator seksual dipindahkan dari satu gereja ke gereja lainnya. Orang-orang yang mengontrol Komite Eksekutif (KE)–yang menjalankan aktivitas harian SBC–memahami lingkup permasalahan ini. Namun, setelah berkoordinasi dengan pengacara SBC, mereka memilih untuk memfitnah orang-orang yang ingin melakukan sesuatu terhadap masalah pelecehan tersebut dan selalu menolak segala permintaan tolong dari para korban dan upaya mereformasi gereja.

“Di balik layar, pengacara-pengacara tersebut menasihati para pemimpin untuk berdiam diri, bahkan ketika para pelapor berhasil menunjukkan pelaku-pelaku pelecehan yang masih berdiri di mimbar gereja SBC,” menurut laporan investigasi pihak ketiga berskala besar yang dirilis hari Minggu (22 Mei 2022).

Investigasi ini berpusat pada penyelidikan terhadap tanggung jawab anggota staf KE dan pengacara mereka serta sekitar ratusan pengurus KE yang sebagian besar tidak mengetahui tentang masalah tersebut. Penasihat Umum KE, Augie Boto, dan pengacara KE, Jim Guenther, menasihati tiga presiden KE sebelumnya, yaitu Ronnie Floyd, Frank Page, dan Morris Chapman, bahwa mengambil tindakan atas masalah pelecehan akan menimbulkan risiko terhadap tanggung jawab dan kebijakan SBC, dan hal ini membuat para presiden itu menentang reformasi yang diusulkan atas masalah tersebut.

Ketika seruan aksi baru muncul seiring dengan gerakan #ChurchToo dan #SBCToo, Boto menyebut advokasi bagi para penyintas pelecehan sebagai “upaya setan untuk sepenuhnya mengalihkan perhatian kita dari penginjilan.”

Sebaliknya, para penyintas pelecehan tersebut menunjukkan dampak kerusakan jiwa bukan hanya dari pelecehan yang mereka alami, tetapi juga dari respons para pemimpin di KE yang menghalang-halangi dan menghina-hina mereka selama lebih dari 15 tahun.

Christa Brown, seorang advokat yang pernah mengalami pelecehan seksual dari pendetanya pada usia 16 tahun, mengatakan “perjumpaannya yang tidak terhitung jumlahnya dengan para pemimpin gereja Baptis” yang memilih untuk menghindar dan tidak mempercayai dia, telah “meninggalkan warisan kebencian” dan mengomunikasikan bahwa “engkau adalah makhluk yang tidak berguna–engkau tidak penting.” Akibatnya, kata Brown, bukannya memberikan penghiburan, imannya justru menjadi “terhubung secara neurologis dengan mimpi buruk.” Dia menyebutnya sebagai “pembunuh jiwa.”

Korban lainnya, Debbie Vasquez, berulang kali mengalami pelecehan seksual oleh seorang pendeta SBC mulai dari usia 14 tahun. Ketika ia hamil akibat pelecehan itu, ia dipaksa untuk meminta maaf di depan jemaat namun dilarang untuk menyebutkan siapa ayah dari bayi tersebut. Pendeta itu kemudian diutus untuk melayani gereja SBC lainnya, dan ketika Vasquez menghubungi KE, permohonannya yang mendesak itu diabaikan dan dihindari selama bertahun-tahun hingga muncul laporan investigasi dari Houston Chronicle tiga tahun lalu.

Sementara itu, selama 20 tahun terakhir, para presiden SBC telah gagal memberi respons yang tepat terhadap masalah pelecehan di dalam gereja dan seminari mereka. Dalam beberapa kasus, para pemimpin itu justru lebih berpihak pada oknum pelaku dan gereja meski telah terbukti jelas atau berusaha menutup-nutupi perbuatan mereka. Para penyelidik bahkan menemukan salah satu mantan presiden–pendeta Johnny Hunt–telah melakukan pelecehan seksual terhadap istri dari rekan pendeta lainnya di tahun 2010.

Dalam pertemuan tahunan di Anaheim, California, bulan berikutnya, tepatnya setahun setelah mereka memutuskan untuk melakukan investigasi, ribuan anggota SBC akan menentukan apakah mereka siap untuk melakukan perubahan dramatis dan mahal sebagaimana yang direkomendasikan dari laporan tersebut demi kepentingan keamanan para penyintas dan gereja.

“Di tengah rasa duka, amarah, dan kekecewaan atas dosa besar dan kegagalan masa lalu yang dipaparkan dalam laporan ini, saya percaya bahwa SBC harus membuat keputusan untuk mengubah budaya kita dan segera mengimplementasikan reformasi gereja yang sangat dibutuhkan,” kata presiden SBC Ed Litton dalam pernyataannya kepada CT. “Sekaranglah waktunya. Kita memiliki banyak hal untuk diratapi, tetapi duka yang paling mendalam perlu disertai respons yang sesuai dengan kehendak Tuhan.”

Guidepost Solutions, sebuah firma investigasi pihak ketiga, menginginkan agar denominasi dengan jumlah anggota sebanyak 13,7 juta orang ini membuat basis data daring tentang para pelaku pelecehan, menawarkan bantuan untuk para penyintas, menolak perjanjian kerahasiaan, dan mendirikan sebuah entitas baru untuk merespons masalah pelecehan ini. Petunjuk-petunjuk dalam laporan setebal 288 halaman ini mirip dengan harapan para penyintas dan advokat mereka, yang telah menyerukan hal serupa selama ini.

“Berapa banyak anak dan jemaat yang bisa selamat dari kejahatan yang sangat mengerikan ini jika KE telah mengambil langkah nyata sejak tahun 2006 ketika saya menulis surat kepada mereka untuk menetapkan langkah konkret yang spesifik? Dan berapa banyak penyintas dapat selamat dari trauma berulang ketika melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan pejabat gereja ke dalam sistem yang terus-menerus menolak?” tanya Brown dalam suratnya di tahun 2021. “Penolakan sekian lama dari Komite Eksekutif SBC untuk mereformasi gereja terkait pelecehan kini telah menghasilkan begitu banyak korban pelecehan seksual pendeta dan para penyintas yang mengalami trauma berulang dalam usaha mereka untuk melaporkan.”

Ketika mereka menunggu laporan itu dirilis, presiden sementara dari KE, Willie McLaurin, dan ketua KE Rolland Slade, mengutip kitab Pengkhotbah: “Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (12:14).

Para pemimpin yang sekarang mendorong SBC untuk menyikapi segala kabar buruk dengan penerimaan.

“Sekarang adalah waktu dan masa untuk melihat kekurangan kita, waktu untuk menerima laporan itu,” tulis mereka minggu lalu, “suatu waktu untuk membangun kembali rasa percaya jemaat SBC dan waktu untuk pulih dengan menghadapi tantangan yang ada melalui melakukan perubahan yang diperlukan.”

Investigasi terbesar dalam sejarah SBC

Laporan ini memakan biaya senilai 2 juta dolar, yang melibatkan 330 wawancara dan lima terabyte dokumen yang dikumpulkan selama lebih dari delapan bulan. Komite Eksekutif juga menganggarkan biaya 2 juta dolar lagi untuk biaya hukum seputar penyelidikan—menjadikan total investasi sebesar 4 juta dolar, yang dibiayai dari persembahan berbagai gereja dan konvensi untuk Cooperative Program.

Advokat bernama Rachael Denhollander, yang menjadi penasihat gugus tugas SBC untuk mengoordinasikan investigasi tersebut, mencuit bahwa “tingkat transparansi program ini … tak tertandingi.” Ini adalah investigasi terbesar dalam sejarah SBC; investigasi ini sudah mengubah tampilan dari KE dan dapat menentukan arah tujuan denominasi yang berusia 177 tahun itu.

Pemeriksaan Guidepost juga mencakup komunikasi hukum istimewa tentang pelecehan selama 20 tahun terakhir, sebuah ketentuan yang menyebabkan presiden KE Ronnie Floyd mengundurkan diri pada bulan Oktober dan firma hukum Guenther, Jordan & Price menarik layanan mereka terhadap KE setelah 60 tahun.

Menurut laporan tersebut, firma hukum ini telah secara aktif menasihati KE untuk tidak bertanggung jawab atas pelecehan yang terjadi. Guenther bekerjasama dengan Boto, seorang pengacara yang telah terlibat di KE mulai dari tahun 1990an hingga 2019, dan melayani sebagai anggota pengurus, wakil presiden, penasihat umum, dan presiden sementara. Ia adalah pendukung Paige Patterson selama program Conservative Resurgence. (Tahun lalu, Boto dilarang memegang jabatan apa pun di entitas Southern Baptist sebagai akibat dari penyelesaian hukum yang terkait masalah keuangan setelah Patterson dipecat dari seminari SBC karena salah menangani tuduhan pemerkosaan.)

Boto dan Guenther mengubah arah semua diskusi tentang tindak pelecehan menjadi diskusi untuk melindungi KE dari tuntutan hukum, dan menjadikannya prioritas utama, demikian menurut laporan tersebut.

“Ketika tuduhan pelecehan disampaikan ke Komisi Eksekutif, termasuk tuduhan terhadap enam pendeta yang masih aktif melayani, para pemimpin KE biasanya tidak akan mendiskusikan hal ini di luar lingkaran dalam mereka, dan seringkali tidak memberikan tanggapan kepada para korban dan tidak mengambil tindakan apa pun terhadap tuduhan itu untuk mencegah pelecehan serupa di masa depan,” demikian isi laporan tersebut. “Hampir semua tindakan yang diambil senantiasa berusaha untuk melindungi SBC dari tuntutan hukum dan tidak memedulikan para korban atau pun membuat rencana untuk mencegah pelecehan seksual terjadi lagi di gereja-gereja SBC.”

Southern Baptist Convention dengan bangga mengatakan bahwa SBC adalah sekelompok gereja mandiri. Mereka bergabung bersama untuk pekerjaan misi, persekutuan, dan pelatihan, tetapi konvensi ini tidak memiliki hierarki. Konvensi ini tidak menahbiskan atau menetapkan pendeta-pendeta, juga tidak memiliki otoritas atas 47.000 gereja yang telah memutuskan untuk mengadopsi pengakuan iman konvensi ini dan menyumbangkan dana untuk Cooperative Program.

Karena itu, ketika terjadi kesalahan di gereja atau entitas SBC, maka KE dapat dapat menolak untuk bertanggung jawab; karena gereja-gereja tersebut bersifat mandiri. Namun penasihat hukum berpendapat bahwa semakin sering para pemimpin denominasi mengarahkan gereja untuk menyelesaikan masalah pelecehan, maka semakin besar pula tanggung jawab mereka atas kekeliruan dan kesalahan penanganan masalah tersebut.

Kembali ke tahun 2000, laporan itu menyebutkan, Patterson melihat program pencegahan pelecehan sebagai cara untuk membela diri dari tuntutan hukum, sehingga ia kemudian memberitahu seorang pendeta bahwa gereja-gereja yang dapat mendokumentasikan “serangkaian usaha untuk mengedukasi orang-orang yang melayani anak-anak tentang bagaimana memperhatikan dan meresponi bahaya” tidak akan dapat dituntut di kemudian hari.

Sebagai presiden di seminari, baik Southeastern maupun Southwestern, Patterson mematahkan semangat dua orang wanita yang hendak melaporkan tuduhan pemerkosaan yang mereka alami. Ia kemudian dipecat dari Southwestern Baptist Theological Seminary pada tahun 2018 atas tindakan tersebut dan bersama dengan seminari itu, ia telah digugat oleh seorang mahasiswi dari seminari tersebut.

Rekan Patterson, Paul Pressler, seorang pengacara dan pimpinan selama gerakan_Conservative Resurgence_, juga menghadapi tuntutan hukum atas klaim bahwa ia menggunakan kekuasaannya untuk melecehkan anak-anak lelaki, dan sekaligus juga tuntutan terhadap SBC. (Baik Patterson maupun Pressler, mantan wakil presiden eksekutif SBC dan mantan anggota KE, menolak diwawancarai untuk investigasi tersebut, meskipun pengacara Patterson menyerahkan dokumen sebanyak dua halaman.)

Patterson dan rekannya yang juga mantan presiden SBC, Jerry Vines, juga sedang disoroti karena dukungan mereka sebelumnya terhadap Darrell Gilyard, seorang pendeta yang memiliki serangkaian tuduhan pelecehan seksual sejak tahun 90-an. Laporan itu mengutip perkataan seorang anggota KE yang dalam sebuah emailnya mengatakan ada 44 orang wanita melaporkan Gilyard kepada dua petinggi SBC tersebut, “dan hampir di semua kejadian, semua wanita itu dipermalukan dan tidak dipercayai. Dari semua laporan yang diterbitkan, sepertinya Gilyard berpindah-pindah dari satu gereja ke gereja lainnya dan merusak banyak jiwa dalam petualangannya.”

Pengacara Komite Eksekutif, Guenther dan Boto, telah mendiskusikan gagasan pembuatan basis data para pelaku pelecehan sejak tahun 2004, sebagai respons atas laporan Brown. Gagasan tersebut muncul lagi tahun 2007 setelah adanya mosi di pertemuan tahunan. Staf KE sendiri tidak menjalankan gagasan tersebut. Guenther menulis email bahwa ia khawatir “tentang tugas untuk memperingatkan, yang mungkin pengadilan pikir itu dimiliki oleh SBC.”

Namun, dengan bantuan juru bicara dan wakil presiden Roger “Sing” Oldham dan seorang staf KE yang tidak diketahui namanya, mereka membuat daftar tersebut. Atas permintaan Boto, staf tersebut mengumpulkan kliping berita dan melacak para pendeta pelaku pelecehan dalam sebuah daftar dengan nama, tahun, negara bagian, dan denominasinya. Versi pertama daftar itu di tahun 2007 memuat 66 orang pendeta yang ditahan atau dituntut dengan tuduhan pelecehan. Pada tahun 2022, daftar itu semakin membesar dengan total 703 nama, dengan 409 orang yang masih bertugas di gereja-gereja SBC.

Serangkaian laporan Houston Chronicle 2019, yang memicu perhatian baru seputar respons dan pencegahan pelecehan, mengungkap 380 pendeta yang berafiliasi dengan SBC dituduh melakukan pelecehan seksual.

Bahkan ketika daftar rahasia tentang para rohaniwan yang kejam itu bertambah, para pemimpin KE memusatkan kritik mereka kepada para penyintas dan advokatnya. Mereka mengeluhkan bahwa para penyintas tidak memahami kebijakan SBC dan malah mengincar denominasi itu. Patterson menyebut kelompok advokasi SNAP (Survivors Network of the Abused by Priests) “sama tercelanya dengan penjahat seks.” Seorang anggota KE mengatakan bahwa Brown, yang menjalankan portal StopBaptistPredators.org, di mana dia menampilkan kisah-kisah para penyintas dan memposting laporan publik tentang para pendeta pelaku pelecehan, adalah “seseorang yang tidak memiliki integritas.”

Boto melihat Iblis bekerja dalam upaya mereka. Dalam sebuah email yang diperoleh Guidepost, ia menulis:

Semua ini harus dilihat apa adanya. Ini adalah rencana setan untuk benar-benar mengalihkan perhatian kita dari upaya penginjilan. Ini bukanlah Injil. Ini bahkan bukan bagian dari Injil. Ini adalah permainan yang membuat salah arah. Ya, Christa Brown dan Rachael Denhollander telah jatuh dalam prasangka buruk karena mereka merasa menjadi korban. Mereka telah berupaya menyelidiki pelecehan seksual di SBC, dan tentu saja, mereka menemukannya. Teriakan mereka tentu saja mengakibatkan kerusakan. … Tetapi mereka tidak bisa disalahkan. Ini adalah kesuksesan sementara dari si Iblis.

Menurut seorang anggota staf KE yang tidak disebutkan namanya, “hampir di setiap kejadian di masa lalu ketika para korban datang kepada mereka yang berkuasa di SBC, mereka telah dijauhi, dipermalukan, dan difitnah. Di Komite Eksekutif, kami telah mewarisi budaya menolak orang-orang yang mempertanyakan kekuasaan atau yang menuduh para pemimpin.”

Namun, para pemimpin kunci dari Southern Baptist tidak hanya mengingkari dan menghina para penyintas. Dalam beberapa kasus, mereka justru memihak kepada para pelaku yang telah dihukum atau mengaku, dan bahkan membantu mereka secara pribadi.

Laporan tersebut mencakup beberapa contoh:

  • Mike Stone, mantan pemimpin KE dan salah seorang kandidat pemilihan presiden SBC 2021, membantu menuliskan permintaan maaf seorang rekan pendeta setelah pendeta itu didapati bertukar pesan-pesan tak senonoh dengan salah seorang anggota gerejanya di tahun 2019. Stone menyatakan bahwa ia “tidak pernah dan tidak akan pernah mendukung gereja yang mempertahankan seorang pendeta pelaku pelecehan” dan bahwa ia tidak pernah mendengar adanya tuduhan terhadap pendeta itu sebelum ia ditanya terkait hal itu dalam investigasi Guidepost.
  • Augie Boto berperan sebagai saksi yang meringankan bagi seorang pelatih olahraga senam Nashville, Marc Schiefelbein, yang dituntut pada tahun 2003 setelah melecehkan seorang gadis kecil berusia 10 tahun.
  • Jack Graham, presiden SBC dari tahun 2002 hingga 2004, tidak melaporkan seorang pengerja bidang musik yang dipecat pada tahun 1989 setelah Prestonwood Baptist Church mengetahui bahwa dia mencabuli seorang anak. Pengerja itu pindah melayani di gereja lain dan dihukum karena kejahatannya di Prestonwood Baptist Church lebih dari 20 tahun kemudian. (Gereja itu “dengan tegas menyangkal cara laporan tersebut menggambarkan insiden 33 tahun yang lalu,” kata pendeta utama saat ini, Mike Buster, dalam sebuah pernyataan. “Prestonwood tidak pernah melindungi atau mendukung pelaku, pada tahun 1989 atau kapan pun.)
  • Steve Gaines, presiden SBC dari 2016 hingga 2018, mengetahui bahwa sebelumnya seorang staf pelayan di gerejanya, Bellevue Baptist, telah melecehkan seorang anak kecil tetapi tidak pernah mengungkapkannya sampai info tersebut muncul di sebuah blog.

Laporan investigasi tersebut juga menemukan contoh kasus di mana para pemimpin KE sendiri telah melewati batas moral:

  • Frank Page, presiden KE, mengundurkan diri secara tiba-tiba pada Maret 2018. Pernyataan resminya menyebutkan bahwa pengunduran diri itu karena suatu “hubungan yang tidak pantas secara moral.” Komite Eksekutif tidak menyelidiki apakah itu konsensual atau tidak, dan mereka juga tidak memeriksa “apakah perilakunya dilakukan di tempat kerja atau tidak.”
  • Johnny Hunt, presiden SBC dari 2008 hingga 2010, menggerayangi dan mencium istri seorang pendeta yang lebih muda, sebulan setelah masa jabatannya sebagai presiden KE berakhir dan mengatakan kepada pasangan itu untuk merahasiakannya.

Pelecehan seksual yang dilakukan Hunt tidak pernah dilaporkan sebelumnya. Wanita tersebut dan suaminya, seorang pendeta SBC, mendatangi Guidepost selama penyelidikan untuk menceritakan apa yang terjadi. Hunt, mantan pendeta First Baptist Church Woodstock di Georgia, pernah menjadi Wakil Presiden senior di Dewan Misi Amerika Utara SBC sebelum mengundurkan diri pada 13 Mei. Southeastern Baptist Theological Seminary sendiri memiliki sebuah jabatan kehormatan yang dinamai sesuai namanya sebagai penghormatan kepada Hunt.

Menurut pengakuan pasutri tersebut, mereka 24 tahun lebih muda dari Hunt, yang menawarkan untuk membantu mereka dalam pelayanan. Pada satu momen ia mengatur tempat bagi wanita itu untuk menginap selama kunjungan ke Panama City Beach, tempat Hunt menghabiskan masa sabatikalnya. Hunt kemudian masuk ke ruangan di mana perempuan itu sendirian dan melakukan penyerangan seksual terhadapnya, melepaskan pakaiannya, menjepitnya di sofa, menggerayangi dan menciuminya.

Setelah insiden Juli 2010, pasangan tersebut bertemu dengan Hunt di gerejanya. Hunt memperingatkan bahwa jika mereka mengungkapkannya, hal itu akan “berdampak negatif terhadap 40.000 gereja yang direpresentasikan oleh Dr. Hunt” dan ia mengarahkan mereka kepada konselor Roy Blankenship dari HopeQuest Ministry Group. Blankenship mengonfirmasi bahwa sesuatu telah terjadi antara wanita tersebut dan Hunt. Ia juga memberitahu para penyelidik bahwa Hunt seharusnya menjadi orang yang pertama menghentikan insiden itu, namun “kedua belah pihak perlu terlibat dalam memutuskan.”

Dalam sebuah wawancara dengan Guidepost, Hunt membantah menyerang wanita itu dan mengatakan bahwa dia bahkan tidak pernah memasuki kondominiumnya. Penyelidik Guidepost menemukan tiga saksi tambahan untuk menguatkan kesaksian wanita itu dan suaminya. Mereka tidak menganggap pernyataan Hunt kredibel.

Hunt sebelumnya telah bergaul dengan apologet Ravi Zacharias dan menjadi tamu istimewa pada pembukaan spa di tahun 2009 di mana Zacharias melecehkan para terapis pijat. Tahun lalu, Hunt mengecam pelecehan yang dilakukan Zacharias, dengan menggambarkannya sebagai “dosa … terhadap begitu banyak wanita yang tak bersalah.”

Para utusan mendukung reformasi

Mengikuti gerakan #MeToo, para penyintas SBC menarik perhatian besar dari media berita.

Pada tahun 2018, Jules Woodson, yang mengalami pelecehan seksual oleh pendeta kaum mudanya, mengatakan kepada The New York Times bagaimana rasanya melihat sebuah gereja bertepuk tangan untuk orang itu setelah dia secara samar-samar mengakui “insiden pelecehan seksual.” Pada tahun yang sama, Megan Lively memberi tahu The Washington Post_ bagaimana Paige Patterson menyuruhnya untuk tidak melaporkan pemerkosaannya ke polisi. Pada tahun 2019, investigasi Chronicle berhasil mendata lebih banyak penyintas.

Akibatnya, Southern Baptists membuka suara dan mengambil tindakan. Para utusan pada pertemuan tahunan mengadopsi resolusi-resolusi yang menegaskan martabat perempuan dan mengutuk tindakan pelecehan. Mereka memutuskan untuk mengubah peraturan mereka dengan secara eksplisit menyebut pelecehan sebagai alasan pemecatan dari SBC. Mereka juga menugaskan sebuah komite untuk membuat rekomendasi jika ada gereja yang melanggar.

Pada tahun 2018, mereka juga memilih seorang presiden yang menjadikan penanganan kasus pelecehan sebagai bagian utama dari agendanya. Di bawah kepemimpinan J. D. Greear, SBC memperkenalkan pelatihan seputar pencegahan dan penanganan pelecehan, yaitu Caring Well Initiative, dan mengadakan konferensi untuk mendengar dari para penyintas, pakar, dan pendeta.

Namun menurut laporan Guidepost, hampir semua upaya ini dikritik dan ditentang oleh beberapa pemimpin tertentu dari KE, yang mengatakan bahwa memprioritaskan masalah pelecehan dapat menyebabkan tuntutan hukum.

Terkadang, perpecahan itu terlihat jelas dari luar: Greear sebagai presiden SBC menyebut pelecehan 81 kali selama pidatonya di sidang tahunan, sementara Floyd sebagai presiden KE tidak menyebutnya sebagai prioritas dalam rencana Visi 2025-nya.

Di balik layar, laporan Guidepost menunjukkan bahwa penasihat hukum Komite Eksekutif menyarankan orang-orang untuk meredam isu ini. Mereka menekan Komisi Etika & Kebebasan Beragama (Ethics & Religious Liberty Commission/ERLC) untuk tidak menyebut masalah pelecehan seksual di SBC sebagai krisis dan menghindari “bahasa yang menghasut” seperti mengatakan bahwa denominasi telah gagal membantu para penyintas. Para anggota KE juga berusaha menyensor kritik terhadap penanganan kasus pelecehan SBC dan mencela segala upaya yang memungkinkan para penyintas dan pakar masalah pelecehan untuk berbicara di acara-acara SBC.

“Saudara sekalian, hal ini tidaklah baik sama sekali,” tulis Floyd dalam salah satu email yang diperoleh penyelidik. “Kita tidak bisa membiarkan entitas SBC menempatkan orang-orang di mimbar dan mempersoalkan tentang cara kerja SBC dan beberapa pemimpin serta mantan pemimpinnya [sic]. Semua upaya demi kesatuan pasti akan mengalami tantangan.”

Berbagai perseteruan dan ancaman di internal SBC ini kemudian diketahui publik setahun yang lalu dalam surat-surat dan rekaman yang bocor, yang merekam komunikasi dari mantan pemimpin ERLC Russell Moore (sekarang menjadi seorang teolog tetap di CT) dan Philip Bethancourt. Dokumen-dokumen tersebut menjadi peringatan yang menyadarkan para pendeta, yang memperlihatkan upaya-upaya para pemimpin KE untuk mengintimidasi para penyintas dan menolak reformasi. Mereka mengajukan tuntutan untuk penyelidikan terhadap KE.

“Kami sangat terkejut,” ungkap Grant Gaines, seorang pendeta Tennessee yang membuat mosi untuk menyelidiki KE, mengatakan kepada CT tahun lalu. “Kita seharusnya tidak berbuat demikian. Para penyintas ini, cerita mereka ada di luar sana.”

Satu kisah yang telah diketahui publik adalah kisah Jennifer Lyell. Ia dilecehkan oleh seorang profesor seminari, tetapi dalam sebuah artikel Maret 2019 di Baptist Press, yang diterbitkan KE, menggolongkan pelecehan yang ia alami sebagai perselingkuhan. Pada saat publikasi, Lyell adalah seorang pemimpin Lifeway dan salah seorang petinggi wanita di SBC. Validitas kesaksiannya didukung oleh presiden Southern Seminary Al Mohler.

Lyell akhirnya meninggalkan pekerjaannya dan menderita tekanan fisik dan mental sebagai akibat dari berita tersebut dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mengoreksi kisah tersebut serta upaya restitusi.

Dalam sebuah tulisan di Twitter setelah laporan itu rilis, Lyell menjelaskan bahwa ia harus menunggu redanya ketegangan antara KE, yang mengatur koreksi terhadap artikel tentang dirinya dan yang sedang waspada tentang bagaimana tokoh SBC lainnya berbicara tentang masalah pelecehan tersebut, dengan para pemimpin dari entitas lain, yang mempercayai kesaksiannya namun mungkin akan menghadapi pembalasan karena telah berani bersuara.

Ia menerima permintaan maaf dari Komite Eksekutif pada Februari 2022 dan penyelesaian masalah secara tertutup. Para pemimpin KE, menurut Guidepost, tidak mengetahui bahwa ia telah mengajukan klaim pencemaran nama baik dan sebelumnya telah menerima penyelesaian masalah pada Mei 2020 juga.

Hannah Kate Williams juga menggugat KE karena kelalaian dalam menanggapi pelecehan oleh ayahnya sendiri, yang pernah bekerja di entitas SBC, serta atas dugaan upaya untuk memfitnahnya saat dia mengumumkan kasusnya ke publik.

Para pengacara KE mengkritik Greear karena berulang kali menyebutkan nama 10 gereja yang dilaporkan dalam penyelidikan Houston Chronicle karena mempekerjakan pendeta yang menjadi pelaku pelecehan dan meminta sub-komite KE untuk memeriksanya. Guenther mengatakan bahwa mereka akan dituntut atas pencemaran nama baik dan diminta untuk membersihkan nama baik gereja. Boto menelepon salah satunya untuk meminta maaf.

Beberapa bulan kemudian, Boto menentang pembentukan komite kredensial, yang akan meneliti apakah sebuah gereja telah melanggar kriteria seputar masalah pelecehan atau masalah lain yang dapat membuat gereja tersebut “tidak lagi berada dalam kerja sama yang baik” dengan SBC.

Komite kredensial ini, yang dibentuk ulang untuk tujuan baru pada tahun 2019, juga membuat para penyintas menjadi frustrai karena membingungkan dan tidak efisien, menurut Guidepost. Komite ini tidak memiliki pedoman yang tertulis, tidak ada pelatihan, dan tidak ada staf penuh waktu yang mendukung.

Karena komite ini memiliki ruang lingkup yang terbatas dalam kewenangannya, berdasarkan kebijakan SBC, maka komite tersebut tidak mampu menyelesaikan kesalahan langkah yang dilakukan gereja di masa lalu, juga tidak bisa melakukan investigasi untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang pendeta, melainkan sifatnya hanya tanggapan gereja saja. Akibatnya, dibutuhkan rata-rata sembilan bulan untuk membuat keputusan—dan beberapa bahkan tidak pernah mendapat tanggapan sama sekali. Beberapa pengajuan tidak berhasil masuk ke situs web yang lamban, yang diperlukan komite untuk memeriksa keanggotaan gereja.

Dalam tiga tahun terakhir, komite memproses 30 pengajuan dan hanya mengeluarkan 3 gereja dari entitas ini atas kasus pelecehan. Dalam setiap kasus, pelanggarannya sangat jelas dan mengerikan: Gereja dengan sengaja mempekerjakan seorang pelaku pelecehan seksual yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Komite ini tidak memberikan pernyataan publik terhadap hasil dari 27 pengajuan kasus lainnya, menurut catatan dalam laporan baru-baru ini. Para penyelidik Guidepost menemukan bahwa lima gereja secara sukarela mengundurkan diri dan satu lagi dibubarkan selama peninjauan komite kredensial tersebut.

Entitas yang baru dan rekomendasi lainnya

Gugus tugas yang mengawasi dan merilis investigasi KE melihat keluhan publik sebagai langkah pertama dalam menanggapi penyelidikan. Mereka juga meminta agar SBC memutuskan untuk membentuk gugus tugas baru yang dapat mengevaluasi bagaimana menerapkan perubahan yang direkomendasikan sesuai dengan kebijakan SBC.

Laporan ini menganjurkan 30 halaman rekomendasi untuk KE dan komite kredensial, termasuk:

  • Membuat entitas yang permanen untuk mengawasi respons dan pencegahan pelecehan seksual.
  • Meluncurkan “sistem informasi pelaku”, sebuah basis data secara daring di mana gereja-gereja dapat berpartisipasi secara sukarela dalam melaporkan pelecehan yang sudah terbukti maupun yang masih tersamar.
  • Menerbitkan sebuah daftar gereja-gereja yang dihentikan keterikatannya dengan SBC dan individu-individu yang penahbisannya atau gelarnya dicabut.
  • Memfasilitasi program-program untuk membantu para penyintas dan memberikan kompensasi dari persembahan SBC untuk menutupi biaya bantuan medis dan psikologis.
  • Menyatakan permintaan maaf kepada para penyintas dan mendirikan tugu peringatan, menambahkan acara peringatan Survivor Sunday ke dalam kalender SBC.
  • Melarang adanya perjanjian kerahasiaan, kecuali jika diminta oleh korban.
  • Membuat kode etik bagi para pekerja SBC atau bagi mereka yang ingin masuk ke seminari.
  • Mempekerjakan kepala petugas kepatuhan (chief compliance officer) atau petugas etika dan kepatuhan (ethics and compliance officer) untuk staf KE.

“Kita harus memutuskan untuk memberikan waktu dan sumber daya kita bukan hanya untuk merawat para penyintas pelecehan seksual dengan baik, melainkan juga untuk membangun budaya akuntabilitas, transparansi, dan keamanan seiring kita melangkah maju,” demikian ungkap gugus tugas itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis bersama dengan laporan tersebut.

“Kami mengakui bahwa setiap langkah pertobatan membutuhkan ketaatan dan pengorbanan yang berkelanjutan, dilakukan dengan sengaja, dan berdedikasi. Ini adalah panggilan dari Juruselamat kita untuk bersatu sebagai satu tubuh dalam mengikut Dia.”

Christa Brown, penyintas dan advokat pelecehan, mengatakan dalam kesaksiannya kepada Guidepost bahwa dia tidak berharap ada perubahan yang berarti, tetapi ia tetap mendoakan agar laporan itu “dapat memberi sedikit rasa keadilan.”

Southern Baptist Convention memiliki kewajiban moral untuk melindungi nyawa, tubuh dan kemanusiaan anak-anak serta jemaat di gereja-gereja yang berafiliasi dengannya, untuk memberikan pemeliharaan dan validasi bagi SEMUA yang telah dilecehkan secara seksual oleh pendeta SBC,” tulisnya, “untuk memastikan pertanggungjawaban para pelaku pelecehan dan orang-orang yang mendukungnya, serta untuk menciptakan sistem yang dapat menjamin bahwa kejahatan yang tidak manusiawi ini tidak akan bertahan hingga generasi mendatang.”

Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Setelah Penembakan, Gereja-gereja Menavigasi Ketegangan Di Antara Tiongkok-Taiwan Di Bawah Permukaan

Karena Gereja Presbiterian di Taiwan memiliki kaitan sejarah untuk mendorong terjadinya kemerdekaan, sebagian besar jemaat Tionghoa di AS menghindar untuk menyoroti polarisasi politik yang sedang berlangsung.

Setelah penembakan di Irvine Taiwanese Presbyterian Church, para pendeta berkumpul untuk berdoa di Christ Our Redeemer AME Church.

Setelah penembakan di Irvine Taiwanese Presbyterian Church, para pendeta berkumpul untuk berdoa di Christ Our Redeemer AME Church.

Christianity Today June 6, 2022
Jae C. Hong / AP

Segera setelah mereka mendengar bahwa seorang pria bersenjata menyerang sebuah gereja Taiwan di California pada hari Minggu, beberapa orang Taiwan dengan tepat mengasumsikan adanya motif politik.

Bentrokan antara keinginan Taiwan untuk merdeka dan untuk reunifikasi dengan Tiongkok memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan saat ini. Namun, di antara gereja-gereja diaspora di AS, masalah ini biasanya tetap ada di bawah permukaan.

Di jemaat-jemaat berbahasa Tionghoa, di mana orang-orang Kristen dari Tiongkok daratan beribadah bersama dengan orang-orang dari Taiwan dan Hong Kong, para pendeta biasanya menghindari perpecahan politik. Bahkan beberapa gereja yang didominasi orang Taiwan mungkin memiliki anggota-anggota jemaat yang memihak pada salah satu dari dua sisi tersebut.

Akan tetapi bagi sejumlah kecil jemaat yang lebih tua dan berbahasa Taiwan—seperti Irvine Taiwanese Presbyterian Church, di mana penembakan itu terjadi—lebih cenderung melihat masalah ini sebagai bagian penting dari latar belakang budaya dan teologi mereka. Meskipun gereja California Selatan termasuk bagian dari Gereja Presbiterian (AS), gereja ini juga memiliki hubungan yang erat dan mengakar dengan Gereja Presbiterian di Taiwan.

“Gereja Presbiterian di Taiwan adalah gereja yang mengadvokasi kemerdekaan Taiwan,” kata T.N. Ho, seorang Kristen Taiwan dan mantan penatua dari Northern California Bay Area Chinese Church. “Gereja-gereja Tiongkok lainnya tidak memiliki posisi yang jelas.”

Sebagai denominasi Kristen Protestan terbesar di pulau itu, Gereja Presbiterian di Taiwan telah lama memperjuangkan masyarakat dan budaya pulau itu—dimulai dari misionaris pada abad ke-19 yang mengutamakan untuk mempertahankan pemimpin dan tradisi lokal hingga pendirian politik gereja yang lebih mendukung demokrasi daripada pemerintahan nasionalis Tiongkok pada tahun 1970-an, ’80-an, dan ‘90-an. Simbol gereja adalah semak terbakar yang disaksikan oleh Musa: “terbakar namun tidak hancur.”

“Karena faktor sejarah ini, Gereja Presbiterian di Taiwan dapat disebut sebagai organisasi berbasis agama yang dibentuk oleh orang-orang yang berasal dari rakyat kecil di Taiwan dan anak-anak mereka,” tulis Mock Mayson, seorang kolumnis Taiwan . “Banyak gereja Presbiterian di luar negeri dibentuk oleh orang-orang Taiwan yang lolos dari tirani negara partai Tiongkok di masa-masa awal … dan mendukung gerakan kemerdekaan di Taiwan.”

AS adalah rumah bagi sekitar 697.000 orang Amerika keturunan Taiwan, dan sekitar setengahnya tinggal di California. Seorang reporter di Taiwan berkomentar di Twitter bahwa menargetkan gereja AS yang terdiri dari orang-orang Amerika keturunan Taiwan yang sudah lanjut usia, pada sebuah pertemuan ibadah, “sangatlah tidak masuk akal,” tetapi sejauh yang dapat diketahui para penyelidik pada saat ini, pria bersenjata itu melihat para korban sebagai orang-orang yang mewakili sikap politik yang sangat bertentangan dengan dia.

Tersangka pelaku penembakan, David Wenwei Chou, lahir dan dibesarkan di Taiwan tetapi menganggap dirinya sebagai orang Tionghoa. (Tiongkok saat ini mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya.) Dia meninggalkan catatan dalam bahasa Tionghoa di mobilnya yang menyatakan bahwa dia tidak percaya bahwa Taiwan harus merdeka dari Tiongkok. Media sosial Tiongkok juga mengedarkan foto-foto Chou yang menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin organisasi pro-unifikasi Tiongkok di Las Vegas.

Meskipun mereka terbiasa dengan konteks permusuhan seperti itu, orang-orang Kristen di pulau tersebut bingung dengan karakter dari tindakan kriminal Chou, yang menggemakan serangan teroris lainnya di AS. Dia membarikade pintu gereja dengan rantai, paku, dan lem. Dia datang dengan membawa sepasang pistol dan bom molotov, bersiap untuk menghabisi nyawa orang-orang.

“Masalah pengontrolan senjata di Amerika Serikat hampir tidak dapat dipahami oleh kami orang Taiwan yang tidak berada di Amerika Serikat,” kata Ray Peng, pelatih misionaris dan ketua We Initiative Taiwan, sebuah organisasi mobilisasi misi. “Hari ini, di Taiwan, jika rekan-rekan dengan spektrum politik yang berbeda ‘mengungkapkan pendapat mereka’ di suatu tempat dengan kubu ideologis yang berbeda yang mungkin saling bermusuhan, itu hanya akan menjadi konfrontasi verbal dan fisik. Namun hal ini tidak akan meningkat menjadi insiden internasional yang mematikan.”

Karena jemaat balik melawan untuk menaklukkan Chou, akhirnya hanya satu korban yang tewas di antara 30–40 orang yang ada, dengan lima orang lainnya terluka. Selain kesedihan atas tragedi tersebut, serangan ini telah membuat para pendeta memeriksa kembali peran polarisasi politik di gereja mereka sendiri.

Sebagai murid Yesus, “isu ‘penyatuan vs. kemerdekaan’ bukanlah fokus saya, juga tidak seharusnya menjadi fokus gereja,” kata penginjil Kris Wang, seorang keturunan Taiwan Amerika dan seorang penatua di Lansing Chinese Christian Church di Michigan. “Dalam menghadapi kekuatan militer Tiongkok yang terus mengancam keselamatan dan kebebasan rakyat Taiwan, saya dapat memahami bahwa banyak orang Taiwan memiliki mentalitas permusuhan terhadap Tiongkok. Tetapi sebagai seorang Kristen yang melayani gereja Tionghoa, panggilan saya melewati dan melampaui batas-batas politik.”

Namun tetap, realitas politik dan budaya terus mempengaruhi gereja-gereja diaspora. Generasi yang lebih baru dari para imigran kemungkinan besar datang dari Tiongkok daratan, sedangkan banyak dari orang yang telah tiba lebih dari 50-60 tahun yang lalu berasal dari Taiwan dan Hong Kong.

Selama dekade terakhir, ketegangan politik telah meningkat tajam antara Tiongkok daratan dan Taiwan. Konflik antara AS dan Tiongkok semakin memburuk, ketika presiden Taiwan Tsai Ing-wen menjalin hubungan lebih dekat dengan AS dan presiden Tiongkok Xi Jinping mengkonsolidasikan kekuatan dan memperkuat militernya.

“Di Gereja Tiongkok di Amerika Utara, memang ada konflik dan ketegangan di antara orang-orang dari kedua sisi selat Taiwan,” kata Gloria Huang, yang bekerja untuk media Kristen Tiongkok di AS. “Ini terkait dengan konsep Asia ‘menyelamatkan muka’ (oleh karena itu harus mau setuju dengan hormat dan kerelaan), dan itu berdampak pada struktur pengambilan keputusan gereja.”

Huang mengatakan bahwa beberapa gereja baru yang sebagian besar memiliki latar belakang dari Tiongkok daratan hanya ingin menerima pengkhotbah dari Tiongkok daratan, sementara beberapa orang Kristen Taiwan lebih suka beribadah dengan sesama orang Taiwan daripada dengan yang datang dari Tiongkok daratan karena hal ini dianggap sebagai cara untuk memprioritaskan kekhasan mereka.

Pendeta Albany Lee di Irvine Taiwanese Presbyterian Church menggambarkan jemaatnya dengan mengatakan, “Kami menggunakan bahasa dan budaya kami sendiri untuk menyembah Tuhan.”

Jocelyn Chung, seorang keturunan Taiwan-Amerika di California Selatan, menulis untuk USA Today tentang pentingnya memegang identitas sebagai orang Taiwan. “Kami berasal dari para tetua yang menanggung pembungkaman trauma selama puluhan tahun yang membentuk hidup mereka, yang menolak penghapusan bahasa dan berimigrasi ke tanah baru di mana mereka mewariskan harapan mereka yang tangguh itu kepada keturunan mereka,” katanya. “Kami membawa tempaan harapan, suara, rasa sakit, perlawanan, dan cerita mereka.”

Sebuah artikel CT baru-baru ini yang ditulis oleh Alex Tseng, seorang teolog yang menganggap dirinya “seorang Kristen dari Taiwan” tetapi bukan “seorang Kristen Taiwan,” membahas pentingnya Gereja Presbiterian di Taiwan dalam menginformasikan dan membentuk pandangan politik orang Kristen.

“Sebuah gereja yang hadir sebagai basis internal suatu bangsa memiliki tugas kenabian untuk memanggil masyarakatnya agar ‘berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati’ (Mi. 6:8),” tulisnya. “Presbiterian di Taiwan secara historis berdiri di garis depan untuk melawan tirani demi kepentingan sesama mereka yang non-Kristen.”

Tetapi Tseng memperingatkan terhadap “nasionalisme Kristen” atau agama sipil sebagai dasar solidaritas mereka.

Beberapa pemimpin Kristen Tiongkok menegaskan kembali kepada CT keinginan bagi orang percaya untuk mengatasi perpecahan atas reunifikasi atau kemerdekaan.

“Dengan antagonisme saat ini antara pro-Tiongkok dan pro-Taiwan, jika orang Kristen di dalam dan luar negeri dapat secara khusus menemukan beberapa titik temu persoalan yang konkret dan praktis tentang bagaimana meningkatkan suasana politik dan sosial ekologis dari pulau (Taiwan) itu serta membuat perencanaan untuk kerjasama dan perbaikan, daripada hanya sekadar berbicara tentang persatuan secara kosong,” kata penulis dan kolumnis Kristen Chris Hsiung, seorang warga California dari Taiwan, “mungkin kebencian dapat dikurangi dan hal itu dapat berfungsi sebagai titik awal untuk perdamaian dan toleransi.”

Peng memberi contoh: Sehari setelah tragedi di Irvine Presbyterian Taiwanese Church, para pendeta dari berbagai ras berkumpul di sebuah acara doa bersama di dekat Christ Our Redeemer Church.

“Ini adalah proklamasi persatuan komunitas Kristen yang paling konkret dan kuat,” kata Peng.

Orang Kristen lain dari Taiwan tidak percaya bahwa sangat mungkin untuk “memisahkan politik dari agama” secara penuh.

Pai Hsu Wen, seorang seminaris di Reformed Theological Seminary dari Taiwan, menunjukkan bahwa bagi orang Kristen, masalah “penyatuan vs. kemerdekaan” berkaitan dengan iman Kristen.

“Kebebasan beragama penting bagi gereja,” katanya. Dan “kendaraan politik di balik pilihan unifikasi atau kemerdekaan secara langsung berkaitan dengan nilai kehidupan manusia, kebebasan dan batasannya terhadap tindakan sosial dalam masyarakat, supremasi hukum, hak asasi manusia yang berbeda keyakinan, serta kesejahteraan masyarakat.”

Diterjemahkan oleh: Janesya S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Wawancara untuk artikel ini dilakukan dalam bahasa Tionghoa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube