Hukum Perjanjian Lama adalah Undangan yang Indah untuk Keintiman dengan Allah

Alasan orang percaya tidak boleh membuangnya karena malu.

Christianity Today June 30, 2023
Gambar: Keith Lance / Getty Images

Bagi orang Kristen, ketidaknyamanan dengan Perjanjian Lama bukanlah hal baru. Selama abad kedua, Marcion menghindari apa yang dilihatnya sebagai Allah Israel yang murka, alih-alih merangkul sosok Yesus dari Nazaret yang penuh kasih. Dalam buku Bearing God’s Name: Why Sinai Still Matters, profesor Perjanjian Lama dari Prairie College, Carmen Joy Imes, menemukan kembali pentingnya Hukum Tuhan bagi gereja saat ini, menolak ajaran sesat yang populer bahwa kita dapat mengabaikan Perjanjian Lama demi Perjanjian Baru. Penulis Jen Pollock Michel berbicara dengan Imes tentang dimensi pribadi dan komunal untuk masuk ke dalam perjanjian Sinai melalui Yesus, orang Israel sejati.

Bearing God's Name: Why Sinai Still Matters

Bearing God's Name: Why Sinai Still Matters

IVP Academic

240 pages

$14.99

Saat Anda membayangkan buku ini, tingkat keakraban pada Perjanjian Lama yang seperti apa yang Anda asumsikan dari para pembaca Anda?

Saya sedang memikirkan murid-murid saya ketika saya menulisnya. Beberapa dari mereka tidak tahu apa-apa tentang Alkitab, sementara yang lain telah berada di gereja sepanjang hidup mereka. Namun bahkan di antara para pengunjung gereja yang rutin hadir, saya menemukan banyak orang buta huruf secara alkitabiah dan sebagian orang memahami Kitab Suci dengan cara yang sangat sederhana sekali. Pada umumnya, mereka membaca Perjanjian Lama secara moral, mencari pahlawan, orang-orang yang dapat mereka teladani. Akan tetapi, hal ini sangat membuat frustrasi dan mengecewakan, karena setiap orang yang mereka temui memiliki kekurangan.

Ketika para mahasiswa menghadiri di kelas Taurat yang saya ajar, saya membantu mereka menggali Kitab Suci dengan lebih mendalam. Ada beberapa penggalian yang perlu dilakukan untuk membantu mereka membaca Alkitab sebagaimana yang dimaksudkan.

Godaan untuk melepaskan diri dari Perjanjian Lama sudah ada cukup lama, tetapi adakah sesuatu yang baru tentang cara godaan itu mengekspresikan dirinya di masa kini?

Ada isu-isu klasik yang telah diperjuangkan orang-orang selama berabad-abad, tetapi ini mungkin lebih akut di zaman kita. Saat ini, kita menjumpai pertanyaan seperti: Bagaimana dengan nasib orang Kanaan? Bagaimana dengan etika seksual? Bagaimana dengan kekerasan terhadap perempuan, atau kurangnya pengakuan atas apa yang telah dilakukan perempuan? Ketika kita membuka Perjanjian Lama dan membaca kisah-kisah ini, ada hal-hal yang mengganggu kita yang mungkin tidak mengganggu orang beberapa abad yang lalu, karena secara budaya kita berada di masa yang berbeda.

Bagi sebagian orang, solusinya sudah jelas: Mari kita lepaskan saja. Jika kita ingin orang melihat Yesus, mari tinggalkan semua teks bermasalah ini dan bawa langsung ke Injil. Akan tetapi kita tidak dapat memahami Yesus tanpa Perjanjian Lama. Pendekatan saya adalah kembali ke Perjanjian Lama dan belajar membacanya dengan baik dalam konteksnya, sehingga kita tidak mendapatkan kesan yang salah tentang siapa Tuhan.

Sebagian besar masalah muncul karena kita membaca Perjanjian Lama dengan pemahaman budaya kita kembali ke masa lampau di mana terdapat pandangan dunia dan perhatian yang berbeda. Hal yang paling membantu saat saya mencoba memahami teks-teks bermasalah ini adalah dengan mencoba membacanya dalam konteks zaman dahulu. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang dikatakan budaya lain selama periode ini? Retorika apa yang biasanya mereka gunakan? Bagaimana Alkitab berbicara dalam konteks tersebut?

Alkitab memiliki hal-hal yang bersifat penebusan untuk dikatakan dalam konteks kuno yang masih terdengar sangat menyinggung telinga modern, tetapi itu karena kita bukan pendengar utamanya. Saya ingin menjembatani kesenjangan bagi para pembaca, membawa mereka kembali ke dunia Perjanjian Lama dan membantu mereka menghargai apa yang Alkitab coba lakukan. Jika kita melakukannya dengan baik, maka akan lebih mudah untuk menyeberangi jembatan kembali ke zaman kita sendiri dan bertanya: Apa artinya ini bagi saya?

Bagaimana kita bisa melihat kehadiran kasih karunia Allah di dalam Hukum Perjanjian Lama?

Biasanya, orang Kristen menganggap Hukum Perjanjian Lama sebagai bola dan rantai yang telah kita singkirkan dengan senang hati di dalam Kristus. Ketika saya kembali membaca narasi Gunung Sinai, saya tercengang oleh betapa murah hatinya Tuhan untuk turun ke level manusia, menyatakan diri kepada umat-Nya, dan menunjukkan kepada mereka tentang apa yang Dia harapkan. Hal ini sangat mencolok ketika kita membandingkan situasi mereka dengan orang-orang Timur Dekat kuno lainnya, di mana selalu ada kecemasan tentang apa yang diinginkan oleh para dewa.

Alasan lain untuk melihat kasih karunia Tuhan bekerja adalah bahwa hukum di Sinai diberikan setelah Dia menyelamatkan orang Israel dari penindasan. Tuhan tidak memberi mereka hukum agar mereka bisa diselamatkan; Dia sudah membebaskan mereka. Alasan terakhir adalah bahwa ketaatan pada hukum-hukum Allah memungkinkan Dia untuk terus tinggal di antara umat-Nya. Hukum Taurat adalah sarana untuk mengalami kehadiran Tuhan.

Bagaimana pemahaman yang tepat tentang Sinai dapat mengoreksi kepercayaan yang gampangan dan iman orang Kristen yang terlalu individualitis?

Banyak orang Kristen dewasa ini memiliki pandangan yang terpotong-potong tentang apa artinya menjadi seorang Kristen. Jika kita mulai dengan hal ini—bahwa menjadi seorang Kristen adalah meminta Yesus masuk ke dalam hati saya agar saya dapat masuk surga ketika saya meninggal—maka yang terutama dari hal ini adalah tentang setelah saya meninggal daripada tentang hidup saya di sini dan saat ini. Namun, jika kita memahami Sinai dengan serius, kita dapat melihat bahwa Allah menyelamatkan umat-Nya dari Mesir bukan hanya tentang mengamankan kehidupan akhirat mereka. Hal ini berkaitan dengan soal mereka menjadi umatnya secara nyata, ketika mereka berinteraksi satu sama lain dan dengan bangsa-bangsa sekitar mereka. Mereka adalah wakil-Nya bagi bangsa-bangsa.

Jika kita dapat menangkap sekilas tentang hal itu, jika kita dapat melihat bahwa menjadi seorang Kristen berarti memasuki kisah tersebut dan menjadi wakil Tuhan, maka tentang bagaimana kita hidup tentu tiba-tiba akan menjadi penting. Pilihan-pilihan saya bukan hanya antara saya dan Tuhan. Pilihan-pilihan tersebut bukan hanya soal saya memiliki kesejahteraan internal atau jaminan untuk mengetahui ke mana saya akan pergi setelah saya meninggal. Ini lebih umum dari hal itu. Saya sedang disaksikan banyak orang, dan itulah cara Tuhan merancangnya.

Akan tetapi, hal tentang Sinai adalah bahwa itu bukan hanya kisah soal individu; itu adalah seluruh komunitas yang disebut milik Tuhan yang berharga, sebuah kerajaan imam. Mereka bersama-sama harus menjalankan mandat ini untuk menjadi wakil Tuhan dan membawa nama Tuhan di antara bangsa-bangsa. Tidak ada satu orang pun yang dapat melakukan seluruh pelayanan ini secara individual. Hal ini mengingatkan saya bahwa saya tidak menjadi seperti yang Allah kehendaki tanpa menjadi bagian dari komunitas gereja. Secara korporat, kita mencapai sesuatu, mewujudkan sesuatu yang tidak dapat kita lakukan sendiri.

Mengingat banyak orang di luar gereja tergoda untuk mengasosiasikan Injili dengan kefanatikan, bagaimana kita dapat memulihkan reputasi kita dan menyandang nama Tuhan dengan benar di dunia ini?

Penting bagi kita untuk memperhatikan bahwa Allah tidak memberikan Hukum Taurat di Sinai kepada semua bangsa. Ia memberikannya kepada umat-Nya sendiri, yang Ia tebus dari perbudakan. Ini bukan tentang membuat hukum moralitas. Ini tentang menyiapkan kondisi untuk hubungan yang intim dan berkelanjutan dengan Tuhan. Kita belum melakukan pelayanan bagi nama Tuhan dengan dikenal sebagai orang yang berusaha membuat orang lain hidup sesuai dengan aturan kita.

Yesus benar ketika meringkas semua hukum Sinai dengan “Kasihilah Tuhan, Allahmu” dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mrk. 12:30–31). Ini menyatukan dimensi vertikal dan horizontal dari perjanjian Sinai. Intinya adalah untuk menjadi terang yang bersinar bagi bangsa-bangsa, sehingga kita perlu secara aktif mencari cara agar menjadi berkat, baik dengan cara memelihara lingkungan, bekerja untuk meningkatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan, atau memastikan sistem peradilan kita berjalan sebagaimana mestinya. Semua hal itu memuliakan Tuhan. Prinsip-prinsip yang kita lihat dinyatakan dalam hukum-hukum Perjanjian Lama dapat membentuk prioritas kita sewaktu kita mempertimbangkan bagaimana menolong dunia ini menjadi tempat bagi berkembangnya umat manusia.

Diterjemahkan oleh Imam Daniel.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Di Bumi Seperti di Surga

Apakah peran dari pemerintah? Bisakah kita membangun masyarakat Kristen di dunia ini? Para reformis Protestan seperti Martin Luther, Ulrich Zwingli, Martin Bucer, dan John Calvin, semuanya bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut—dan menghasilkan jawaban yang berbeda.

Christianity Today June 28, 2023
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Federico Beccari / Unsplash / Wikimedia Commons

Pada Agustus 2001, Hakim Agung Alabama, Roy Moore mendirikan sebuah monumen Sepuluh Perintah Allah yang terbuat dari granit seberat 2,5 ton di rotunda gedung Mahkamah Agung negara bagian itu. Hal itu menimbulkan badai kontroversi hukum yang berakhir dengan upaya paksa untuk merobohkan monumen tersebut dan menurunkan Moore dari jabatannya. Dalam sebuah wawancara dengan Christianity Today, Moore bersikeras, “Pengakuan akan Tuhan adalah dasar bagi masyarakat kita, hukum kita, dan moralitas kita.” Akan tetapi bagi orang lain, mencampurkan urusan agama dan keadilan publik adalah sesuatu yang keterlaluan.

Serangkaian pertanyaan yang ditimbulkan dari kontroversi ini—pertanyaan yang sangat familier bagi orang Amerika yang bergumul dengan pemisahan gereja dan negara—adalah pertanyaan yang sama yang dihadapi orang Kristen dalam banyak situasi sejarah yang berbeda. Apa peran yang tepat dari pemerintah dalam kaitannya dengan gereja? Haruskah orang Kristen berusaha mewujudkan “masyarakat kristiani”? Sejauh mana kita dapat menaruh harapan pada politisi dan proses politik untuk mencapai hal ini?

Allah telah mendirikan dua jenis pemerintahan di antara manusia…

Serangkaian pertanyaan ini muncul ke permukaan pada abad ke-16 ketika Eropa terjebak dalam pergulatan antara Gereja Katolik Roma dan gerakan Protestan yang baru muncul. Kita cenderung menganggap bahwa para reformis Protestan terutama tertarik pada isu-isu teologis semata: pembenaran oleh iman, otoritas tertinggi Kitab Suci, dan imamat semua orang percaya. Namun dalam budaya di mana kehidupan keagamaan dan kehidupan sipil sangat terkait erat—di mana Paus menggelorakan perang dan para pemimpin sekuler menunjuk para pendeta, dan di mana kehidupan rakyat jelata dibangun di seputar kepercayaan dan ritual gereja—maka tidaklah mungkin untuk melepaskan diri dari pergolakan politik untuk memutus hubungan dari kelompok Katolik arus utama.

Para reformis memang mengembangkan pandangan mereka dalam kerangka politik yang sangat berbeda dari kita, tetapi prinsip-prinsip yang mereka tetapkan terus memengaruhi keterlibatan politik Kristen di masa kini.

Gereja dan negara

Pada tahun 1517, Martin Luther mencetuskan gerakan Reformasi Protestan dengan 95 dalilnya yang menentang penjualan surat pengampunan dosa, yang diberikan gereja untuk mengurangi hukuman orang Kristen dalam api penyucian. Sementara itu, Ulrich Zwingli juga sedang memperjuangkan reformasi di Zurich, Swiss. Perbedaan yang signifikan antara kedua reformis ini akhirnya membagi Protestantisme menjadi dua cabang, Lutheran dan Reformed. Martin Bucer awalnya pernah menjadi seorang Lutheran, lalu berpindah menjadi penganut Reformed, dan menghabiskan hidupnya mencoba untuk menyatukan kedua belah pihak. Bucer secara signifikan memengaruhi John Calvin, yang menghabiskan sebagian besar pelayanannya di Jenewa (sekarang di Swiss) dan menjadi teolog Reformed yang terbesar. Keempat tokoh utama reformasi ini sering disebut “Reformis Magisterial” karena mereka memilih untuk bekerjasama dengan para magistrat (pemimpin kota) untuk melakukan reformasi.

Pada abad ke-16, gereja dan negara saling terkait erat, seperti halnya hubungan antar departemen dalam pemerintahan modern. Para reformis magisterial itu tidak mempersoalkan hal ini; mereka percaya bahwa sudah sepatutnya pemerintah mendukung agama yang benar dan menekan kesalahan. Kekristenan bukan hanya masalah pribadi tetapi juga masalah publik. Jika gerakan Reformasi ingin berhasil, maka gerakan ini harus mereformasi seluruh tatanan masyarakat, bukan hanya kepercayaan orang Kristen secara individu. Dalam rangka menghadapi otoritas tertinggi gereja Roma dan membawa perubahan yang luas, para reformis membutuhkan dukungan dari para penguasa sekuler.

Sejumlah reformis lainnya adalah para tokoh revolusioner yang percaya bahwa perseteruan final yang dijelaskan dalam kitab Wahyu akan segera terjadi dan bahwa orang-orang saleh harus mendirikan kerajaan Allah dengan paksa. Pada sisi ekstrem lainnya, kaum Anabaptis (yang menolak baptisan bayi) percaya bahwa orang Kristen seharusnya tidak boleh terlibat dalam pemerintahan sekuler sama sekali, karena penggunaan pedang untuk menjaga ketertiban dan melaksanakan hukuman bertentangan dengan teladan yang diberikan oleh Kristus. Gereja sejati selalu berada dalam konflik dengan dunia.

Para reformis magisterial menolak kedua ekstrem ini. Akan tetapi mereka juga tidak selalu sepakat tentang bagaimana menggunakan politik untuk mencapai tujuan rohani mereka.

Luther: Dua kerajaan

Luther mengajarkan bahwa ada dua “kerajaan” atau “ranah.” Ranah spiritual terkait masalah kehidupan kekal dan keselamatan, yang menjadi perhatian gereja. Ranah temporal terkait isu-isu dunia ini, seperti politik dan ekonomi, yang menjadi perhatian pemerintah. Ranah spiritual didasarkan pada wahyu Allah, ranah temporal didasarkan pada hukum alam. “Allah telah mendirikan dua macam pemerintahan di antara manusia,” tulis Luther, “yang satu bersifat spiritual, yang tidak memiliki pedang tetapi memiliki Firman yang memampukan manusia … dapat memperoleh kehidupan kekal. Yang lainnya adalah pemerintahan duniawi yang menggunakan pedang, yang bertujuan untuk menjaga perdamaian di antara manusia, dan ini dikaruniai Allah dengan berkat temporal.” Selama dosa masih ada, baik Injil maupun pemerintah, keduanya sangat diperlukan.

Bagi Luther, adalah tepat bagi orang Kristen untuk mengampu jabatan publik: “Jika Anda melihat bahwa ada kekurangan algojo, polisi, hakim, penguasa atau pangeran, sementara Anda memenuhi syarat, ajukanlah diri Anda untuk pekerjaan tersebut.” Akan tetapi negara memiliki peran yang sangat tegas dan terbatas—mencegah dosa (Rm. 13:4) dan menjaga agar anarki tidak terjadi, dengan menjaga hukum dan ketertiban (1Tim. 2:1-2).

Orang Kristen harus menjadi warga negara yang setia, tetapi mereka tidak boleh jatuh ke dalam perangkap imajinasi bahwa negara dapat benar-benar menjadi kristiani di dunia yang telah jatuh dalam dosa ini. Luther memandang negara sebagai realitas sekuler—bukan dalam pengertian bahwa negara netral secara agama, bukan pula dalam arti bahwa negara tidak boleh menghukum mereka yang merusak agama yang benar, melainkan dalam pengertian bahwa kita tidak boleh mengandalkan negara untuk mewujudkan kerajaan Allah.

Zwingli: Alkitab dan pedang

Luther menentang penggunaan kekuatan militer untuk membela, apalagi menyebarkan, Reformasi. Dalam perjalanannya ke Roma di tahun 1510, ia sangat terkejut melihat Paus Julius II mengenakan baju besi memimpin pasukannya ke medan perang. Bukan hal ini yang ia harapkan dari seorang pemimpin Kristen. Kemudian ia juga melihat sesama rekan reformisnya, Ulrich Zwingli melakukan hal yang sama.

Pada tahun 1525, reformasi gereja yang dilakukan Zwingli di Zurich sebagian besar telah selesai. Misa Katolik dihapuskan dan diganti dengan kebaktian Perjamuan Kudus yang sederhana. Cita-citanya untuk menyatukan kalangan Injili Swiss tampaknya juga hampir terwujud. Namun ketika ia membangun aliansi kanton Protestan (negara bagian Swiss), kanton Katolik Roma merasa terancam dan membentuk aliansi saingan. Hasilnya adalah perang pada tahun 1529. Setelah jeda, pertempuran pecah lagi pada tahun 1531, dan Zwingli terbunuh di medan perang.

Luther menafsirkan kematian Zwingli sebagai penghakiman dari Allah. Gambar Zwingli dengan Alkitab di satu tangan dan pedang di tangan yang lain (seperti yang digambarkan patungnya saat ini di Zurich), bagi Luther merupakan suatu kontradiksi. Para penganut Lutheran pada umumnya lebih tunduk kepada negara. Ketika para penguasa membuat tuntutan yang bertentangan dengan hati nurani mereka (seperti memaksakan agama Katolik Roma), mereka percaya pada ketidaktaatan pasif, bukan pemberontakan. Mereka bukan kaum pasifis—mereka percaya pada hak negara untuk menghukum bidat—tetapi mereka menghormati otoritas yang ada sebagaimana yang telah Tuhan tetapkan.

Pada sisi lain, banyak pihak dalam tradisi Reformed menerima legitimasi pemberontakan bersenjata melawan rezim tirani. Di Belanda, mereka berjuang untuk mengusir Spanyol; di Skotlandia, mereka berjuang untuk melindungi Reformasi; di Inggris, mereka berperang melawan seorang raja dan akhirnya mengeksekusinya; dan di koloni-koloni Amerika, di mana pengaruh Puritan (Reformed) sangat kuat, mereka memberontak melawan Inggris.

Bucer: Kerangka kerja terperinci untuk masyarakat Kristen

Zwingli, Bucer, dan Calvin memandang peran negara lebih positif daripada Luther. Mereka percaya bahwa tanggung jawab pemerintah lebih dari sekadar menjaga hukum dan ketertiban; pemerintah juga bertanggung jawab untuk mewujudkan pemerintahan Allah. Orang-orang Kristen dipanggil untuk membuat Injil terlihat di semua bidang kehidupan masyarakat—baik politik, ekonomi, seni, maupun media.

Bucer menghabiskan sebagian besar karirnya memimpin gerakan Reformasi di Strasbourg, tetapi menjelang akhir hidupnya ia menjadi profesor di Universitas Cambridge. Bukunya yang berjudul The Kingdom of Christ, yang ditulis pada tahun 1550 (setahun sebelum ia wafat) dan ditujukan kepada Raja Edward VI, menetapkan sebuah kerangka kerja terperinci bagi negara Inggris yang kristiani. Usulan Bucer tidak hanya mencakup kehidupan gereja tetapi juga politik dan ekonomi. Ia berpendapat bahwa hukum negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip Kristen—yaitu dua perintah utama untuk mengasihi Tuhan dan sesama.

Sebagai contoh, Bucer mengusulkan agar mengemis harus dilarang sehingga para diaken gereja dapat memberikan bantuan yang efektif, memenuhi kebutuhan mereka yang benar-benar membutuhkan—bukan bagi mereka yang terlalu malas untuk bekerja. Visinya tentang jaring pengaman yang komprehensif bagi orang miskin, termasuk langkah-langkah untuk memulihkan lapangan pekerjaan agar terpenuhi dan tujuan pendidikan universal, terdengar sangat modern. Pada saat yang sama, ia menghindari salah satu batu sandungan negara modern yang sejahtera, dengan berhati-hati agar tidak memberikan perlindungan terhadap perilaku-perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Sayangnya, Edward VI meninggal pada tahun 1553 dan dengan kematiannya itu, hilang pula kesempatan untuk mengimplementasikan kerangka kerja yang terperinci dari Bucer.

Calvin: Kota teladan

Tidak seperti Bucer, John Calvin benar-benar melihat visinya tentang masyarakat Kristen itu terwujud, setidaknya sebagian, di kota Jenewa. Meski pernah terpaksa meninggalkan Prancis karena keyakinan Protestannya, Calvin menanggapi seruan untuk mereformasi gereja di Jenewa. Dalam prosesnya, ia mentransformasi kota.

Tujuan Calvin lebih dari sekadar tujuan Lutheran yang sederhana untuk memelihara hukum dan ketertiban; ia ingin membangun masyarakat yang saleh melalui upaya gabungan para rohaniwan dan pemimpin kota. Selain berkhotbah dan menyelenggarakan sakramen-sakramen, para pendeta juga mengawasi kesehatan rohani umat, menetapkan peraturan tentang pakaian, tarian, perilaku di hari Minggu, dll. Pemerintah, pada bagiannya, memelihara sekolah-sekolah yang baik, menegakkan hukum-hukum ilahi, dan menghukum orang-orang yang berbuat salah. “Dua hal ini sangat berbeda,” kata Calvin, “karena Gereja juga tidak mengasumsikan apa pun yang pantas dilakukan oleh para pemimpin kota, dan para pemimpin kota juga tidak kompeten untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Gereja.” Namun keduanya memiliki tujuan akhir yang sama: untuk mencegah dosa, mendorong kebaikan, dan membangun kerajaan Allah.

Calvin berjuang untuk tidak memaksakan teokrasi, melainkan untuk membebaskan gereja dari kontrol pemimpin sipil sehingga dapat menjalankan pelayanannya secara penuh. Hal ini tidak selalu mudah, dan ia dipaksa berkompromi lagi dan lagi dengan para pemimpin kota yang keras kepala. Selain itu, banyak penduduk asli Jenewa yang merasa tidak tahan dengan disiplin Calvin yang keras; orang-orang ini, menurut Calvin, “harus membangun sebuah kota di mana mereka dapat hidup seperti yang mereka inginkan, karena mereka tidak ingin hidup di sini di bawah kuk Kristus.”

Akan tetapi kota ini juga menarik perhatian banyak orang, termasuk para pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan agama, para mahasiswa seminari, dan orang-orang lainnya yang tertarik karena kekaguman mereka terhadap Calvin. Reformis Skotlandia, John Knox, menyatakan Jenewa adalah “sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di bumi sejak zaman para rasul.”

Ketegangan dan transformasi

Siapa yang benar? Bagaimana seharusnya gereja berhubungan dengan masyarakat? Pada tahun 1952, teolog Yale, H. Richard Niebuhr menggambarkan lima posisi dasar Kristen dalam karya klasiknya Christ and Culture. Para reformis magisterial mewakili posisi keempat dan kelima, “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks” dan “Kristus Sang Transformis Kebudayaan.”

Sikap Lutheran adalah “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks,” yang menekankan keberdosaan bahkan dari pemerintah “Kristen” sekalipun. Seperti yang dikatakan Luther, “Mengubah sebuah pemerintahan adalah satu hal; memperbaiki sebuah pemerintahan adalah hal yang lain.” Posisi ini memiliki banyak fitur positif: Ini didasarkan pada pandangan alkitabiah tentang sifat manusia dan dosa, posisi ini juga menghindari ekspektasi yang tidak realistis dari para politisi, dan menghindari perubahan Injil menjadi pesan politik yang ketinggalan zaman. Namun sisi negatifnya, salah satu tragedi pada era Nazi adalah bahwa pendekatan Lutheran telah membantu membujuk banyak (meskipun tidak semua) gereja Jerman untuk menerima kekuasaan Nazi secara pasif.

Pendirian Reformed adalah “Kristus Sang Transformis Kebudayaan,” yang berusaha, secara parsial, untuk mewujudkan kerajaan Allah di sini dan sekarang. Sisi positifnya, mereka yang memegang posisi ini telah membawa perubahan besar bagi masyarakat. Protestantisme Reformed (bukan Lutheran) telah menjadi tempat lahirnya kapitalisme dan demokrasi. Revolusi Belanda, Inggris, dan Amerika sangat memengaruhi jalannya sejarah. Perjuangan abad ke-19 melawan perbudakan dan perjuangan modern melawan aborsi merupakan upaya untuk membawa suara Kristen ke arena politik dan menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuhan atas semua kehidupan, bukan hanya soal “religius” saja. Namun, satu akibat negatif dari posisi ini adalah penggunaan kekuatan militer dan senjata duniawi atas nama Injil. Selain itu, ledakan teologi politik saat ini telah menyebabkan banyak orang mencampuradukkan Injil dengan agenda-agenda sekuler, seperti yang dikhawatirkan Luther. Dalam kata-kata Mark Mattes dari kalangan Lutheran, “Sikap terpenting yang dapat dibawa gereja ke ranah politik adalah kebenaran bahwa ranah politik tidak pernah menjadi yang utama.”

Saat ini beberapa teolog akan menerima gagasan bahwa gereja harus berpegang teguh pada agama dan negara pada politik, di sinilah pendekatan Lutheran yaitu “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks” dapat memimpin. Pada sisi lain, pengalaman membuktikan bahwa pendekatan Reformed yaitu “Kristus Sang Transformis Kebudayaan” dapat mengarah pada pembaptisan ideologi-ideologi sekuler atau memperlakukan politik seperti perang suci, yang merusak persepsi publik terhadap orang Kristen sebagai pembawa Kabar Baik. Meskipun “Kristus Sang Transformis Kebudayaan” tetap merupakan hal yang ideal, tetapi hal ini terus-menerus perlu ditantang oleh wawasan dari “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks.” Baik Luther maupun kalangan Reformed memiliki pelajaran-pelajaran positif bagi kita; keduanya menunjukkan jebakan-jebakan yang harus dihindari.

Tony Lane adalah profesor teologi sejarah di London School of Theology dan penulis A Concise History of Christian Thought.

Hak Cipta © 2007 oleh penulis atau majalah Christianity Today/Christian History & Biography. Klik di sini untuk informasi cetak ulang tentang Sejarah & Biografi Kristen.

Diterjemahkan oleh Joseph Lebani.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kebangkitan Kaum ‘Umms’

Tidak seperti kaum “nones” dan “dones,” banyak orang Kristen yang dekat dengan gereja ingin kembali ke gereja lokal—tetapi mereka merasa terjebak.

Christianity Today June 27, 2023
Ilustrasi oleh Rick Szuecs / Sumber gambar: Jonathan Perez / Pexels / Raw Pixel / Priscilladu Preez / Stefan Spassov / Unsplash

Untuk pertama kalinya dalam hampir 40 tahun perjalanan hidup saya, saya tidak menjadi anggota gereja.

Setiap hari Minggu saya bangun dengan kerinduan untuk berkumpul menyanyikan lagu pujian, membaca Kitab Suci, dan mengikuti sakramen. Namun sebagian besar hari Minggu pagi itu saya dan istri berjalan ke panti jompo untuk merayakan Ekaristi dengan beberapa orang yang Kristen setia tetapi terlupakan.

Tahun ini saya dan istri ingin mendirikan sebuah gereja di Chicagoland, tetapi selama berminggu-minggu saya bertanya-tanya, Di mana tempat yang cocok bagi kami?

Baru-baru ini, saya meratapi masa ini dengan seorang teman. Dia menggemakan sentimen saya, “Saya juga tidak bergereja—tidak ideal memang.” Pembicaraan kami tidak signifikan, kami hanya dua teman yang saling menghibur di tengah api penyucian gerejawi. Masih di minggu itu, saya mendengar pemikiran serupa diulangi oleh tetangga saya yang merupakan orang tua baru.

Sekali lagi, sentimen ini digaungkan oleh seorang rekan yang bekerja di sebuah organisasi nirlaba Kristen yang besar. Melalui pesan teks dan panggilan telepon, teman yang pernah sekamar dengan saya dan pejabat eksekutif di denominasi saya mengulangi status yang sama. Akan tetapi, yang benar-benar menarik perhatian saya adalah ketika saya mendengar para mahasiswa dan rekan saya di Nothern Seminary menggambarkan diri dan jemaat mereka dengan cara yang hampir sama.

Semua menyatakan komitmen yang kuat kepada Yesus dan keinginan untuk menjadi bagian dari gereja, tetapi mereka tidak aktif dalam jemaat lokal. Segmen orang percaya yang berkembang ini adalah apa yang saya sebut sebagai kaum “umms.”

Kaum dones, nones, dan umms

COVID-19 digambarkan sebagai sinar-x global, mengungkapkan apa yang tersembunyi dalam sistem dan relasi kita selama ini. Lebih tepatnya, COVID-19 merupakan sinar-x yang diakselerasi, yang mengungkapkan dan memperkuat kebenaran tersembunyi ini dengan kecepatan yang mengagumkan.

Kolega menjadi orang asing ketika ikatan relasional menjadi tegang. Ketimpangan ekonomi menjadi sangat jelas. Kemudian dengan fokus pada berita yang semakin meningkat, bangsa kita dikagetkan dengan pembunuhan George Floyd dan kita dipaksa untuk mengakui rasisme struktural yang selama ini sering tidak disebut-sebut di negara kita.

Pengungkapan yang dipercepat ini juga terjadi di gereja, yang memperlihatkan penurunan besar dalam keterlibatan jemaat.

Selama beberapa tahun terakhir, penelitian yang komprehensif telah mencatat munculnya kaum “nones” dan “dones.” Kaum "nones" adalah mereka yang tidak mengidentifikasi diri dengan afiliasi agama apa pun, yang paling banyak ditemukan di kalangan zoomer dan milenial. Kaum "dones" adalah mereka yang keluar dari agama yang sudah mapan, terutama Kristen. Karena berbagai alasan, mereka tidak mau lagi berurusan dengan gereja.

Penelitian awal di masa pandemi menunjukkan bahwa hingga sepertiga dari pengunjung gereja berhenti datang ke gereja. Data yang lebih baru menunjukkan bahwa mayoritas gereja memiliki jumlah pengunjung yang lebih rendah dari sebelum pandemi. Sebuah penelitian yang dirilis awal tahun ini mengungkapkan bahwa kehadiran di gereja turun 6 persen, dari 34 persen pada 2019 menjadi 28 persen pada 2021.

Banyak orang yang akhirnya menjauh dari gereja karena berbagai alasan, seperti yang ditunjukkan oleh kelompok nones dan dones—tetapi kaum umms mewakili kelompok lain yang berbeda dan layak untuk dibahas tersendiri. Saya berpendapat bahwa banyak dari mereka yang menjauhkan diri dari kehadiran di gereja, baik secara langsung maupun daring, dapat digambarkan sebagai kaum umms.

Kaum umms adalah kategori yang berbeda sama sekali, dan mereka yang telah saya ajak bicara memiliki beberapa karakteristik yang sama. Mereka menyukai gereja lokal dan dulunya adalah anggota yang aktif. Mereka memandang Yesus dengan serius dan ingin menjadi bagian dari jemaat lokal. Mereka tidak kepahitan atau sinis—bahkan, jika ada, kaum umms merasa tidak nyaman karena mereka tidak berkomitmen pada sebuah gereja.

Akibatnya, ada kesenjangan antara keinginan dan situasi mereka. Mereka menjadi kaum umms karena mereka tidak yakin dan ragu-ragu tentang bagaimana cara untuk terlibat kembali dengan gereja. Meskipun kisah-kisah individu mereka beragam, saya ingin menyajikan empat tipe orang umms dan pergumulan mereka: disorientasi, demotivasi, patah semangat, atau kurangnya keterlibatan di gereja.

Disorientasi: Selama dua tahun terakhir, orang-orang ini menjadi orang tua baru atau harus tinggal bersama dengan orang tua mereka. Sebagian dari mereka kehilangan pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan, sementara yang lain telah berganti pekerjaan dan masih menyesuaikan diri dengan pekerjaan mereka yang baru. Ritme pandemi yang kacau balau telah mengganggu stabilitas kehidupan mereka, yang dulu disediakan oleh gereja. Oleh karena itu, di tengah perubahan hidup yang besar, orang-orang ini tidak lagi aktif di gereja.

Demotivasi: Kaum umms mengalami demotivasi karena berbagai masalah yang mereka saksikan di gereja. Mungkin mereka telah memeriksa kembali iman mereka setelah kejatuhan publik para pendeta dan dosa rasisme serta seksisme yang terus meningkat, tetapi mereka sama sekali tidak ingin memutuskan hubungan. Kegagalan-kegagalan gereja telah mendorong banyak orang umms berhenti menjadi bagian dari sebuah jemaat.

Patah semangat: Beratnya penderitaan dan kesedihan kolektif selama masa pandemi telah membuat banyak orang umms putus asa. Mereka bergumul dengan kesehatan mental dan motivasi mereka. Banyak anggota keluarga, tetangga, teman, dan anggota gereja mereka telah meninggal. Putusnya hubungan, baik karena kematian, perceraian, atau jarak, telah meninggalkan sisa rasa tidak enak yang membuat beberapa orang umms menjadi terasing dari gereja lokal.

Kurangnya keterlibatan di gereja: Sentimen lain yang sering saya dengar dari kaum umms adalah bahwa ibadah daring tidak cocok bagi mereka. Penelitian awal COVID-19 menunjukkan bahwa gereja-gereja yang berpusat pada hari Minggu berjuang untuk mempertahankan sebagian besar umat mereka. Kaum umms ini semakin menjauh dari gereja mereka ketika kebaktian beralih ke digital—dan ketika sebagian jemaat mulai berkumpul kembali secara langsung, mereka tidak kembali lagi.

Banyak orang umms telah tergusur secara fisik dan relasional, tercerabut dari tempat dan komunitasnya. Mereka mengembara, mencari gereja lain yang dapat mereka sebut sebagai rumah. Saya berbicara dengan sekitar 20 orang teman dan kenalan yang dapat diklasifikasikan sebagai kelompok umms tentang seperti apa masuknya mereka kembali ke dalam gereja.

Ternyata bagi banyak orang, kemungkinan besar mereka tidak akan mengikuti kebaktian Minggu pagi. Dalam hal ini, sebagian orang umms mirip dengan kaum dones dan nones, yang tidak tertarik datang ke kebaktian di hari Minggu.

Bagi gereja-gereja yang memusatkan pelayanannya di sekitar kebaktian Minggu pagi, hal ini menjadi suatu masalah. Jika bagi sebagian orang, Minggu pagi tidak lagi menjadi jalan masuk menuju komunitas dan pelayanan pastoral seperti dulu, maka hal ini menyisakan dua pertanyaan penting bagi kita: Apa yang harus dilakukan oleh gereja-gereja yang berpusat pada hari Minggu? Apa yang harus dilakukan oleh kaum umms?

Menata kembali rumah Tuhan

Seperti yang direnungkan oleh Robert Frost dan sering dikutip di mana-mana, “Rumah adalah tempat di mana, ketika Anda harus pergi ke sana, mereka harus membawa Anda masuk.” Rumah adalah kata yang sangat berbobot—dipenuhi dengan aroma dan suara serta kenangan akan penderitaan dan harapan.

Rumah juga merupakan benang emas yang terjalin di seluruh narasi Alkitab. Seperti yang dikatakan oleh teolog Douglas Meeks dalam bukunya God the Economist, Tuhan “tidak henti-hentinya berusaha menciptakan rumah, sebuah rumah tangga, di mana ciptaan Tuhan dapat hidup dengan berkelimpahan.”

Jika naluri saya benar dan Minggu pagi tidak lagi menjadi pintu masuk utama bagi sebagian orang percaya, maka kita perlu merenungkan lebih lanjut gagasan tentang “rumah gereja.” Secara khusus, kita harus mempertimbangkan kembali tempat-tempat fisik di mana kita berkumpul.

Saya ingin menyarankan bahwa menemukan kembali tema alkitabiah tentang rumah dapat membantu kita menafsirkan arsitektur sosial gereja saat ini, mendiagnosis tantangan dan keterbatasannya, serta menyediakan jalan selanjutnya yang benar bagi para pemimpin gereja dan kaum umms.

Dalam kisah Alkitab, rumah Tuhan adalah tempat di mana Ia berdiam bersama dengan umat-Nya—yang berfungsi sebagai koordinat kehadiran Allah di bumi ini.

Pada awalnya, rumah Allah adalah sebidang tanah di Taman Eden, di mana Allah berjalan bersama Adam dan Hawa dalam kebahagiaan sebelum kejatuhan dalam dosa. Selanjutnya, Allah memerintahkan bangsa Israel untuk membangun rumah yang bisa dipindah-pindah selama masa Keluaran yang disebut Kemah Suci—yaitu properti yang berfungsi sebagai “tempat kudus” portabel dan tempat tinggal bagi Tuhan (Kel. 25:8).

Setelah pemerintahan Daud, putranya, Salomo, membangun sebuah rumah menetap yang disebut Bait Suci—tempat di mana Allah berdiam bersama umat pilihan-Nya. Yahweh berjanji bahwa di Bait Suci, “Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan tidak hendak meninggalkan umat-Ku Israel” (1Raj. 6:13).

Akan tetapi generasi-generasi berikutnya terjerumus ke dalam dosa—dan meskipun sudah ada peringatan dari para nabi, Bait Suci dihancurkan dan Israel diasingkan. Walau Bait Suci dibangun kembali selama pelayanan Ezra dan Nehemia, tetapi Bait Suci itu tidak pernah kembali ke masa kejayaannya. Sebaliknya, selama sekitar empat abad berikutnya, bangsa Israel terus dijajah oleh kekuatan asing, yang mengindikasikan tidak adanya kehadiran Tuhan.

Kemudian, pada abad pertama, Mesias hadir, dan tiba-tiba Allah “berdiam di antara kita” (Yoh. 1:14). Dalam satu Pribadi, yaitu Yesus, kepenuhan Allah datang untuk berdiam! Yesus menjadi Bait Allah yang baru, titik koordinat kehadiran Allah, tempat yang tepat di mana langit dan bumi bertemu.

Lalu, setelah penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Yesus, Roh Kudus turun ke atas para murid pada hari Pentakosta. Sejak saat itu, umat Allah itulah, yaitu gereja, yang akan menjadi tempat tinggal Allah.

Semua ini adalah kabar baik bagi kaum umms.

Menemukan rumah lagi

Meskipun saya dan istri sudah tidak lagi menjadi bagian dari gereja formal selama beberapa bulan terakhir, kami masih berkumpul dengan teman-teman setiap Senin malam untuk makan bersama, berdoa, dan merenungkan Kitab Suci. Kami memiliki sekelompok teman yang berpuasa bersama kami setiap hari Rabu. Sekelompok kecil mentor telah bergabung dengan kami lewat Zoom sebulan sekali untuk berdoa bagi masa depan kami.

Tak satu pun dari kegiatan ini yang secara resmi terhubung ke gereja yang terorganisir, tetapi ini hanyalah beberapa contoh bagaimana kaum umms dapat menavigasi masa-masa yang sulit ini—menemukan cara-cara unik untuk "tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang” (Ibr. 10:25).

Ingatlah, jarak kita tidak harus permanen. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, sebagian besar kaum umms berduka atas hilangnya komunitas Kristen, dan banyak orang yang berharap untuk kembali ke gereja. Meskipun mungkin mereka tergoda untuk menjauh dan bersikap kritis terhadap gereja, seperti banyak orang, kita harus ingat bahwa gereja—dengan segala keindahan dan kecacatannya—juga mencakup kaum umms!

Jadi, kapan pun Anda siap untuk berakar di gereja lokal sekali lagi, pertama-tama pertimbangkanlah orang-orang dalam hidup Anda yang sudah aktif di gereja mereka. Temui mereka di rumah dan di luar rumah—atau lebih baik lagi, undang mereka untuk makan bersama Anda. Orang-orang seperti itu dapat bertindak sebagai pintu depan gereja dan dapat berdoa bersama Anda saat Anda berusaha untuk berasimilasi kembali.

Jika Anda adalah gereja “yang disebut sudah menjadi dingin,” prioritaskan tempat-tempat di dekat rumah Anda yang menekankan misi di luar pertemuan hari Minggu. Entah itu binatu lokal atau tempat makan, trotoar atau pertemuan PGO, komunitas lingkungan dan fasilitas umum, semua itu dapat menjadi tempat yang tidak biasa bagi kaum umms, dones, dan nones untuk bertemu dengan umat Tuhan.

Terakhir, di masa pengungsian ini, kita dapat memupuk nilai-nilai keberanian dan kesabaran yang telah menjadi ciri orang-orang beriman turun-temurun.

Bahkan, waktu yang tidak menentu bagi kaum umms ini bertepatan dengan masa Prapaskah untuk berdoa dan berpuasa. Ada banyak hal yang diratapi dalam keadaan mengungsi, jadi kita bergabung dengan gereja global dalam hiruk-pikuk doa untuk memohon pertolongan. Dalam berpuasa, kita secara jasmani merasakan kepedihan karena dijauhkan dari persekutuan.

Ketika praktik-praktik Kristen seperti ini dilakukan dalam komunitas, hal ini menjadi cara bersama untuk membedakan dan terlibat dengan apa yang Tuhan lakukan di dunia. Ritual-ritual iman ini membuka kita pada kehadiran Yesus dalam ruang-ruang intim di rumah kita.

Salah satu dari sekian banyak alasan mengapa saya dan istri ingin mendirikan gereja adalah karena gereja adalah tempat yang tepat untuk mengembangkan kebajikan dan praktik-praktik seperti itu! Gereja berkumpul untuk mewartakan bahwa meski di tengah disorientasi, demotivasi, patah semangat, dan kurangnya keterlibatan di gereja sekalipun, Tuhan tidak meninggalkan kita.

Pada masa yang ditandai dengan begitu banyak kematian dan jarak, kita mengakui kebutuhan kita akan kehadiran Roh Kudus. Harapan saya bagi kaum umms adalah kiranya kasih dan kekaguman kita kepada Allah Tritunggal tidak akan menjadi stagnan—dan di tahun-tahun mendatang, kita masih bisa bersaksi, “Besar setia-Mu.”

Lalu bagi para pendeta yang ingin menjangkau kaum umms di wilayah mereka, ada baiknya untuk berpikir melampaui arsitektur sosial gereja saat ini (yaitu, kebaktian hari Minggu di sebuah gedung). Banyak pendeta sudah melakukan hal ini, tetapi bagi mereka yang belum, cobalah untuk membayangkan cara-cara yang unik agar “gereja” terjadi di rumah-rumah jemaat Anda selama seminggu—di mana orang-orang menjadi titik masuk utama bagi pelayanan.

Saya tidak menyarankan para pendeta menjual bangunan mereka atau membatalkan ibadah hari Minggu. Bangunan adalah sumber daya yang luar biasa dan pertemuan-pertemuan hari Minggu memfasilitasi perayaan berskala besar bagi jemaat yang ditandai dengan harapan akan kebangkitan. Akan tetapi ketika pertemuan hari Minggu menjadi satu-satunya pintu masuk ke gereja, kita pasti akan kehilangan banyak orang dari kaum umms, nones, dan dones di tengah kita.

Untuk sepenuhnya mengatasi realitas yang disoroti dan diperkuat oleh pandemi yang sedang berlangsung, gereja dan para pendetanya harus berusaha memulihkan arsitektur sosial yang berpusat pada orang alih-alih properti.

Mungkin para pendeta dan pemimpin dapat menandai peta rumah-rumah anggota gereja mereka dan menganggapnya sebagai perluasan dari gereja mereka—mendorong mereka agar mengundang tetangga untuk makan malam bersama. Banyak orang umms, nones, dan dones mungkin tidak bergabung dengan kebaktian Anda di hari Minggu pagi, tetapi mereka mungkin menikmati barbeku pada hari Sabtu sore di salah satu halaman belakang rumah jemaat Anda.

Bagaimana hal ini dapat menyegarkan misi gereja Anda atau menyelaraskan kembali sumber daya Anda?

Sekarang saya tahu bahwa bagi rekan-rekan saya yang pendeta, hal ini mungkin terdengar seperti tugas berat lainnya—selain aturan memakai masker, kesenjangan anggaran, pemakaman, dan kekacauan kehidupan gereja akibat virus corona yang Anda jalani.

Namun dengarkanlah perkataan Yesus ini: "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28). Yesus menghendaki agar kita menerima peristirahatan dari-Nya, dan rumah fisik kita adalah salah satu tempat suci yang kita gunakan untuk melakukan hal tersebut—mempraktikkan sabat dan keramahtamahan dengan pembatasan.

Saya juga menyadari bahwa bagi sebagian orang, rumah jasmani bukanlah sebuah pilihan karena alasan keamanan, ukuran, atau norma budaya. Apa pun itu, usulan saya tetap: Arsitektur sosial gereja dapat dan harus melampaui bangunan serta masuk ke dalam ruang sosial di mana pun umat Allah tinggal.

Kita semua, umat Allah, dibentuk oleh Pribadi Yesus. Ketika Yesus memperluas hadirat Allah di luar Bait Suci ke dalam rumah Simon dan Andreas, Maria dan Marta, Zakheus dan Yairus—Ia masih mengetuk pintu kita hari ini. Semoga Raja Kemuliaan masuk dan menjadi betah.

Mike Moore adalah direktur Program Teologi dan Misi di Northern Seminary (Lisle, IL), seorang pemimpin misi lokal di Resonate Global Mission, dan pendiri gereja di Chicago. Dia menjadi pembawa acara siniar Theology on Mission dan ditahbiskan oleh Christian Reformed Church.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Yohanes 3:16: Begitu Dikasihi, Begitu Familier

Kita membutuhkan pandangan yang segar untuk memahami ajaran dasar iman kita, tidak peduli berapa lama kita telah mempelajari Alkitab.

Christianity Today June 18, 2023
Jared Boggess

Dalam seri Close Reading ini, para ahli Alkitab merenungkan sebuah perikop dalam bidang keahlian mereka yang telah membentuk pemuridan mereka sendiri dan terus berbicara kepada mereka hingga saat ini.

Suatu malam yang hangat di bulan April, tim bisbol SMA saya tengah merayakan sebuah kemenangan besar. Kemudian salah satu pelatih meminta kami untuk berkumpul. Dengan nada serius, dia memberi tahu kami bahwa Merri Kathryn Prater, seorang teman baik dan teman sekelas, telah meninggal dunia beberapa hari setelah kecelakaan lalu lintas yang tragis. Kami semua langsung meledak dengan tangisan ratapan yang sangat kencang. Seorang teman sekelas di tribun memberi tahu bahwa suara tangisan kami yang tiba-tiba itu bagaikan ledakan senapan yang bergema di sekitar pegunungan yang mengelilingi lapangan bisbol kami di Kentucky Timur.

Ketika kami mulai tenang, banyak di antara kami yang pergi menuju gereja Merri Kathryn. Pendetanya, Mike Caudill (yang dikenal oleh jemaatnya sebagai Brother Mike), beserta para anggota gereja, berkumpul di sana untuk membantu para remaja setempat memproses berita kematian Merri Kathryn.

Saya ingat duduk di bangku gereja Hindman First Baptist Church bersama dengan rekan satu tim saya. Salah satu dari mereka, seorang Kristen seperti Merri Kathryn, membalik halaman-halaman Alkitab yang ada di bangku gereja dan membuka Yohanes 3:16, dan perlahan ia mulai membacakan ayat itu untuk saya.

“Jarvis, inilah artinya hidup,” katanya. Seingat saya, itu adalah pertama kalinya saya mendengar Yohanes 3:16. Pada saat itu, meski dilanda kesedihan dan keterkejutan, saya tidak tahu betapa berartinya ayat itu nanti di sepanjang hidup saya. Eksposisi rekan satu tim saya itu mengguncang saya dan membuat saya terdiam.

Pada hari-hari berikutnya, saya mempertimbangkan realitas kefanaan saya sendiri dan kebutuhan saya untuk menyerahkan hidup kepada Yesus Kristus dalam terang iman Merri Kathryn, kematiannya, dan kebenaran dari Yohanes 3:16. Anggota gereja Merri Kathryn telah bercerita tentang Injil kepada saya beberapa kali saat saya menjenguknya di rumah sakit.

Beberapa minggu kemudian, melalui panggilan telepon pada 22 April 1996, Brother Mike membimbing saya untuk percaya Tuhan. Saat itu saya berusia 17 tahun. Brother Mike membaptis saya, dan saya menjadi anggota gereja Merri Kathryn. Dalam sejarahnya, saya adalah orang Afrika-Amerika pertama yang bergabung dengan gereja ini.

Komunitas ini sangat mengasihi saya—bahkan lebih dari beberapa orang di keluarga saya sendiri. Mereka mengajari saya banyak hal tentang kasih kepada Tuhan, kasih kepada sesama, Injil, dan apa yang sekarang saya sebut sebagai keberagaman kerajaan Allah yang membawa penebusan. Saya bukan satu-satunya siswa di SMA saya yang menjadi seorang Kristen pada tahun itu. Kematian Merri Kathryn menyebabkan puluhan orang menjadi percaya Yesus di daerah saya yang berpenduduk beberapa ribu orang. Selama beberapa bulan, orang yang baru percaya berdatangan untuk meminta dibaptis.

Mulanya, isi dari Yohanes 3:16 terdengar segar namun juga membingungkan bagi saya ketika masih belum percaya Kristus, dan dalam berbagai cara yang berbeda, ayat ini masih terasa demikian ketika saya baru percaya. Selama kebangunan rohani di Hindman, saya memberitakan dan membagikan kesaksian saya, yang masih dalam kekaguman akan ayat tersebut. Namun mungkin ada banyak dari kita yang kemudian melupakan kuasa, kebenaran, dan implikasi dari ayat-ayat seperti Yohanes 3:16 seiring kita bertumbuh dewasa dalam iman.

Ayat-ayat yang familier bisa tampak seperti ABC dari iman Kristen—yaitu hal-hal yang harus dilampaui agar dapat minum dari sumur yang lebih mendalam. Namun jika kita memiliki sikap seperti ini, kita mungkin akan melupakan elemen-elemen kunci dari Injil Kristen dan kehilangan berbagai kebenaran yang lebih dalam yang ada di sana.

Setelah bertobat, saya mulai membagikan iman saya dan kebenaran dari Yohanes 3:16 ini kepada keluarga dan teman-teman dekat. Saya sering berbicara tentang menjadi seorang Kristen kepada paman yang membesarkan saya. Suatu malam dia menatap saya dengan wajah datar dan berkata, “Jarvis, saya tahu Yohanes 3:16.” Kemudian dia mengucapkannya kata demi kata. “Benar sekali!” ujar saya kepadanya. “Itulah sebabnya Paman perlu menyerahkan hidup Paman kepada Yesus sekarang, ‘karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.’”

Dia tahu ayat itu. Dia telah menghafalnya. Akan tetapi dia tidak pernah benar-benar memercayainya.

Berbulan-bulan pun berlalu, dan saya mulai merasakan panggilan untuk melayani. Atas dorongan dari gereja saya, untuk pertama kalinya saya berkhotbah di kebaktian Minggu kaum muda tahunan, dan beberapa orang muda mengaku percaya Kristus. Melihat Tuhan bekerja, gereja saya memutuskan untuk melanjutkan kebaktian-kebaktian seperti itu. Khotbah saya buruk, jujur saja. Saya tidak memiliki pendidikan teologi; saya hanya tahu Yesus telah menyelamatkan saya, dan saya ingin orang lain juga diselamatkan.

Setelah sering hadir, mendengar saya berkhotbah, melihat orang-orang merespons, dan mengetahui bagaimana hidup saya di rumah telah diubahkan, paman saya pun menyerahkan hidupnya kepada Yesus dalam sebuah kebaktian malam. Brother Mike membaptisnya, dan dia menjadi anggota Afrika-Amerika kedua dalam sejarah gereja kami. Tak lama kemudian, banyak anggota keluarga dan teman dekat lainnya yang juga menyerahkan hidup mereka kepada Yesus karena mereka mendengar dan percaya akan pesan kasih Allah bagi dunia dalam Yohanes 3:16.

Kini saya tahu Yohanes 3:16 adalah salah satu ayat yang paling terkenal di seluruh Alkitab. Ayat ini sering digunakan dalam penginjilan, seperti yang saya alami sendiri dan seperti ketika saya menjelaskan panggilan Kristus kepada orang lain. Karena pesannya yang familier dan mudah dipahami, orang Kristen terkadang kehilangan pandangan akan kekuatan dari ayat tersebut. Ini bukanlah sebuah ayat klise atau sekadar ABC yang harus dijalani oleh orang Kristen dewasa. Sebaliknya, Yohanes 3:16 mengandung kata-kata kehidupan.

Nikodemus, seorang pemimpin Yahudi dan orang Farisi, sama seperti banyak orang Kristen yang dibesarkan di gereja saat ini. Sejarawan Yahudi abad pertama, Josephus, yang juga seorang Farisi, memberi tahu kita bahwa orang Farisi memahami Kitab Suci dan penjelasan-penjelasan tradisional dengan sangat baik. Dia menggambarkan orang-orang Farisi sebagai “orang-orang yang dianggap paling ahli dalam menjelaskan hukum-hukum mereka dengan tepat.” Jadi Nikodemus pasti pernah terlibat dalam studi Alkitab yang canggih dan sangat mendetail.

Ketika dia datang untuk berbicara dengan Yesus dalam Yohanes 3, Nikodemus membuka percakapan dengan mengatakan bahwa dia tahu bahwa Yesus adalah seorang guru yang diutus Allah (Yoh. 3:2). Akan tetapi Yesus kemudian mengejutkan Nikodemus dengan mengatakan kepadanya bahwa pengakuannya terhadap Yesus sebagai seorang rabi yang baik tidaklah cukup. Dia tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah hanya dengan mengakui bahwa Yesus datang sebagai seorang guru yang diutus Allah. Yesus berkata bahwa Nikodemus harus dilahirkan kembali. Nikodemus menjadi bingung karena ia mengira Yesus sedang berbicara tentang kelahiran fisik dan bukan tentang kelahiran rohani. Jadi, Yesus menggunakan bahasa dari Yehezkiel 36:25-27, yang sudah tidak asing lagi baginya, untuk mengingatkannya tentang hal-hal yang pernah dikatakan oleh nabi tersebut.

Yesus melanjutkan dengan kisah tulah ular tedung di Bilangan 21, ketika Allah menyelamatkan umat-Nya yang melihat ular tembaga yang diangkat oleh Musa. Yesus berkata bahwa Allah juga akan meninggikan Anak-Nya (di kayu salib), sehingga setiap orang yang memandang-Nya dengan iman akan memperoleh hidup yang kekal. Kemudian Dia memberikan kebenaran kepada Nikodemus dari Yohanes 3:16.

Kita terlalu jarang seperti Nikodemus—yang terkejut dengan pesan Yesus—dan terlalu sering seperti Nikodemus, yang sudah "terlampau akrab" dengan Kitab Suci sehingga alih-alih merenungkannya dengan hati-hati, kita kehilangan kesempatan untuk ditransformasi kembali oleh Firman Allah.

Saya berkembang pesat sebagai seorang sarjana teologi maupun sebagai seorang Kristen, dalam pemahaman saya tentang Yohanes 3:16 dan Injil Yohanes. Sekarang saya tahu apa yang tidak saya ketahui pada saat itu. Yohanes 3:16 adalah bagian penting dari pesan Injil Yesus kepada Nikodemus. Namun ayat ini bukan semata-mata untuk penginjilan. Secara bertahap saya mulai memahami, ayat ini berisi janji kosmik, tantangan pribadi, dan juga penghiburan bagi orang beriman yang sudah dewasa.

Ada juga pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah saya bagian dari dunia yang dikasihi oleh Allah? Apakah demikian? Yohanes menggunakan istilah dunia dalam berbagai cara di Injilnya (termasuk di Yohanes 1:10 dan 3:19). Dalam Yohanes 3:16, ia menggunakan istilah dunia untuk merujuk pada bahasa, suku, kaum, dan bangsa.

Sebagai contoh, dalam Yohanes 12:19, setelah Yesus dengan penuh kemenangan memasuki Yerusalem, orang-orang Farisi menjadi cemas dengan banyaknya pengikut Yesus. Mereka mengeluh satu sama lain tentang Yesus, dengan berkata: “Lihatlah, seluruh dunia datang mengikuti Dia.” Ini bisa dianggap sebagai hiperbola. Akan tetapi konteksnya menunjukkan hal yang sebaliknya. Segera setelah keluhan ini, Yohanes mencatat kekhawatiran orang-orang Farisi tentang orang-orang Yunani yang ingin berbicara dengan Yesus (12:20-21). Orang-orang Farisi khawatir bahwa pengikut Yesus mencakup orang-orang dari bagian “dunia” lain. Setidaknya, sebagian dari kekhawatiran mereka tampaknya adalah bahwa Yesus menerima orang-orang yang berasal dari kelompok etnis lain, karena mereka khawatir akan dampak yang meluas dari pelayanan-Nya. Dengan kata lain, “dunia” dalam Yohanes 3:16 mengacu kepada orang Yahudi dan bukan Yahudi.

Dunia yang dikasihi Allah mencakup Anda dan saya. Setiap kelompok etnis tercakup di dalamnya.

Namun, menjadi bagian dari dunia yang dikasihi ini tidak selalu memberikan kenyamanan. Terkadang tidak mudah untuk merasa dikasihi dengan penuh pengorbanan ketika hidup ini menjadi begitu sulit dan ketika orang lain telah menorehkan begitu banyak luka.

Bagi saya, kesedihan datang dalam berbagai bentuk. Saya dan istri saya kehilangan dua bayi, pada tahun 2013 dan 2020. Lalu pada tahun 2018, bibi tercinta yang telah membesarkan saya meninggal dengan begitu mengenaskan. Sebagian besar penderitaan yang saya alami selama 26 tahun saya mengikut Yesus, disebabkan secara langsung oleh mereka yang mengaku menyukai Yohanes 3:16. (Untuk memperjelas, kasih yang saya alami dari saudara-saudari saya di dalam Kristus sangatlah besar, dan orang-orang non-Kristen juga telah menyebabkan saya mengalami kesulitan yang luar biasa).

Ketika saya memikirkan semua gejolak rasial yang telah terjadi di negara kami (AS) dan dunia sejak 1996, kekuatan kata-kata dari rekan satu tim saya saat itu terus menggetarkan saya. Dia adalah rekan satu tim saya dan juga seorang manusia. Akan tetapi dunia telah merasialkan dia sebagai orang kulit putih (dia adalah seorang Anglo-Amerika), dan dunia telah merasialkan saya sebagai orang kulit hitam (Saya orang Afrika-Amerika dengan warisan multietnis). Saat dia membacakan ayat itu untuk saya, Tuhan menunjukkan kepada kami kebenaran yang kuat dari ayat tersebut dalam interaksi kami satu sama lain.

Pembacaannya dari Yohanes 3:16 bagi saya malam itu jauh lebih berarti daripada yang saya sadari—lebih dari sekedar panggilan untuk percaya. Sekarang saya menghargai pemahaman yang lebih dalam dan luas tentang apa yang ayat ini ajarkan kepada kita sebagai pengikut Kristus, tentang keberagaman kerajaan Allah yang membawa penebusan-Nya, yaitu visi Allah untuk menebus orang-orang dari setiap bahasa, suku, dan bangsa di dalam Kristus; untuk mentransformasi mereka dengan kuasa Roh Kudus agar mengasihi Allah dan sesama; dan menjadikan mereka imamat yang rajani (1Ptr. 2:9; Kel. 19:6).

Kini Yohanes 3:16 menopang saya. Ayat ini mengingatkan saya bahwa kasih Tuhan berakar pada tindakan pengorbanan-Nya sendiri di dalam Yesus. Kebenaran dalam Yohanes 3:16 ini sangatlah penting ketika kita merasa tidak dikasihi dan tidak diterima. Kita mungkin merasa demikian sebelum kita mengenal Yesus. Namun ayat ini juga merupakan kebenaran yang penting untuk menguatkan kita di tengah perjalanan kita bersama Yesus dan saat kita mendekati akhir hidup kita.

Yohanes 3:16 memang memiliki arti sebagaimana yang saya pahami pada awalnya. Bagi mereka yang belum mengenal Injil, ayat ini secara efektif merangkum pesan keselamatan yang berbicara kepada saya dengan begitu kuat di masa remaja saya.

Bagi bibi saya, itu adalah awal dan akhir dari perjalanannya bersama Kristus—dalam kurun waktu enam minggu. Ketika berada di ICU menjelang akhir hidupnya, bibi saya memercayai kebenaran Yohanes 3:16 dan menyatakan imannya. Dia akan memiliki hidup yang kekal. Saya mengkhotbahkan ayat itu dan menceritakan tentang keselamatan yang diperoleh bibi saya pada saat pemakamannya.

Hal ini mungkin tampak terlalu sederhana, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Salah satu dari sekian banyak hal yang indah dari Yohanes 3:16 adalah ayat ini menunjukkan bahwa Yesus menyelamatkan seseorang pada saat ia percaya.

Harinya akan tiba ketika saya dan rekan satu tim saya itu akan berjumpa Merri Kathryn dan bibi saya serta bergabung dengan mereka dan dengan semua orang kudus dari sepanjang zaman. Pada hari yang luar biasa itu ketika Yesus kembali, kita akan bersama-sama menyembah Dia, Mesias Yahudi dan Raja yang telah bangkit, dengan segala bahasa, suku, kaum, dan bangsa di kota surgawi, karena Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya.

Jarvis J. Williams adalah profesor penafsiran Perjanjian Baru di Southern Baptist Theological Seminary dan pendeta di Sojourn Church Midtown di Louisville, Kentucky. Buku-bukunya antara lain Redemptive Kingdom Diversity dan The Spirit, Ethics, and Eternal Life.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Tiga Ketakutan Dallas Willard tentang Gerakan Formasi Spiritual

Mungkinkah kita telah melewatkan seluruh intinya?

Christianity Today June 18, 2023
Ilustrasi oleh Xiao Hua Yang

Sebagai seorang pemuda, saya memiliki hak istimewa untuk menjadi saksi mata kebangkitan gerakan formasi spiritual Kristen.

Gerakan ini dimulai, dalam bentuknya yang modern, pada tahun 1978, ketika Richard Foster menulis apa yang telah menjadi teks standar abadi tentang disiplin rohani, Celebration of Discipline. Dalam beberapa tahun setelah buku ini diterbitkan, orang-orang Kristen yang belum pernah mendengar tentang menyendiri, hening, atau meditasi, mulai mempraktikkan disiplin-disiplin ini.

Banyak hal baik yang terjadi, tetapi Richard melihat bahwa banyak orang Kristen mempraktikkan disiplin-disiplin ini secara terpisah dan membutuhkan lebih banyak bimbingan. Oleh karena itu pada tahun 1988, dia meminta Dallas Willard, saya, dan beberapa orang lainnya untuk bergabung dengannya dalam membentuk sebuah pelayanan formasi spiritual yang disebut Renovaré (bahasa Latin untuk “memperbaharui”).

Dallas, yang menjabat sebagai profesor filsafat di University of Southern California selama 40 tahun, merupakan salah satu perintis terpenting dalam gerakan formasi spiritual di kalangan Injili dan Protestan arus utama. Dia berteman dekat dengan Richard; bahkan, Dallas-lah yang pertama kali mengajari Richard tentang disiplin rohani, yang tentu saja bukanlah hal baru tetapi berakar pada pengajaran gereja kuno.

Pada masa-masa awal, kami mengalami banyak perlawanan. Beberapa orang Injili yakin bahwa ajaran kami tentang formasi spiritual adalah berbahaya dan merupakan pekerjaan Iblis. Orang-orang berkumpul di luar konferensi kecil yang kami adakan, sambil memegang spanduk dengan pesan seperti “Bidat Zaman Baru: Waspadalah.” Namun gerakan ini terus berkembang.

Selama bertahun-tahun persahabatan mereka, Richard mendorong Dallas untuk menulis tentang formasi spiritual Kristen, dan Dallas akhirnya menulis banyak buku yang berpengaruh, di antaranya adalah The Spirit of the Disciplines; Renovation of the Heart; dan karya besarnya, The Divine Conspiracy.

Banyak orang lain bergabung dalam upaya serupa. Tulisan-tulisan Eugene Peterson menjadi buku terlaris. Buku-buku karya tokoh kontemplatif Katolik seperti Thomas Merton dan Henri Nouwen dibawa-bawa oleh orang-orang Presbiterian dan Metodis—dan bahkan beberapa orang Baptis. James Houston memberikan landasan akademis dari basisnya di Regent College. Pada tahun 1992, Dallas mulai mengajar mata kuliah yang paling populer dalam program doktor ministri di Fuller Theological Seminary, yang disebut Spiritualitas dan Pelayanan. Bahkan, mata kuliah ini menjadi sangat populer sehingga Fuller mempekerjakan saya untuk melayani sebagai asisten Dallas—yang saya lakukan selama hampir satu dekade.

Pada tahun 2005, kami mengadakan Konferensi Internasional Renovaré di Denver yang dihadiri lebih dari 2.500 orang. Ketika saya berjalan ke auditorium, saya merasa takjub. Saya menoleh ke Richard dan berkata, “Sesuatu telah berubah. Kita telah berubah dari yang tadinya tidak dikenal kemudian menjadi populer dalam waktu kurang dari 20 tahun."

Memang benar. Sesuatu telah berubah. Tak lama kemudian, semakin banyak rohaniwan dan jemaat yang membaca buku-buku tentang formasi spiritual. Pelayanan formasi spiritual lainnya pun mulai didirikan. Para penerbit Kristen juga membuat seri buku dan cetakan khusus yang berfokus pada formasi spiritual. Perguruan tinggi dan seminari mulai menawarkan program pascasarjana tentang formasi spiritual.

Saya memerhatikan bahwa bahkan jabatan-jabatan pastoral pun mulai berubah; alih-alih “pendeta pendidikan Kristen” atau bahkan “pendeta pemuridan”, semakin banyak peran “pendeta formasi spiritual” di gereja.

Namun secara pribadi, saya melihat sesuatu yang lain selama beberapa dekade tersebut: Dallas menyuarakan keprihatinan yang serius tentang masa depan gerakan itu.

Ketakutan-ketakutan Profetik

Selama bertahun-tahun hingga Dallas meninggal pada tahun 2013, saya melakukan beberapa percakapan dengannya tentang kebangkitan gerakan formasi spiritual. Dallas memberi tahu saya bahwa ia senang orang-orang tertarik pada formasi spiritual dan itu adalah tanda kelaparan yang mendalam serta kebutuhan yang sangat besar dalam gereja.

Namun ia khawatir bahwa fokusnya akan tertuju pada praktik disiplin rohani itu sendiri dan bukan pada apa yang seharusnya dilakukan. Dallas merasa hal ini secara alami akan luntur menjadi sebuah fokus pada teknik dari latihan-latihan rohani tersebut—pada bagaimana dan bukan pada mengapa.

Dallas juga khawatir bahwa gereja hanya berminat terhadap formasi spiritual sebagai alat pertumbuhan gereja—dan bahwa, karena kemungkinan besar hal ini tidak akan menghasilkan pertumbuhan secara jumlah, para pemimpin kemudian akan menempatkan formasi spiritual menjadi sekadar salah satu dari banyak departemen di dalam gereja, daripada melihatnya sebagai pusat dari misi mereka.

Akhirnya, ia khawatir bahwa demi memvalidasi pelayanan ini dan memastikan keberlangsungannya, semakin banyaknya jumlah pelayanan formasi spiritual akan melahirkan persaingan satu sama lain, alih-alih bekerja sama.

Saya telah merenungkan keprihatinan ini selama hampir satu dekade, dan saya percaya bahwa apa yang dikhawatirkan Dallas bersifat profetik. Saat ini, ada penekanan yang kuat untuk mempraktikkan disiplin-disiplin rohani tersebut secara terpisah. Hampir setiap minggu saya menerima sebuah buku baru tentang formasi spiritualitas Kristen, dan hampir semuanya tentang praktik tertentu, seperti memperlambat, menyendiri, berpuasa dari teknologi, menggunakan Enneagram, jurnal syukur, atau membuat aturan hidup. Buku-buku tersebut memberi perhatian besar pada bagaimana metode tertentu dilakukan, sambil memperjuangkan manfaatnya yang nyata, tetapi buku-buku itu lalai dalam membantu pembaca agar benar-benar memahami atau menumbuhkan mengapa dengan lebih mendalam.

Saya memang sering melihat gereja-gereja berjuang untuk mengintegrasikan formasi spiritual ke dalam kehidupan jemaat. Meskipun banyak gereja memiliki departemen formasi spiritual dan pemuridan, mereka cenderung berfokus pada program, acara, atau komisi-komisi di dalam gereja mereka, daripada memandang formasi spiritual sebagai aspek yang diharapkan dari menjadi seorang Kristen bagi semua orang.

Saya pun telah melihat—dan mengalami sendiri—semangat persaingan di antara para pemimpin formasi spiritual dan organisasi yang pernah Dallas peringatkan. Jarang sekali saya melihat jenis kerja sama yang menurut Dallas diperlukan.

Dalam salah satu percakapan terakhir kami, saya bertanya kepada Dallas apa yang akan dipertaruhkan jika ketakutannya menjadi kenyataan. Jawabannya: “Kurangnya transformasi untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus.”

Inilah inti permasalahannya: formasi spiritualitas Kristen harus benar-benar tentang formasi—tentang menjadi serupa dengan Kristus (2Kor. 3:18; Gal. 4:19). Pada akhirnya, pertanyaannya bukan tentang disiplin atau program atau teknik. Pertanyaannya adalah: Apakah orang-orang menjadi lebih serupa dengan Kristus? Itulah ketakutan terdalam Dallas.

Ketakutan #1: Teknik tanpa transformasi

Karena Dallas telah tiada, saya baru-baru ini melakukan “tur mendengarkan” dan berbicara dengan beberapa rekan dan anggota keluarga terdekatnya tentang apa yang mungkin dikatakan Dallas hari ini mengenai telah berkembang sampai di mana gerakan formasi ini dan ke mana arahnya. Saya berbicara dengan Richard Foster; John Ortberg; Steve Porter; Keith Matthews; istri Dallas, Jane Willard; dan putrinya, Becky Willard Heatley. Percakapan tersebut sangat mencerahkan dan membesarkan hati, tetapi bukan berarti tanpa rasa kehati-hatian dan keprihatinan.

Untuk memahami ketakutan Dallas, akan sangat membantu jika kita memahami model formasi spiritual Dallas, yang bertujuan untuk apa yang ia sebut sebagai mengenakan “pikiran Kristus.” Dalam pandangan Dallas, hal ini berarti mengadopsi narasi-narasi Yesus tentang isu-isu kunci seperti karakter Allah Bapa, sifat pribadi manusia sebagai jiwa yang terwujud, dan realitas kerajaan Allah saat ini.

Dallas mengajarkan bahwa disiplin rohani seperti berdoa, menyendiri, dan menghafal Kitab Suci hanyalah salah satu bagian dari proses formasi spiritual. Bagian kedua adalah karya Roh Kudus, dan yang ketiga adalah belajar bagaimana melihat pencobaan dan peristiwa kehidupan dalam terang kehadiran dan kuasa Allah.

Salah satu ketakutan Dallas—sesuatu yang pada dasarnya telah ia prediksi—adalah bahwa ketertarikan pada praktik disiplin rohani, meskipun penting, akan menutupi dua bagian lainnya. Bagaimana ia mengetahui hal ini? Karena praktik disiplin rohani, meskipun menantang, secara alami memiliki hasil yang langsung terasa. Mengukur pertumbuhan rohani itu sendiri adalah hal yang sulit; namun mengetahui apakah seseorang telah menyelesaikan suatu praktik devosional itu persoalan yang mudah. Jika saya menghabiskan lima menit untuk berdoa atau 15 menit untuk membaca buku renungan, saya akan merasa seolah-olah saya telah melakukan sesuatu yang “spiritual.” Tindakan-tindakan ini memang sangat mungkin mengarah pada rasa keterhubungan dengan Tuhan.

Akan tetapi hal-hal itu juga dapat merupakan tindakan legalisme, yang merupakan kegagalan orang-orang Farisi yang berpuasa, bersedekah, dan berdoa agar “dilihat” orang (Mat. 6). Legalisme adalah suatu tindakan untuk mendapatkan upah—misalnya dengan berpikir saya berpuasa minggu ini, jadi saya mengharapkan berkat dari Tuhan. Jika saya percaya bahwa Tuhan memberi hukuman dan berkat berdasarkan praktik keagamaan saya, maka saya akan segera mengubah disiplin rohani menjadi legalisme.

Beberapa tahun yang lalu, seorang wanita di gereja saya merasa bahwa dia harus memiliki “saat teduh” setiap hari (yang mencakup membaca renungan pilihan dari buku renungan hariannya) agar Tuhan memberkati hidupnya. Ia berpikir bahwa jika dia melakukan saat teduh yang lebih lama, dia akan mendapat lebih banyak berkat. Pada satu titik, dia sampai membaca tujuh buku renungan selama waktu doanya. Saya menjelaskan kepadanya bahwa disiplin rohani hanya mengerjakan satu dari dua hal: menghubungkan kita dengan Tuhan atau membantu mematahkan kuasa dosa. Ketika dia mengetahui hal ini, pendekatannya terhadap disiplin-disiplin rohani tersebut pun berubah secara substansial.

Becky Willard Heatley berbicara dengan saya tentang keprihatinan ayahnya bahwa disiplin-disiplin rohani akan “ditinggikan dan dipisahkan” dari transformasi lainnya. “Ia percaya ini akan berbahaya,” katanya, karena disiplin-disiplin rohani itu kemudian menjadi suatu bentuk penyembahan berhala—di mana cara menjadi tujuan. Kita menjadi lebih fokus pada disiplin-disiplin rohani tersebut daripada kepada Tuhan, mematahkan cengkeraman dosa, atau merawat jiwa kita.

Steve Porter, seorang profesor di Biola University yang mengedit Journal of Spiritual Formation and Soul Care dan dekat dengan Dallas, percaya bahwa ketakutan Dallas tentang meninggikan dan memisahkan disiplin-disiplin rohani tersebut adalah karena hal itu akan mengabaikan alasan historis, alkitabiah, teologis, dan antropologis di balik disiplin-disiplin rohani tersebut.

Saya sendiri telah mengalami hal ini. Saya diundang untuk berbicara di sebuah gereja Injili yang besar tentang formasi spiritual. Yang mengundang saya adalah pendeta wanita bidang formasi spiritual, yang bersemangat untuk menunjukkan kepada saya apa yang telah dia lakukan dalam peran ini dan meminta nasihat untuk membantu jemaatnya agar bertumbuh secara rohani.

Ia juga sangat ingin menunjukkan kepada saya hasil dari proyek yang dikerjakannya selama setahun: sebuah labirin di luar ruangan. Saya terkejut, bahkan sedikit terhenyak. Ini adalah sebuah gereja Injili, dan labirin sering kali menjadi subjek yang diamati secara kritis di banyak kalangan Injili. Namun, labirin itu ada di sini, besar dan ditata dengan indah. Ia mengatakan kepada saya bahwa labirin ini sangat disukai banyak orang di gereja.

Saya mengajukan beberapa pertanyaan. Mengapa dia merasa terpanggil untuk membuat labirin ini? Dia berkata bahwa pengalamannya di labirin telah menuntunnya pada suatu terobosan dalam keyakinannya sendiri dan dia ingin orang lain mengalaminya juga. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia merasakan kedamaian batin yang mendalam ketika dia berjalan di labirin.

Apakah dia mengajarkan sejarah Kristen tentang labirin dan tujuannya kepada para peserta? Dia menjawab bahwa dia telah membuat pamflet yang mengajarkan para peserta cara menggunakan labirin.

Apa yang dia harapkan dari hal tersebut? Dia menjelaskan bahwa dia mencoba untuk menunjukkan betapa pentingnya formasi spiritual di gereja lokal. Dia merasa bahwa jika labirin tersebut menjadi populer, maka hal itu akan “memvalidasi” pelayanannya di gereja.

Saat saya mempertimbangkan contoh ini dalam kaitannya dengan keprihatinan Dallas, persoalan yang lebih mendalam bukanlah tentang apakah labirin merupakan praktik yang ortodoks, atau apakah hal itu memupuk rasa kedamaian batiniah atau tentang bagaimana melakukannya dengan benar, atau tentang memvalidasi pelayanan formasi spiritual seorang pendeta.

Terlepas dari penekanan dalam banyak buku terkini tentang disiplin rohani, praktik-praktik ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi stres, mengatur rutinitas harian seseorang, memahami kepribadian seseorang dengan lebih baik, memiliki “pengalaman spiritual,” atau memperoleh sejumlah manfaat tambahan lainnya yang sering dihasilkan dari disiplin rohani tersebut. Semua ini merupakan hal yang sekunder dibandingkan dengan tujuan untuk menjadi semakin serupa Kristus.

Banyak dari kita telah membiarkan disiplin rohani menjadi suatu bentuk penyembahan berhala, yang terpisah dari pemahaman historis, alkitabiah, teologis, dan antropologis. Banyak dari kita secara tidak sengaja berasumsi bahwa praktik-praktik ini akan mengubah kita. Akan tetapi praktik itu sendiri tidak berdaya tanpa Tuhan.

Kita harus berhati-hati agar tidak membiarkan disiplin rohani tersebut menutupi alasan utama untuk mempraktikkannya: untuk memperdalam hubungan kita dengan Tuhan dan menciptakan ruang bagi kasih karunia Allah agar bekerja dalam hidup kita.

Ketakutan #2: ABC tanpa D

Ketakutan lain yang disuarakan Dallas adalah berkaitan dengan gereja. Ia adalah seseorang yang sangat mendukung gereja lokal. Ia percaya bahwa salah satu peran utama gereja adalah untuk menciptakan murid-murid seperti yang diamanatkan Kristus dalam Amanat Agung (Mat. 28:16–20). Premis inti dari bukunya yang berjudul The Great Omission adalah bahwa banyak gereja kita mengabaikan inti dari Amanat Agung itu: untuk “menjadikan murid,” yang pada gilirannya berarti “mengajarkan mereka menaati segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.”

Dallas percaya bahwa penekanan di banyak gereja Injili adalah pada persoalan “menjadikan orang Kristen,” dan bukannya memuridkan. Ide-ide ini seharusnya identik, tetapi ternyata tidak. Dallas sering berkomentar bahwa saat ini seseorang dapat menjadi seorang Kristen (berdasarkan pengakuan iman) tanpa menjadi—atau bahkan berniat menjadi—seorang murid. Dengan kata lain, seseorang dapat merasa yakin bahwa ia adalah seorang Kristen karena menyetujui sebuah doktrin (seperti “Yesus bangkit dari kematian”) tanpa berniat melakukan apa yang Yesus katakan untuk kita lakukan (seperti “Berkatilah mereka yang mengutukmu,” “Kasihilah musuhmu,” dan seterusnya).

Fenomena ini, menurut Dallas, berakar pada sesuatu yang lebih mendalam: ukuran yang cenderung kita gunakan untuk mengukur kesuksesan gereja. Dallas menyebut ukuran-ukuran umum ini sebagai “ABC”—attendance (kehadiran), building (bangunan), dan cash (uang). Sebagai contoh, jika kita melihat sebuah gereja dengan 75 orang yang bertemu di sebuah gedung tua dan hanya memiliki sedikit uang untuk membiayai staf atau pelayanan, kita mungkin berasumsi bahwa jemaat itu, seperti yang sering dikatakan Richard Foster, adalah “sebuah kegagalan kecil di papan skor gerejawi.” Sebaliknya, jika kita melihat sebuah gereja yang memiliki 5.000 jemaat setiap minggu, sebuah kampus yang sangat besar, sehingga jemaatnya harus diantar dengan mobil golf, dan uang untuk mendanai pelayanan yang tak terhitung jumlahnya, kita mungkin berasumsi bahwa gereja ini benar-benar sukses besar.

Namun Dallas sangat percaya bahwa “kesuksesan” gereja (jika Anda menyebutnya demikian) seharusnya tidak diukur dengan ABC, tetapi dengan D—discipleship (pemuridan). Dallas menunjukkan bahwa Yesus tidak tertarik untuk membuat gereja yang lebih besar, melainkan membuat “orang Kristen yang lebih besar.” Dalam hal ini, sebuah gereja yang beranggotakan 75 orang yang bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus bisa menjadi jauh lebih sukses daripada gereja yang beranggotakan 5.000 orang yang tidak terlibat dalam memuridkan para anggota jemaatnya.

Dalam pandangan Dallas, formasi spiritual tidak boleh direndahkan menjadi suatu program atau retret; sebaliknya, formasi spiritual sangatlah penting bagi kehidupan bersama jemaat kita.

Dalam gereja-gereja yang mengabaikan pemuridan, anggota jemaat yang benar-benar beralih ke dalam kehidupan iman yang lebih dewasa sering kali menjadi terasing. Hal ini pada dasarnya merupakan temuan dari sebuah penelitian di tahun 2007 yang banyak dibahas oleh Willow Creek Community Church. Penekanan gereja besar ini adalah untuk mengubah para simpatisan menjadi anggota jemaat, dan itu berhasil. Namun ketika beberapa dari mereka mulai mengalami pertumbuhan yang berarti dalam kehidupan rohani, mereka merasa tidak ada tempat lagi bagi mereka.

Mereka yang mendambakan kehidupan yang lebih mendalam menemukan tempat berlindung dalam pelayanan formasi spiritual di luar gereja: Ruth Haley Barton’s Transforming Center, the Renovaré Institute, the School of Kingdom Living, atau the Apprentice Institute. Pelayanan-pelayanan semacam ini menjadi komunitas standar bagi banyak orang yang tidak dapat menemukan keterlibatan yang bermakna dengan formasi spiritual di gereja lokal mereka.

Keith Matthews, seorang profesor seminari di Azusa Pacific University yang bekerja sama erat dengan Dallas daripada siapa pun yang saya kenal, memberi tahu saya, “Dallas sudah meramalkan bahwa untuk menciptakan sebuah komunitas iman yang dapat mendukung transformasi yang nyata, hal ini akan menjadi sebuah tantangan. Ia melihat bahwa bagi kebanyakan orang, transformasi masih merupakan upaya individu. Tanpa komunitas, pertumbuhan yang berkelanjutan akan sangat sulit.”

Sejak awal pelayanan kami dengan Renovaré, kami sering melihat orang-orang bertumbuh dalam kehidupan rohani mereka hanya untuk mendapati bahwa gereja mereka sendiri tidak menyukai, bahkan memusuhi, usaha mereka. Sepasang suami istri yang mengikuti setiap pelayanan yang ditawarkan Renovaré dan telah mengalami transformasi yang nyata secara pribadi, pergi ke gereja lokal mereka di Texas dengan harapan dapat membagikan metode pemuridan ini kepada orang lain. Namun pendeta seniornya memberi tahu mereka bahwa mereka dapat memimpin kelompok kecil, tetapi dia tidak akan mendukungnya. Hal ini berlangsung selama satu dekade. Kemudian, ketika pendeta senior itu sendiri akhirnya mengikuti program formasi spiritual, dia diyakinkan bahwa hal itu penting. Dia pun mendorong seluruh jemaat gereja untuk terlibat.

Salah satu kendala dalam menekankan formasi spiritual di seluruh jemaat adalah bahwa hal itu sering kali tidak mengarah pada pertumbuhan secara jumlah. Dallas tahu bahwa jika seorang pendeta berfokus pada pemuridan semacam ini dalam kehidupan jemaat, hal itu dapat menyebabkan penurunan kehadiran—yang disebut Dallas sebagai “penurunan yang kudus.” Pemuridan dan formasi spiritual adalah proses yang lambat dan sulit—sebuah tantangan di dunia yang lebih menyukai sesuatu yang cepat dan mudah.

“Tidaklah adil untuk mengatakan bahwa para pendeta menolak upaya-upaya formasi spiritual karena upaya tersebut tidak secara langsung menumbuhkan jumlah jemaat,” kata John Ortberg kepada saya. “Mereka mengabaikannya begitu saja karena mereka percaya hal itu akan menjauhkan mereka dari hal-hal yang akan meningkatkan jumlah kehadiran jemaat mereka.”

Meskipun banyak gereja sekarang mungkin mempekerjakan seorang “pendeta formasi spiritual,” banyak dari mereka yang hanya menerima sedikit pelatihan dalam formasi spiritual itu dan landasan sejarah serta teologisnya. Pada gereja yang membangun labirin itu, misalnya, saya bertanya kepada pendeta formasi spiritual di mana dia memperoleh pelatihannya. Dia menjelaskan bahwa dia tidak memiliki pelatihan formal, tetapi formasi spiritual adalah “passion”-nya dan oleh karena itu pendeta senior menunjuknya untuk peran ini.

Tujuan saya bukan untuk mengkritik pendeta ini atau orang lain karena kurangnya pelatihan. Akan tetapi para pendeta yang bermaksud baik namun tidak memiliki pemahaman teologis, historis, dan antropologis yang lebih luas tentang formasi spiritual, seperti yang dicatat oleh Steve Porter, bisa jadi akan mewujudkan ketakutan Dallas yang pertama: fokus pada disiplin rohani dengan mengesampingkan pendekatan yang lebih holistik untuk transformasi.

Dalam Renovation of the Heart, Dallas menulis, “Saya jarang sekali bertemu seseorang yang berada dalam posisi kepemimpinan di antara umat Kristus yang tidak melakukan yang terbaik untuk melayani Kristus dengan cara terbaik yang dia tahu—biasanya dengan pengorbanan, dan sering kali dengan dampak yang sangat yang baik. Namun kita perlu memahami bagaimana kita bisa melakukannya dengan lebih baik lagi.”

Ketakutan #3: Persaingan di atas kerja sama

Keprihatinan Dallas yang terakhir adalah mengenai banyaknya pelayanan formasi spiritual yang muncul seiring dengan pertumbuhan gerakan ini. Pada satu sisi, ia sangat senang melihat semakin banyak orang mendirikan pusat retret, program, institut, dan pelatihan akademik dan non-akademik. Namun di sisi lain, Dallas sangat menyadari adanya potensi masalah: ia takut para pemimpin pelayanan akan memandang orang lain sebagai pesaing dan tidak mau bekerja sama satu sama lain.

Saya sendiri telah mengalaminya. Pada tahun 2009, saya menawarkan sebuah program baru yang saya buat untuk menjadi bagian dari keseluruhan pelayanan di Renovaré. Namun Richard dan yang lainnya merasa sudah waktunya bagi saya untuk "meninggalkan sarang" dan membangun program yang terpisah. Jadi kami mendirikan Apprentice Institute for Christian Spiritual Formation di Friends University pada akhir tahun itu.

Hampir seketika, saya merasa bahwa setiap program yang kami kembangkan dan sumber daya yang kami ciptakan merupakan ancaman bagi pelayanan formasi spiritual lainnya. Saya tergoda untuk melihat organisasi-organisasi lain atau pemimpin mereka sebagai saingan. Saya membagikan keprihatinan saya dengan Dallas, dan dia memberi tahu saya bahwa ini adalah ketakutan yang dia miliki tentang gerakan tersebut: “Kebutuhannya sangat besar sehingga, bahkan sekalipun kita bersatu, kita akan kesulitan untuk memberi dampak.”

Fenomena ini bukanlah hal yang baru. Persaingan sudah umum terjadi di dalam gereja sejak zaman para rasul—aku dari golongan Paulus, aku dari golongan Petrus, aku dari golongan Apolos (1Kor. 1:12; 3:4). Dallas tahu bahwa hal ini terutama benar terjadi tidak hanya di dalam tetapi juga di antara gereja.

Saya pernah mengundang Dallas untuk berbicara di hadapan sekelompok pendeta. Lalu dia memberikan sebuah kalimat untuk dilengkapi: “Pekerjaan yang terpenting dari seorang pendeta adalah…” Kemudian ia berhenti bicara dan kami semua agak membungkuk ke depan, ingin sekali mendengar jawabannya. Dia melanjutkan: “Pekerjaan yang terpenting dari seorang pendeta adalah berdoa untuk keberhasilan gereja-gereja di wilayah mereka.”

Ini bukanlah jawaban yang kami harapkan. Saya pikir ia akan mengatakan sesuatu seperti, “Pekerjaan yang terpenting dari seorang pendeta adalah menghafal dan merenungkan Alkitab,” atau “memiliki Sabat yang teratur.”

Akan tetapi Dallas menjelaskan bahwa jika para pendeta dapat berdoa dengan tulus untuk keberhasilan gereja-gereja di wilayah mereka—yaitu gereja-gereja yang secara alami dapat dilihat sebagai pesaing—maka hati para pendeta tersebut akan benar-benar selaras dengan kerajaan Allah. “Bagaimanapun juga,” katanya, “kita semua berada dalam satu tim yang sama.”

Pola pikir yang kompetitif mengenai gereja atau pelayanan formasi spiritual seseorang mungkin merupakan naluri manusia yang sangat alamiah. Namun jika kita serius ingin mengenakan pikiran Kristus, jelaslah bahwa semangat persaingan tidak selaras dengan nilai-nilai kerajaan-Nya. Kita berada di tim yang sama, dan transformasi menjadi serupa Kristus dibuktikan dengan keinginan kita untuk mendahulukan kepentingan Kerajaan Allah.

Teman saya, James Catford, pemimpin senior di Renovaré, menggunakan analogi penyelamatan di Dunkirk dalam Perang Dunia II untuk menjelaskan semangat yang ingin ditunjukkan Dallas kepada kita.

Pada momen penting dalam perang tersebut, ribuan tentara Inggris dan Sekutu terdampar di Dunkirk, Prancis, tepat di seberang Selat Inggris. Seperti yang digambarkan dalam film populer dengan judul yang sama, Dunkirk, pasukan itu berada di bawah ancaman konstan dari Luftwaffe, dan tidak ada kapal angkatan laut Inggris yang cukup untuk menyelamatkan mereka semua. Jadi pemerintah meminta setiap warga sipil Inggris yang memiliki perahu untuk menyeberangi selat itu dan menjemput para tentara.

Kapal dari segala bentuk dan ukuran berangkat dan membawa pulang lebih dari 338.000 tentara Inggris dan Sekutu. Sebagian orang percaya bahwa tanpa upaya bersama ini, Jerman akan memenangkan perang.

Dalam gerakan formasi spiritual, jika kita memperhatikan keprihatinan Dallas, maka setiap orang yang memiliki “perahu”—sebuah pelayanan, program, buku, pusat retret, siniar formasi spiritual, dan seterusnya—perlu bersatu dalam pelayanan yang sangat dibutuhkan ini: memuridkan orang-orang yang benar-benar diubahkan. Semoga kita waspada terhadap bahaya yang menjerumuskan kita ke dalam semangat persaingan; semoga kita terus-menerus dan dengan rendah hati mengundang Yesus agar menjaga hati kita tetap selaras dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Kita semua benar-benar terlibat bersama-sama dalam hal ini.

Belum lama ini, saya menghabiskan waktu satu jam dalam pertemuan Zoom dengan presiden Renovaré yang baru, Ted Harro, di mana kami membahas pekerjaan dari dua pelayanan formasi spiritual kami.

“Saya hanya memikirkan satu hal, Jim,” kata Ted. “Bagaimana kami bisa menjadi mitra terbaik untuk membantu Anda mengerjakan pelayanan yang sedang Anda lakukan?”

Saya mengatakan kepadanya bahwa saya juga memiliki minat yang sama persis. Pada saat itu, saya merasa seolah-olah di suatu tempat yang mulia, Dallas sedang bersukacita.

James Bryan Smith adalah Ketua Christian Spiritual Formation di Friends University, direktur eksekutif Apprentice Institute, dan penulis The Good and Beautiful God.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Wafat: Pat Robertson, Pelopor Penyiaran yang Membawa TV Kristen ke Arus Utama

Dengan CBN, The 700 Club, Regent, Christian Coalition, dan pencalonan diri sebagai presiden, dia mengubah kedudukan kaum Injili dalam kehidupan publik.

Christianity Today June 8, 2023
Gambar: Pat Robertson / suntingan oleh Rick Szuecs

Lebih dari enam dekade di depan kamera, Pat Robertson membawa kepekaan Pentakosta dan politik konservatifnya ke dalam jutaan ruang tamu sebagai pelopor televisi Kristen dan pemimpin Christian Coalition.

Penyiar yang blak-blakan itu wafat pada hari Kamis di usia 93 tahun, di Virginia Beach, tempat didirikannya Christian Broadcasting Network (CBN) dan Regent University. Robertson mengundurkan diri sebagai pembawa acara program unggulan CBN, yaitu The Club 700, pada tahun 2021 di usia 91, meskipun ia terus tampil dalam segmen Tanya Jawab bulanan.

Selama karir pertelevisiannya, mantan calon presiden dari Partai Republik ini telah mewawancarai lima presiden AS dan puluhan pemimpin global; mendoakan jutaan pemirsa; memberikan prediksi politik; dan menimbulkan kontroversi dengan komentar spontannya yang menggambarkan bencana seperti angin topan, gempa bumi, dan serangan 9/11 sebagai penghakiman Tuhan.

Meskipun pernyataan-pernyataannya yang kontroversial menarik banyak perhatian di tahun-tahun terakhirnya, Robertson juga merupakan salah satu tokoh Injili yang paling berpengaruh di abad ke-20, dengan semangat kewirausahaan dan kemauan untuk melakukan apa pun yang menurutnya adalah kehendak Tuhan.

“Robertson telah membentuk tiga perkembangan utama dalam agama: pembaruan karismatik, TV Kristen, dan politik Injili,” tulis CT dalam profil Robertson pada tahun 1996. “Bersama-sama, tiga perkembangan ini membantu mengubah gerakan Injili dari sebuah kelompok kecil yang bertahan menjadi sebuah kekuatan utama dalam kekristenan di Amerika.”

Sebelum CBN menjadi kekuatan pembangkit penyiaran seperti sekarang ini—dengan anggaran tahunan sebesar $300 juta dan jangkauan di 174 negara—ini adalah sebuah stasiun televisi Virginia yang sudah tidak beroperasi dan sebuah panggilan dari Tuhan.

Tidak ada model TV Kristen yang sukses ketika Robertson membeli sebuah fasilitas rusak di Portsmouth, Virginia, dan meluncurkan WYAH-TV (dinamai Yahweh) pada tahun 1961, yang menayangkan tiga jam program acara setiap malam dari satu kamera hitam-putih. Tahun-tahun awal itu melelahkan, memusingkan, dan serampangan, tetapi bagi pengusaha Pentakosta ini, stasiun televisi itu terasa seperti sebuah mukjizat.

Telethon pertama dari CBN meluncurkan The 700 Club pada tahun 1963, yang merekrut 700 pemirsa agar menyumbangkan $10 per bulan untuk menutupi biaya stasiun televisi tersebut; tiga tahun kemudian, muncullah sebuah acara yang memakai nama tersebut.

Robertson membuat stasiun TV itu terus berkembang dengan lebih banyak penggalangan dana, lebih banyak talenta—penginjil Jim dan Tammy Bakker bergabung di tahun ‘65—dan dengan teknologi baru. Kemudian disusul oleh Praise the Lord (PTL) Network dan Trinity Broadcasting Network.

Robertson menjadi salah satu tokoh eksekutif TV pertama yang berinvestasi pada satelit, yang memungkinkan CBN menyiarkan telethon tahunannya di 18 kota dan meluncurkan jaringan kabel 24 jam pada tahun 1977. Dalam satu dekade, CBN hadir di 9 juta rumah.

Sebagaimana yang dilaporkan CT pada tahun 1982, “CBN mulai mengganti mimbar dan Alkitab King James dengan sofa bergaya Johnny Carson dan bahasa opera sabun sehari-hari. Acara utama yang dibawakannya, The 700 Club, memakai format majalah yang ceria, lengkap dengan spot berita dari Washington, D.C. Program-program lain menyerupai jajaran TV Guide yang sudah dikenal, dengan opera sabun berkualitas tinggi, berita dan obrolan pagi hari, miniseri tentang pornografi, analisis Wall Street, dan hiburan untuk anak-anak.

Sementara Robertson merasa nyaman berada di lokasi syuting CBN, berbicara tentang doa dan politik dengan bakat karismatik, ia telah menjadi orang yang berbeda dari saat ia tumbuh dewasa sebagai seorang Kristen dari kalangan Baptis Selatan di Lexington, Virginia, yang gelisah dan sebagian besar hidupnya tidak tertarik pada iman penginjilan.

Robertson lahir dengan nama lengkap Marion Gordon Robertson pada tahun 1930. Ia dijuluki “Pat” karena pipinya tembem dan sering ditepuk-tepuk oleh kakaknya. Ayahnya, A. Willis Robertson adalah seorang senator AS, dan Pat Robertson menikmati pendidikan elite di Washington University, Lee University serta Yale Law School. Ia bertugas selama dua tahun dalam Perang Korea.

Setelah gagal dalam ujian pengacara dan berhenti dari pekerjaan bisnis di New York, ia memutuskan untuk menjadi seorang rohaniwan, sebuah keputusan yang membingungkan ibunya yang sangat taat beribadah di kampung halamannya di Virginia. Ibunya memperkenalkan Robertson dengan seorang misionaris Belanda bernama Cornelius Vanderbreggen. Robertson pun pergi makan malam dengan Vanderbreggen di Philadelphia dan merasa canggung ketika Vanderbreggen membagikan traktat Injil kepada pelayan restoran dan membaca Alkitab di meja.

Namun secara diam-diam, Robertson telah mempelajari Alkitab dan mulai merasakan Tuhan berbicara kepadanya melalui hal itu. Ia pun membuat pengakuan iman kepada Vanderbreggen yang kemudian dilihat oleh Robertson sebagai pertobatannya sendiri “dari seseorang yang suka berganti-ganti pasangan menjadi orang kudus.” Pada saat itu, katanya, dia beralih dari pendakian religius akan keberadaan Tuhan menuju hubungan yang menyelamatkan dengan Bapa Surgawinya.

Dia mengejutkan istrinya, Dede, dengan semangat pertobatannya—ia membuang minuman scotch yang mahal ke saluran pembuangan, meninggalkan istrinya yang sedang hamil anak kedua mereka saat dia menghadiri konferensi InterVarsity selama sebulan, dan akhirnya menjual furnitur mereka serta memindahkan keluarganya yang beranggotakan lima orang ke dalam satu setengah kamar di sebuah apartemen bersama di Brooklyn. Ini ia lakukan karena terinspirasi dari Lukas 12:33 “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah!” Pekerjaan pertamanya dalam pelayanan adalah di Bayside Community Church, Long Island.

Pada usia 20 tahunan akhir, Robertson masuk ke Biblical Seminary di Manhattan, bergabung dengan sekelompok orang percaya yang berdoa, berpuasa, dan mengabdikan diri mereka dengan setia untuk mencari Tuhan sambil melayani di antara orang-orang miskin. Ia mengikuti retret doa dengan teman-teman sekelasnya, termasuk Eugene Peterson. Robertson dan kelompok “Prajurit Kristen” berkhotbah di sudut-sudut jalan ketika Billy Graham datang ke kota itu pada tahun 1957. Mereka bertemu dengan editor Guideposts, Ruth Stafford Peale, dan berdoa dalam bahasa roh demi kebangunan rohani, yang mengilhami dua buku penting dari pembaruan karismatik, They Speak with Other Tongues dan The Cross and the Switchblade.

“Saya sekarang telah masuk ke dalam kitab Kisah Para Rasul dan tidak lagi menjadi penonton, melainkan menjadi seorang peserta aktif dalam karya-karya Tuhan yang membuat mukjizat,” kata Robertson.

Robertson meninggalkan New York ke kampung halamannya di Virginia setelah lulus pada tahun 1959. Ketika di Lexington, dia berkesempatan untuk berkhotbah di radio selama 15 menit dan mengetahui bahwa ada sebuah stasiun TV yang akan dijual dalam jarak lima jam perjalanan jauhnya di Portsmouth. Ketika keluarganya pindah, ia bahkan tidak memiliki pesawat TV, “hanya $70 dan sebuah visi untuk mendirikan jaringan televisi Kristen pertama di Amerika Serikat,” demikian tertulis dalam biografinya. Dia berkhotbah di gereja-gereja lokal untuk bertahan hidup sebelum jaringan televisi itu berjalan; beberapa orang memberinya honor $5, dan ada juga yang membayarnya dengan sekantong kedelai seberat 70 pon.

Banyak dari usaha Robertson mengikuti pola ini, di mana dia mendengar panggilan dari Tuhan dan meluncurkan sebuah proyek sebagai tanggapannya.

“Saya ingin menjadi bagian dari rencana Tuhan, dan rencana-Nya adalah demi penginjilan dunia dan membawa jutaan orang ke dalam kerajaan-Nya, dan Dia mengizinkan saya menjadi bagian dari rencana tersebut,” kata Robertson.

Ia berkata bahwa Tuhan berbicara kepadanya saat makan siang (dengan setengah buah melon jingga dan keju) untuk membangun sebuah sekolah bagi kemuliaan-Nya, dan pada tahun 1977 ia membeli 70 hektar lahan di Pantai Virginia untuk CBN University, yang kemudian menjadi Regent University. Tujuh puluh tujuh mahasiswa mendaftarkan pada tahun pertamanya.

Tahun berikutnya saat Natal, ia berkata bahwa Tuhan berbicara kepadanya untuk “mewartakan pesan keselamatan yang sederhana” karena Dia akan mengirimkan Roh-Nya ke seluruh dunia dan jutaan orang akan menanggapi-Nya. Dia meluncurkan apa yang kemudian menjadi CBN International. Saat ini, 90 persen pemirsa jaringan tersebut berasal dari luar AS.

Membaca janji berkat dalam Yesaya 58 telah menuntunnya untuk mendirikan Operation Blessing, sebuah badan amal kemanusiaan yang didirikan pada tahun 1978; pelayanan ini telah membantu orang-orang di 90 negara dan wilayah.

Karena panggilan Tuhan jugalah, Robertson memasuki arena politik. Dia kembali ke rumah mewah Bedford-Stuyvesant, yang pernah ia tempati di New York, untuk mengumumkan pencalonannya sebagai presiden pada tahun 1987.

Bahkan sebelum pencalonannya, para pemirsa Kristen telah mengenali minat Robertson dalam politik, sebagian orang menanggapi dengan kegembiraan dan sebagian lagi dengan kehati-hatian. Dia bergurau bahwa Senat, tempat ayahnya menjabat selama puluhan tahun sebagai seseorang dari Partai Demokrat selatan yang konservatif, akan turun jabatan, tetapi kepresidenan akan menjadi “langkah lateral” dari jabatannya di CBN.

Christianity Today menulis tentang desas-desus awal seputar ambisi kepresidenan Robertson di tahun ‘85:

Ia sangat tertarik untuk mendidik orang-orang Kristen tentang urusan publik dan membangkitkan antusiasme mereka agar terlibat dalam politik. Ia percaya bahwa Amerika sedang menghadapi persimpangan jalan di mana nilai-nilai keluarga dan iman kepada Tuhan bisa kalah oleh statisme dan hedonisme. Mencalonkan diri untuk menjadi presiden tidak menjamin Robertson bisa menduduki Gedung Putih, tetapi hampir pasti hal itu berarti bahwa para calon presiden pada tahun 1988 tidak akan dapat mengabaikan isu-isu moral yang penting bagi umat kristiani.

Pada awal tahun 80-an, Robertson mulai mendedikasikan setengah jam pertama dari acara The 700 Club untuk urusan publik, karena ia semakin mengkhawatirkan sekularisme dan ancaman terhadap kebebasan beragama, seperti pelarangan berdoa di sekolah-sekolah. Dia memandang pergeseran konten acara itu sebagai tanggapan terhadap pemerintah yang melampaui batas. “Bukan berarti kita masuk ke politik,” katanya. “Merekalah yang telah masuk ke dalam agama.”

Robertson mengatakan bahwa ia memandang jabatan kepresidenan sebagai cara untuk melanjutkan panggilannya dalam melayani. Meskipun menempati posisi kedua dalam kaukus awal di Iowa, ia kalah pada Super Tuesday dan mengundurkan diri, serta mendukung George H.W. Bush. Setelah pemilihan, ia menulis dalam The Plan bahwa ia melihat tujuan yang lebih dalam dari kegagalannya menuju Gedung Putih.

“Mungkinkah alasan pencalonan saya telah terpenuhi dengan diaktifkannya puluhan ribu orang Kristen Injili ke dalam pemerintahan?” kata Robertson. “Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang-orang Kristen yang patriotik dan pro-keluarga mempelajari teknik-teknik sederhana dalam pengorganisasian partai yang efektif dan kampanye yang sukses. Kehadiran mereka sebagai kekuatan aktif dalam politik Amerika pada akhirnya dapat menghasilkan setidaknya satu dari partai-partai politik utama di Amerika yang memiliki pandangan kristiani yang mendalam pada platform dan struktur partainya.”

Ia membangun momentum tersebut dengan meluncurkan Christian Coalition, yang mengumpulkan para pemilih dari kalangan Injili dan mendistribusikan panduan pemungutan suara ke gereja-gereja mulai tahun 1989. Tahun berikutnya, ia juga mendirikan firma hukum “pro-keluarga, pro-kebebasan, dan pro-kehidupan,” yaitu American Center for Law and Justice (ACLJ).

Sebagai bagian dari gerakan Hak Beragama yang lebih besar, koalisi ini melihat beberapa orang Injili konservatif setuju dengan posisi konservatifnya, tetapi tetap segan untuk menyatakan sikap Kristen terhadap isu-isu yang tidak memiliki mandat alkitabiah yang jelas. Organisasi ini juga berjuang selama satu dekade dengan pemerintah federal atas panduan non-partisannya dan akhirnya kehilangan status bebas pajaknya.

Robertson, yang melihat dirinya sebagai seorang Injili dengan karunia karismatik dan pandangan ekumenis, pernah berkata, “sejauh menyangkut keagungan ibadah, saya seorang Episkopal; sejauh soal kepercayaan pada kedaulatan Allah, saya seorang Presbiterian; dalam hal kekudusan, saya seorang Methodist … dalam hal imamat orang percaya dan baptisan, saya seorang Baptis; dalam hal baptisan Roh Kudus, saya adalah seorang Pentakosta, jadi saya memiliki sedikit bagian dari semuanya itu.”

Sesama rekan Kristennya sering menantang (atau mencibir) beberapa pernyataan yang disampaikan Robertson selama bertahun-tahun, ketika ia mengomentari peristiwa-peristiwa terkini dan menjawab pertanyaan pemirsa. Ia menyerukan agar AS membunuh presiden Venezuela, Hugo Chavez. Dia membela orang yang menceraikan seorang istri pengidap Alzheimer. Dia meramalkan kemenangan Donald Trump dan tidak menerima kekalahan Trump di tahun 2020 sampai seminggu setelah Joe Biden dinyatakan sebagai pemenang.

Entah kita suka atau tidak suka dengan Robertson, jangkauannya sulit untuk diabaikan. Program acara The 700 Club ditayangkan di 97 persen pasar pertelevisian di AS dan merupakan salah satu acara terlama dalam sejarah.

Pada situs webnya, Robertson telah mencantumkan “memulai perusahaan/transaksi keuangan” sebagai salah satu hobinya, dan kesuksesannya di bidang itu telah melampaui kesuksesannya di CBN. Ia mendirikan International Family Entertainment Inc., perusahaan induk dari Family Channel, yang dijual pada tahun 1997 seharga $1,9 miliar. Mengimbangi kesuksesan finansial dan panggilannya, Robertson berkata, “Saya menyadari bahwa Tuhan tidak ingin saya menjadi investor miliarder. Dia menginginkan saya sebagai seorang hamba yang rendah hati, yang bergantung pada-Nya dan bersedia melangkah di jalan-Nya.”

Istri Robertson, Dede, meninggal di 2022 pada usia 67 tahun. Robertson meninggalkan dua putra, dua putri, 14 cucu, dan 23 cicit. Putranya, Gordon Robertson, adalah CEO CBN dan pembawa acara serta produser eksekutif The 700 Club.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Wafat: Paul Eshleman, yang Membawa Film ‘Yesus’ sampai ke Ujung-ujung Bumi

Ahli strategi penginjilan Campus Crusade ingin semua orang di dunia mendengar kabar baik bahwa Tuhan mengasihi mereka.

Christianity Today June 2, 2023
Paul Eshleman / suntingan oleh Rick Szuecs

Paul Eshleman, seorang ahli strategi penginjilan yang mengorganisir salah satu pelayanan penjangkauan terbesar abad ke-20 sehingga setiap orang di dunia dapat mendengar, setidaknya satu kali, bahwa Tuhan mengasihi mereka, wafat pada 24 Mei di usia 80 tahun.

Eshleman adalah direktur Proyek Film Yesus, yang memproduksi film utama di tahun 1979 untuk Campus Crusade for Christ (sekarang Cru) dalam kemitraan dengan Warner Bros dan mengawasi terjemahannya ke dalam lebih dari 2.000 bahasa. Eshleman mengatur agar film tersebut dapat ditayangkan di seluruh dunia, dari tempat-tempat di pedesaan Asia dan Afrika di mana orang belum pernah melihat lampu listrik sebelumnya, hingga siaran televisi nasional di tempat-tempat seperti Peru, Siprus, dan Lebanon. Menurut Cru, hampir 500 juta orang telah mengindikasikan bahwa mereka membuat keputusan untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka setelah menonton film tersebut.

“Setiap hari saya terdorong untuk mengatakan, ‘Siapa yang belum memiliki kesempatan untuk mendengar Injil, dan bagaimana saya dapat mewujudkannya?’” Eshleman pernah menjelaskan. “Kami adalah ahli strategi bagi Kristus, yang memikirkan cara-cara baru untuk menjangkau orang-orang dengan pesan kehidupan.”

Pendiri Saddleback Church, Rick Warren, menyebut Eshleman sebagai “teman baik” dan memujinya atas “dampak globalnya.” Penginjil Franklin Graham berkata, “Tuhan memakai hidupnya dengan luar biasa.”

Menurut Steve Sellers, presiden Cru saat ini, “Paul adalah seorang pejuang Kristus dan menantang Gereja untuk mempertimbangkan cara-cara inovatif untuk menginjili.”

Eshleman lahir 23 Oktober 1942, putra tertua dari Viola dan Ira Eshleman. Ayahnya adalah seorang pendeta Injili yang memindahkan keluarganya dari Michigan ke Florida pada tahun 1950 untuk membuka sebuah sanggraloka Kristen. Dia membeli sebuah pangkalan militer tertutup seluas 30 hektar di Boca Raton seharga $50.000, lalu memulai sebuah gereja dan komunitas liburan yang dijuluki “Bibletown” oleh penginjil Billy Graham.

Ketika masih kanak-kanak, Eshleman telah menyerahkan hidupnya kepada Kristus, tetapi saat tumbuh dewasa, dia lebih tertarik pada bisnis daripada pelayanan. Ia pun memutuskan ingin menjadi kepala perusahaan minyak atau mungkin produsen mobil.

Lalu Eshleman pergi studi ke Michigan State University, di mana ia belajar administrasi bisnis, pemasaran, dan keuangan. Ia bergabung dengan kelompok persekutuan Campus Crusade tetapi tidak terlalu serius dengan imannya. Ia mengatakan bahwa ia terus ikut persekutuan hanya supaya dia dapat memberi tahu ibunya bahwa dia adalah bagian dari kelompok Kristen, tetapi tidak harus pergi ke gereja di setiap Minggu pagi.

Segalanya berubah ketika seorang gadis yang ia kencani mengatakan kepadanya bahwa ia hanya “bermain-main dengan Tuhan” dan sudah waktunya untuk serius atau mengakhirinya. Eshleman langsung marah dan bercerita tentang waktu yang dihabiskannya di gereja saat ia tumbuh dewasa, tetapi malam itu ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang gadis itu katakan. Ia mulai khawatir bahwa Tuhan mengeraskan hatinya, seperti Dia telah mengeraskan hati Firaun dalam Keluaran 7–11.

“Saya tidak bisa tidur,” kata Eshleman. “Saya berada di tempat tidur dan berkata, ‘Tuhan, inilah hidup saya.’”

https://www.youtube.com/watch?v=zqOd10NVpOM&t=6s

Keesokan paginya ia menelepon seorang pemimpin Campus Crusade: “Saya ada di pihak Anda sekarang. Apa yang Anda ingin saya lakukan?”

Eshleman diajari bagaimana menceritakan Injil melalui empat hukum rohani dan diutus untuk berbicara kepada para mahasiswa di organisasi-organisasi persaudaraan mahasiswa laki-laki. Orang kedua yang ia ajak bicara lalu menyerahkan hidupnya kepada Kristus, dan Eshleman yakin ini adalah pekerjaan yang lebih penting daripada menjalankan sebuah perusahaan besar.

Ia pun bergabung dengan Campus Crusade pada tahun 1966 dan kuliah di University of Wisconsin–Madison. Sekolah itu sedang diguncang oleh protes mahasiswa antiperang yang menargetkan Dow Chemical Company, perusahaan pembuat gel yang mudah terbakar yang digunakan militer AS di hutan Vietnam. Pada tahun 1967, kampus tersebut menjadi tempat terjadinya peristiwa yang dikatakan oleh beberapa sejarawan sebagai protes universitas pertama di negara tersebut yang berubah menjadi kekerasan. Eshleman menyadari ini adalah “lingkungan yang luar biasa untuk melakukan pelayanan,” katanya. Dalam satu tahun, ia mengorganisir 72 pertemuan penginjilan di berbagai asrama serta organisasi persaudaraan mahasiswa dan mahasiswi di seluruh kampus.

“Di tengah semua kekacauan itu,” katanya, “kami menyaksikan banyak orang yang terus-menerus datang kepada Kristus.”

Beberapa tahun kemudian ia ditunjuk untuk mengorganisir sebuah acara besar bagi kaum muda, yang menurut Billy Graham kepada wartawan, akan menjadi jawaban Kristen untuk Woodstock. Acara tersebut menjadi sebuah kebaktian besar bagi Yesus, sebuah “ledakan rohani,” atau “Explo,” di Dallas pada tahun 1972.

Acara itu telah diimpikan oleh pendiri Campus Crusade, Bill Bright. Ia mengatakan bahwa dia memiliki sebuah visi: Akan ada banyak anak muda dan musik, dan mereka dapat melatih 100.000 mahasiswa untuk menginjili rekan-rekan mereka. Namun, staf utama Bright tidak menyukai gagasan itu dan dengan cekatan menghindari penugasan tersebut, menurut sejarawan John G. Turner, yang menulis sejarah pendirian Cru.

“Itu trik lama,” kata seorang staf. “Ia akan memiliki visi dan kemudian kami harus memberi dukungan sepenuhnya.”

Eshleman pun ditawari pekerjaan itu. Dengan naif dan bersemangat, ia langsung mengambil kesempatan tersebut. Ia diberi anggaran yang besar tetapi hanya sedikit dukungan staf. Namun, ia berhasil melakukannya. Dia mengundang Johnny Cash, Andraé Crouch, dan dari gerakan “Jesus freak” yang lebih baru seperti Larry Norman dan Armageddon Experience. Dia memakai stadion Cotton Bowl selama empat malam, memesan kamar hotel di 65 lokasi di seluruh Dallas-Fort Worth, dan bahkan mengatur agar musik dan khotbah selama tiga jam disiarkan secara nasional di televisi.

Acara tersebut hanya menarik 30.000 mahasiswa, tetapi Eshleman membuka kesempatan juga untuk siswa sekolah menengah atas dan berhasil merekrut 35.000 orang lagi, dengan total 75.000 anak muda yang, di antara pertunjukan musik, belajar bagaimana membagikan iman mereka. Kemudian 10.000 orang lainnya datang sebagai tamu, dan Explo ’72 dianggap sukses.

https://www.youtube.com/watch?v=0MoYtlhdirw&t=1s

Film Yesus juga dimulai sebagai sebuah visi Bill Bright yang akan sulit, bahkan mustahil, untuk diwujudkan. Namun, ide tersebut mendapat dukungan finansial dari konglomerat minyak Nelson Bunker Hunt dan menarik minat John Heyman, seorang produser film Yahudi di Inggris Raya yang ingin memproduksi sesuatu yang berhubungan dengan Alkitab. Proyek tersebut mendapat lampu hijau, dan meskipun Eshleman belum pernah bekerja di film sebelumnya, ia diberi tugas sebagai mitra lokal, asisten produksi, dan orang yang diandalkan untuk memecahkan berbagai macam masalah.

Film yang sangat dekat dengan teks Injil Lukas ini dirilis pada tahun 1980 dan ditayangkan di sekitar 300 bioskop. Para kritikus tidak menganggap film itu setara dengan Ben-Hur karya William Wyler atau The Ten Commandments karya Cecil B. DeMille, tetapi kelompok gereja dan sekolah Kristen menyukainya, dan film ini tidak menjadi bencana finansial bagi Warner Bros.

Kemudian film itu diserahkan kepada Eshleman untuk distribusi yang lebih luas, lebih kreatif dan inovatif. Ia bekerja sama dengan staf Campus Crusade untuk menerjemahkan film tersebut ke dalam 21 bahasa dalam waktu 18 bulan dan terhubung dengan kelompok-kelompok misionaris di seluruh dunia untuk menayangkannya di tempat-tempat di mana orang belum pernah melihat kehidupan Yesus di layar perak—atau film apa pun.

Dengan biaya sekitar $25.000, Eshleman dapat menyulih-suarakan film itu ke dalam bahasa lain, memproduksi cetakan baru, mengirimkan film dan peralatan proyeksi ke ladang misi—melewati otoritas bea cukai dan penyensoran dalam prosesnya—serta mengadakan pemutaran film bagi sebanyak mungkin orang yang dapat berkumpul di sebuah lapangan. Sepuluh pemutaran film pertama diadakan di India. Orang-orang rela berjalan lebih dari tiga mil untuk menonton film tersebut.

Pada tahun 1985, tim Eshleman telah menerjemahkan film tersebut ke dalam 100 bahasa yang berbeda. Mereka berencana untuk memproduksi film tersebut dalam setiap bahasa dengan lebih dari 100.000 penutur. Mereka menyederhanakan dan mempercepat proses sulih suara dengan teknologi baru dan segera mengirim film Yesus ke mana-mana, mulai dari Estonia hingga Ekuador.

Di mana-mana, film itu tampaknya memiliki efek yang kuat.

“Ketika tentara mencambuk Yesus, Anda dapat mendengar tangisan orang dewasa,” kata Brian Helstrom, seorang penginjil Gereja Nazaret yang menayangkan film itu di Afrika. “Anda bisa menyaksikan mereka secara fisik melompat mundur saat melihat ular mencobai Yesus.”

https://www.youtube.com/watch?v=-Td05XH0TDg&t=7529s

Eshleman, yang mengawasi tim yang terdiri dari 300 orang, sesekali menghadiri pemutaran film tersebut. Pengalaman itu, katanya, tak terlupakan.

“Anda … duduk di sebuah kayu di bawah bintang-bintang,” kenangnya, “dan menyaksikan orang-orang yang belum pernah menonton film sebelumnya—juga kali pertama mereka melihat lampu listrik—dan sosok Yesus muncul di layar film. Anda melihat mata mereka bersinar.

Seorang eksekutif film yang sinis pernah bercanda dengan Eshleman bahwa jika dia menunjukkan film Dirty Harry alih-alih film Yesus kepada orang-orang yang tidak terpapar teknologi abad ke-20, mereka akan tersungkur dan menyembah Clint Eastwood, sang polisi yang main hakim sendiri sebagai Anak Allah. Akan tetapi Eshleman menolak gagasan bahwa kekuatan film Yesus hanya pada medianya dan bukan pesannya. Seorang pejuang suku Maasai di Kenya mungkin menikmati film Dirty Harry, kata Eshleman, tetapi untuk memahami bahwa Tuhan mengasihinya dan memiliki rencana yang luar biasa bagi hidupnya, dia harus melihat Firman yang menjadi manusia, dalam bentuk film.

Pada tahun 2000, tim Eshleman telah menerjemahkan film Yesus ke dalam 600 bahasa dan dapat menghasilkan terjemahan baru dalam sembilan hari. Catatan Guinness Book of World Records mengakui film Yesus sebagai film yang paling banyak diterjemahkan sepanjang masa.

Pada saat yang sama, Eshleman mulai melacak semua kelompok masyarakat yang tidak memiliki pekerja Kristen untuk membantu penerjemahan. Jumlahnya bervariasi, tergantung pada bagaimana seseorang menghitung kelompok-kelompok tersebut, tetapi ia memperkirakan bahwa ratusan juta orang belum pernah terlibat dengan pesan Injil.

Pada pertemuan 10.000 penginjil selama sembilan hari di Amsterdam, Eshleman dan beberapa orang lainnya mengadakan sebuah sesi strategi untuk mengoordinasikan upaya menjangkau orang-orang yang “tidak ditargetkan” ini. Dari sesi itu muncullah Finishing the Task, sebuah jaringan organisasi Kristen yang berkomitmen untuk menyelesaikan Amanat Agung, menjangkau setiap bangsa. Tujuannya, kata Eshleman, adalah untuk memastikan setiap orang di dunia memiliki kesempatan, setidaknya satu kali, untuk mendengar bahwa Yesus mengasihi mereka.

“Mereka sudah menunggu cukup lama,” kata Eshleman. “Sudah waktunya bagi kita untuk menyelesaikannya.”

Eshleman kemudian menjadi direktur, dan pada tahun 2017, ia mengatakan bahwa Finishing the Task telah memobilisasi misionaris ke 2.000 kelompok masyarakat baru dan merintis 101.000 gereja. Menjangkau setiap bangsa di bumi menjadi tampak seperti kemungkinan yang nyata.

“Jika saya dapat memilih waktu untuk hidup,” kata Eshleman, “inilah saatnya.”

Kathy, istri pertama Paul, telah wafat lebih dulu. Paul wafat, meninggalkan istri keduanya, Rena, dan dua anak dewasa, Jennifer dan Jonathan.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Berbahagialah Mereka yang Meratapi Bunuh Diri

Memedulikan orang yang menderita membutuhkan teologi penderitaan yang kaya.

Christianity Today June 1, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: WikiMedia Commons / Pexels

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, setiap tahun ada 703.000 orang yang meninggal karena bunuh diri.

Pada tahun 2020, “bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua belas secara keseluruhan di Amerika Serikat. … [Selain itu, bunuh diri] adalah penyebab utama kematian kedua di antara individu berusia 10–14 tahun dan 25–34 tahun, … dan penyebab utama kematian keempat di antara individu berusia 35 dan 44.”

Meskipun gereja menjadi lebih peka terhadap masalah bunuh diri, namun topiknya kadang-kadang terbatas hanya pada kekhawatiran tentang keselamatan dan kutukan. Jika seseorang mengambil nyawanya sendiri, apakah orang itu akan masuk surga?

Tentu saja, kami tidak diperlengkapi untuk menjawab pertanyaan itu sepenuhnya. Hanya Yesus yang memiliki kuasa penghakiman ilahi. Lalu yang lebih penting lagi, memperdebatkan nasib kekal seseorang akan melewatkan kesempatan yang lebih besar. Bunuh diri adalah seruan memilukan dari “Bapaku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Sebagai orang percaya, kita memiliki kesempatan untuk bertemu dengan mereka yang merasa ditinggalkan dan menjadi Kristus bagi mereka.

Dengan kata lain: teologi keselamatan kita sangatlah penting. Akan tetapi setidaknya di awal, teologi penderitaan kita lebih penting, dalam hal merawat orang-orang di jemaat kita yang sedang berpikir untuk mengakhiri hidup mereka.

Sebagai seorang calon sarjana sosiologi, saya menghabiskan empat bulan masa kuliah untuk mempelajari masalah ini demi sebuah proyek penelitian di Universitas Oxford. Salah satu pertanyaan kunci yang saya ajukan adalah “Bagaimana seharusnya teodisi—atau memahami penderitaan dari perspektif Kristen—mendasari pendekatan kita terhadap persoalan bunuh diri?”

“Ketika menganalisis kasus-kasus bunuh diri yang lebih banyak terjadi di luar kematian yang dibantu oleh dokter, kita diperhadapkan pada peran yang luar biasa dari penyakit mental, sebuah faktor yang sering kali diremehkan oleh para teolog Kristen,” tulis Elizabeth Antus, seorang cendekiawan perintis di bidang yang mempertemukan persoalan bunuh diri dan teologi.

Dalam karyanya, ia merujuk pada seorang teolog Jerman, Johann Baptist Metz, yang memberikan perspektif yang menjanjikan dalam topik ini untuk dialog teologis dan dialog yang berpusat pada manusia. Teodisinya adalah tentang belajar untuk hidup dalam solidaritas dengan mereka yang menderita.

“Dalam pandangan saya,” tulis Metz dalam A Passion for God: The Mystical-Political Dimensions of Christianity, “Ada satu otoritas yang diakui oleh semua budaya dan agama besar: otoritas dari mereka yang menderita. Menghargai penderitaan orang asing adalah prasyarat bagi setiap budaya; mengartikulasikan penderitaan orang lain adalah praanggapan dari semua klaim kebenaran, bahkan termasuk klaim-klaim yang dibuat oleh teologi.”

Metz ingin melihat orang-orang di gereja memiliki sikap terbuka, yang memungkinkan mereka untuk meratap dan berada dalam komunitas mereka yang berurusan dengan bunuh diri. Ia memandang teodisi yang peka terhadap korban ini sebagai sebuah praktik yang membebaskan, yang memungkinkan orang Kristen untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penuh kemarahan kepada Tuhan.

“Bahkan teologi Kristen sekalipun, yang mengacu pada doktrin penciptaan, tidak dapat menghilangkan seruan apokaliptik, ‘Apa yang sedang ditunggu Tuhan?’” tulis Metz. “Bahkan teologi Kristen sekalipun tidak dapat membungkam pertanyaan Ayub kepada Allah, ‘Berapa lama lagi?’ dengan jawaban yang menenangkan. Bahkan pengharapan Kristen pun tetap harus bertanggung jawab kepada prinsip apokaliptik.”

Antus, yang mengajar di departemen teologi di Boston College, berpendapat bahwa Metz menawarkan “teologi yang lebih ramah bagi para korban bunuh diri.”

Dalam Kristus, kita semua bebas untuk berseru kepada Tuhan dan bertanya mengapa— baik ketika kita memiliki segala pikiran yang menghantui diri kita atau ketika kita mengetahui orang lain yang sedang menderita. Bagaimanapun juga, pusat dari kisah Injil adalah Tuhan yang mengalami penderitaan.

“Bagi orang Kristen, yang percaya pada Mesias yang disalibkan dan bangkit, penderitaan selalu penuh makna,” tulis Kathryn Greene-McCreight, penulis Darkness Is My Only Companion: A Christian Response to Mental Illness. “Penderitaan menjadi bermakna karena Yesus, Pribadi yang dalam penderitaan-Nya kita turut ambil bagian.”

Ketika kita berpikir tentang bunuh diri dalam konteks kehidupan Kristen, maka kita dapat merasa terhibur karena mengetahui bahwa Tuhan bersimpati dengan penderitaan manusia.

Dia memanggil kita untuk melakukan hal yang sama dengan orang-orang di sekitar kita. Sebagai utusan-Nya, hal terburuk yang dapat kita lakukan adalah menghindar dari percakapan yang sulit dan mengabadikan narasi rasa malu dan rasa bersalah. Hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah belajar tentang bunuh diri, menyediakan sumber daya bagi mereka yang bergumul, dan meratap bersama dalam penderitaan mereka.

Teodisi yang berpusat pada pribadi manusia akan membebaskan kita untuk mendengar seruan penderitaan yang mendalam, terutama dalam konteks bunuh diri. Semakin kita memanusiakan masalah ini di dalam gereja, semakin kita dapat menjadi seperti Dia, yang telah datang untuk menderita di antara kita: Kristus sendiri.

Mia Staub adalah manajer konten di Christianity Today. Karya ini diadaptasi dari sebuah esai yang awalnya diterbitkan di situs web Scholarship and Christianity di Oxford. Diterbitkan dengan izin.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Orang Kristen Bertanya kepada ChatGPT tentang Tuhan. Apakah Ini Berbeda dengan Googling?

Para pakar dari seluruh dunia menjelaskan konsekuensi revolusi AI bagi orang percaya di dalam dan di luar internet.

Christianity Today June 1, 2023
Ilustrasi oleh Abigail Erickson / Sumber Gambar: Getty, Unsplash

Ratusan juta orang telah menggunakan ChatGPT sejak kehadirannya di November tahun lalu. Mereka memakainya untuk merancang rencana perjalanan liburan, membantu mereka membuat kode dengan lebih baik, membuat gabungan soneta budaya pop, dan mempelajari detail-detail yang lebih tajam dari kepercayaan mereka.

Selama bertahun-tahun, orang Kristen telah mencari jawaban atas pertanyaan teologis mereka di Google, untuk menemukan artikel yang ditulis oleh manusia yang menjawab pertanyaan tentang Tuhan dan Firman-Nya. Sekarang, orang dapat mengajukan pertanyaan ini ke chatbot (layanan obrolan robot berbasis kecerdasan buatan) kecerdasan buatan (AI). Bagaimana sarana pemrosesan bahasa yang alami seperti ChatGPT akan mengubah cara kita menafsirkan Alkitab?

Delapan pakar AI dari seluruh dunia—dan ChatGPT itu sendiri—angkat bicara.

Pablo A. Ruz Salmones, CEO, X eleva Group, Mexico City, Meksiko

Seperti yang dikatakan Yohanes 17:17, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; Firman-Mu adalah kebenaran.” Dengan demikian, menafsirkan Alkitab, sebagian besar, adalah soal mencari kebenaran. Model-model Bahasa Besar (Large Language Models; LLM) seperti ChatGPT, menurut definisi, tidak memiliki sumber kebenaran; hal itu tidak ada dalam modelnya—itulah sebabnya mengapa terkadang model-model ini mengada-ada dan mengekstrapolasi. Model ini tidak mampu menemukan kebenaran, sehingga bahkan ketika menemukan kebenaran, alat ini tidak dapat mengenalinya.

Jadi, ketika membaca hasil dari LLM tentang Alkitab, kita harus memahami bahwa hasil tersebut bukan berasal dari pencarian kebenaran di dalam Firman-Nya, melainkan lebih merupakan suatu campuran “regurgitasi” dan ekstrapolasi—alias algoritma—dari apa yang telah dikatakan oleh orang lain. Akibatnya, ChatGPT tidak dapat menawarkan interpretasi baru atas Alkitab dengan sendirinya; sebaliknya, orang yang bertanya kepada ChatGPT dapat menemukan cara baru untuk menafsirkan Alkitab dalam jawaban chatbot, seperti halnya jawaban yang diberikan oleh seekor burung beo. Karena meniru orang lain, burung beo dapat mengatakan kebenaran, meskipun ia tidak tahu bahwa ia telah melakukannya.

Suman Kumar Polepaka, pendiri BibleMate, sekarang berbasis di Munich, Jerman

Model AI teks generatif, seperti ChatGPT, mengubah cara kita mencari jawaban atas pertanyaan teologis. Berlalulah sudah hari-hari Googling (mencari informasi di Google) dan menelusuri artikel yang tiada habisnya. Sebagai gantinya, chatbot AI menawarkan jawaban yang instan, jelas, dan berwibawa, yang disusun dari beragam teks, buku, dan artikel. Kenyamanan, kecepatan, dan sifat interaktifnya membuat alat ini menjadi sumber daya yang utama.

Model ini bahkan dapat meningkatkan pembelajaran Alkitab secara pribadi dengan memberikan interpretasi dan konteks yang beragam dan instan untuk setiap perikop. Namun inilah kekurangannya: ChatGPT, sebagai model tujuan umum, mungkin kurang akurat secara teologis atau alkitabiah. Tujuannya bukan untuk membina hubungan pribadi dengan Tuhan atau memupuk pertumbuhan rohani.

Hal ini mendorong saya membuat BibleMate, sebuah alternatif berbasis ChatGPT. Misi BibleMate adalah memberikan jawaban yang akurat secara alkitabiah dan memandu para pengguna dalam perjalanan iman mereka. Ini adalah soal memastikan AI tidak hanya menawarkan informasi, melainkan juga memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan rohani. Proyek ini masih dalam tahap awal, dan saya sangat antusias melihat perkembangannya.

Ang Wie Hay, praktisi IT dan pengkhotbah, Singapura

Kecepatan ChatGPT dalam mengumpulkan dan menyaring informasi, mengintegrasikan dan menyortir data, serta menyediakan ringkasan dalam berbagai bahasa, membuatnya menjadi suatu kecerdasan yang tidak dimiliki oleh manusia normal mana pun.

Teknologi ini berarti bahwa orang Kristen yang mencari nasihat yang alkitabiah dapat meminta ChatGPT untuk menerapkan ayat-ayat Alkitab ke berbagai konteks. Kemampuan bahasa ChatGPT yang beragam dapat memudahkan kita untuk melakukan studi eksegesis terhadap ayat-ayat Alkitab dari bahasa asli Alkitab ke berbagai bahasa lokal.

ChatGPT bukanlah manusia yang mampu membedakan kehendak Tuhan atau menentukan kebenaran Alkitab. Jadi wawasan alkitabiah seseorang sangat penting dalam menentukan apakah jawaban dari ChatGPT sesuai dengan imannya.

Sebagai pengkhotbah, saya bersyukur ChatGPT akan sangat membantu untuk mempercepat penyusunan naskah khotbah. Pada saat yang sama, rohaniwan tetap membutuhkan hubungan yang intim dengan Tuhan agar peka dalam menangkap hikmat dan tuntunan Tuhan. Harapan saya, dengan kecepatan ChatGPT dalam menanggapi permintaan kita, rohaniwan dapat meluangkan lebih banyak waktu untuk memupuk hubungan yang intim dengan Tuhan.

Sharath Chandra Kogila, manajer lini produk yang menangani inisiatif AI di Dell Technologies, Bangalore, India

Kita perlu mengatasi kelebihan informasi dengan segera. Akibat banyaknya informasi yang kita terima, kognisi kita terganggu dan kemampuan kita untuk meringkas, memahami, dan mengekstrak nilai dari informasi menjadi tertantang. Mulai dari generasi ini, kita akan mengandalkan sistem AI seperti ChatGPT, yang didasarkan pada Model Bahasa Besar (LLM), untuk menginterpretasi dan meringkas informasi bagi kita. Masalah yang saya lihat di sini adalah bahwa model tersebut dapat dilatih untuk mencerminkan pandangan dunia atau ideologi tertentu saat membaca informasi (termasuk Alkitab). Hal ini terutama akan memengaruhi seseorang yang baru percaya, yang mencari sumber pengetahuan dan informasi.

Segala jenis konten, termasuk suara, dapat diproduksi dan dibuat agar terlihat nyata dengan menggunakan sistem GPT. Ini adalah risiko yang serius, karena kita tidak dapat membedakan antara kebenaran dan pemalsuan atau rekayasa dari konten asli. Selain itu, dengan sistem seperti demikian, informasi tidak dapat ditelusuri kembali ke sumbernya—tidak seperti mengakses informasi melalui web, di mana informasi harus ditautkan ke situs web dan keasliannya dapat diverifikasi dengan lebih mudah. Dalam hal ini, semua informasi harus dipercaya atau tidak sama sekali. Ketika metodologi seperti itu digunakan, sistem AI memiliki sudut pandang yang netral atau yang berprasangka secara politis, yang keduanya tidak diinginkan saat menafsirkan situasi dari perspektif alkitabiah.

Batseba Kassahun, konsultan sumber daya manusia, kesehatan digital, pembelajaran elektronik, dan telekomunikasi, Addis Ababa, Etiopia

Terlalu sering gereja global menghargai budaya Barat, terlepas dari apakah budaya ini memiliki hubungan historis dengan kekristenan atau tidak. Meskipun saat ini ChatGPT belum tersedia di Etiopia, saya khawatir ini hanya akan menjadi alat lain yang membuat orang Kristen semakin mengagungkan budaya Barat. Saya juga khawatir bahwa jawaban dan penerapannya bagi kami orang Etiopia akan terbatas, karena ChatGPT dirancang untuk berfungsi dalam konteks yang sangat berbeda.

Orang Kristen yang memiliki akses ke ChatGPT harus bergumul dengan fakta bahwa AI ini menghasilkan khotbah dan pengajaran yang dikembangkan dengan baik. Jika AI dapat melakukan hal ini, seberapa besar kemampuannya untuk meniru pembelajaran Alkitab kita secara pribadi? Transformasi pribadi kita terjadi melalui penggalian dan pembelajaran Alkitab yang kita lakukan sendiri. Apa yang akan terjadi jika kita hanya diberi ringkasan dan kesimpulan?

Seorang profesional IT dan pakar AI, yang bekerja di sektor publik sehingga tidak diizinkan untuk memberi komentar publik karena sifat penugasannya, India

Saat berinteraksi dengan pengguna, alat pengolah bahasa alami seperti ChatGPT menggunakan proses yang dikenal sebagai penyematan kata. Setiap penyematan kata memiliki aturan matematika internalnya sendiri untuk mengasosiasikan kata-kata yang berbeda ketika menyusun kalimat guna menjawab pertanyaan.

Setiap kata dalam daftar kata yang mungkin digunakan untuk menyusun kalimat diberi probabilitas, dan kata terakhir dipilih berdasarkan probabilitas maksimum atau hasil preferensi (bias) yang diperkenalkan melalui pembelajaran penguatan dengan umpan balik dari manusia.

Akibatnya, setiap pertanyaan yang dijawab oleh ChatGPT bergantung pada data pelatihan yang digunakan pada saat pra-pelatihan dan umpan balik dari manusia yang diberikan saat menyempurnakan model. Data pelatihan internet yang digunakan oleh ChatGPT memiliki [koleksi tulisan] yang pro-Kristen dan juga [koleksi tulisan] yang kritis atau anti-Kristen.

Lebih jauh lagi, chatbot seperti ChatGPT dapat dengan sengaja diracuni oleh data palsu atau data sintetis dan dapat menghalusinasi jawaban (yaitu membuat jawaban yang meyakinkan tetapi palsu). Oleh karena itu, setiap jawaban dari ChatGPT perlu dievaluasi secara kritis untuk mengetahui validitas teologis dan keakuratan historisnya.

Bahkan dengan keterbatasan yang serius ini, ChatGPT merupakan alat yang hebat untuk mempelajari Firman Tuhan, karena ChatGPT menyediakan referensi yang ringkas dan gratis untuk sejumlah besar ajaran Alkitab yang premium melalui blog, diskusi, wacana, komentar, peta, bagan, buku pegangan, buku teologi sistematis, buku-buku Kristen yang umum dan pemahaman Alkitab yang tak terhitung jumlahnya.

Bagi orang Kristen India yang ingin menggunakan ChatGPT, entah baik atau buruk konsekuensinya, pengetahuan yang sangat banyak ini sebagian besar tersedia dalam bahasa Inggris, dan tidak banyak yang tersedia dalam bahasa lokal India seperti bahasa Hindi atau 21 bahasa resmi lainnya.

Marcelo Cabral, manajer editorial dan pendidikan di ABC2 atau Associação Brasileira de Cristãos na Ciência (Asosiasi Kristen Brazil dalam Sains), São Paulo, Brasil

Pada satu sisi, ChatGPT dapat menyediakan kerangka kerja, saran-saran para penafsir, dan rangkuman tradisi teologis yang dapat diakses sehingga sangat membantu orang Kristen (baik awam maupun rohaniwan) dalam praktik membaca dan merancang pemahaman Alkitab mereka.

Pada sisi lain, ChatGPT akan menjadi satu kendala lagi (bersama dengan media sosial) bagi orang Kristen yang melakukan refleksi yang mendalam terhadap teks-teks biblikal. Hal ini membuat orang Kristen enggan membaca teks biblikal untuk diri mereka sendiri, dan sebagai gantinya, membiarkan teks tersebut “membaca” pembacanya. Pekerjaan intelektual dan spiritual ini dapat menjadi super-otomatis, sehingga mematikan pertumbuhan pikiran dan hati dalam proses berpikir dan berkreasi.

Benjamin Bimanywaruhanga, praktisi AI, Uganda

Orang Uganda adalah orang yang spiritual dan ingin mempelajari ajaran apa saja yang ada di dalam Alkitab yang berhubungan dengan situasi kehidupan nyata mereka. Banyak yang akan menggunakan ChatGPT jika dibuat dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka.

Namun, sementara negara maju telah mendapatkan keuntungan dari internet sebagai sumber pengetahuan, hal ini tidak dirasakan oleh sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang. Kebanyakan orang tidak dapat berbicara dalam bahasa internasional yang ditawarkan oleh internet, sehingga hanya kalangan elit saja yang memanfaatkannya sebagai sumber informasi.

Dengan meningkatnya penetrasi internet dan semakin banyaknya aplikasi internet berbasis obrolan yang menggunakan jalur [komunikasi khusus], ada peluang bagi banyak orang di negara maju untuk beralih ke sarana-sarana ini demi mendapatkan pengetahuan. Namun, hal ini bergantung pada alat seperti ChatGPT yang beroperasi dalam bahasa lokal. Ketika hal itu terjadi, kita akan melihat adopsi aplikasi seperti ChatGPT yang menggantikan jumlah pengguna di Barat, mirip dengan bagian dunia ini yang melompati negara maju dalam revolusi uang elektronik.

ChatGPT

Alat pemrosesan alami seperti ChatGPT akan mengubah cara kita menafsirkan Alkitab dengan meningkatkan aksesibilitas terhadap interpretasi dan penjelasan Alkitab, memberikan beragam perspektif, memungkinkan pemahaman kontekstual, dan menawarkan panduan yang dipersonalisasi.

Aplikasi ini memungkinkan akses langsung ke informasi teologis, menjadikannya lebih inklusif. ChatGPT dapat memproses berbagai sumber, mempromosikan pemahaman Alkitab yang bernuansa. Sarana ini dapat menganalisis konteks, latar belakang sejarah, dan referensi budaya, sehingga membantu dalam penafsiran yang akurat. Alat ini terlibat dalam interaksi percakapan, membantu pengguna menavigasi konsep yang kompleks dan menerapkan ajaran pada keadaan pribadi.

Namun, chatbot AI adalah alat, bukan pengganti penafsiran manusia. Kompleksitas Alkitab membutuhkan keahlian, ketajaman, dan pemahaman teologis. Meskipun chatbot AI memberikan wawasan yang berharga, keterlibatan dengan para teolog dan cendekiawan yang terlatih tetaplah penting untuk interpretasi Alkitab yang komprehensif.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Pendeta Tidak Butuh Kulit yang Lebih Tebal

Bagaimana jika solusi untuk kritik yang menyakitkan adalah dengan meminta lebih banyak masukan, bukan lebih sedikit?

Christianity Today May 26, 2023
Ilustrasi oleh Anson Chan

Sejak awal masa pelayanan, saya diberitahu bahwa dalam menghadapi kritik, saya hanya perlu memiliki kulit yang lebih tebal. Implikasinya adalah jika para pendeta bisa memiliki cangkang yang lebih keras, kami bisa lebih kuat menahan tajamnya rasa sakit dari masukan yang negatif, seperti halnya kulit yang lebih tebal dapat menahan tusukan duri yang tajam. Rasa sakitnya tidak akan terlalu terasa karena ada kulit tebal yang menghalangi.

Kini, setelah 16 tahun melayani, saya sampai pada kesimpulan bahwa kulit yang lebih tebal itu tidak ada. Masalah dengan metafora kulit yang lebih tebal itu hanya memberi dua pilihan: (1) Mengeraskan diri kita untuk mencegah rasa sakit saat dikritik, atau (2) Tetap terbuka terhadap kritik dan dihancurkan olehnya. Opsi pertama adalah bentuk kulit tebal yang membuat kita tidak bisa menerima segala bentuk masukan, termasuk kritik yang sehat dan membangun. Opsi kedua berarti menundukkan diri kita pada serangan kritik tanpa henti yang sudah pasti akan membuat kita kelelahan atau putus asa. Saya mencoba untuk menjadi orang yang berkulit lebih tebal selama bertahun-tahun. Namun itu tidak pernah berhasil, dan saya ragu itu akan berhasil. Pasti ada cara yang lebih baik.

Diserang

Perjalanan saya dalam menghadapi kritik yang menyakitkan dimulai sekitar satu dekade lalu ketika saya menjadi bagian dari transisi sebuah komunitas iman yang bergaya liturgi ibadah tradisional ke bentuk yang lebih modern. Pergeseran dramatis ini, yang mencakup perubahan-perubahan seperti musik yang lebih keras, pembaruan pencahayaan dan produksi, dan, tentu saja, mesin kabut, disambut baik oleh sebagian orang tetapi membuat frustrasi orang-orang yang lain. Ini menjadi semacam pergeseran yang membuat para pendeta semakin kurang tidur. Pergeseran ini juga menimbulkan beberapa umpan balik yang mengejutkan: Musiknya terlalu keras. Lagu-lagunya tidak familiar. Penampilan pelayannya terlalu trendi.

Namun yang benar-benar menyakitkan adalah saat kritik tersebut berubah menjadi serangan terhadap karakter atau kesetiaan seseorang kepada Tuhan. Bagi mereka yang tidak senang, ternyata tidak cukup hanya dengan mengatakan tidak setuju—komentar mereka harus didukung dengan pembenaran teologis yang semu.

Kami dihadapkan pada pertanyaan yang menantang: Bagaimana kami memimpin gereja untuk menghadapi perubahan dramatis dengan cara yang menghormati pendapat mereka yang paling terpengaruh oleh perubahan tersebut dan menghormati visi yang telah Tuhan berikan kepada kami? Ini adalah pertanyaan krusial yang berhubungan dengan banyak situasi yang sering dihadapi pendeta: Bagaimana kita bisa mendengarkan dengan baik namun tetap mempertahankan keyakinan kita? Bagaimana kita membedakan masukan yang baik dari respons yang reaktif? Apa yang diperlukan untuk menciptakan budaya gereja yang sehat di tengah kritik dan masukan?

Dalam transisi gaya penyembahan tersebut, saya memulai sebuah perjalanan untuk menemukan bahwa jawaban atas semua pertanyaan ini sebenarnya adalah dengan menerima lebih banyak masukan dan mendengarkan lebih banyak kritik, bukan lebih sedikit. Untuk pertama kalinya, saya mulai memahami bahwa menangani kritik dengan baik tidak terlalu berkaitan dengan membangun cangkang yang lebih tebal, melainkan lebih banyak berkaitan dengan struktur gereja kita dan ritmenya terhadap masukan yang sehat.

Masukan dari jemaat

Kita semua pasti pernah menghadapi orang-orang dengan suara kritis yang kita takuti di gereja, karena tampaknya mereka selalu punya “umpan balik” untuk kita. Pendeta dan pelatih kepemimpinan Steve Cuss menyebut orang-orang semacam ini sebagai “tersangka yang biasa.” Kita tidak bisa berkata bahwa kita tidak ingin mendengar masukan mereka, karena dengan demikian kita terlihat tidak mau diajar atau sombong, namun kita selalu merasa diri menjadi lebih buruk setelah berbicara dengan mereka.

Sementara itu, orang-orang lain di komunitas kami umumnya menghindari konflik dan tidak nyaman untuk membicarakan tentang keprihatinan mereka. Orang-orang ini biasanya harus benar-benar marah dulu sebelum mereka akhirnya mau berbicara—jadi pada saat mereka mulai memberi masukan, kita mendapati diri kita seperti berada di puncak frustrasi yang tertahan selama setahun! Pada saat itu, tanpa kita sadari, hubungan tersebut kemungkinan besar telah terkorosi sedemikian rupa di pihak mereka sehingga hampir tidak mungkin untuk dipulihkan.

Kabar baiknya adalah bahwa mengembangkan kebiasaan dan ritme yang baik untuk memberi masukan atau umpan balik di gereja kita dapat membantu mengatasi kedua tantangan ini. Dalam kasus pertama, hal ini dapat menjadi saluran bagi suara-suara kritis di jemaat kita. Mengembangkan kebiasaan dan ritme yang baik ini akan melindungi para pendeta agar tidak dibutakan oleh kritik dan memberi kita konteks khusus di mana kita dapat siap secara mental dan emosional untuk menerimanya. Lalu dalam kasus kedua, sarana ini akan menjadi undangan dan sistem penghargaan yang alami untuk berbagi masukan sebelum mencapai titik yang meledak-ledak.

Saat kita membuat beberapa saluran umpan balik dan menormalkan proses saling memberi masukan ini, kita tidak hanya menciptakan sebuah sistem, melainkan kita sedang mengomunikasikan sikap kerendahan hati. Hal ini mendorong jemaat untuk memberi masukan sebelum relasi menjadi buruk, dan memungkinkan para pemimpin gereja untuk mendapatkan manfaat dari kebijaksanaan komunitas mereka. Meskipun tentu saja ada beberapa pengecualian, tetapi sebagian besar masukan dimulai sebagai keinginan untuk memperkuat apa yang sudah mereka sukai, bukan untuk menghancurkan apa yang tidak lagi mereka inginkan. Ritme umpan balik yang konsisten dan sehat di dalam gereja akan memungkinkan para pendeta untuk merespons kritik dengan lebih baik secara personal dan jemaat bisa mendapatkan manfaat secara organisasi.

Sesi mendengarkan

Selama menghadapi segala tantangan di tahun 2020, seperti banyak gereja lainnya, kami menghadapi konflik yang menyakitkan. Sejumlah orang yang dekat dengan saya memutuskan untuk meninggalkan gereja kami atau merasa sangat frustrasi. Banyak yang membicarakan keprihatinan mereka secara langsung kepada saya—ini hal yang lebih saya sukai tetapi juga lebih menyakitkan. Sangat mudah untuk merasa disalahpahami atau merasa bahwa orang lain tidak memahami tantangan yang dihadapi para pemimpin gereja saat itu. Namun, ketika saya merenungkan percakapan-percakapan ini, kesamaan yang muncul adalah perasaan bahwa orang-orang tidak merasa didengarkan di gereja kami; karena itu, mereka tidak merasa betah.

Salah satu ciri yang khas dari sikap mendengarkan dengan baik adalah kemampuan untuk tetap fokus pada orang yang sedang menyuarakan perspektifnya. Tantangan dalam menerima kritik adalah dorongan naluriah untuk mengalihkan fokus kembali kepada kita, biasanya dengan berusaha membela diri. Dalam gereja (dan dalam relasi pada umumnya), percakapan umpan balik tidak berjalan baik bukan hanya karena orang-orang merasa tidak setuju, melainkan juga karena mereka merasa tidak didengar. Membuat orang merasa didengar berkaitan langsung dengan kemampuan kita untuk menerima—untuk benar-benar mendengarkan—umpan balik. Dalam pengertian ini, nasihat Yakobus menuntut tingkat kecerdasan relasional yang tinggi: “…hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yak. 1:19).

Sebagai hasil dari mempelajari sumber materi dan teknik untuk mendengarkan dengan baik, gereja kami mengembangkan sesi mendengarkan di mana para pemimpin gereja duduk bersama anggota jemaat komunitas kami, dan satu-satunya peran kami adalah mengajukan pertanyaan seputar topik yang diperdebatkan dan kemudian mendengarkan serta mencatatnya. Kami berada di sana bukan untuk menantang, mempertanyakan, mengkritik, atau bahkan menanggapi. Kami hanya mendengarkan dan mengajukan pertanyaan klarifikasi dalam upaya mengomunikasikan keinginan untuk mendengar. Kami menyaksikan bahwa sesi ini sangat membantu dalam menciptakan ruang bagi jemaat untuk mengomunikasikan pandangan mereka tentang berbagai hal, dan juga menolong kami sebagai tim pemimpin gereja untuk bertumbuh dalam mendengarkan tanpa membela diri.

Pertemuan Skip-Level

Saya pertama kali mendengar tentang pertemuan skip-level di siniar The Andy Stanley Leadership. Pada dasarnya, ini adalah percakapan umpan balik di mana pemimpin sebuah organisasi mengumpulkan masukan dari orang-orang di dua atau tiga level di bawahnya (jadi melewatkan satu level kepemimpinan atau lebih di bawahnya). Dalam gereja kami, para penatua secara posisi berada di atas saya, jadi mereka “melewati” saya dan mencari masukan dari anggota tim yang melapor langsung kepada saya. Percakapan model ini digunakan untuk mengumpulkan masukan tentang budaya dan pengalaman staf, termasuk bagaimana saya dapat melayani dan memimpin tim saya dengan lebih baik, bagian mana yang kurang jelas, tantangan unik apa yang mereka alami, dan apa pun yang mungkin berguna bagi para penatua untuk melayani staf dan gereja kami.

Pertemuan skip-level ini memungkinkan para penatua untuk mencapai dua hal: Pertama, mereka bisa mendapatkan lebih banyak masukan secara langsung dan jujur dari setiap anggota tim (karena orang tersebut tidak diminta untuk menyampaikannya secara langsung kepada atasannya). Kedua, para penatua dapat mendengar umpan balik sebagaimana adanya, bukan melalui filter interpretasi saya. Setelah melakukan beberapa kali percakapan skip-level, para penatua kemudian mengambil informasi yang telah mereka kumpulkan, mengekstrak bagian-bagian yang perlu dikembangkan, dan melaporkannya kepada saya (dengan anonimitas). Proses ini membebaskan para anggota tim dari kekhawatiran tentang bagaimana masukan mereka akan memengaruhi hubungan kami atau membahayakan pekerjaan mereka. Ini juga membebaskan saya untuk mendengar umpan balik melalui filter tentang bagaimana saya dapat menjadi lebih baik, dan bukan tentang “Apa yang orang ini pikirkan tentang saya?”

Namun hasil terbesar dari semuanya itu adalah sebuah budaya. Sarana memberi masukan ini membantu para anggota tim untuk merasakan bahwa pandangan mereka dihargai dan diterima, mereka bisa bersuara, dan mereka memiliki jalan untuk mengomunikasikan kebutuhan atau masalah mereka.

Pertemuan skip-level ini sangatlah bermanfaat ketika kami akhirnya kembali mengadakan kebaktian mingguan rutin secara tatap muka pada tahun 2021. Gereja kami kehilangan banyak relawan di awal proses tersebut, jadi saya memprakarsai beberapa pertemuan skip-level secara langsung dengan para relawan untuk memahami alasannya. Dalam umpan balik yang dikumpulkan dari mereka yang telah berhenti dan mereka yang masih melayani, rasa frustrasi yang mereka ceritakan berkisar dari soal ketidakteraturan persediaan yang ada, kurangnya perencanaan ke depan, dan terlalu sering memakai orang yang sama secara berulang-ulang (karena kurangnya relawan) hingga soal pelatihan yang tidak memadai, komunikasi yang tidak konsisten, serta pengalaman yang kacau dan tergesa-gesa sebagai gereja yang tidak memiliki tempat yang menetap.

Dari percakapan ini, kami dapat menyaring prioritas yang paling penting dan menyusun rencana tindakan untuk meningkatkan pengalaman para relawan kami. Namun yang paling penting, proses ini mengomunikasikan kepada mereka bahwa kami mendengarkan, kami peduli dengan apa yang kamu alami, dan kami sedang berusaha untuk memperbaikinya.

Penilaian triwulan

Sarana ketiga yang saya gunakan untuk mengumpulkan umpan balik adalah penilaian triwulan. Karena kami tidak ingin menciptakan budaya di mana nilai seseorang secara langsung terkait dengan kinerjanya, awalnya staf kami sempat menolak metode tersebut. Namun ketika saya menemukan kebutuhan untuk menerima umpan balik yang lebih baik, saya mempertimbangkan kembali penilaian itu, dan sejak itu kami menjadikannya bagian dari ritme staf kami—tetapi dengan beberapa penyesuaian penting.

Pertama, dan yang paling penting, dalam budaya ritme umpan balik yang sehat, saya tahu bahwa sangat penting bagi saya untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri (bukan hanya untuk anggota staf). Kedua, kami memasukkan penilaian diri sendiri sebagai bagian dari proses. Saya merasa hal ini sangat membantu dalam pelayanan pastoral saya. Dalam penilaian terhadap diri sendiri, saya menjawab pertanyaan yang sama tentang diri saya yang juga akan dijawab oleh para penatua kami (atasan-atasan saya) tentang saya. Jika saya jujur pada diri sendiri, maka hal ini menanamkan sedikit kerendahan hati dalam keseluruhan proses penilaian tersebut. Tentu sangatlah tidak realistis untuk berharap mendapatkan nilai sempurna dalam segala hal. Penilaian terhadap diri ini mempersiapkan jalan sehingga ketika kami berkumpul untuk berbincang-bincang, saya sudah siap dengan pemikiran tentang bagian-bagian yang perlu saya tingkatkan, dan saya juga telah siap untuk bersikap rendah hati dalam menerima umpan balik mereka. Hal ini membuat percakapan tersebut menjadi tidak terlalu bersifat pribadi dan jauh lebih konstruktif.

Lebih banyak, bukan lebih sedikit

Rahasia untuk menghadapi umpan balik yang negatif bukanlah mencoba mengembangkan semacam mitos kulit yang kebal terhadap tusukan kritik yang emosional. Tidaklah masuk akal untuk berpikir bahwa kita para pendeta dapat menerima komentar negatif tentang kita, kinerja kita, atau kepemimpinan kita dan tidak pernah tersakiti oleh mereka secara pribadi. Itu adalah kebohongan yang entah bagaimana terus kita pertahankan, hanya karena kedengarannya bagus. Namun inilah saatnya untuk mengakui kebenaran: Kulit yang tebal adalah sebuah mitos.

Sekalipun menggoda kelihatannya, rahasia kita sebagai pendeta dalam menghadapi kritik bukanlah dengan menghindarinya atau tidak mendengarkannya. Rahasia menangani kritik dengan baik adalah menciptakan saluran dan praktik yang memungkinkan untuk menerima lebih banyak kritik, tetapi dengan cara yang lebih sehat. Tentu saja hal ini tidak akan sepenuhnya menghilangkan sengatan kritik, dan juga tidak akan menghilangkan semangat kritis seseorang dalam jemaat kita. Akan tetapi, sarana umpan balik yang sehat menyediakan jalur yang tidak terlalu personal untuk terjadinya komunikasi ini sehingga kita, sebagai pemimpin, dapat tetap rendah hati, dapat diajar, dan menerima nasihat yang bijak tanpa harus dihancurkan oleh pukulan emosional yang menyertai kritikan tersebut.

Ike Miller adalah penulis Seeing by the Light dan gembala sidang Bright City Church di Durham, Carolina Utara. Ia meraih gelar doktor dalam bidang teologi dari Trinity Evangelical Divinity School.

Artikel ini adalah bagian dari edisi spring CT Pastors yang menggali persoalan kesehatan gereja. Anda dapat menemukan edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh Paul Sagajinpoula.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube