Hidup sebagai Bunga yang Layu

Rabu Abu meruntuhkan ilusi bahwa kita tak terkalahkan.

Christianity Today February 14, 2024
Poppies & Dogwood oleh Elizabeth Bowman. Lukisan cat minyak pada kanvas. 2023.

Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan. Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan. — Ayub 14:1-2

Setiap tahun sekitar Rabu Abu, lereng bukit dekat rumah kami di pegunungan Carolina Utara bagian Barat dipenuhi bunga bakung kuning yang mulai bertunas. Ini adalah bunga musim semi pertama yang mekar, dan rona emasnya sangat kontras dengan warna abu-abu dan coklat di musim dingin di sekitarnya.

Meski bunganya semarak, tetapi umurnya pendek. Pada hari-hari setelah berkembang, bunga-bunga bakung tersebut tersapu dinginnya angin pegunungan yang selalu bertahan lebih lama dari yang kita perkirakan. Embun beku atau hujan salju yang tertinggal pasti akan menempel pada kelopak bunga yang menyusut, yang terkadang mengurangi keindahannya. Setelah beberapa minggu, bunga-bunga yang layu dan berwarna coklat itu akhirnya berjatuhan ke bumi yang membeku, mengandaskan optimisme kami bahwa hari-hari yang hangat sudah dekat.

Tidak heran jika Ayub—seorang pria yang penderitaannya sangat menonjol dalam narasi Alkitab—membandingkan kerapuhan hidupnya yang fana dengan kerapuhan sekuntum bunga yang lembut. Sekalipun ia mempunyai kekayaan yang luar biasa, meskipun ia termasuk sebagai orang yang saleh, tetapi ia rapuh. Dia jujur, berhikmat, dan sama rentannya dengan orang lain bila diperhadapkan dengan bencana. Harta miliknya dihancurkan oleh api dan para panglima perang, anak-anaknya terbunuh dalam bencana alam, dan kesehatannya yang baik pun lenyap karena penyakit yang menyiksa. Setelah bencana-bencana ini, Ayub menyadari sepenuhnya akan apa yang sangat menyiksa bagi kita semua: Hari-hari kita adalah hari-hari yang berlalu begitu saja dan fana, yang kita jalani setelah kejatuhan manusia.

Bagi kita yang merasa diri memiliki hak istimewa, sangat mudah untuk memegang kendali: Generasi kita memiliki akses yang belum pernah ada sebelumnya terkait makanan, air, tempat tinggal, dan perawatan medis. Kemampuan kita untuk membuat pilihan mengenai apa yang akan kita lakukan di dunia kerja, dengan siapa kita akan menikah, dan komunitas mana yang akan kita ikuti, semua itu merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sementara itu, industri self-help dan kesehatan telah menanamkan gagasan dalam diri kita bahwa kita dapat menghindari perasaan atau pengalaman tidak nyaman. Kelelahan bisa diatasi dengan resep smoothie sayur-sayuran atau minyak atsiri yang tepat, kekacauan dapat dikendalikan dengan aplikasi manajemen waktu yang sempurna, kesedihan dapat diredakan melalui pikiran yang penuh perhatian atau meditasi, dan kebosanan dapat diatasi dengan layanan lansiran atau platform media sosial.

Terlebih lagi, sebagai umat kristiani, kita dapat percaya bahwa teologi yang kuat dan komitmen yang teguh terhadap disiplin rohani dapat menjadi benteng melawan hantaman kehidupan. Mungkin teman-teman Ayub berasumsi hal yang sama tentang rekan mereka yang saleh.

Perlahan-lahan kebohongan pun mulai muncul: Saya bisa mengendalikan hasil upaya saya. Saya dapat menghindari penderitaan.

Ilusi yang tak terkalahkan ini menjelaskan mengapa begitu banyak dari kita yang merasa bingung—bahkan tersinggung—ketika kesulitan yang tak terelakkan itu datang. Sungguh merupakan hal yang merendahkan hati ketika menyadari bahwa penderitaan dan kematian adalah bagian dari kehidupan manusia, tidak peduli seberapa besar kebajikan, kewaspadaan, atau keistimewaan kita. Kehidupan kita bukan seperti benteng yang dibangun dengan kokoh melainkan lebih seperti bunga yang cepat layu. Kita semua terpapar secara menyakitkan, sama rentannya dengan bunga bakung yang mekar di tengah cuaca dingin yang brutal.

Yesus mengingatkan kita akan kenyataan yang berpotensi meresahkan bahwa Allah “menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:45). Namun dalam khotbah yang sama, Yesus meminta kita untuk tidak khawatir; untuk tidak takut tentang apa yang akan kita makan atau minum atau pakai. “Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal,” kata-Nya (6:28).

Bunga bakung dibalut keindahan tanpa usahanya sendiri. Bunga-bunga itu “tanpa bekerja dan tanpa memintal” karena Tuhan adalah seniman yang mengawasi tumbuhnya dan layunya bunga tersebut. Tuhan yang sama pun mengetahui apa yang kita butuhkan. Rasa malu atas ketidakberdayaan terkadang bisa membawa kita kepada suatu bentuk peristirahatan yang tak terduga, membuat kita mundur sejenak dari upaya kita untuk mengendalikan hasil usaha kita, suatu rehat dari jerih payah kita sendiri.

Saya menjadikannya misi pribadi untuk memperhatikan bagaimana bunga bakung itu tumbuh, untuk mengagumi kecemerlangannya daripada meratapi singkatnya masa hidup bunga itu. Meskipun kehidupan bunga itu singkat, namun bunga itu benar-benar merupakan sebuah mercusuar harapan—suatu pengingat bahwa musim memang berubah, bahwa kehangatan selalu datang, dan bahwa kemuliaan mungkin terjadi bahkan di lingkungan yang paling keras sekalipun. Tuhan, dan hanya Tuhan, yang menjadikannya demikian.

Tidak pernah ada musim dingin ketika lereng bukit itu belum dibangkitkan menjadi indah. Bunga-bunga bakung itu terasa seperti sebuah keajaiban, suatu pertanda akan kebangkitan yang lebih besar yang akan datang. Bahkan harapan yang paling lemah sekalipun, dengan pemeliharaan Tuhan, dapat berkembang menjadi sukacita yang kekal.

Renungkan



1. Seberapa meresahkan hidup kita bila dibandingkan dengan bunga-bunga itu? Bagaimana pemahaman ini dapat menghibur kita?
2. Bagaimana ilusi akan kendali kita diperkuat oleh hak istimewa yang kita miliki? Bagaimana melepaskan ilusi akan kendali itu dapat membawa kita pada ketenangan?

Amanda Held Opelt adalah seorang penulis, pembicara, dan pencipta lagu. Dia menulis tentang iman, duka, dan kreativitas serta telah menerbitkan dua buku.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Paskah dalam Keseharian

Renungan Prapaskah hingga Paskah dari Christianity Today.

Christianity Today February 14, 2024
Zatelepina / Getty

Mari kita persiapkan hati bersama-sama selama masa menjelang Paskah ini dan seterusnya. Peristiwa yang terjadi lebih dari 2.000 tahun lalu ini masih bergema di seluruh bagian hidup kita hingga saat ini. Kematian dan kebangkitan Yesus adalah realitas yang paling kuat dan memengaruhi dunia dalam sejarah, dan kita masih menemukan kebenaran tersebut diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kini bergantung kita untuk mengingat, merenungkan, dan tinggal di dalam konsekuensi-konsekuensi yang mulia dari kasih Kristus dalam keseharian kita, yang dinyatakan melalui kerendahan hati dan kuasa-Nya, krisis dan kemenangan, keputusasaan dan sukacita yang meluap-luap. Ia telah mati dan Ia sungguh telah bangkit, dan hal itu mengubah segalanya—bahkan pada bagian kecil dari kehidupan kita sehari-hari. Seiring kita mempersiapkan hati, renungan ini mengundang Anda masuk ke dalam perjalanan Prapaskah dan Paskah melalui berbagai tahapan perjalanan emosional dan kebenaran teologis tentang kematian, kehidupan, dan segala sesuatu di antara keduanya.

Paskah dalam Keseharian dibagi menjadi tiga bingkai yang masing-masing mewakili realitas emosional yang berbeda sepanjang perjalanan Paskah. Bingkai pertama membawa kita melewati masa dalam kalender gereja yang disebut Prapaskah, di mana kita akan berhadapan dengan kerapuhan kemanusiaan kita, memeriksa keterbatasan kedagingan kita, dan merangkul panggilan untuk hidup berkorban, berpuasa, dan menyangkal diri. Bingkai kedua akan membawa kita menjalani Pekan Suci dan mempersiapkan kita untuk Paskah, dengan bersandar pada penantian akan pengharapan. Akhirnya, kita akan menyelami gejolak dan intensitas pengkhianatan, penyaliban, dan kebangkitan serta penyatuan kembali dengan Yesus. Melalui perjalanan ini, kasih dan ketakjuban telah mengalahkan sengat duka dan kematian di panggung kekekalan, serta dalam kehidupan kecil kita yang kelak akan diangkat ke dalam kemuliaan.

Prapaskah

Pekan Suci

Paskah

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Cara Mengatasi Persahabatan yang Toksik

Tiga sarana untuk membantu kita mengembangkan empati.

Christianity Today January 30, 2024
Ilustrasi oleh Sergey Isakov

Delapan tahun lalu, adik laki-laki saya, Timothy D. Kim, dibunuh. Tim dan saya tidak selalu akur atau sepakat dalam segala hal; kami sangat berbeda. Namun Tim memiliki banyak kualitas bagus. Kami berbagi banyak tawa dan kasih. Hati saya berduka setiap kali saya mendengar bahwa ada saudara-saudara kandung yang tidak lagi saling berbicara.

Bahkan dalam keluarga inti, kita banyak berbeda pendapat dalam setiap topik—baik politik, sains, imigrasi, gender, ras, iklim—sampai pada titik di mana kita tidak lagi berbicara satu sama lain. Apakah perbedaan pendapat sedemikian penting untuk “memutuskan” pertalian darah dan daging kita? Demikian pula, bisakah kita mengabaikan teman-teman kita begitu saja karena perbedaan pendapat, seperti yang sedang tren saat ini? Bukankah hubungan yang berharga dengan anggota keluarga dan teman-teman kita patut diperjuangkan?

Selama setahun terakhir, saya mulai menemui psikolog dan psikiater Kristen terkait trauma-trauma jangka panjang dan masalah-masalah kesehatan mental yang terkait.

Suatu sore, saya dan psikolog saya sama-sama menyayangkan kondisi masyarakat saat ini. Ia mengamati sesuatu yang begitu sederhana tetapi sangat sulit diterima oleh banyak orang: “Tuhan tidak pernah bermaksud agar kita sepakat dalam segala hal. Etika dasar manusia adalah bahwa setiap orang bisa memiliki pendapat yang berbeda.”

Orang akan berbeda pendapat dan diharapkan untuk berbeda pendapat satu sama lain. Jika demikian, mengapa sulit sekali untuk membiarkan adanya perbedaan pendapat dan tetap bersikap sopan satu sama lain? Dalam persoalan-persoalan yang tidak penting, mengapa kita tidak bisa berbeda pendapat dan tetap bersahabat? Mengapa kita begitu takut dianggap menjadi “yang lain”?

Mengapa kita dengan mudahnya mengabaikan atau mengakhiri hubungan dalam keluarga Allah—yang memiliki darah rohani yang sama dengan kita? Entah perdebatan mengenai perempuan dalam kepemimpinan pastoral, nasionalisme Kristen, atau rasisme, konflik-konflik yang sengit menyebabkan keretakan hubungan dan kehancuran di dalam gereja.

Misi utama Iblis adalah untuk memisahkan manusia satu dari yang lainnya dan dari Tuhan, baik dengan mengisolasi kita selama COVID-19 atau dengan memecah-belah kita menjadi beberapa kelompok melalui media sosial.

Si Pendakwa memakai perselisihan biasa dalam hidup dan mengangkatnya menjadi sesuatu yang beracun. Setiap kali kita mengobarkan api kemarahan dan permusuhan, kita memajukan rencana Iblis untuk memecah belah dan menjajah umat Kristen, bukannya menabur perdamaian dan mengasihi sesama dengan baik.

Dalam kata pengantar buku The Empathy Effect: 7 Neuroscience-Based Keys for Transforming the Way We Live, Love, Work, and Connect Across Differences karya Helen Riess, aktor Alan Alda bertanya,

Apa yang membuat kita bisa terhubung dengan orang lain? Apa yang membantu kita untuk membangun berbagai hal bersama-sama? Apa yang menolong kita untuk berkolaborasi tanpa mementingkan diri sendiri? Kekuatan dahsyat apa yang dapat mendorong kita menjadi diri kita yang terbaik? … Bagaimana kita dapat menggapai hal yang sangat mendasar yang membantu kita berkembang?

Secara harfiah diterjemahkan dari bahasa Yunani untuk kata “dalam” (em) dan “perasaan” (phaty), empati melibatkan “kemampuan untuk membayangkan dan memahami pikiran, perspektif, serta emosi orang lain,” menurut Oxford’s Concise Medical Dictionary. Empati membantu kita merasa diperhatikan dan dikenal.

Tentu saja, berempati bukanlah upaya yang mudah. Secara alkitabiah, hal ini merupakan perluasan dari penerapan etika relasional Paulus:

…dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. (Flp. 2:3–4)

Ada tiga praktik yang bisa membantu kita berempati, agar kita bisa lebih menyerupai Kristus daripada budaya dunia:

Pertama, empati mengharuskan kita melepaskan berhala-berhala kita. “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” adalah perintah pertama (Kel. 20:3). Jika sesuatu, seseorang, atau suatu ideologi begitu penting bagi kita sehingga kita merasa harus “membatalkan” atau mengakhiri interaksi dengan orang lain, maka kita mungkin sedang melakukan penyembahan berhala. Tidak ada yang lebih penting daripada Tuhan dan kehendak-Nya. Tuhan ingin kita mengasihi orang lain, meski di kala kita berbeda pendapat.

Ideologi, identitas, atau praktik apa yang menyebabkan kita bersengketa dan bertengkar dengan orang lain? “Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?” menurut Yakobus 4:1.

Untuk berempati dengan orang lain, saya harus bersedia mengakui bahwa unsur-unsur yang memisahkan kita mungkin disebabkan oleh penyembahan berhala saya. Apakah saya bersedia mendengarkan pandangan atau pengalaman orang lain dan menunda bantahan apa pun? Apakah saya rela merobohkan berhala-berhala saya demi persatuan gereja dan umat Tuhan serta menjaga persekutuan? Akankah saya mengakui berhala-berhala ini secara teratur kepada Tuhan dan orang lain? Akankah saya akan membasminya dari hidup saya? Berhala-berhala yang menghancurkan hubungan perlu diakui dan disingkirkan.

Kedua, empati mengharuskan kita untuk mendengarkan orang lain, terlepas dari apakah kita menganggap mereka benar atau salah. Terlalu banyak dari kita yang lebih menghargai kebenaran diri daripada relasi.

Beberapa tahun yang lalu, saya menyaksikan dengan ngeri ketika seorang pendeta dan salah satu jemaatnya bertengkar secara terbuka di media sosial mengenai masalah baptisan. Alih-alih memprioritaskan hubungan, pendeta malah mencaci-maki anggota gerejanya dan menyebut dia sesat karena tidak sependapat dengannya. Pertengkaran tanpa filter dan memilukan ini dipertontonkan kepada dunia. Saya menduga orang itu meninggalkan gerejanya, tetapi saya berdoa kiranya dia tidak meninggalkan imannya.

Tidak ada seorang pun yang ingin berbuat salah dan hanya sedikit dari kita yang senang ditantang. Namun kita bisa menunjukkan kebaikan bahkan ketika kita berpikir kita benar, karena panggilan kita sebagai orang Kristen adalah menjadi agen kasih karunia. Surat 1 Petrus menyatakan, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (4:10). Kita dapat mengevaluasi persahabatan kita selama dua atau tiga tahun terakhir dan bertanya pada diri sendiri, Apakah saya kehilangan teman karena “merasa benar”? Apakah di masa mendatang saya akan lebih memilih relasi daripada kebenaran diri?

Ketiga, empati membutuhkan berbagai perspektif. Seperti kebanyakan orang, saya senang membaca buku, artikel jurnal, dan ulasan yang pada dasarnya mengatakan bahwa saya benar. Sungguh menyenangkan ketika membaca tulisan penulis yang memperjuangkan klaim kita. Namun seperti yang dikatakan rekan saya, Scott M. Gibson, kepada saya, semakin sering kita membaca penulis yang sama, penerbit yang sama, jurnal dan majalah yang sama, pamflet denominasi yang sama, dan outlet berita yang sama, maka alam pemikiran kita akan semakin mengecil, menguat, dan tertutup rapat.

Bisakah kita mencoba membaca satu buku utuh di tahun ini dari seorang penulis di kubu lain atau dengan perspektif yang sama sekali berbeda? Buku tersebut mungkin akan membuat kita marah. Kita mungkin akan tidak setuju. Kita mungkin akan sangat membenci buku itu. Namun bisakah kita mencoba mencatat beberapa wawasan atau “kelebihan” yang patut dipuji dari buku tersebut?

Jika kita hanya membaca buku-buku para pahlawan teologis, penulis Kristen, dan novelis kesayangan kita, hal ini akan mengurangi apresiasi dan kemampuan kita untuk melihat dunia dari pengalaman orang lain. Mungkinkah mereka mengatakan sesuatu yang belum kita pertimbangkan, perhatikan, atau alami sendiri? Membaca dalam lingkaran umpan balik positif akan menahan kemampuan untuk berpikir bagi diri kita sendiri. Empati muncul ketika kita membaca dan mencerna perspektif yang berlawanan, bahkan ketika hal tersebut terasa menyebalkan.

Saya pikir Alan Alda benar bahwa empati adalah “saus rahasia” yang sangat dibutuhkan, yang telah hilang dari budaya kita. Kita dapat dan harus mengejar empati dengan intensionalitas dan doa. Bukan berarti kita menjadi pribadi seperti keset yang cemas (anxious doormats), yang membiarkan orang lain berlaku buruk terhadap kita dan takut mengekspresikan diri kita. Sebaliknya, “kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1Yoh. 4:18).

Pada akhir hidup kita, saya berdoa kiranya kita tidak melihat ke belakang pada masa-masa yang terpolarisasi ini dan bertanya, Apakah saya seharusnya lebih peduli untuk menempatkan orang-orang lain pada tempatnya atau lebih peduli pada orang-orang yang baginya Yesus rela mati?

Maka, ya Tuhan, mohon berilah kami semangat empati. Kiranya hal ini dimulai dari saya. Kiranya hal ini dimulai dari kami, “Kristus-Kristus kecil.” Ini adalah hal yang sangat dibutuhkan dunia saat ini.

Matthew D. Kim adalah profesor teologi praktika dan Kepala Kepemimpinan Pastoral Hubert H. dan Gladys S. Raborn di Truett Theological Seminary (Baylor University) serta penulis buku yang akan diterbitkan Becoming a Friendlier Church (Lexham Press, 2024). Speaking Out adalah kolom opini penulis tamu dari Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Umat Kristen di Indonesia Terpecah dalam Memilih Pemimpin Negara Selanjutnya

Seiring presiden yang pernah dicintai ini mengakhiri masa jabatannya dengan penuh kontroversi, para pemimpin gereja tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang akan menjadi kandidat terdepan dalam pemilu di Februari mendatang.

Billboard dua pasang calon dan calon legislatif lainnya yang mencalonkan diri pada pemilu mendatang di Indonesia.

Billboard dua pasang calon dan calon legislatif lainnya yang mencalonkan diri pada pemilu mendatang di Indonesia.

Christianity Today January 30, 2024
Juni Kriswanto / Kontributor / Getty

Oktober lalu, reputasi presiden Indonesia yang sangat disegani ini mengalami pukulan telak.

Dipimpin oleh saudara ipar Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Mahkamah Konstitusi Indonesia menghapus batasan usia calon presiden dan wakil presiden jika mereka pernah menduduki jabatan daerah melalui pemilu. Dengan mudahnya, hal ini membuka jalan bagi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, 36, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden untuk kandidat Prabowo Subianto, dalam pemilihan presiden 14 Februari.

“Itu hal terburuk yang terjadi pada demokrasi kita,” kata Yonky Karman, seorang dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta. “Pemilu [yang akan datang] ini diatur oleh petahana untuk menawarkan kandidat pilihannya, dan yang terburuk adalah ia memberikan jalan bagi putra sulungnya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden dengan mengubah undang-undang pemilu.”

Lima tahun lalu, 97 persen non-muslim memilih Jokowi. Namun kali ini, dukungan umat kristiani terpecah.

Dalam negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, umat muslim berjumlah 87 persen dari populasi sementara umat kristiani berjumlah 10 persen. Bagi umat Kristen, persoalan terpenting saat memilih dalam pemilu adalah menjaga hak-hak mereka sebagai agama minoritas. Oleh karena itu, sebagian besar mereka mendukung Jokowi dalam dua pemilu terakhir.

Namun kali ini, keputusannya lebih rumit. Eks jenderal Prabowo adalah mantan saingan lama Jokowi, yang kemudian bergabung dengan koalisi presiden dan menjabat sebagai menteri pertahanan. Umat kristiani khawatir karena, dalam dua pemilu terakhir, ia mendapat dukungan dari kelompok muslim radikal.

Prabowo mencalonkan diri berhadapan dengan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, yang keduanya adalah mantan gubernur. Anies juga tidak asing dengan berita utama, setelah menerima dukungan dari muslim radikal yang menentang keras saingannya, Basuki “ Ahok” Tjahaja Purnama yang merupakan seorang Kristen dari etnis Tionghoa, pada pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017. Sementara itu, beberapa pihak khawatir tentang seberapa besar Ganjar, yang mendapat dukungan dari kaum muslim moderat, akan dipengaruhi oleh mantan presiden Megawati Sukarnoputri.

Saat ini, Prabowo unggul dalam jajak pendapat dengan 47 persen suara, dibanding Ganjar dengan 25 persen dan Anies dengan 21 persen, menurut jajak pendapat pada bulan Desember 2023.

Namun, jika tidak ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dan memenangkan setidaknya 20 persen suara di separuh provinsi di Indonesia, pemilihan putaran kedua akan dijadwalkan pada bulan Juni.

Para responden menyebutkan bahwa, meskipun jumlah pemilih Kristen terpecah, upaya Jokowi demi “politik dinasti” mendominasi percakapan di kalangan umat Kristen.

Franz Magnis-Suseno, seorang imam dari Ordo Jesuit dan profesor yang telah menulis beberapa buku tentang filsafat politik, menyatakan bahwa Indonesia berada dalam “situasi yang sangat berbahaya.”

“Bagi banyak dari kita, pertanyaannya adalah bagaimana demokrasi Indonesia akan berjalan?” kata Magnis-Suseno. “Di bawah pemerintahan Jokowi, demokrasi sedang mengalami kemerosotan… ke jurang kehancuran.”

Seorang ‘presiden yang rendah hati dan membumi’

Lima tahun lalu, tak terpikirkan sosok sepopuler Jokowi akan menimbulkan begitu banyak kontroversi .

“[Jokowi] dikenal sangat demokratis dan dia… menekankan pluralitas budaya dan agama di Indonesia,” kata Andrew Kristanto, seorang vikaris sebuah gereja Indonesia di Selandia Baru. Kristanto adalah salah satu dari 1,7 juta lebih pemilih di luar negeri pada pemilu 2024. Meskipun ia telah tinggal di luar negeri selama delapan tahun terakhir, ia mengaku mengikuti perkembangan politik Indonesia dengan cermat.

Dia menggambarkan Jokowi sebagai “presiden yang rendah hati dan membumi, [yang] dicintai semua orang.” Kristanto percaya bahwa Indonesia akan menjadi “kekuatan yang berkembang di Asia, dan bahkan di dunia” ketika Jokowi menjadi presiden dan menunjuk pada pencapaian-pencapaiannya, seperti pengakuan dari para pemimpin dunia, pertumbuhan infrastruktur, dan minimalisasi radikalisme Islam.

“Dia benar-benar peduli pada kaum minoritas, pada rakyat kecil,” katanya.

Andreas Hauw, seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara dan pendiri lembaga pendidikan politik non profit di Malang, Indonesia, sependapat. Ia mencatat, umat Kristen dan masyarakat luas menyetujui kinerja Jokowi dalam sembilan tahun terakhir.

Selama pemerintahan beliau, pemerintah meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan serta melakukan standardisasi harga bahan bakar di berbagai daerah, katanya.

“Meski masih terdapat tindakan radikalisme seperti pelarangan gereja, namun terjadi secara sporadis,” kata Hauw. “Secara umum, umat Kristen menikmati kebebasan beribadah yang besar.”

Jokowi melejit ke posisi teratas di negara ini pada pemilu tahun 2014, yang mempertemukan muslim konservatif dengan muslim moderat dan kelompok-kelompok minoritas. Jajak pendapat menunjukkan bahwa muslim moderat dan 97 persen pemilih non-muslim mendukung Jokowi dan pasangannya Ma’ruf Amin pada pemilu 2019. Sementara itu, pesaingnya, Prabowo, memenangkan hati kalangan Islam konservatif.

Bagi Kristanto, keputusan antara Prabowo dan Jokowi dalam dua pemilu tersebut bersifat “hitam dan putih.”

Saat ditanya mengenai sepak terjang Jokowi di akhir masa jabatannya, Kristanto terdiam sebelum menjawab. “Saya agak bertentangan dalam masalah ini karena, ya… saya kecewa dengan cara Jokowi bermain-main dengan konstitusi dan beliau sepertinya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya,” katanya.

“Apa yang telah dilakukan Jokowi terhadap konstitusi meninggalkan warisan buruk.”

Prabowo sosok yang ‘bermasalah’

Apakah ini berarti presiden yang populer itu telah mengasingkan para pendukungnya yang beragama Kristen hanya dalam waktu lima tahun?

“Sebagian ada yang senang dengan kebijakan Jokowi,” kata Karman. “Namun orang-orang seperti saya prihatin dengan masa depan demokrasi dan masa depan pemerintahan yang baik.”

Ia menunjuk pada Indeks Persepsi Korupsi yang memperlihatkan bahwa skor Indonesia turun ke tingkat yang sama dengan skor pada tahun 2014, ketika Jokowi pertama kali berkuasa.

Sebagian yang lain mempertanyakan apakah mereka akan memilih Prabowo, bahkan sekalipun ia mendapat dukungan dari Jokowi dalam pemilu kali ini.

“Bagi sebagian umat Kristen, sosok Prabowo bermasalah, apalagi jika melihat tahun 2014 dan 2019, dia didukung oleh kelompok Islam radikal,” kata Kristanto. “Jika Prabowo benar-benar jadi presiden, apakah ia akan tetap mendengarkan Jokowi? Apakah putra Jokowi akan menjadi utusan yang kuat?”

Sejauh ini dalam kampanyenya, kelompok-kelompok Islam radikal masih bungkam mengenai siapa yang akan mereka dukung, dan Prabowo sendiri telah berusaha tampil moderat, kata Magnis-Suseno, yang lahir di Jerman namun telah tinggal di Indonesia sejak tahun 60-an. Berbeda dengan kampanye Prabowo sebelumnya, agama tidak memainkan peran besar karena kandidat tersebut menginginkan dukungan dari masyarakat Indonesia yang pro-Jokowi, katanya.

“Prabowo ingin menghindari persoalan kubu agama. … Akan lebih sulit baginya jika dia tampil sebagai pemenang dari kelompok Islam garis keras,” kata Magnis-Suseno.

Para pemimpin Islam moderat setuju bahwa pemilihan presiden kali ini tidak terlalu berfokus pada identitas agama pemilih. “Orang-orang bahkan sudah mulai merasa malu jika menggunakan isu-isu terkait suku, agama, ras, atau hubungan antargolongan dalam kampanye politik karena masyarakat sudah semakin cerdas,” ujar Inayah Rohmaniyah, pakar kajian Islam.

Namun sejarah tidak mudah dilupakan. Dalam dua pemilu terakhir, kelompok muslim garis keras seperti Amien Rais (salah satu pendiri Partai Amanat Nasional yang konservatif) tertanam di kubu Prabowo. Pada tahun 2014, Rais memandang pemilu secara tegas: “partai Allah” melawan “partai setan.”

Magnis-Suseno meyakini bahwa menyebut partai politik dengan cara seperti itu adalah “jahat” dalam demokrasi. “Prabowo menerima hal tersebut, dan pada tahun 2019 ia juga mendapat dukungan dari kelompok 212.”

Unjuk rasa yang disebut Alumni 212 muncul pada tahun 2016 saat kampanye pemilihan gubernur Jakarta sebagai oposisi terhadap Ahok. Ahok dituduh melakukan penistaan agama setelah mengacu pada Al-Quran dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Dalam gelombang reaksi buruk tersebut, Ahok kalah dalam pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 dari Anies Baswedan, yang kali ini juga mencalonkan diri sebagai presiden.

Namun Magnis-Suseno mengatakan salah satu ancaman terbesar terhadap demokrasi yang ditimbulkan oleh Prabowo adalah tuduhan beliau tentang “kecurangan yang meluas” setelah Jokowi mendeklarasikan kemenangannya pada pemilu lalu. Protes massa terhadap kemenangan Jokowi berubah menjadi kekerasan dan menyebabkan delapan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Prabowo juga merupakan seorang pemimpin militer pada kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada jatuhnya mantan pemimpin, Suharto, yang menyebabkan 1.200 orang tewas terbakar dan lebih dari 90 perempuan etnis Tionghoa diperkosa.

“Saya sama sekali tidak percaya pada keyakinan demokrasinya,” kata Magnis-Suseno tentang Prabowo. “Saya khawatir demokrasi akan berada dalam bahaya besar jika dia menjadi presiden.”

Senada dengan itu, Martin Lukito Sinaga, pendiri Masyarakat Dialog Antaragama dan dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, menyatakan bahwa karena adanya perubahan undang-undang bagi Gibran untuk mencalonkan diri dalam pemilu, jika Prabowo menang, maka Indonesia akan menghadapi “kemunduran dalam demokrasi,” dan kemungkinan besar akan terbentuknya “pemerintahan otokratis.”

Suara umat Kristen yang terpecah

Semua ini membuat umat Kristen di Indonesia tidak mempunyai pilihan yang jelas.

Magnis-Suseno mengenang sebuah pertemuan dengan seorang pastor paroki di Jakarta Timur. “Dia mengatakan kepada saya, ‘Gereja-gereja kami bisa dibangun setelah Anies memberi izin, jadi sebagian komunitas saya akan memilih Anies,’” kata Magnis-Suseno. “Kemudian di parokinya, [ada] seorang aktivis Katolik yang baik dan merupakan salah satu rekan kerja yang dekat dengan Prabowo; karena itu, banyak orang dari komunitasnya akan memilih Prabowo, dan sisanya akan memilih Ganjar.”

Karman mencatat pula bahwa umat Protestan juga terpecah. Ia mengatakan bahwa ia akan senang jika Anies atau Ganjar menjadi presiden berikutnya.

“Ganjar memiliki poin positif lainnya, yaitu calon wakil presidennya adalah Mahfud MD,” kata Karman. “Mahfud adalah seorang profesor di bidang hukum dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Dia mengetahui banyak hal tentang hukum dan secara konsisten menentang korupsi.”

Sinaga yakin gereja akan memiliki lebih banyak peluang untuk melayani secara efektif di bawah kepemimpinan Ganjar karena ia tampak lebih terbuka terhadap pluralitas. Ia mengatakan, Ganjar juga terlihat fokus untuk mengatasi kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang semakin memburuk pada tahun 2022.

Di sisi lain, ia percaya demokrasi akan berkembang di bawah kepemimpinan Anies, namun berpotensi lebih condong ke arah kepentingan Islam karena ia memerlukan dukungan dari kelompok-kelompok muslim garis keras untuk memperoleh suara yang dibutuhkan untuk menjadi presiden. “Gereja-gereja mungkin memerlukan lebih banyak energi untuk menghadapi legislasi agama yang diusulkan oleh kekuatan politik Islam,” katanya.

Hauw percaya bahwa sebagian besar umat Kristen tidak akan memilih Anies karena ia diuntungkan oleh oposisi yang kuat terhadap Ahok pada pemilihan tahun 2017.

Terkait Ganjar dan Prabowo, Hauw mencemaskan tentang siapa dalang di belakang mereka. Mantan presiden, Megawati Sukarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, memilih Ganjar sebagai kandidat dari partainya. (Jokowi juga naik ke tampuk kekuasaan melalui partai yang sama, namun dalam beberapa tahun terakhir hubungannya dengan Megawati semakin merenggang.) Pada sisi lain, Prabowo tampaknya dikendalikan oleh Jokowi melalui putranya yang merupakan wakil Prabowo.

“Kekhawatiran utama saya dalam pemilihan presiden kali ini adalah tidak ada satu pun kandidat yang memenuhi syarat untuk dipilih,” ujarnya. Melihat dua kandidat teratas, “Pada satu sisi menyukai wayang, tetapi tidak menyukai dalang. Pada sisi lain, dalang disukai tetapi wayangnya tidak. Sederhananya, Ganjar disukai tetapi dalangnya tidak, sedangkan di pihak Prabowo dalangnya disukai.”

Kristanto juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai apakah Ganjar akan menjadi presiden yang independen, karena tidak pasti seberapa besar pengaruh Megawati terhadap Ganjar: “Hal ini juga menjadi kekhawatiran sebagian orang karena mereka takut Ganjar dan Megawati tidak benar-benar memahami visi Indonesia Raya yang diimpikan Jokowi.”

Kristanto mengatakan ia akan memilih seorang kandidat berdasarkan apakah mereka pernah bersekutu dengan kelompok-kelompok Islam radikal di masa lalu, seberapa jauh mereka telah berusaha menjauhkan diri dari kelompok-kelompok tersebut, dan apakah mereka memanfaatkan kelompok-kelompok tersebut untuk popularitas politik mereka sendiri.

Meskipun dia tidak mengungkapkan siapa yang akan dipilihnya, ia mengatakan, “Saya akan memilih kandidat dengan rekam jejaknya paling bersih dalam hal bagaimana ia mendorong pluralitas.”

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

50 Negara Tersulit bagi Pengikut Yesus di tahun 2024

Laporan terbaru mengenai penganiayaan terhadap umat Kristen mencatat meningkatnya bahaya yang ditimbulkan oleh militan Islam dan rezim otokratis, dari Nigeria hingga Nikaragua.

Christianity Today January 17, 2024
Illustration by Kumé Pather

Hampir 5.000 orang Kristen dibunuh karena iman mereka tahun lalu. Hampir 4.000 orang diculik.

Sekitar 15.000 gereja diserang atau ditutup.

Lebih dari 295.000 umat Kristen terpaksa mengungsi dari rumah karena iman mereka.

Afrika Sub-Sahara, pusat kekristenan global, masih menjadi pusat kekerasan bagi para pengikut Yesus, menurut World Watch List (WWL) 2024. Penghitungan tahunan terbaru dari Open Doors tersebut memberi peringkat pada 50 negara teratas yang paling berbahaya dan tersulit bagi orang Kristen.

Jumlah kematian secara martir dan penculikan sebenarnya lebih rendah daripada laporan tahun lalu. Namun Open Doors menekankan bahwa angka tersebut merupakan angka “minimum absolut.” Laporan ini menghubungkan kedua penurunan tersebut dengan masa tenang menjelang pemilihan presiden terakhir di Nigeria. Namun Nigeria bergabung dengan Tiongkok, India, Nikaragua, dan Etiopia sebagai negara-negara yang mendorong terjadinya peningkatan yang signifikan dalam penyerangan terhadap gereja.

Secara keseluruhan, terdapat 365 juta orang Kristen tinggal di negara-negara dengan tingkat penganiayaan atau diskriminasi yang tinggi. Hal itu berarti 1 dari 7 orang Kristen di seluruh dunia, termasuk 1 dari 5 orang percaya di Afrika, 2 dari 5 orang di Asia, dan 1 dari 16 orang di Amerika Latin.

Kemudian untuk keempat kalinya dalam tiga dekade penelusuran, 50 negara seluruhnya mendapat skor cukup tinggi untuk masuk dalam daftar tingkat persekusi “sangat tinggi” pada matriks Open Doors yang berisi lebih dari 80 pertanyaan. Begitu pula dengan 7 negara lainnya yang berada tepat di luar ambang batas tersebut. Sementara itu, Suriah dan Arab Saudi masuk dalam tingkat penganiayaan “ekstrem,” sehingga menambah jumlah negara yang masuk dalam kategori ini menjadi 13 negara.

Tujuan dibuatnya pemeringkatan WWL tahunan ini adalah untuk memandu doa dan mengarahkan kemarahan yang lebih efektif sekaligus menunjukkan kepada orang-orang percaya yang teraniaya bahwa mereka tidak dilupakan.

Versi 2024 menelusuri periode waktu dari 1 Oktober 2022 hingga 30 September 2023, dan dikompilasi dari laporan akar rumput oleh para pekerja Open Doors di 25 basis nasional, yang mendukung pekerjaan pelayanan di 70 negara. Metodologi ini diaudit oleh International Institute for Religious Freedom.

Ketika daftar ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1993, hanya 40 negara yang mendapat skor cukup tinggi untuk memenuhi syarat penelusuran. Tahun ini, ada 78 negara yang memenuhi syarat.

https://datawrapper.dwcdn.net/wX9kj

Di mana orang Kristen mengalami persekusi terberat saat ini?

Korea Utara berada di peringkat No. 1, seperti yang terjadi setiap tahun kecuali pada tahun 2022 ketika Afganistan sempat menggesernya. Sisa 10 negara teratas lainnya mengalami perombakan tetapi komposisinya tetap sama: Somalia (No. 2), Libia (No. 3), Eritrea (No. 4), Yaman (No. 5), Nigeria (No. 6), Pakistan (No. 7), Sudan (No. 8), Iran (No. 9), dan Afganistan (No. 10).

Negara yang paling mematikan bagi umat Kristen adalah Nigeria, dengan lebih dari 4.100 orang Kristen dibunuh karena iman mereka—82 persen dari penghitungan global. Untuk wilayah sub-Sahara, Open Doors menempatkan 26 negara pada peringkat WWL, dengan 15 negara berada pada tingkat “sangat tinggi.” Keretakan dalam keamanan pemerintah yang dieksploitasi oleh para jihadis menjadi penyebab persekusi di Mali (No. 14) dan Burkina Faso (No. 20), sementara serangan terhadap gereja-gereja meningkat tajam di Etiopia (No. 32).

Open Doors memberi skor setiap negara pada skala 100 poin. Peningkatan lebih dari 4 poin tercatat di Oman (4,2), Burkina Faso (4,8), Nikaragua (5,3), Aljazair (6,1), dan Laos (6,6). Oman naik peringkat dari No. 47 ke No. 31, meskipun rincian statistik kekerasannya dirahasiakan demi alasan keamanan. Pada tahun kedua dalam daftar tersebut, Nikaragua naik dari peringkat No. 50 ke No. 30, karena permusuhan terbuka dari pemerintah terhadap gereja. Aljazair naik dari No. 19 ke No. 15, karena pihak berwenang meningkatkan kampanye melawan gereja Protestan, yang mana hanya 4 dari 46 gereja yang masih buka.

Tempat Tersulit bagi Pengikut Yesus:



1. Korea Utara
2. Somalia
3. Libia
4. Eritrea
5. Yaman
6. Nigeria
7. Pakistan
8. Sudan
9. Iran
10. Afganistan
11. India

Namun Laos, yang naik dari No. 31 ke No. 21, disebut-sebut sebagai berita baik.

“Saya tidak pernah melihat hubungan yang lebih jelas antara gereja yang bertumbuh dengan pertentangan yang semakin besar, sehingga menghasilkan skor yang lebih tinggi,” kata seorang peneliti Open Doors. “Saya merasa terhibur karena ayat-ayat Alkitab yang meramalkan hubungan ini masih benar.”

Kolombia adalah satu-satunya negara dalam daftar 50 teratas yang mengalami penurunan setidaknya 2 poin (2,5), turun dari peringkat No. 22 ke No. 34. Peningkatan signifikan juga terlihat di Vietnam (turun dari No. 25 ke No. 35), Indonesia (dari No. 33 ke No. 42), dan Turki (dari No. 41 ke No. 50).

Tanda-tanda harapan lainnya juga terlihat di Mali, di mana warga menyetujui konstitusi baru yang secara jelas mengakui minoritas Kristen dan dapat mengarah pada kembalinya pemerintahan sipil. Lalu di negara bagian Karnataka, India, sebuah partai oposisi menggulingkan BJP nasionalis Hindu dengan janji membatalkan undang-undang anti-konversi lokal.

Tempat Orang Kristen Mengalami Kekerasan Terbanyak:



1. Nigeria
2. Pakistan
3. India
4. Nama dirahasiakan: 100*
5. Eritrea
6. Mali
7. Myanmar
8. Bangladesh
9. Republik Afrika Tengah
10. Republik Demokratik Kongo (RDK)

Periode Pelaporan Open Doors: 1 Oktober 2022 – 30 September 2023

Namun secara keseluruhan, India mempertahankan peringkatnya di No. 11, karena serangan terhadap rumah warga Kristen meningkat dua kali lipat menjadi 180, korban jiwa orang Kristen meningkat sembilan kali lipat menjadi 160, dan serangan terhadap gereja dan sekolah Kristen meningkat dari 67 menjadi 2.228. Jika digabungkan dengan sekitar 10.000 penutupan gereja di Tiongkok (No. 19), kedua negara ini menyumbang hampir 83 persen dari semua insiden kekerasan terhadap gereja di tahun 2023.

Namun peningkatan skor Nikaragua sebesar 8,3 persen dalam skor keseluruhanlah yang mewakili peningkatan tercepat di antara semua negara dalam WWL. Alih-alih menetapkan tren baru, Open Doors menyatakan bahwa pembatasan legislatif yang “dibuat khusus” oleh negara Amerika Tengah itu terhadap kebebasan beragama, penyitaan properti milik orang Kristen, dan penangkapan atau pengasingan para pemimpin agama merupakan bukti bahwa Nikaragua semakin “mengikuti jejak” Kuba yang komunis (No. 22, naik dari No. 27).

Dorongan yang kuat juga datang dari tempat lain, seperti Tiongkok dan Rusia (tidak memiliki peringkat, tetapi dipantau oleh Open Doors) yang menyebarkan pengaruh mereka terutama di Afrika. Pembeli terbesar teknologi pengawasan Beijing adalah Nigeria, sementara Wagner Group dari Moskow telah membuat terobosan dengan bantuan keamanan di Burkina Faso, Mali, Republik Afrika Tengah (No. 28), dan Mozambik (No. 39).

Tidak ada negara baru dalam daftar 50 negara teratas tahun ini.

https://datawrapper.dwcdn.net/P12v4

Bagaimana orang Kristen dipersekusi di negara-negara ini?

Open Doors menelusuri terjadinya persekusi dalam enam kategori—termasuk tekanan sosial dan pemerintah terhadap individu, keluarga, dan jemaat—serta menaruh perhatian khusus kepada kaum perempuan.

Ketika kekerasan dinilai secara terpisah sebagai satu kategori sendiri, maka posisi 10 negara penganiaya teratas bergeser secara dramatis—hanya menyisakan Nigeria [lihat sidebar].

https://datawrapper.dwcdn.net/RvC7R

Angka kemartiran menurun lebih dari 600 orang dibanding tahun sebelumnya, ketika Open Doors menghitung 4.998 orang Kristen yang dibunuh karena iman mereka selama periode pelaporan. Mewakili penurunan sebesar 11 persen, jumlah tersebut tetap menjadi ketiga yang tertinggi sejak rekor kematian pada tahun 2016 sebanyak 7.106 orang. Nigeria menyumbang 82 persen dari total keseluruhan. Republik Demokratik Kongo berada di urutan No. 2 dengan 261 orang Kristen terbunuh, dan India di urutan No. 3 dengan 160 orang Kristen terbunuh.

Tempat Martir Kristen Terbanyak:



1. Nigeria: 4,118
2. Republik Demokratik Kongo: 261
3. India: 160
4. Nama dirahasiakan: 100*
5. Uganda: 55
6. Myanmar: 34
7. Burkina Faso: 31
8. Kamerun: 24
9. Republik Afrika Tengah: 23
10. Kolombia: 16

*Estimasi | Periode Pelaporan Open Doors: 1 Oktober 2022 – 30 September 2023

Open Doors dikenal memilih perkiraan yang lebih konservatif dibandingkan kelompok advokasi lainnya, yang sering kali menghitung jumlah martir di angka 100.000 jiwa per tahun.

Bila angka-angkanya tidak dapat diverifikasi, maka estimasinya diberikan dalam angka pembulatan 10, 100, 1.000, atau 10.000, dengan asumsi nilainya lebih tinggi pada kenyataannya. Beberapa tabulasi nasional mungkin tidak tersedia karena alasan keamanan, sehingga menghasilkan sebutan “NN” untuk Afganistan, Bhutan, Malaysia, Maladewa, Korea Utara, Oman, Somalia, dan Yaman.

Pada rubrik ini, sebuah negara yang tidak disebutkan namanya menempati peringkat No. 4, diikuti oleh Uganda dengan 55 kasus pembunuhan yang tercatat, Myanmar dengan 34 kasus, Burkina Faso dengan 31 kasus, Kamerun dengan 24 kasus, Republik Afrika Tengah dengan 23 kasus, dan Kolombia dengan 16 kasus.

Untuk kategori kedua, Open Doors melacak serangan terhadap gereja dan bangunan Kristen lainnya seperti rumah sakit, sekolah, dan pekuburan, baik yang dihancurkan, ditutup, maupun disita. Peningkatan sebanyak tujuh kali lipat menjadi 14.766 insiden—melampaui laporan angka tertinggi pada tahun 2020 yaitu 9.488—dipimpin oleh Tiongkok dan India, diikuti oleh Nigeria (750), Nikaragua (347), Etiopia (284), dan Rwanda (120), serta Sudan, Burkina Faso, Niger, dan Angola dengan catatan angka simbolis 100 insiden.

Kategori orang Kristen yang ditahan tanpa proses pengadilan, ditangkap, dijatuhi hukuman, dan dipenjarakan mengalami penurunan menjadi 4.125, turun dari rekor tertinggi 6.175 dalam laporan tahun 2022, namun masih merupakan angka ketiga yang tertinggi sejak kategori tersebut ditelusuri.

Open Doors membagi kategori ini ke dalam dua sub-kategori, dengan 3.329 orang percaya yang ditahan mewakili peningkatan sebesar 6 persen. India memimpin dengan 2.085 kasus, diikuti oleh Eritrea dengan 322 kasus dan Iran dengan 122 kasus. Sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Pakistan, dan Tiongkok masing-masing tercatat 100 kasus, sementara Laos dengan 65 kasus, Kuba dengan 45 kasus, Nikaragua dengan 38 kasus, dan Libya dengan 31 kasus melengkapi daftar 10 besar.

Tempat Gereja Paling Banyak Diserang atau Ditutup:



1. Tiongkok: 10,000*
2. India: 2,228
3. Nigeria: 750
4. Nikaragua: 347
5. Etiopia: 284
6. Rwanda: 120
7. Sudan: 100*
8. Burkina Faso: 100*
9. Niger: 100*
10. Angola: 100*
11. Myanmar: 100*

*Estimasi | Periode Pelaporan Open Doors: 1 Oktober 2022 – 30 September 2023

Namun, penghitungan 796 orang percaya yang dipenjara menunjukkan penurunan sebesar 43 persen dari 1.388 orang yang dilaporkan pada periode sebelumnya. India memimpin dengan 247 kasus, sementara sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Eritrea, Pakistan, dan Tiongkok masing-masing tercatat total angka simbolis 100 kasus.

Jumlah orang Kristen yang diculik menurun menjadi 3.906 dari 5.259, tetapi ini masih merupakan jumlah kedua tertinggi sejak kategori tersebut ditelusuri. Nigeria menyumbang 83 persen dari total kasus, atau 3.300 kasus, sementara Pakistan, Republik Afrika Tengah, dan Kongo mencatat angka simbolis total 100 kasus.

Sejauh ini, jumlah kategori terbesar adalah pengungsian, dengan 278.716 orang Kristen terpaksa meninggalkan rumah mereka atau bersembunyi karena alasan yang berkaitan dengan agama, lebih dari dua kali lipat jumlah tahun lalu yaitu 124.310 orang. Terdapat juga tambahan 16.404 orang Kristen yang terpaksa meninggalkan negara mereka, naik dari 14.997 orang pada tahun lalu. Myanmar dan Nigeria memimpin dengan jumlah pengungsi internal sebanyak 100.000 orang yang dihitung secara simbolis, diikuti oleh India dengan 62.119 orang. Myanmar juga memimpin dengan jumlah pengungsi sebanyak 10.000 orang yang dihitung secara simbolis, diikuti oleh Nigeria, Iran, sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Bangladesh, dan Kongo dengan penghitungan simbolis sebanyak 1.000 orang.

Open Doors menyatakan bahwa beberapa kategori sangat sulit untuk dihitung secara akurat, yang tertinggi adalah 42.849 kasus kekerasan fisik dan mental, termasuk pemukulan dan ancaman pembunuhan. (Penghitungan tahun lalu adalah 29.411 insiden.) Dari 75 negara yang dinilai, terdapat 48 negara diberi angka simbolis. Nigeria, Pakistan, dan India masing-masing mencatatkan jumlah simbolis 10.000 kasus, dan sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Eritrea, Mali, Myanmar, Bangladesh, Republik Afrika Tengah, dan Kongo melengkapi 10 negara teratas dengan masing-masing total simbolis sebanyak 1.000 kasus.

Diperkirakan terdapat total 21,431 rumah dan properti milik orang Kristen diserang pada tahun 2023, bersama dengan 5,740 toko dan tempat usaha. Mengenai yang terakhir, hanya 17 dari 42 negara yang mencatat angka spesifik, dengan 1.572 kasus di India, diikuti dengan angka simbolis 1.000 kasus untuk Nigeria, Burkina Faso, dan Republik Afrika Tengah. Untuk rumah warga Kristen, angka simbolis 10.000 kasus di Nigeria diikuti oleh 5.878 kasus di India, dan angka simbolis 1.000 kasus diberikan kepada Pakistan, Myanmar, Republik Afrika Tengah (RAT), dan Kongo.

Kategori khusus untuk perempuan juga sulit dihitung secara akurat oleh para peneliti Open Doors. Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual meningkat dari 2.126 menjadi 2.622, dipimpin oleh Nigeria dengan angka simbolis 1.000 kasus, diikuti oleh Suriah dengan angka simbolis 500 kasus. Pernikahan paksa dengan orang non-Kristen menurun dari 717 menjadi 609, dipimpin oleh Pakistan, Iran, dan sebuah negara yang tidak disebutkan namanya dengan angka simbolis masing-masing 100 kasus.

https://datawrapper.dwcdn.net/xdZeH
https://datawrapper.dwcdn.net/34xlk

Mengapa orang Kristen dipersekusi di negara-negara ini?

Motivasi utamanya berbeda-beda di setiap negara, dan pemahaman yang lebih baik akan perbedaan-perbedaan tersebut dapat menolong umat Kristen di negara-negara lain untuk berdoa dan mengadvokasi dengan lebih efektif bagi saudara-saudari mereka dalam Kristus yang sedang mengalami situasi yang sangat sulit.

Open Doors mengategorikan alasan-alasan utama persekusi Kristen dalam delapan kategori:

Penindasan Islam (30 negara): Ini adalah sumber utama persekusi yang dihadapi umat Kristen di lebih dari separuh negara-negara yang masuk daftar pantauan, termasuk 7 dari 10 negara teratas secara keseluruhan. Sebagian besar dari 30 negara tersebut secara resmi merupakan negara muslim atau mayoritas muslim; namun, ada 6 negara di antaranya memiliki mayoritas kristiani: Nigeria (No. 6), RAT (No. 28), Etiopia (No. 32), Mozambik (No. 39), RDK (No. 41), dan Kamerun (No. 43).

Diktator yang paranoid (11 negara): Ini adalah sumber utama persekusi yang dihadapi umat Kristen di 11 negara, sebagian besar di negara-negara dengan mayoritas muslim—Suriah (No. 12), Uzbekistan (No. 25), Bangladesh (No. 26), Turkmenistan (No. 29), Tajikistan (No. 46), dan Kazakstan (No. 47)—tetapi juga di Korea Utara (No. 1), Eritrea (No. 4), Myanmar (No. 17), Kuba (No. 22), dan Nikaragua (No. 30).

Penindasan komunis dan pasca-komunis (3 negara): Ini adalah sumber utama persekusi yang dihadapi umat Kristen di tiga negara, semuanya di Asia: Tiongkok (No. 19), Laos (No. 21), dan Vietnam (No. 35).

Nasionalisme agama (2 negara): Ini adalah sumber utama persekusi yang dihadapi umat Kristen di dua negara, semuanya di Asia. Umat Kristen terutama menjadi sasaran kaum nasionalis Hindu di India (No.11) dan kaum nasionalis Buddha di Bhutan (No. 36).

Kejahatan terorganisir dan korupsi (2 negara): Ini adalah sumber utama persekusi yang dihadapi umat Kristen di Kolombia (No. 34) dan Meksiko (No. 37).

Pertikaian antar suku (2 negara): Ini adalah sumber utama persekusi yang dihadapi umat Kristen di Yaman (No. 5) dan Yordania (No. 48).

Intoleransi dari kelompok sekuler (0 negara) dan tekanan kelompok denominasi Kristen tertentu terhadap kelompok denominasi Kristen lainnya (0 negara): Open Doors menelusuri sumber-sumber persekusi ini, tetapi keduanya bukanlah sumber utama di salah satu dari 50 negara yang ada dalam daftar tahun 2024.

https://datawrapper.dwcdn.net/ZF9XJ

Bagaimana World Watch List dibandingkan dengan laporan lain mengenai persekusi agama?

Open Doors percaya bahwa cukup beralasan untuk menyebut agama Kristen sebagai agama yang paling banyak mengalami persekusi di dunia. Pada saat yang sama, Open Doors juga mencatat bahwa tidak ada dokumentasi yang sebanding untuk populasi muslim di dunia.

Penilaian lain mengenai kebebasan beragama di seluruh dunia menguatkan banyak temuan Open Doors. Sebagai contoh, analisis terbaru dari Pew Research Center mengenai permusuhan pemerintah dan masyarakat terhadap agama menemukan bahwa umat Kristen dilecehkan di 155 negara pada tahun 2020, lebih banyak dibandingkan kelompok agama lainnya. Umat Islam dilecehkan di 145 negara, disusul umat Yahudi di 94 negara.

Perincian ini sesuai dengan data Open Doors. Menurut Pew, negara Tiongkok, Eritrea, dan Iran berada di peringkat 10 besar negara yang pemerintahnya mengimplementasikan tindakan kekerasan, sementara India, Nigeria, dan Pakistan berada di peringkat 10 besar yang mengalami permusuhan sosial. Afganistan dan Mesir berada di peringkat kedua.

Sebagian besar negara dalam daftar Open Doors juga muncul dalam daftar tahunan Departemen Luar Negeri AS yang menyebutkan dan mempermalukan pemerintah yang “terlibat dalam atau menoleransi pelanggaran yang sistematis, berkelanjutan, dan mengerikan terhadap kebebasan beragama.”

Dalam tingkat teratasnya, yaitu Daftar Negara-Negara yang menjadi Perhatian Khusus (Countries of Particular Concern; CPC) mencakup Myanmar (No. 17 pada WWL 2024), Tiongkok (No. 19), Kuba (No. 22), Eritrea (No. 4), Iran (No. 9), Korea Utara (No. 1), Nikaragua (No. 30), Pakistan (No. 7), Rusia (yang keluar dari WWL pada tahun 2022), Arab Saudi (No. 13), Tajikistan (No. 46), dan Turkmenistan (No. 29). Dalam tingkat keduanya, yaitu Daftar Pantauan Khusus (Special Watch List) mencakup Aljazair (No. 15), Azerbaijan (tidak diberi peringkat namun dipantau oleh Open Doors), Republik Afrika Tengah (No. 28), Komoro (No. 45), dan Vietnam (No. 35).

Departemen Luar Negeri AS juga mencantumkan Entitas yang menjadi Perhatian Khusus (Entities of Particular Concern), atau kelompok non-pemerintah yang melakukan persekusi, yang semuanya aktif di negara-negara yang masuk dalam daftar Open Doors. Kelompok-kelompok ini termasuk di antaranya Boko Haram dan ISWAP di Nigeria (No. 6 di WWL), Taliban di Afganistan (No. 10), Al-Shabaab di Somalia (No. 2), Hayat Tahrir al-Sham di Syria (No. 12), Houthi di Yaman (No. 5), kelompok Wagner untuk aktivitasnya di Republik Afrika Tengah (No. 28), dan ISIS-Sahara Besar dan Jamaat Nasr al-Islam wal Muslimin di Sahel.

Sementara itu, Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS (US Commission on International Religious Freedom; USCIRF) dalam laporannya di tahun 2023 merekomendasikan negara yang sama untuk masuk dalam daftar CPC, dengan tambahan Nigeria (No. 6), India (No. 11), Suriah (No. 12), dan Vietnam (No. 35). Untuk daftar pantauan Departemen Luar Negeri AS, USCIRF merekomendasikan negara-negara yang sama kecuali Komoro, dengan tambahan Mesir (No. 38), Indonesia (No. 42), Irak (No. 16), Kazakstan (No. 47), Malaysia (No. 49), Sri Lanka (tidak memiliki peringkat namun dipantau oleh Open Doors), Turki (No. 50), dan Uzbekistan (No. 25).

Semua negara di dunia dipantau oleh para peneliti dan staf lapangan Open Doors, tetapi perhatian mendalam diberikan kepada 100 negara dan fokus khusus pada 78 negara yang mencatat tingkat persekusi yang “tinggi” (skor lebih dari 40 pada skala 100 poin Open Doors).

CT sebelumnya melaporkan pemeringkatan WWL untuk tahun 2023, 2022, 2021, 2020, 2019, 2018, 2017, 2016, 2015, 2014, 2013, dan 2012, termasuk sorotan tentang tempat yang tersulit untuk menjadi orang percaya. CT juga bertanya kepada para pakar mengenai apakah Amerika Serikat termasuk dalam daftar persekusi, dan mengumpulkan kisah-kisah yang paling banyak dibaca tentang gereja yang teraniaya pada tahun 2019, 2018, 2017, 2016, dan 2015.

Baca laporan lengkap Open Doors mengenai World Watch List 2024 di sini.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami

Tetap terinformasi dengan berbagai hal yang memengaruhi gereja global.

Christianity Today January 1, 2024

Apa yang Membuat ‘Epifani’ Ini Penting?

Wahyu unik dari masa Adven bagi semua orang

Christianity Today December 26, 2023
Phil Schorr

Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.

Matius 2:10-11

Kisah orang-orang majus, sebagaimana Matius menyebutnya, memiliki nuansa misteri dan sukacita tersendiri, dan kisah tersebut telah lama dirayakan oleh umat Kristen pada hari raya khusus yang disebut Epifani. Kata Yunani epipháneia berarti “bersinar” atau “penampakan yang jelas.” Tentu saja, Alkitab penuh dengan epifani-epifani yang luar biasa: Semak duri yang terbakar yang membuat Musa menoleh dan bertemu dengan Tuhan adalah sebuah epifani; penglihatan Yesaya di pasal 6 tentang “Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang” adalah sebuah epifani; langit yang terbuka pada saat Yesus dibaptis juga merupakan sebuah epifani. Jadi bagaimana momen khusus dalam Injil Matius ini dapat disebut sebagai Epifani? Jawabannya terletak pada fakta bahwa peristiwa ini sangat penting bagi kita yang berasal dari keturunan bukan Yahudi—yaitu orang-orang yang tidak dilahirkan sebagai bangsa Yahudi yang merupakan bangsa mula-mula yang dipilih Allah.

Terkadang, membaca Perjanjian Lama terasa seperti mendengar sejarah panjang keluarga orang lain, dan itu membuat Anda bertanya-tanya apa hubungannya dengan Anda. Namun kemudian tiba-tiba Anda mendengar nama Anda sendiri dan menyadari bahwa ini adalah kisah Anda juga. Inilah yang terjadi pada saat orang-orang majus menjumpai Yesus, yang masih kanak-kanak. Hingga saat itu, kisah kedatangan Mesias hanya terbatas untuk bangsa Israel, umat perjanjian, tetapi di sini tiba-tiba dan secara misterius, orang-orang yang bukan Yahudi telah memahami bahwa kelahiran Dia juga adalah kabar baik bagi mereka dan mereka pun membawa hadiah yang tepat untuk-Nya. Inilah sebuah epifani, sebuah penyingkapan, bahwa kelahiran Kristus bukanlah satu langkah kecil untuk sebuah agama lokal, melainkan sebuah lompatan besar bagi seluruh umat manusia. Yesus adalah untuk kita semua, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi!

Saya menyukai bagaimana orang-orang majus ini secara tradisional digambarkan sebagai representasi berbagai ras, budaya, dan bahasa di dunia ini. Saya menyukai bagaimana dunia ini, dengan segala keragamannya, digambarkan dalam karakter orang majus yang tekun dan penuh sukacita. Mereka “menyelidiki dengan seksama,” tetapi "sangat bersukacitalah” mereka. Saya menyukai cara mereka mengikuti sebuah bintang, membiarkan bintang tersebut menuntun mereka menuju sesuatu yang melampaui bintang itu sendiri. Berikut adalah sebuah soneta yang mencoba sedikit mengungkapkan tentang bagaimana cerita ini bermakna bagi kita:

Mungkin ini hanyalah kisah orang lain, Sejumlah orang pilihan yang mendapatkan raja istimewa. Kita biarkan saja mereka menikmati kemuliaan mereka sendiri, Kita tidak termasuk, itu tidak berarti apa-apa. Akan tetapi ketika tiba tiga orang ini mereka membawa kami bersamanya, Seperti kita, mereka bukan orang Yahudi, kebijaksanaan mereka mungkin menjadi milik kita juga; Sebuah langkah mantap yang menemukan ritme batin, Mata peziarah yang melihat melampaui bintang-bintang. Mereka tak mengetahui nama-Nya tetapi mereka tetap mencari Dia, Mereka datang dari tempat yang jauh tetapi tetap mereka menemukan-Nya; Di tempat-tempat kudus mereka menemukan orang-orang yang menjual dan membeli Dia, Tetapi di kandang kotor, di tanah kudus mereka menemukan-Nya. Keberanian mereka memberi jawaban bagi hati yang selalu mencari Untuk mencari, menemukan, menyembah, dan bersukacita. Soneta ini, “Epiphany,” dikutip dari Sounding the Seasons (Canterbury Press, 2012), dan digunakan seizin penulisnya.

Renungkan



Kombinasi dari ketekunan dan sukacita yang ditunjukkan oleh orang-orang majus sangatlah luar biasa. Dengan merenungkan teladan mereka, bagaimana kita dapat memupuk keseimbangan antara ketekunan mencari dan sukacita dalam pengejaran kita akan Kristus?

Malcolm Guite adalah mantan chaplain dan Life Fellow di Girton College, Cambridge. Ia mengajar dan memberi kuliah tentang teologi dan literatur.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Terang yang Mengubah Segalanya

Hadiah Natal yang sesungguhnya

Christianity Today December 25, 2023
Phil Schorr

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita,
seorang putera telah diberikan untuk kita;
lambang pemerintahan ada di atas bahunya,
dan namanya disebutkan orang:
Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa,
Bapa yang Kekal, Raja Damai.

Yesaya 9:5

Masa Natal sudah tiba! Bagi anak-anak saya, ini berarti penantian berbagai hadiah. Mereka mulai membuat daftar hadiahnya pada 26 Desember untuk kado Natal tahun berikutnya. Mereka menantikan dan membicarakan hadiah mereka yang akan datang selama berbulan-bulan.

Ketika hadiah-hadiah itu akhirnya tiba, mereka menyambutnya dengan berbagai reaksi—ada yang lebih bersemangat dibandingkan yang lain. Namun satu hal yang tidak pernah gagal adalah ini: Setelah sekitar satu jam, anak-anak saya pergi melakukan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan hadiah yang telah mereka nanti-nantikan sepanjang tahun. Pemberian-pemberian duniawi, meskipun indah, pada akhirnya tidak memuaskan. Hadiah-hadiah itu hanya membuat kita selalu menginginkannya. Namun ada satu pemberian yang sungguh memuaskan. Satu hadiah yang terus memberi. Sebuah pemberian yang tidak akan pernah mengecewakan kita, yang akan menopang kita, dan selalu ada bagi kita. Pemberian itu adalah Yesus, Sang Terang Dunia.

Yesaya menubuatkan tentang seorang bayi yang akan menyelamatkan dunia. Pewartaan yang mengejutkan ini datang untuk kaum pemberontak di masa yang kelam. Saat itu terjadi perang dan kerusuhan. Tidak ada kedamaian yang bisa ditemukan. Kegelapan terlihat jelas, dan bahkan melampaui keadaan yang dialami Israel. Kegelapan yang mereka alami juga bersifat rohani; itu adalah kegelapan yang kita semua alami sebelum kita mengenal Juru Selamat.

Yesus menggenapi janji-janji Perjanjian Lama tentang datangnya terang dari Yesaya 9:1: “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.”

Ini merupakan janji kabar baik bagi Israel, seperti juga bagi kita saat ini. Terang Dunia telah datang dan jika kita mengikut Dia, kita juga akan berjalan di dalam terang tersebut—kita akan mempunyai terang hidup (1Yoh. 1:7; Yoh. 8:12). Kita tidak perlu takut akan kebinasaan karena kita telah diberi terang serta kebenaran dan tidak lagi berjalan dalam kegelapan. Kita dapat menjadi jujur dan rentan. Kita tidak perlu bersembunyi dari Yesus—kita tidak akan bisa melakukannya sekalipun kita berusaha—karena Dia telah datang untuk memberi kita terang dan sukacita. Nubuatan Yesaya bukan hanya mengenai terang, melainkan juga kemenangan. Akan ada kehidupan yang mulia, sukacita, dan kemenangan bagi umat Allah (Yes. 9:2-4). Dan kita menerima semua ini sebab “seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita” (ay. 5).

Permasalahan Israel zaman dahulu sama dengan permasalahan yang kita hadapi saat ini: pemberontakan, perang, kemarahan, dan perselisihan. Kegelapannya sama. Jika kita memahami hal ini, maka karunia dan keindahan terang itu akan menjadi lebih bersinar.

Kita semua membutuhkan pengharapan Natal—pengharapan akan seorang bayi yang lahir untuk membawa terang yang besar. Kita semua membutuhkan Yesus seperti halnya Israel zaman dahulu, seperti halnya seluruh umat manusia. Semua sama. Setiap kita. Anda dan saya membutuhkan Yesus, hari ini, besok, dan selamanya. Hari ini, kita dapat menikmati Dia dan hidup bersama-Nya di dalam terang.

Renungkan



Pemberian-pemberian duniawi dapat membuat kita tidak puas dan menginginkan lebih, tetapi bagaimana Anda mengalami kepuasan dan pemenuhan yang datang dari pengenalan akan Yesus?

Bagaimana Anda dapat secara aktif merangkul pengharapan Natal dan kehadiran Yesus dalam kehidupan Anda sehari-hari?

Trillia Newbell adalah penulis beberapa buku termasuk 52 Weeks in the Word. Ia juga pembawa acara radio Living by Faith dan direktur akuisisi di Moody Publishers.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Skema Pewartaan Allah yang Menakjubkan

Sebuah pandangan berbeda tentang kedatangan yang mulia

Christianity Today December 24, 2023
Phil Schorr

Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa.”

Lukas 2:8-10

Kelahiran Kristus menakjubkan kita.

Dan bukan hanya kelahiran itu sendiri, melainkan juga cara Allah memutuskan untuk memperlihatkan kelahiran Putra-Nya kepada dunia. Tanpa rencana pemasaran beranggaran besar, kampanye media sosial, atau iklan TV berbayar selama Super Bowl, Tuhan memilih sekelompok gembala yang tidak menaruh curiga untuk memperkenalkan kabar baik tentang sukacita besar yang akan menjadi milik semua orang. Bayangkan betapa terkejutnya para gembala ini saat sejumlah besar malaikat dari dunia lain muncul di kegelapan malam sambil bernyanyi, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara orang-orang yang berkenan kepada-Nya.” Kita terperangkap dalam keheranan saat kita memikirkan skala pertunjukan besar yang Allah sediakan bagi segelintir orang yang kurang memiliki pengaruh budaya.

Namun kemudian kita mengingat Maria, Yusuf, palungan, dan beberapa binatang. Sebuah pemandangan yang akan membuat sebagian besar orang tua bergidik jika mereka harus memikirkan kelahiran yang sederhana dan senyap ini. Ketika kita berupaya untuk membayangkan hal-hal ini, kita ingat bahwa gagasan Allah tentang kelahiran ilahi Putra-Nya tidak mencakup hal-hal yang menghebohkan dan berlebihan seperti yang kita tekankan untuk menggambarkan pengaruh dan pentingnya hal ini.

Renungan "Sang Raja Kekal Tiba" versi cetak dapat dipesan melalui Literatur Perkantas Jatim (di situs web, Tokopedia, Shopee).

Dalam ekonomi transendensi Allah, kerendahan hati adalah cara yang Dia kehendaki untuk kita memahami kesalehan, untuk memahami Putra-Nya. Sebagaimana digambarkan dalam surat Filipi, “…yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba” (2:6-7).

Skema pewartaan Allah yang menakjubkan ini kemungkinan besar tidak akan ditampilkan dalam buku-buku kepemimpinan, seminar-seminar strategis, atau video influencer tentang cara meningkatkan merek Anda, mendapatkan lebih banyak pengikut, dan memajukan platform Anda. Allah melakukan sesuatu yang jauh lebih membingungkan. Dia menguduskan pemahaman kita dan mengurai nilai-nilai kita dengan cara yang sangat khusus, sehingga jantung kita berdetak dengan denyut yang terus-menerus tidak selaras dengan ritme dunia. Ia membagikan kisah asal mula kejadian-kejadian aneh seperti ini, sehingga ribuan tahun kemudian, kita dapat menghargai dan merenungkannya seperti Maria dan kembali seperti para gembala ini, memuliakan dan memuji Allah atas semua yang telah kita saksikan dan dengarkan.

Maukah Anda merendahkan diri seperti Yesus? Maukah Anda dipimpin seperti para gembala ini? Maukah Anda berhenti melihat hidup Anda sebagai serangkaian keadaan yang acak dan tidak beruntung, serta membuka mata Anda terhadap cara-cara menakjubkan yang Allah lakukan di momen-momen yang biasa dalam hidup Anda? Lihatlah sekeliling Anda, karena kemuliaan Tuhan sedang menyinari Anda untuk memenuhi Anda dengan rasa takut yang besar, sehingga Anda dapat mengalami damai sejahtera-Nya yang luar biasa.

Renungkan



Kelahiran Jesus diwartakan kepada sekelompok gembala, suatu kaum yang terpinggirkan dan tak disangka-sangka. Bagaimana skema pewartaan yang tidak lazim ini menggugah anggapan masyarakat tentang kepentingan, pengaruh dan kekuasaan seseorang?

Pewartaan kelahiran Yesus menantang persepsi kita tentang kesuksesan dan cara kita mencari pengakuan serta pengaruh di dunia. Bagaimana kita dapat mengubah perspektif kita untuk mengenali dan menghargai momen-momen biasa dalam hidup kita sebagai kesempatan bagi Tuhan untuk bekerja dan menyatakan kemuliaan-Nya?

Ronnie Martin adalah gembala jemaat di Substance Church di Ashland, OH. Ia juga direktur pembaruan pemimpin untuk Harbor Network dan penulis tujuh buku.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Sebuah Simfoni Keselamatan

Perayaan bak malaikat, yang merupakan gambaran awal dari apa yang akan terjadi

Christianity Today December 23, 2023
Phil Schorr

Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya."

Lukas 2:13-14

Dalam Lukas 2:13, kita menyaksikan sekelompok malaikat berparade di langit malam, sambil menyanyikan pujian atas kedatangan Kristus di bumi sebagai seorang bayi. Betapa mengagumkannya mendengar seruan perayaan yang meriah memenuhi udara, sebagai bentuk penghormatan bagi Sang Ilahi yang menjadi manusia. Meskipun kita hanya dapat membayangkan suara-suara surgawi yang memenuhi langit malam itu, sebuah karya musik yang tidak asing mencoba memberikan gambaran sekilas tentang hal ini: “Hallelujah Chorus” yang terkenal dari Messiah karya Handel. Melalui karya ini, paduan suara bak malaikat menyambut kehadiran dan kuasa Kristus, diiringi simfoni yang telah dihargai selama berabad-abad; suatu penyajian musik versi dunia dari suara pada malam yang sakral itu.

Perayaan pada malam lebih dari 2.000 tahun yang lalu itu merupakan gambaran awal dari apa yang akan terjadi: perayaan yang akan terjadi ketika Anak Domba, yang seputih salju, duduk di ujung meja, menunggu tamu-Nya, sang mempelai wanita, tiba. Kita dapat melihat kesamaan antara pengumuman yang disampaikan malaikat kepada para gembala, musik yang membahana dari Messiah karya Handel, dan “suara orang banyak” yang menyerukan pujian atas penyempurnaan Kristus dan gereja-Nya dalam Wahyu 19:

“Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!” (Why. 19:6–8)

Dalam perikop ini, Yohanes menyaksikan pemberitaan tentang pernikahan surgawi yang agung, dan kedatangan pengantin perempuan Kristus yang telah menghiasi dirinya dengan pakaian yang berkilau-kilauan, yang cocok untuk upacara surgawi. Titik pertemuan antara Lukas 2 dan Wahyu 19 memberikan gambaran tentang Kristus yang pertama-tama ditinggikan sebagai seorang Anak di bumi dan kemudian dipuji serta dielu-elukan dengan penuh semangat sebagai Raja segala raja di surga. Kedua gambaran peristiwa tersebut menunjukkan keagungan surgawi yang dengannya Kristus diakui sebagai yang tertinggi dan berdaulat, yang masing-masing mengungkapkan kumpulan penyembah surgawi yang didedikasikan untuk memberi kemuliaan kepada-Nya. Dalam kedua bacaan tersebut, kita dapat mengenali simfoni keselamatan yang sama, yang menyatakan kehadiran dan kuasa Yesus. Saat kita merayakan Adven, kita diundang untuk memberikan ruang bagi pengamatan yang kudus dan meluangkan waktu untuk merenungkan keajaiban kedatangan-Nya bersama dengan kemuliaan pemerintahan-Nya yang kekal, serta berpartisipasi dalam simfoni keselamatan yang sama.

Renungkan



Saat merenungkan gambaran-gambaran dari peristiwa ini, bagaimana hal tersebut dapat memperdalam kekaguman kita akan kedatangan Kristus dan persatuan Dia dengan gereja-Nya?

Dengan merenungkan kesejajaran antara kedatangan Kristus yang rendah hati di bumi dan pemerintahan-Nya yang mulia di surga, apa yang dapat diungkapkan melalui hal ini tentang sifat dan tujuan ilahi-Nya?

Alexis Ragan adalah penulis yang kreatif dan instruktur ESL, yang bergairah terhadap misi global.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube