Siapakah Yesus? Beberapa pertanyaan bisa saja menjadi lebih relevan di saat Natal.
Namun studi Lifeway Research yang baru melaporkan suatu statistik yang berpotensi melemahkan semangat Natal. Hanya 41 persen orang Amerika yang percaya bahwa “Anak Allah sudah ada sebelum Yesus lahir di Bethlehem.” Itu berarti 59 persen tidak percaya atau tidak yakin apakah mereka percaya bahwa Anak Allah sudah ada sebelum peristiwa kelahiran Yesus.
Seiring para pendeta mempersiapkan khotbah Natal tahun ini, mereka mungkin ingin mengingat fakta ini. Banyak orang yang akan berjalan melewati pintu gereja mereka pada hari Minggu pagi—sebagian orang Kristen, sebagian tidak—namun berpegang pada pemahaman yang menyesatkan tentang Tritunggal. Mereka akan mendengarkan khotbah dan menyanyikan pujian-pujian, tetapi pandangan mereka tentang Tuhan tidak ortodoks. Kasarnya, pandangan mereka tentang Tuhan bukanlah pandangan yang kristiani.
Kita bukanlah orang pertama yang bergumul untuk mempertahankan pandangan alkitabiah tentang Tritunggal.
Pada abad keempat, sebuah kelompok di dalam gereja yang dikenal sebagai kelompok Arian juga mengatakan bahwa ada suatu masa ketika Sang Anak tidak ada. Kepopuleran kepercayaan ini begitu mengancam untuk memecah-belah kesatuan gereja sehingga para bapa gereja berkumpul di Nicea dan Konstantinopel.
Dengan otoritas gereja yang am, mereka menyatakan, “Kami percaya… kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Terang dari Terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan bukan dibuat, sehakikat dengan Sang Bapa, yang dengan perantaraan-Nya segala sesuatu dibuat.”
Semuanya bergantung pada satu kata diperanakkan. Ini membedakan Sang Anak dari Bapa—sebagaimana yang sudah kita ketahui dengan jelas, seorang putra adalah seorang putra karena ia diperanakkan oleh seorang ayah. Namun demikian, kata diperanakkan itu juga menjamin Sang Anak itu setara dengan Bapa-Nya. Tidak seperti manusia yang diperanakkan, Anak ini diperanakkan secara kekal oleh Bapa.
Selain itu, Dia diperanakkan secara kekal dari esensi ilahi Sang Bapa. Dia bukan dari esensi yang berbeda atau esensi yang mirip, sehingga keduanya menciptakan hierarki dalam ketritunggalan. Sebaliknya, seperti yang dikatakan oleh penulis Ibrani, Sang Anak adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (1:3).
Konsep inti kekristenan ini diakui oleh gereja yang am selama lebih dari 1.700 tahun. Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, C.S. Lewis mengabdikan dua bab dari buku Mere Christianity (Kekristenan Asali) untuk membahas tentang eternal generation. Lewis berpendapat bahwa doktrin eternal generation ini sangat penting untuk memahami apa artinya menjadi seorang Kristen yang Trinitarian.
Kemudian semuanya berubah.
Kedalaman dari perubahan itu melanda saya baru-baru ini ketika keluarga saya merayakan Adven dan saya mengambil buku Hymnal Baptis untuk menyanyikan “O Come, All Ye Faithful (Hai Mari Berhimpun).” Bait kedua, yang menyuarakan Pengakuan Iman Nicea—yang mengakui Sang Anak sebagai Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan diciptakan—ternyata tidak ada.
Saya bersyukur buku Trinity Hymnal ada di dekat saya, yang saya ambil tepat pada waktunya untuk mengulangi bait kedua. Namun saat kami bernyanyi, pikiran saya berada di tempat lain: Berapa banyak orang Kristen yang menyerap lagu-lagu Natal yang tidak pernah mengajari mereka tentang siapa Yesus selain daripada seorang bayi yang lahir di palungan?
Nampaknya ketiadaan pengajaran Trinitarianisme yang ortodoks bukanlah suatu kebetulan. Pada akhir abad ke-20, kalangan Injili menghapus istilah “diperanakkan” dari terjemahan Alkitab mereka—bahkan Yohanes 3:16 tidak lagi tertulis Allah “telah mengaruniakan Anak tunggal-Nya yang diperanakkan” melainkan bahwa Allah telah mengaruniakan Anak-Nya yang “tunggal.”
Dalam dunia akademis, buku-buku pelajaran utama dalam teologi menolak doktrin tersebut karena kaum Injili tidak dapat menemukan pasal dan ayat yang menjabarkannya secara spesifik atau karena hal itu tidak masuk akal bagi mereka. Para teolog juga mengganti konsep ortodoks seperti eternal generation dengan kategori-kategori sosial, yang mendefinisikan kembali kesatuan kekal Sang Anak dengan Bapa sebagai hubungan kerja sama masyarakat.
Dengan memandang dari Trinitarian yang sosial, beberapa orang Injili melangkah lebih jauh untuk menempatkan Sang Anak menjadi lebih rendah, memasukkan hierarki fungsional dalam kehidupan imanen Allah yang kekal, seolah-olah Sang Bapa lebih besar secara supremasi, kemuliaan, dan otoritas-Nya daripada Sang Putra.
Manuver-manuver baru ini mengungkapkan seberapa jauh kita telah menyimpang dari ortodoksi Trinitarian.
Namun ada harapan.
Pertimbangkanlah beberapa cara agar kita dapat mengembalikan ketritunggalan Kristus ke dalam Natal.
Pertama-tama, sewaktu kita menyampaikan kabar baik pada Natal ini, kita tidak boleh menyingkirkan Tritunggal. Tanpa Tritunggal kita tidak memiliki Injil untuk dirayakan. Seperti yang saya jelaskan dalam Simply Trinity, jika Sang Anak bukanlah Putra tunggal yang diperanakkan, maka tidak ada dasar di mana Bapa dapat mengutus Anak-Nya ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa seperti Anda dan saya.
Hanya satu Pribadi, yang adalah Tuhan sendiri, yang dilahirkan dari esensi sejati Sang Bapa, yang memenuhi syarat untuk mampu menyelamatkan umat manusia yang berdosa. Jika Dia bukan Anak yang kekal—Allah yang sejati dari Allah yang sejati—bagaimana Dia bisa memberi kita hadiah Natal yang terbesar: hidup yang kekal?
Selanjutnya, ingatkan orang-orang di sekitar Anda bahwa pemberlakuan anugerah Allah yang luar biasa kepada kita bergantung sepenuhnya pada Tritunggal. Jika Yesus pada dasarnya bukan Anak, harapan apa yang kita miliki agar kita bisa menjadi anak oleh karena anugerah?
Sebagai anak-anak yang diadopsi-Nya, kita memiliki hidup di dalam Anak-Nya yang kekal, dan melalui Dia, Roh Kudus menyampaikan kebaikan Sang Bapa kepada kita. Sebagai penerima anugerah-Nya yang kekal, sebagai pendukung dari rahmat-Nya yang tiada henti, kita berseru kepada Dia, “Ya Abba, ya Bapa” (Gal. 4:6) dengan penuh keyakinan bahwa Dia akan menerima kita sebagai anak-anak di dalam Putra-Nya (Rm. 8:15).
Terakhir, alih-alih berpuas diri dengan fokus yang sempit pada apa yang Kristus lakukan, perluaslah visi Anda tentang siapa Kristus itu. Contohnya Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (1:1–3).
Sang rasul sangat ingin memperkenalkan karya penyelamatan Kristus, tetapi sebelum ia melakukannya, ia mengangkat kita keluar dari batas sejarah untuk merenungkan siapakah Sang Anak yang dari kekekalan ini: Firman yang tidak hanya bersama-sama Allah melainkan juga adalah Allah. Inilah arti sebenarnya dari teologi, yaitu tugas luar biasa untuk merenungkan siapa Tuhan itu di dalam dan dari diri-Nya sendiri.
Daud pernah berkata bahwa dia hanya menginginkan satu hal: “menyaksikan kemurahan Tuhan” (Mzm. 27:4). “Pengharapan kita yang penuh bahagia,” kata Paulus, tidak lain adalah “penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (Tit. 2:13).
Juruselamat kita pada Natal ini adalah “Allah yang agung” itu sendiri, yang turun ke dalam kegelapan kita dari kemuliaan cahaya abadi-Nya. Jika Ia bukan demikian, kita tidak akan pernah menikmati berkat dan kebahagiaan dari visi indah itu.
Matthew Barrett adalah penulis Simply Trinity: The Unmanipulated Father, Son, and Spirit (Baker Books), lektor kepala teologi Kristen di Midwestern Baptist Theological Seminary, dan pembawa acara siniar Credo.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.
–