Ketika suatu pagi saya berjalan menuju gedung gereja kami tahun lalu, saya merasakan adanya suatu keterpisahan emosional dari gereja. Suatu kehampaan kasih sayang dan hasrat. Pemikiran tentang berjalan menuju gereja, kini menjadi mengerikan bagi saya. Beban rohani terhadap jiwa-jiwa yang dipercayakan Tuhan menjadi sesuatu yang tidak dapat saya tanggung lagi. Para penatua berduka bersama saya, berdoa untuk saya, dan memberi saya cuti dua bulan.
Akumulasi rasa sakit dari dua tahun terakhir telah menghantui saya: kehilangan jemaat, kemurtadan, ghosting, kritik yang sangat pedas, dan banyak lagi. Banyak dari kita telah menghadapi luka yang sama dalam pelayanan. Bagaimana kita mengatasi rasa sakit hati saat kita menggembalakan?
Meski kita mungkin tergoda untuk menyembunyikan rasa sakit kita, namun Paulus memberi teladan dengan mengungkapkan rasa sakitnya. Beberapa orang telah meninggalkan imannya karena cinta akan dunia: “Karena Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku” (2Tim 4:10). Saya tidak bisa memikirkan hal yang lebih menyedihkan lagi. Beberapa orang menyerang kita: “Aleksander, tukang tembaga itu, telah banyak berbuat kejahatan terhadap aku” (4:14). Luka tersebut sangatlah dalam. Lalu beberapa orang yang lain, setelah persahabatan selama bertahun-tahun, justru tiba-tiba menjauhi kita: “Semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku” (1:15).
Terlalu banyak orang Kristen yang memperlakukan pendeta mereka seperti sebuah komoditas agama. Sangat antusias ketika mereka membutuhkannya, namun mudah untuk disingkirkan ketika ada yang lebih baik lagi.
Paulus tidak mengesampingkan pengalamannya melainkan menyuarakan rasa sakit hatinya. Orang-orang mungkin telah menyakiti Anda. Beberapa orang melakukannya secara sengaja, yang lain karena kelalaian, tetapi Anda telah menderita. Namun Paulus tidak berkubang dalam penderitaannya, melainkan ia menggambarkannya secara rinci. Dan itu hanyalah di dalam suratnya. Bayangkan seperti apa percakapannya dengan Lukas atau Timotius.
Agar luka yang ditimbulkan oleh orang lain itu menjadi sembuh, sangatlah penting untuk mengidentifikasi apa yang telah mereka lakukan dan menceritakannya kepada Tuhan dan rekan yang tepercaya. Paulus terbuka tentang lukanya. Dia menyebutkannya dan berduka atasnya. Seringkali hal ini membutuhkan waktu lebih lama dari yang kita sadari. Jika kita mengabaikan kesedihan kita, pada akhirnya hal itu akan meregangkan kita hingga membuat kita terlalu lemah.
Selama suatu masa sakit hati yang luar biasa, saya pergi untuk mendengarkan seniman Makoto Fujimura berbicara. Dia menggambarkan pekerjaan Tuhan dalam penderitaan melalui kintsugi. Kintsugi adalah kesenian Jepang untuk memperbaiki mangkuk atau vas. Para perajin merangkai kembali mangkuk-mangkuk teh yang pecah dengan emas cair yang mahal, sehingga menghasilkan mangkuk-mangkuk indah yang ditandai dengan garis sepuhan emas yang berkelok-kelok. Fujimura menegaskan, “Mereka tidak memperbaiki mangkuk; mereka membuatnya lebih indah.” Tuhan tidak hanya ingin memperbaiki kita; Ia ingin memperindah kita melalui penderitaan kita.
Setelah mendengar Fujimura berbicara, saya menoleh ke teman saya dan menyarankan agar kami pergi sebelum sesi tanya jawab dimulai. Saya menjadi agak emosional dan tidak ingin berlama-lama, tetapi akhirnya kami memutuskan untuk tetap tinggal. Saat tanya jawab, istri Fujimura, Shim, berkata, “Mako, kamu lupa menyebutkan sesuatu yang penting. Sebelum para perajin ahli mangkuk teh tersebut mulai memperbaiki, mereka memegang pecahan-pecahan itu dan menghormati bagian-bagian yang rusak. Kita harus duduk dengan bagian-bagian yang rusak dari hidup kita dan menghormatinya.” Tenggorokan saya pun tercekat, dan saya pun terkesiap. Inilah yang Tuhan ingin untuk saya lakukan: untuk menghormati bagian-bagian hati saya yang hancur.
Meskipun saya ingin belajar dari pengalaman itu dan kembali ke pelayanan, Tuhan tahu saya membutuhkan lebih banyak waktu untuk duduk bersama rasa sakit hati dan kesedihan itu. Apakah ada bagian yang rusak yang perlu Anda hormati? Kisah atau rasa sakit hati apa yang muncul di benak Anda ketika melihat kembali pelayanan Anda? Anda mungkin perlu menggalinya, menamainya, menggambarkan bagaimana perasaan Anda tentang hal-hal itu, dan mengundang Tuhan masuk ke dalamnya. Ciptakanlah waktu bagi emosi Anda untuk mengejar pengalaman-pengalaman yang tertinggal itu di hadapan Bapa surgawi Anda.
Yesus meluangkan waktu untuk menghargai kehancuran yang Ia alami. Dia menangis. Dia adalah “seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan” (Yes. 53:3). Dan pada malam Ia dikhianati, Dia “sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Mat. 26:38). Mungkin menunjukkan sikap yang kuat dalam pelayanan sangatlah menggoda bagi kita, untuk mengubur rasa sakit itu; lagipula, ada begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Namun Tuhan juga sedang bekerja pada diri kita. Paulus membuka diri terhadap sakit hati. Yesus menangis. Kita juga bisa.
Setelah kita menghadapi dan berduka atas rasa sakit hati yang kita alami, kita harus melakukan sesuatu terkait hal itu. Bahkan jika kita berduka dengan baik, kenangan pahit dapat muncul kembali. Saat saya berduka atas rasa kehilangan yang saya alami, saya memeriksa luka hati saya dengan bercermin pada Alkitab. Secara pribadi dan mendalam, Kristus menjumpai saya melalui Yesaya 53, Ratapan 3, dan Mazmur 62. Yesus memakai penderitaan ini untuk mengungkapkan lebih banyak tentang diri-Nya kepada saya. Mesias yang menangis ini berlutut di samping saya. Pribadi yang penuh kesedihan itu menghibur saya—sungguh suatu pengalaman penebusan yang tak ternilai harganya. Itu sangatlah berharga.
Melalui halaman-halaman Kitab Suci, saya memercayakan kesedihan saya kepada Yesus. Saya menyerahkan semua itu ke dalam pemeliharaan-Nya dan memilih untuk memercayai rencana-Nya yang bijaksana dan penuh kebaikan. Hasilnya, penderitaan saya menjadi kesempatan bagi saya untuk menjadi lebih indah.
Dengan tidak menyadari bahwa saya akan mendengar Fujimura berbicara di minggu itu, ibu saya mengirimkan sebuah gambar mangkuk kintsugi yang pernah saya kirim kepadanya bertahun-tahun yang lalu di masa kesusahannya. Dia juga menyertakan pesan berikut ini: “Saya melihat emas di seluruh hidupmu.” Sungguhkah? Saya tidak bisa melihat apa yang Tuhan lakukan di dalam kegelapan, tetapi orang lain bisa. Saudara-saudari, Tuhan ingin menyembuhkan bagian yang rusak dari diri Anda dengan garis sepuhan emas. Apakah Anda bersedia berserah pada karya-Nya untuk memperindah diri Anda? Ia menggunakan anugerah yang luar biasa.
Saat saya membagikan pengalaman-pengalaman ini, Tuhan telah memperluas nilai penebusan dari pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam kehidupan orang lain. Banyak orang tidak tahu bagaimana menghadapi rasa sakit hati mereka atau menghormati bagian yang rusak dari diri mereka, dan karena itu mereka tetap tertutup dari pengharapan ini. Saat kita menceritakan kekuatan dari Kristus di dalam kelemahan kita, kita membuka pintu bagi karya penebusan Yesus untuk bekerja di dalam penderitaan.
Tentu saja, pelayanan tidak selalu soal sakit hati dan penderitaan! Tuhan juga senang memberi kita hadiah-hadiah yang baik. Sementara Paulus mengakui rasa sakit hati yang ditimbulkan oleh orang-orang lain, ia juga mengingat persahabatan dengan Timotius, Lukas, Markus, Priskila, Akwila, dan Onesiforus. Dalam Alkitab versi bahasa Inggris, Paulus mengucapkan tiga kali lipat jumlah kata tentang Onesiforus (empat puluh lima kata) daripada yang dia ucapkan mengenai Figelus dan Hermogenes (lima belas kata). Itu disengaja.
Karena itu, sangatlah penting meluangkan waktu untuk hubungan yang menyegarkan kita. Banyak dari hubungan kita terperosok dalam dosa, penderitaan, dan pergumulan. Jika tidak diimbangi dengan hubungan yang menyegarkan, kita akan menjadi mudah terbebani. Jadwalkanlah pertemuan dengan anggota dan teman gereja yang membangkitkan semangat Anda. Beri tahu mereka bahwa Anda membutuhkan dorongan semangat. Berdoalah bersama. Izinkan mereka menyegarkan hidup Anda.
Pemberian-pemberian yang baik dari Allah selalu tersedia bagi kita, tetapi kita harus memilih untuk bersuka di dalamnya. Dalam masa yang sulit, kita sering kali mengembangkan kemampuan hanya untuk melihat hal-hal yang sulit. Jika kita tidak sengaja, kita akan membelok ke hal-hal negatif seperti roda mobil yang tidak selaras.
Dalam rentang minggu tertentu, beberapa anggota gereja yang telah bersama kami selama sepuluh tahun mengirim email kepada kami untuk mengumumkan bahwa mereka akan pergi ke gereja lain di kota. Selain itu, seorang anggota staf memutuskan untuk mengundurkan diri secara tiba-tiba. Lalu ada sebuah kelompok di kota melaporkan pertumbuhan yang menyerupai kebangunan rohani. Kemudian ada pula sesi konseling dengan pasangan yang mengarah pada perceraian setelah tiga puluh tahun menikah. Kami juga membaca laporan yang signifikan tentang kemajuan Injil melalui mitra misionaris kami, dan para penatua kami menerima dorongan semangat profetis yang kuat.
Akan tetapi karena saya terfokus pada hal-hal negatif, saya kehilangan pandangan akan kebaikan Tuhan. Ketika Tuhan meyakinkan saya terkait hal ini, saya tidak hanya dibebaskan untuk mengenali melainkan juga untuk menikmati kebaikan-Nya! Saat saya mengingat setiap anugerah-Nya, saya berhenti sejenak, lalu mengungkapkan rasa syukur untuk setiap anugerah.
Cara lain saya menumbuhkan kegembiraan atas pemberian Tuhan adalah dengan menahan diri dari menghapus email yang menyemangati saya. Alih-alih, saya memindahkannya dari kotak masuk ke berkas email khusus untuk disimpan. Ketika saya tergoda untuk hanya melihat hal-hal yang negatif dalam pelayanan, saya membuka berkas itu dan melihatnya secara cepat, berhenti sejenak dan membacanya. Latihan ini membantu saya untuk menghargai gereja kami dan melihat kebaikan Tuhan yang sedang bekerja.
Akhirnya, saya terinspirasi oleh cara Paulus berdoa untuk gereja. Meskipun dia tahu betul masalah jemaatnya, sering kali dia memilih untuk berterima kasih kepada Tuhan atas jemaat yang ia layani. Mengenai Efesus dia menulis, “Aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku” (1:16). Konteksnya, ia tergerak oleh laporan tentang iman dan kasih dari jemaat tersebut dan meresponinya dengan mengucap syukur atas mereka.
Terlalu sering, ketika saya memikirkan gereja, saya mengingat kegagalannya, melihat ketidakhadiran mereka, dan berfokus pada potensi yang belum dimanfaatkan. Akan tetapi ketika Paulus mengingat jemaat yang ia layani, dia sangat memperhatikan pemberian Allah yang baik, serta mengubah pengamatannya menjadi kesempatan untuk bersyukur di dalam doa. Semoga kita juga mengingat gereja dengan rasa syukur, membuka hati kita untuk karya penebusan Allah di dalam penderitaan pastoral yang kita alami, dan menikmati segala karunia-Nya yang baik.
Artikel ini diadaptasi dari The Unwavering Pastor karya Jonathan K. Dodson dan diterbitkan dengan izin dari The Good Book Company.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.
–