Ketika saya masih muda, di setiap musim semi ada satu hari Minggu yang berbeda dari yang lain. Orang tua saya membeli gaun baru yang bermotif bunga dengan warna pastel untuk saudari saya. Lalu saya dan saudara-saudara saya dipaksa mengenakan jas dan dasi yang tidak nyaman. Kemudian keluarga kami tiba di gedung gereja lebih awal untuk mendahului orang-orang yang hadir, yang jauh lebih banyak dari biasanya.
Suasana selama kebaktian sangat ceria, dan suasana hati semua orang sangat senang. Sang pendeta memulai dengan berkata, “Ia telah bangkit.” Jemaat pun menjawab, “Sungguh Ia telah bangkit!” Setelah kebaktian, kami pun pulang secepat mungkin untuk menikmati hidangan yang telah siap untuk disantap.
Tentu saja, saya berbicara tentang Minggu Paskah.
Sejujurnya perayaan ini sangat kecil artinya bagi saya. Ada bahasan tentang para wanita yang mengumpulkan rempah-rempah untuk jenazah Yesus, juga tentang taman, makam, dan seorang malaikat yang berkata bahwa Yesus sudah tidak ada lagi di sana. Akan tetapi pada Senin sore, apa yang kami rayakan di hari Minggu tampak seperti kenangan yang nun jauh di sana. Kebangkitan Yesus terasa sangat dangkal.
Saya sering bertanya-tanya mengapa ini terjadi, dan saya akhirnya menemukan jawabannya ketika saya dan istri pertama kali mengikuti Pra-Paskah. Kata "Pra-Paskah" adalah titik penghubung kita dengan musim kehidupan. Akar dari kata ini dalam bahasa Latinnya berarti “memperpanjang.” Ini mengingatkan kita bahwa selama musim semi, matahari berada lebih lama di cakrawala. Karena hal itu, cuaca menjadi lebih hangat, dan kehidupan bersemi lagi.
Tetapi musim ini adalah musim yang kacau. Saat salju musim dingin terhampar di tanah, segala sesuatunya tertutup, terinjak-injak, dan tertiup angin. Musim dingin membawa serta angin dingin yang mendorong, mengacak-acak, dan bahkan menghancurkan segala sesuatu. Seiring mencairnya salju, kita akan menemukan berbagai sampah, kotoran, dan dahan yang tertimbun di bawahnya.
Kenyataan ini sebenarnya sangat mirip dengan kehidupan kita. Seiring waktu, hati dan jiwa kita, ketika dibiarkan, akan menjadi berantakan. Namun Pra-Paskah mengundang kita untuk mengatasi kekacauan tersebut. Pra-Paskah mengajak kita untuk tidak cepat-cepat membersihkan segala sesuatu dan berpura-pura semua itu tidak pernah ada di sana. Pra-Paskah juga meminta kita untuk tidak mengabaikan kekacauan itu.
Sebaliknya, kita diundang untuk menyingsingkan lengan baju dan memilah-milah segala puing yang berserakan itu. Kita juga diingatkan akan kekacauan kita sendiri. Karena itu, pada dahi kita mengoleskan abu untuk mengingatkan diri kita bahwa sama seperti Eden yang telah menjadi abu, demikian pula kita suatu hari nanti.
Pertama kalinya saya mengikuti Pra-Paskah, saya menghadiri kebaktian Rabu Abu. Abu dioleskan ke kepala saya dan ada kata-kata diucapkan kepada saya, “Ingatlah bahwa kamu adalah debu dan kamu akan kembali menjadi debu.” Pada saat itu, sesuatu yang baru di dalam jiwa saya mulai tumbuh. Saya belajar dengan cara yang baru bahwa saya hanyalah manusia fana, dan pada saat yang sama diciptakan seturut gambar dan rupa Allah.
Pra-Paskah pertama itu, bagi saya adalah saat yang sulit untuk mengatasi kehancuran saya, menatap dosa saya, dan menyelidiki hati saya. Semua ini memuncak di Jumat Agung. Saya sebelumnya juga tidak pernah mengikuti kebaktian Jumat Agung. Jadi saya pun menghadirinya dan berpartisipasi dalam Jalan Salib.
Kata-kata, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku,” dibacakan dengan kencang, dan sesuatu dalam diri saya pun hancur. Cara terbaik yang dapat saya jelaskan adalah bahwa untuk pertama kalinya, saya melihat kekelaman dalam kematian Yesus, yaitu Sang Bapa telah meninggalkan-Nya.
Saya pulang dari kebaktian Jumat Agung itu dengan hati yang begitu merindukan Paskah. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, saya menjalani masa Pra-Paskah dengan merenungkan kematian Yesus sembari saya memikirkan kematian yang ada di dalam hati saya sendiri. Pada Jumat Agung itu, kematian-Nya dan dosa saya saling bertabrakan. Selama bertahun-tahun saya mengikuti Minggu Paskah dan merayakan kebangkitan Yesus dengan begitu hambar karena tidak pernah ada kematian di dalam diri saya. Anda tidak dapat mengalami kebangkitan tanpa kematian.
Seiring kematian itu terjadi, kerinduan kita akan hari Paskah pun bertumbuh. Beberapa tahun yang lalu saya bersama dengan beberapa pendeta dari Denver, bergabung bersama untuk melakukan kebaktian subuh. Kami berdiri bersama dan membaca kalimat berikut ini, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit!” Tepat saat kata-kata itu keluar dari mulut kami, sinar matahari pertama menyinari cakrawala Denver, dan air mata kebahagiaan menetes dari pelupuk mata saya.
Kubur itu kosong. Dan kali ini hal tersebut bermakna sesuatu.
Dalam Kerajaan Allah, kematian bukanlah penentu segalanya, namun kehidupan. Melalui Rabu Abu, Pra-Paskah, dan Jumat Agung, kebangkitan telah menjadi sesuatu yang sangat saya rindukan.
Saat kita memasuki masa Pra-Paskah ini, semoga kita ingat bahwa kita adalah debu dan akan kembali menjadi debu. Marilah kita memeriksa jiwa kita yang rapuh dan penuh kekurangan ini. Dan bersama Yesus, mari kita memasuki kelamnya keberdosaan dan kematian kita, serta gelapnya perjalanan bersama Dia menuju kayu salib. Kiranya kita disalibkan bersama Kristus, dan dikuburkan dalam keserupaan dengan kematian-Nya, sehingga ketika kita mendengar kata-kata “Ia telah bangkit!”—mungkin untuk pertama kalinya, kita dapat benar-benar merayakan kebangkitan—karena kita telah memilih untuk mati agar kita beroleh kehidupan.
Michael Hidalgo tinggal di Denver, Colorado dan adalah Gembala Utama dari Denver Community Church.
Diterjemahkan oleh: Timothy Daun
–