J.I. Packer: Panduan Alkitab untuk Aktivisme Kristen

Mencoba memperbaiki masyarakat bukanlah keduniawian, melainkan kasih.

Christianity Today September 30, 2021
Illustration by Rick Szuecs / Source image: Genesis Photos

Teolog J. I. Packer, yang meninggal pada 17 Juli 2020 di usia 93 tahun, telah membantu jutaan orang Protestan Injili mengartikulasikan dan memahami apa yang mereka percayai. Buku-bukunya, seperti Knowing God yang terbit tahun 1973, tidak hanya menjelaskan doktrin—tetapi juga menghidupkan kembali gairah akan otoritas Kitab Suci, keajaiban salib, dan hidup kudus. Namun Christianity Today juga mengingat Packer sebagai seorang kolega. Dia berkontribusi pada beberapa edisi pertama kami dan, mulai tahun 1980-an, menjabat sebagai editor selama lebih dari tiga dekade. “Pompalah kebenaran,” ia mendorong kami untuk melakukannya, melalui lebih dari 70 artikel yang ditulisnya tentang penderitaan, novel misteri, jazz, ekumenisme, doa, dan lusinan topik lainnya.

Fotonya menyertai sebagian besar dari artikel yang ditulisnya, meskipun dalam sebuah artikel tahun 1991 ia mengatakan bahwa dia ingin dikenang karena menantang kultus kepribadian Injili: “Saya ingin dikenang sebagai ‘suara’ (seperti Yohanes Pembaptis, yang berseru-seru di padang gurun) yang menyemangati orang untuk berpikir, bukan sebagai pribadi yang merasa bahwa dengan status dan karismanya membuat mereka berhenti berpikir.” Suatu suara, katanya, “yang memanggil orang kembali ke jalan kebenaran dan hikmat.” Jadi dalam semangat itu, alih-alih menulis penghormatan panjang lainnya (Anda akan menemukan beberapa tulisan yang bagus di situs CT), kami menerbitkan ulang salah satu artikel klasik Packer, yang memompa kebenaran yang sangat dibutuhkan hari ini seperti pada tahun 1985. —Para editor

Dalam Perjanjian Baru, kewajiban sipil diperintahkan dengan sangat tegas bersamaan dengan-bahkan, sebagai bagian dari—kewajiban untuk melayani Tuhan. Ketika Yesus menjawab pertanyaan tentang membayar pajak dengan kata-kata “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mrk. 12:17), ini bukanlah sebuah cara cerdik untuk menghindari pembayaran pajak, melainkan sebuah pengakuan yang jelas bahwa memberikan apa yang ditetapkan oleh rezim politik yang ada adalah bagian dari panggilan kristiani. Ketika Petrus berkata, “takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1Ptr. 2:17), ia menyoroti kebenaran yang sama; begitu juga Paulus ketika, dalam ikhtisarnya tentang kehidupan yang mensyukuri anugerah adalah kekristenan sejati, ia mengajar orang-orang Kristen Roma untuk “takluk kepada pemerintah yang di atasnya” (Rm. 13:1) dan mengatakan kepada mereka "oleh karena suara hati," mereka harus "bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat” (ay. 6–7).

Paulus berbicara tentang setiap pejabat negara sebagai “hamba Allah untuk kebaikanmu” (ay. 4). Perhatikan bahwa yang ia maksud di sini adalah pejabat Romawi kafir, dari kaisar sampai ke pejabat terendah, itulah yang dipikirkannya! Dan lebih jauh ia menjelaskan bahwa Tuhan membentuk negara seperti demikian untuk memelihara hukum, ketertiban, keadilan, dan “kebaikan.” “Kebaikan” di sini jelas mencakup perlindungan dan kesejahteraan, dan karenanya tidak jauh dari peluang untuk mengejar kebahagiaan, yang diabadikan dalam Konstitusi Amerika.

Sebab itu, meskipun orang Kristen tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari dunia ini, melainkan sebagai pendatang, para perantau yang melewati negeri asing untuk sampai ke tempat di mana harta mereka tersimpan menunggu kedatangan mereka (lih. 1Pet. 2:11; Mat. 6:19–20), Kitab Suci melarang mereka untuk mengabaikan hal-hal baik yang dilakukan oleh pemerintah yang baik. Oleh karena itu, mereka juga tidak boleh ragu untuk berperan dalam memaksimalkan hal-hal baik ini bagi orang lain, serta bagi diri mereka sendiri. Sama seperti Yusuf, Musa, Daud, Salomo, Nehemia, Mordekhai, dan Daniel (dan masih banyak lagi) menjalankan peran mereka, kita juga perlu menjalankan peran kita sebagai warga negara yang mendukung pemerintah dalam menciptakan pemerintahan yang stabil dengan cara menaati hukum, berpartisipasi dalam pemerintahan sebisa mungkin. Kita harus melihatnya sebagai pelayanan kepada Tuhan dan sesama.

Seperti yang dikatakan salah satu anggota Parlemen Eropa yang beragama Kristen, Sir Frederick Catherwood, “Mencoba memperbaiki masyarakat bukanlah keduniawian, tetapi kasih. Tidak mau ikut campur dengan masyarakat bukanlah kasih tetapi keduniawian.”

Beberapa Perkembangan Kristen yang Salah Arah

Namun, kita harus memerhatikan tiga perkembangan dalam kekristenan modern yang telah menimbulkan konflik yang membingungkan sehubungan dengan tugas politik. Masing-masing topik ini harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum kita bisa melangkah lebih jauh.

1. Intensi yang dipolitisasi dari beberapa relativis Kristen. Ketika saya berbicara tentang “relativis” Kristen, yang saya maksud adalah para penganut Kristen Protestan tertentu yang memperlakukan ajaran biblikal bukan sebagai kebenaran yang diwahyukan Allah, tetapi sebagai petunjuk tambal sulam manusia terhadap penyingkapan diri Allah, yang tersusun dalam istilah budaya yang relatif yang tidak wajib digunakan oleh orang Kristen saat ini dan menyuarakan banyak sentimen yang tidak harus didukung oleh orang Kristen saat ini.

Ketika saya berbicara tentang “intensi yang dipolitisasi,” maksud saya adalah bahwa tujuan-tujuan mereka mereduksi iman Kristen, dari jalan peziarah menuju surga menjadi skema sosiopolitik untuk dunia saat ini. Skema ini sering disebut sebagai mendirikan kerajaan Tuhan di bumi dengan mengakhiri dosa kolektif masyarakat—rasisme, eksploitasi ekonomi dan budaya, pembagian kelas sosial, penyangkalan terhadap hak asasi manusia—dan pengaturan shalom (bahasa Ibrani untuk kesejahteraan komunal di bawah pemerintahan Tuhan) di tempat mereka.

Apa yang salah di sini? Tidak berdoa untuk shalom, atau tidak mengusahakannya padahal mereka adalah orang yang memiliki kesempatan untuk melakukannya. Mengasihi sesama di wilayah global menuntut setiap orang Kristen untuk melakukannya—dan melakukannya dalam skala internasional maupun domestik. Tetapi ketika iman Kristen (pemahaman kita tentang tujuan Allah yang dinyatakan di antara manusia) dan ketaatan kristiani (upaya kita untuk melakukan kehendak Allah yang diwahyukan) direduksi dan diidentifikasikan dengan upaya manusia untuk perbaikan sosial, maka yang ada adalah bencana. Hati menjadi terputus dari Injil ketika Kristus dianggap sebagai Penebus dan Tuhan, Pembebas dan yang Manusiawi hanya dalam kaitannya dengan perampasan dan penyalahgunaan tertentu di dunia ini. Namun, ini telah menjadi pandangan standar orang-orang liberal dan radikal di antara para pemimpin Protestan.

Terus terang, apa yang terjadi adalah para rohaniwan dan orang-orang awam yang terlibat dalam pelayanan rohani telah membiarkan diri mereka menafsirkan ulang dan mendefinisikan kembali nilai-nilai dasar agama mereka sebagai nilai-nilai politik. Jadi mereka telah membuat kekristenan menjadi sekuler dengan kedok menerapkannya dalam kehidupan. Sejumlah buku semi-teknis mengungkapkan sudut pandang ini, menggaungkannya di seminari liberal, dan secara verbal mengagungkannya sebagai ilmu “teologi politik” sehingga nilai ini menjadi "terhormat." Propaganda yang terus-menerus dari tokoh utama denominasi Protestan kini membuat banyak orang awam menyamakan peran orang Kristen dengan mempromosikan program ini di mana-mana.

Kesalahan mendasar dalam semua ini adalah bahwa titik referensi transenden kekristenan telah hilang. Mereka yang menghormati ajaran Alkitab sebagai kebenaran ilahi, yang melihat Yesus dalam pemahaman Perjanjian Baru sebagai Juruselamat kita yang pertama dan terutama, yang menyelamatkan kita dari dosa, membebaskan kita dari murka yang akan datang, memperbarui kita dalam kebenaran, dan membuka surga bagi kita, dan yang memandang penginjilan sebagai dasar dimensi kasih terhadap sesama, harus melawan kejahatan sosial sama kuatnya dengan orang lain. Melakukan hal tersebut adalah bagian dari menjadi "orang Samaria yang baik hati," yang merupakan panggilan bagi semua orang Kristen—yaitu, memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesengsaraan dengan segala cara. Tetapi itu semua harus dilakukan dalam pelayanan kepada Kristus, yang kerajaan-Nya bukan dari dunia ini, dan yang menuntut umat manusia untuk memahami kehidupan ini, dengan sukacita dan kekayaan di satu sisi, dan kesulitan dan kesedihan di sisi lain, sebagai tempat latihan moral dan spiritual, sebagai bagian persiapan untuk kekekalan. Namun, jika kita kehilangan perspektif itu, sebagaimana para relativis yang saya maksud telah kehilangannya, maka seluruh usaha kita menunjukkan kasih kepada sesama menjadi salah arah.

2. Hambatan pietistik dari beberapa orang absolutis Kristen. Istilah “absolutis,” sebagaimana yang yang saya gunakan di sini, adalah orang-orang Protestan, Katolik Roma, atau Ortodoks yang percaya bahwa kebenaran Allah yang tidak berubah diberikan kepada gereja, di dalam Kitab Suci, dan hanya dengan menaati kebenaran ini maka seseorang dapat menyenangkan Tuhan. Banyak dari antara kaum absolut Protestan, mungkin sebagian besar, lebih suka disebut Injili, karena Injil (Kabar Baik) Kristus adalah pusat kekristenan mereka.

“Pietistik” merujuk pada sebuah keinginan untuk mencapai kekudusan, menghindari dosa, memenangkan jiwa, bersekutu dengan orang Kristen, dan menentang semua kekuatan anti-Kristen dalam kehidupan pribadi. Hambatan pietistik mengambil bentuk kepasifan politik dan keengganan untuk terlibat dalam pemerintahan apapun bentuknya. Dengan demikian, pendirian mereka sebagai orang Kristen lebih merupakan penarikan diri, alih-alih terlibat dalam proses politik.

Mengapa begini? Ada beberapa faktor. Pertama adalah sebagai reaksi terhadap “Injil sosial” dari Protestantisme yang lebih liberal seperti yang dijelaskan di atas. Yang kedua adalah kesimpulan yang salah dari eskatologi mereka (yaitu, pandangan mereka tentang masa depan), yang melihat dunia secara tak terelakkan semakin buruk menjelang kedatangan Kristus yang makin dekat dan memberi tahu kita bahwa tidak ada yang bisa dilakukan tentangnya; oleh karena itu tidak masalah siapa yang berkuasa secara politik. Faktor ketiga, yang terkait dengan ini, adalah tekanan yang diberikan pada pemisahan dari “dunia,” dengan kekotoran moralnya, komprominya terhadap hal-hal prinsip, dan cara hidup yang terikat pada dunia, mencari kesenangan dan melayani diri sendiri. Politik, yang dianggap sebagai lingkungan yang suram di mana prinsip-prinsip terus-menerus dikorbankan untuk mendapatkan suara dan mempertahankan tujuan seseorang dalam permainan kekuasaan, dipandang sebagai bisnis yang sangat “duniawi,” dan karenanya terlarang bagi orang Kristen. Faktor keempat, yang kuat meski tak terbayangkan akibatnya, adalah individualisme yang menganggap semua masalah sosial menjadi masalah pribadi, merasa bahwa pemerintahan sipil tidak penting karena tidak dapat menyelamatkan jiwa, sehingga pada dasarnya tidak tertarik sama sekali dengan proses politik.

Tetapi semua ini tidak benar. Apapun kesalahan yang mungkin diajarkan oleh “Injil sosial,” dan betapapun benarnya bahwa pelayanan di gereja dan dalam penginjilan harus menjadi perhatian utama kita, tetap ada tugas sosial dan politik yang harus dilakukan oleh orang Kristen.

Bahkan walaupun kedatangan Tuhan yang kedua kali sudah dekat, kita tidak perlu berpikir bahwa di dalam Tuhan, kita tidak dapat membuat dunia ini sedikit lebih baik secara sementara walaupun kita mencobanya, dan rasa takut gagal seharusnya tidak menjadi alasan bagi kita tidak mencoba ketika Tuhan sebenarnya menyuruh kita untuk mengusahakannya.

Politik tentu saja merupakan sebuah permainan kekuasaan, tetapi politik harus dimainkan jika struktur sosial ingin ditingkatkan, dan meskipun politik itu milik dunia ini, politik adalah bidang pelayanan kepada Tuhan dan manusia yang tidak secara intrinsik “duniawi” dalam arti haram. Lagipula, kompromi politik, manuver dasarnya, cukup berbeda dengan mengorbankan prinsip, seperti yang akan kita lihat nanti.

Pada akhirnya, individualisme yang menghancurkan kepedulian politik itu seperti rabun jauh, mengaburkan kesadaran akan manfaat yang dibawa oleh pemerintahan yang baik dan kerusakan yang diakibatkan oleh pemerintahan yang buruk. Tidak. Kepasifan pietistik tidak dapat dibenarkan, dan para pelakunya saat ini perlu dididik agar keluar dari hal ini. Bagi orang Kristen, sikap ini tidak lebih valid daripada sikap politisasi yang kita tolak di atas.

3. Imperialisme politik dari beberapa pendukung biblisisme Kristen. Yang saya maksud adalah semangat perang salib yang saat ini menguasai beberapa anggota gereja dan persekutuan yang mencintai Alkitab. Bagi mereka, tidak ada keraguan dalam mengumumkan tujuan dan terjun ke hiruk pikuk dunia politik untuk meraihnya. Masalahnya muncul, melalui godaan untuk melihat permainan kekuasaan demokratis sebagai padanan modern dari perang suci dalam Perjanjian Lama, di mana Tuhan memanggil umat-Nya untuk menggulingkan orang kafir dan merebut kerajaan mereka.

Dalam perang suci di Alkitab, orang-orang kafir tidak memiliki hak dan tidak mendapat bagian, karena Tuhan menggunakan umat-Nya sebagai algojo-Nya, sarana manusia untuk melakukan penghakiman yang pantas. Sebagai pewahyuan dari keadilan retributif Tuhan (sebuah aspek dari karakter-Nya yang nampak terang di seluruh Alkitab), perang suci membuat pengertian moral yang koheren. Tetapi perang suci bukanlah bagian dari program Tuhan bagi gereja Kristen. Serahkan pembalasan kepada Tuhan, kata Paulus dalam Roma 12:19. Dan sama sekali tidak masuk akal secara moral atau praktis jika perang suci diambil sebagai model tindakan kristiani di ruang politik dari demokrasi pluralistik modern.

Dalam demokrasi, Anda tidak dapat memerintah kecuali jika opini publik mendukung Anda dan membuat Anda tetap menjabat. Oleh karena itu, pencarian konsensus, dan praktik persuasi dengan tujuan mencapai konsensus, sangatlah penting. Bersikap kasar terhadap orang lain seolah-olah mereka tidak masuk hitungan akan selalu memiliki efek bumerang yang merugikan diri sendiri. Kelompok penekan yang berusaha untuk merebut dan menggunakan kekuasaan tanpa memenangkan dukungan publik untuk apa yang mereka tuju akan memprovokasi oposisi yang sama kerasnya dan biasanya akan berumur pendek. Orang Kristen, yang harus memiliki keyakinan kuat tentang benar dan salah secara komunal, harus selalu berhati-hati di sini.

Membuat Demokrasi Berhasil

Demokrasi yang representatif seperti yang kita kenal—di mana legislatif, yudikatif, dan eksekutif memiliki status terpisah, layanan informasi publik (media) tidak berada di bawah kendali pemerintah, administrasi terpilih selalu menghadapi oposisi terpilih, dan pemilu populer yang berdasar pada satu orang, satu suara yang berulang secara reguler—semua itu bukanlah satu-satunya bentuk pemerintahan di mana orang Kristen hidup dan melayani Tuhan. Namun, tidak diragukan lagi bahwa dari sudut pandang Kristen, ini adalah bentuk yang lebih cocok dan lebih bijaksana daripada bentuk yang lain.

Rekomendasi kristiani tentang demokrasi bertumpu pada dua wawasan. Pertama adalah kesadaran bahwa pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dalam sistem komunitas terbuka yang pada prinsipnya memungkinkan siapa pun yang memenuhi syarat untuk jabatan apa pun. Hal ini paling baik dinyatakan dalam istilah politik yaitu martabat dan harkat yang Tuhan berikan bagi setiap individu. Yang kedua adalah persepsi bahwa karena di dunia yang berdosa ini, seperti yang dikatakan Lord Acton, semua kekuasaan rusak dan kekuasaan absolut benar-benar korup, maka pemisahan kekuasaan dan penjagaan keseimbangan dan pengontrolan ke dalam struktur eksekutif akan membatasi bahaya dari korupsi, sekalipun prosedur pengekangan seperti itu tidak akan pernah menghilangkan korupsi sama sekali.

Wawasan-wawasan kristiani ini bertautan dengan hikmat duniawi yang memandang bahwa semakin warga negara dapat merasa bahwa mereka telah berbagi dalam membuat keputusan yang sekarang membentuk hidup mereka, maka mereka akan semakin teguh untuk mematuhinya. Oleh karena itu, pola pemerintahan yang memaksimalkan persetujuan publik biasanya akan lebih stabil daripada sistem lainnya.

Kemudian orang Kristen diharap untuk menunjukkan komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan melihat diri mereka terikat untuk melakukan semua yang mereka bisa agar membuat demokrasi berjalan. Tetapi itu berarti komitmen yang cermat terhadap proses demokrasi adalah cara terbaik pengambilan keputusan dalam tubuh politik.

Dalam demokrasi yang pluralis secara filosofis dan religius, seperti di Barat, proses demokrasi yang mencapai persetujuan di tengah konflik sangatlah penting. Dalam dunia yang telah bobrok ini, konflik yang timbul dari visi yang terbatas dan kepentingan yang penuh persaingan merupakan bagian yang tak terhindarkan dari panggung politik. Intensitas dan integritas perjuangan publik di mana terjadi keseimbangan di antara pihak-pihak yang bertikai kemudian menjadi indeks kesehatan dan moral masyarakat.

Nama yang diberikan untuk penyelesaian konflik politik melalui debat adalah kompromi. Apa pun yang mungkin benar di bidang etika, kompromi dalam politik berarti tidak meninggalkan prinsip, melainkan kesiapan realistis untuk menerima apa yang dianggap kurang ideal ketika hanya itu yang bisa didapatkannya saat ini. Prinsip yang diungkapkan dalam kompromi adalah bahwa setengah roti lebih baik daripada tidak ada roti.

Memberi dan menerima adalah inti dari kompromi politik, karena kompromi adalah jantung politik dalam demokrasi. Bisa melihat hal ini adalah tanda kedewasaan politik. Sebaliknya, kekakuan orang yang sangat memegang doktrin, yang mengambil posisi berlawanan terhadap semua orang yang tidak sepenuhnya mendukung pandangan dan tujuan seseorang, menyiratkan ketidakdewasaan politik.

Pengambilan keputusan yang demokratis adalah proses yang sebisa mungkin terbuka untuk umum, dan para pejabat diharapkan untuk mempublikasikan alasan tindakan mereka di mana pun hal ini dapat dilakukan tanpa membahayakan masa depan. Tetapi semua keputusan politik yang besar terbukti rumit dan kontroversial di masyarakat. Hal ini tidak bisa dihindari karena setidaknya tiga alasan.

Pertama, pengetahuan setiap orang tentang fakta dari setiap kasus bersifat parsial dan selektif.

Kedua, nilai-nilai, prioritas-prioritas, dan opini-opini tentang kepentingan relatif dari hasil jangka panjang dan jangka pendek akan bervariasi.

Ketiga, perhitungan konsekuensi, terutama konsekuensi yang tidak disengaja dan tidak diinginkan, akan bervariasi juga, dan banyak tindakan yang tampaknya benar bagi beberapa orang akan tampak salah bagi orang lain karena mereka memprediksi konsekuensi yang berbeda. Karena keputusan eksekutif secara teratur memiliki produk sampingan yang tidak diinginkan, maka keputusan itu menjadi pilihan di antara apa yang jahat yaitu memilih yang paling tidak jahat dan menghindari kejahatan yang lebih besar.

Orang Kristen harus menerima bahwa dalam politik, tidak ada jawaban hitam-putih, tetapi Tuhan menghendaki semua dipimpin oleh idealisme tertinggi dan hikmat paling matang yang dapat mereka temukan. Kasus Salomo (1Raj. 3) menunjukkan bahwa pemberian Tuhan kepada para penguasa berbentuk hikmat untuk mengatasi secara kreatif masalah yang mungkin datang, alih-alih solusi yang sudah jadi untuk semua masalah.

Apa yang Harus Dilakukan Orang Kristen?

Perjanjian Baru tidak berbicara tentang partisipasi politik yang aktif, karena alasan yang paling baik adalah bahwa ini bukanlah pilihan bagi orang percaya abad pertama. Kekaisaran Romawi bukanlah negara demokrasi, dan banyak orang Kristen, jika bukan sebagian besar, bukanlah warga negara Romawi. Mereka adalah kaum minoritas dari ujung bawah spektrum sosial ekonomi dan dipandang sebagai penyimpangan eksentrik dari eksentrisitas Yudaisme yang lebih tua. Mereka tidak memiliki pengaruh politik, atau prospek untuk mendapatkan apapun. Jadi satu-satunya hal penting secara politik yang dapat mereka lakukan adalah membayar pajak mereka (Mat. 17:24–27; 22:15–21; Rm. 13:6–7), berdoa untuk penguasa mereka (1Tim. 2:1–4), dan memelihara perdamaian (Rm. 12:18; 1Tes. 5:13–15).

Akan tetapi, demokrasi yang representatif di masa kini membuka pintu bagi kemungkinan-kemungkinan politik yang lebih luas dan karena itu menuntut kita lebih banyak dalam hal komitmen dari kita cara untuk menjalani komitmen yang bertanggung jawab daripada keadaan yang dibutuhkan di zaman Perjanjian Baru.

Komitmen itu dapat diringkas sebagai berikut:

1. Semua orang harus mendapat informasi; jika tidak, kita tidak dapat menilai suatu masalah dengan baik, memberikan suara untuk calon pilihan kita, atau berdoa untuk para penguasa. Ketidaktahuan politik tidak pernah menjadi kebajikan Kristen.

2. Semua orang harus mendoakan mereka yang berkuasa. Doa orang benar seperti yang diungkapkan oleh Kitab Suci, sangatlah besar kuasanya.

3. Semua orang harus memberikan suara dalam pemilihan dan referendum, kapan pun ekspresi opini publik diperlukan. Dalam pemungutan suara kita harus memilih berdasarkan pokok-pokok persoalan alih-alih kepribadian, dan bukan oleh isu tunggal yang dilihat secara terpisah, melainkan oleh visi kita tentang kesejahteraan masyarakat secara total. Ini adalah satu cara nyata walau kecil, di mana kita dapat memberikan pengaruh sebagai garam dan terang dunia (Mat. 5:13–16).

4. Beberapa orang harus mengusahakan pengaruh politik dengan berdebat, menulis, dan bekerja dalam partai politik yang paling dekat dengan mereka. Pendeta biasanya tidak boleh melakukan ini, karena hal itu akan menjadi penghalang bagi penerimaan pelayanan mereka oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan pandangan politik mereka. Akan tetapi, orang awam yang memiliki ketertarikan politik sangat didorong untuk melihat perolehan dan penggunaan pengaruh politik sebagai bidang pelayanan Kristen, selain kehidupan gereja, ibadah, dan kesaksian.

5. Beberapa orang harus menerima panggilan politik. Siapa yang harus melakukan ini? Mereka yang memiliki minat, kemampuan, dan peluang yang sesuai, dan yang tidak bermasalah dengan karier mereka jika memilih bidang politik; mereka yang memiliki visi untuk meningkatkan nasib manusia secara global, memajukan perdamaian internasional, mengganti diskriminasi yang tidak berprinsip dengan keadilan, dan memajukan kesusilaan publik; mereka, yang siap untuk bekerja keras dengan kesabaran, kerendahan hati, toleransi, dan integritas, melenyapkan fanatisme, menampik penolakan, dan menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan mereka sendiri. Sejarah Alkitab yang disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa Tuhan menginginkan beberapa hamba-Nya sebagai politisi profesional, memimpin dan membentuk masyarakat dengan baik, dan menemukan bahwa seseorang cocok untuk peran tersebut adalah panggilan yang utama dari Tuhan untuk terus maju dan menjalaninya.

Namun, jangan sampai ada yang menjadi naif pada titik ini: Pilihannya mahal. Jalan politik adalah perjalanan yang tidak rata. Kehidupan yang selalu disorot publik membuat seseorang terus-menerus menghadapi kritik yang kejam, dan untuk bisa menjalani hidup seperti itu dibutuhkan ketahanan dan pengorbanan diri yang besar. Politik adalah sebuah permainan kekuasaan, dan kecemburuan, kebencian, kedengkian, serta kepura-puraan yang mementingkan diri sendiri, yang selalu ditarik keluar dari hati manusia yang berdosa oleh permainan kekuasaan ini, semua itu terlalu umum untuk dikomentari di sini. Tidak ada politisi yang berprinsip dapat mengharapkan jalan yang mudah, itu jelas bukan orang Kristen.

Tetapi siapa yang pernah mengira bahwa pemenuhan aspek apa pun dari panggilan Kristen itu mudah? Kata-kata yang digunakan Sir Frederick Catherwood untuk mengakhiri bukunya The Christian Citizen patut untuk sering direnungkan:

“Kita harus rendah hati dan tidak berprasangka buruk. Kita harus siap untuk menemukan bahwa terkadang kita salah dan mampu untuk mengakuinya. Kita melayani sesama karena kasih kita kepada Tuhan yang memberikan hidup-Nya untuk kita. Ini adalah hutang, yang betapapun baik kita melayani, tidak akan pernah bisa kita bayar. Jadi apa pun yang kita lakukan, kita melakukannya dari rasa tanggung jawab dan karena itu benar. Kita tidak, seperti sekte, mengklaim kepuasan instan. Kita tidak, seperti penjual barang, menjamin kesuksesan. Jangka waktu orang Kristen bukanlah fana. Yang satu menabur dan yang lainnya menuai. Satu orang bekerja dan orang lain ikut membantu. Satu hari bagi Tuhan itu sama seperti seribu tahun dan seribu tahun seperti satu hari. Orang Kristen mengenal artinya kesabaran dan ketekunan, tetapi juga tahu artinya tindakan. Ini adalah formula yang tepat untuk politik Kristen, hanya karena ini adalah formula yang tepat untuk setiap bagian dari kehidupan Kristen.”

Artikel ini pertama kali terbit di Christianity Today edisi 19 April 1985 dan mengalami sedikit penyuntingan karena keterbatasan ruang terbit.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Our Latest

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube