Sesudah kita melewati satu tahun karantina wilayah akibat COVID-19 dan semakin banyak gereja yang mulai berkumpul kembali secara fisik, sungguh sangat menenangkan ketika merenungkan setahun terakhir pelayanan ini. Pada Agustus 2020, saya menemui jalan buntu. Saya kelelahan secara fisik, kering secara emosional, dan tidak mampu mengatasinya dengan baik. Saya dan istri baru saja memulai Bright City Church pada September 2018, jadi wajar saja jika karantina wilayah tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang akankah jemaat kami dapat bertahan melewati pandemi.
Saya pernah menghadapi beberapa kecemasan dan depresi di masa lalu, dan perasaan-perasaan itu mulai muncul lagi. Saya menyadari bahwa sumber utama kecemasan dan kelelahan emosional saya pada saat itu adalah tekanan yang saya rasakan untuk “tampil” sebagai seorang pendeta. Dari bagaimana saya berkhotbah hingga seberapa berdampaknya pelayanan kami, serta bagaimana saya memimpin tim, mengadakan pertemuan-pertemuan, juga membimbing jemaat kami, saya terus-menerus menilai diri berdasarkan performa saya. Saya telah mengadopsi sebuah model pelayanan yang tidak sehat—meski sangat umum.
Ketika saya bergumul dengan kelelahan ini, kata-kata Yesus yang berharga ini memenuhi jiwa saya: “Tinggallah di dalam Aku.” Meskipun tampak sederhana, kata-kata itu merujuk pada salah satu realitas teologis yang paling mendalam di seluruh Perjanjian Baru: partisipasi kita di dalam Kristus.
“Partisipasi dalam Kristus” berarti kita mengalami hubungan Kristus dengan Bapa melalui kuasa Roh Kudus. Bisa juga dikatakan bahwa kehidupan Kristus itu sendiri terulang di dalam kita. Hubungan Kristus dengan Bapa ditandai setidaknya oleh tiga hal—keintiman dengan Bapa (Yoh. 1:18), kedamaian di hadirat Bapa (Yoh. 14), dan kepuasan dari Bapa yang memberi kesenangan dan kepuasan di dalam diri-Nya (Yoh. 5:19). Saat saya mengalami masa pelayanan yang sulit ini, saya mulai berpikir, “Tentunya pengalaman dari hubungan Kristus sendiri dengan Bapa ini pasti mengandung sebuah pesan untuk pelayanan yang melelahkan ini.”
Apa yang saya temukan untuk diri saya sendiri adalah yang saya rekomendasikan di sini: Pelayanan paling baik dipahami sebagai pengulangan kehidupan Kristus sendiri di dalam kita, dan bahwa sebagai pendeta, kita akan paling merasa tenang, paling damai, dan paling puas ketika kita melakukan pelayanan dengan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya. Dengan cara demikian, pelayanan menjadi konteks di mana kita mengambil bagian dalam hubungan Yesus sendiri dengan Bapa.
Yesus sering mengatakan hal itu di sepanjang Injil Yohanes: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku” (14:7). “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah Bapa” (14:9). “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (15:10). Karl Barth mengatakannya seperti ini: “Saat Yesus Kristus memanggil kita dan panggilan itu didengar oleh kita, Ia memberi kita Roh Kudus-Nya agar hubungan-Nya dengan Bapa dapat terulang di dalam kita.”
Meski kedengarannya baik, ada banyak rintangan untuk melihat pelayanan dengan cara seperti ini. Sebaliknya, kita malah terhanyut sehingga melihat pelayanan sebagai hal yang mendefinisikan identitas kita, menetapkan nilai kita, sarana untuk mencapai tujuan kita sendiri, atau sekedar menyampaikan pengetahuan kita tentang Tuhan kepada orang lain.
Ketika pelayanan adalah pengulangan dari hubungan Kristus sendiri dengan Bapa di dalam kita, kesetiaan perjanjian-Nya itulah yang mendefinisikan identitas kita, bukan penampilan kita di mimbar. Penerimaan Tuhan yang tanpa syarat menentukan nilai kita, bukan pujian yang berubah-ubah dari manusia. Kemerdekaan untuk mengejar tujuan-Nya dalam pelayanan menggantikan tekanan untuk mengejar tujuan kita sendiri. Kedamaian pelayanan yang ditopang oleh tindakan dari Allah yang terus berlangsung, menggantikan beban pelayanan yang disebabkan oleh usaha-usaha kita sendiri. Sebuah fokus agar kita sendiri mengalami pengenalan akan Tuhan, menggantikan tekanan yang kita rasakan untuk sekedar mengomunikasikan pengetahuan tentang Tuhan itu secara memadai kepada orang lain.
Seperti apa jadinya pelayanan itu jika kita melihatnya sebagai pengulangan dari kehidupan Kristus itu sendiri di dalam hidup kita?
Yang terlihat adalah pelayanan itu akan menggantikan kecemasan sesaat dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Itu berarti “menemukan kebahagiaan terus-menerus dalam persekutuan ilahi,” seperti yang ditulis Frater Lawrence dalam Practicing the Presence of God. Itu berarti memercayai pemahaman yang Paulus terima: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna" (2Kor. 12:9). Itu berarti hidup dalam kerendahan hati yang sejati, yang sepenuhnya bergantung pada Allah.
Jika apa yang Kristus miliki dengan Bapa adalah yang juga kita inginkan (keintiman dengan Bapa, kedamaian di hadirat-Nya, dan kepuasan dari Dia yang mendatangkan kesenangan dan kepuasan pada diri kita), maka saya terpikir tiga prioritas bagi perubahan paradigma dalam pelayanan.
1. Prioritaskan keintiman daripada efisiensi
Pada tahap awal perintisan gereja, mudah sekali bagi kita untuk terobsesi dengan efisiensi. Seberapa cepat saya dapat menyelesaikannya? Apakah ada cara yang lebih cepat? Apa yang bisa saya delegasikan? Kepada siapa saya dapat mendelegasikannya? Meski demikian, keintiman dengan Tuhan, menyisakan sedikit ruang bagi ketertarikan kita terhadap efisiensi.
Keintiman membutuhkan waktu; berjalannya perlahan. Keintiman tidak bisa diburu-buru atau tergesa-gesa. Keintiman tidak dapat bertumbuh ketika perhatian kita terbagi-bagi. Dengan cara yang sama, partisipasi kita dalam hubungan Anak dengan Bapa adalah sesuatu untuk dihayati, diresapi, dinikmati. Tak satu pun dari semua ini akan terwujud dengan baik bila dilakukan dengan tergesa-gesa. Dan mengapa kita mau untuk tergesa-gesa? Tidakkah kita lebih suka berlama-lama di hadirat-Nya dan dipuaskan oleh kedamaian dan keintiman dengan Tuhan? Bukankah kita lebih suka melayani secara intensional?
Ketika kita memprioritaskan keintiman daripada efisiensi, kita menemukan kebenaran ini: Mengerjakan lebih sedikit bersama Tuhan masih lebih banyak daripada yang bisa saya lakukan sendiri.
2. Prioritaskan kehadiran daripada performa
Tekanan untuk berprestasi adalah salah salah satu rintangan terbesar untuk menikmati hadirat Tuhan dalam pelayanan. Tekanan tersebut adalah mempertanyakan secara internal, “Apakah saya melakukan pekerjaan dengan baik?” Hal ini mengalihkan perhatian pada diri kita sendiri dibanding kepada Tuhan, dan tentunya menjauhkan kita dari jemaat gereja yang ada di depan kita.
Ketika kita menggeser prioritas kita kepada kehadiran, keasyikan kita dengan diri sendiri akan dikoreksi. Kita kembali melihat lagi orang-orang yang diutus untuk kita layani. Kita tidak dikuasai oleh kecemasan akan persiapan kita. Kita bersekutu dengan sang Kebenaran: “Tuhan, Engkau telah memberikan segala yang saya perlukan untuk saat ini. Saya di sini untuk mereka, bukan untuk saya. Saya akan melakukannya dengan kekuatan-Mu, bukan dengan kelemahan saya.”
3. Prioritaskan untuk menyerupai Yesus daripada membuat orang lain terkesan.
Barangkali rintangan terbesar untuk mengalami kehidupan Kristus itu sendiri adalah godaan agar kita berfokus untuk membuat orang lain terkesan, daripada untuk kita menyerupai Yesus. Dalam The Selfless Way of Christ: Downward Mobility and the Spiritual Life, Henri Nouwen berkata, “Kita bertindak seolah-olah visibilitas dan ketenaran adalah kriteria utama untuk menilai apa yang kita lakukan.” Apakah pelayanan saya berharga? Apakah saya berharga jika jumlah penonton tidak banyak, penayangan tidak viral, dan pengikut tidak bertambah banyak?
Nouwen mengamati bahwa kebutuhan untuk membuat orang lain terkesan terkait erat dengan kepribadian dan identitas kita. “Untuk menjadi seseorang dan untuk dilihat, dipuji, disukai, dan diterima hampir sama diinginkan oleh banyak orang. Siapakah saya jika tidak ada yang memperhatikan, mengucapkan terima kasih, atau mengakui karya saya?” Sayangnya, semakin kita merasa tidak aman, semakin kita merasa sangat butuh untuk mengesankan orang lain. Hal inilah yang memulai kembali seluruh model pelayanan yang melelahkan: Saya perlu tampil mengesankan, oleh karena itu saya harus tampil dengan lebih baik lagi, dan untuk tampil lebih baik, saya harus menjadi lebih efisien. Ini adalah siklus yang kejam dengan sedikit sekali ruang untuk ketenangan, kedamaian, kehadiran, dan keintiman.
Solusinya adalah meniru cara Kristus yang tidak mementingkan diri sendiri dalam bentuk mobilitas ke bawah, kata Nouwen. Di situlah kemerdekaan sejati ditemukan. Mobilitas ke bawah adalah cara Kristus memasuki dunia, mengosongkan diri-Nya dari hak istimewa ilahi-Nya, dan berjalan di antara kita sebagai seorang hamba (Fil. 2). Ia berpindah dari kekuatan kepada kelemahan, dari kepenuhan menuju pengosongan, dari berjubahkan kemuliaan di atas takhta menuju ketelanjangan di kayu salib. Ketika kita melepaskan diri dari usaha yang melelahkan untuk membuat orang lain terkesan, maka kita sekarang bebas mengarahkan diri kita tanpa pamrih kepada orang lain.
Partisipasi dalam Kristus artinya hidup menurut cara yang sama seperti yang Kristus lakukan dalam inkarnasi-Nya, yaitu ke bawah untuk mengubah dunia kita. Dalam usaha untuk menjadi bukan apa-apa, kita memberi ruang bagi Tuhan untuk menjadi segala-galanya. Kemerdekaan terbesar dalam pelayanan ditemukan ketika kita mengosongkan diri dari semua hal yang kita pikir seharusnya kita lakukan, sehingga Ia dapat memenuhi kita dengan apa yang Dia inginkan dari kita.
Ike Miller adalah penulis Seeing by the Light dan memiliki gelar Ph.D dalam bidang teologi dari Trinity Evangelical Divinity School. Ia adalah gembala jemaat di Bright City Church di Durham, Carolina Utara, di mana dia tinggal bersama istrinya, Sharon, dan ketiga anak mereka.
Diterjemahkan oleh: Kalvin Budiman