Theology

Bersyukur Mengubah Keinginan Kita

Orang Kristen menyembah Pemberi yang aneh, yang mengaruniakan pemberian-pemberian yang aneh dengan cara yang aneh.

Christianity Today December 16, 2025
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Pexels

Akhir-akhir ini topik tentang bersyukur menjadi tren.

Sejak pertengahan tahun 2000-an, ketika tulisan-tulisan psikolog positif Robert Emmons memicu tren ini, berkembanglah sebuah industri besar yang berkaitan dengan studi tentang  bersyukur. Sejumlah proyek penelitian , terbitan edisi khusus jurnal akademik, buku referensi, dan  monograf ilmiah didedikasikan untuk topik ini. Juga ada ratusan jurnal, aplikasI ponsel,  dan siniar  yang memberikan saran praktis tentang bagaimana seseorang bisa menjalani hidup yang penuh syukur.

Orang-orang Kristen seharusnya menyambut semua ini dengan tangan terbuka. Kita, bagaimanapun juga, seharusnya menjadi orang-orang yang bersyukur, bahkan mungkin orang yang paling bersyukur di antara semua manusia.  Mengingat kelesuan kehidupan pasca-pandemi, polarisasi politik yang penuh kebencian, dan cancel culture (budaya pembatalan) yang penuh caci maki saat ini—sulit membayangkan waktu yang lebih baik bagi kita untuk memperkuat nilai dari rasa syukur.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Bagi orang Kristen, tentu saja, ucapan syukur harus dimulai dan diakhiri dengan rasa terima kasih kepada Allah. Namun, banyak dari kita tidak mengalaminya dengan frekuensi, intensitas, dan ketahanan yang sepatutnya, mengingat betapa luar biasanya berkat-berkat yang kita terima dari Allah.

Mengapa kita kesulitan untuk bersyukur secara konsisten kepada Allah, bahkan ketika kita percaya—atau setidaknya mengaku percaya—bahwa Allah kita adalah Sang Pemberi berkat yang tiada bandingnya?

Salah satu masalahnya adalah kurangnya perhatian kita. Kita mungkin tahu secara abstrak bahwa Allah adalah Pemberi terbesar, tetapi kita cenderung tidak akan merasa bersyukur sampai kita mulai memperhatikan di mana pemberian-pemberian Allah terlihat secara nyata. Masalah lain adalah amarah. Kita tahu Allah sering baik kepada kita, tetapi kita juga marah ketika Allah tidak memberi kita apa yang kita inginkan, sehingga kita menahan ucapan syukur kita.

Lebih memperhatikan dan mengatasi amarah kita sangatlah penting jika kita ingin bertumbuh dalam ucapan syukur kita kepada Allah. Namun, bahkan ketika kita berusaha untuk memperhatikan dan tidak marah kepada Allah, tetap sulit untuk hidup dalam sikap bersyukur yang konsisten.

Gerakan psikologi positif sering kali mengasumsikan bahwa kita sudah tahu apa yang harus disyukuri; yang kurang hanyalah perhatian dan upaya kita. Namun, rasa syukur kepada Allah bukanlah sesuatu yang muncul secara alami dari hati manusia.

Pikirkan tentang hal-hal yang benar-benar membuat Anda bersyukur secara spontan. Kita merasa bersyukur—secara spontan dan intens—ketika seseorang secara tak terduga memberikan sesuatu yang memuaskan keinginan hati kita, dan itu dilakukan lewat pengorbanan yang besar.

Namun, kebaikan Tuhan kepada kita melampaui batas konteks umum rasa syukur ini. Sebab, meskipun bentuk kebaikan Allah kepada kita bisa jadi tidak terduga, pada dasarnya Dia memang mahabaik— tidak seperti teman dan pasangan kita. Dengan kata lain, mengapa kita harus terkejut ketika Allah memberkati kita?

Tidak hanya itu, Allah tidak dibatasi oleh waktu, tenaga, uang, atau pengetahuan— tidak seperti orang-orang yang kita kasihi. Jadi, bagaimana kita bisa berkata Allah melakukan pengorbanan untuk berbuat baik kepada kita?

Kita juga dapat mengkritik fakta bahwa Allah dapat memberi kita sesuatu, tetapi tetap mempertahankan klaim atas apa yang Dia berikan. Misalnya, Allah dapat menyembuhkan kanker kita besok, tetapi Dia juga dapat mengizinkan kanker itu kambuh lagi enam bulan kemudian.

Seperti yang dibuktikan oleh kehidupan Ayub, bahkan berkat-berkat Allah sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tragedi. “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil,” seperti yang dikatakan Ayub (1:21). Ini berarti bahwa jika rasa syukur kita hanya sebatas variasi dari “hitung berkatmu,” kita pasti akan berakhir dengan mengutuk Allah, seperti desakan dari istri Ayub.

Namun, yang paling membingungkan adalah bahwa Allah terkadang memberi kita apa yang tidak kita inginkan: “pemberian” yang tidak didambakan siapa pun—seperti pencobaan dan kesengsaraan, yang menurut Paulus digunakan Allah untuk menumbuhkan iman kita.

Ketika kita memikirkan tentang mengucap syukur kepada Allah hanya dalam konteks pengalaman syukur interpersonal yang stereotip, kita akhirnya berfokus pada “berkat harian-Nya”—seperti kesehatan yang baik, pekerjaan yang lancar, keluarga yang indah. Namun, pola pikir ini berisiko mengubah Allah menjadi mesin penjual otomatis kosmik yang peran utamanya adalah memberi kita apa yang kita inginkan.

Sebaliknya, Paulus mengatakan ia telah belajar bersyukur dan mencukupkan diri “dalam segala keadaan” (Flp. 4:11)—ia juga berbicara tentang penderitaannya bagi Kristus (1:29–30; 3:10) dalam napas yang sama. Hal ini mengungkapkan perbedaan yang mencolok antara kebaikan dari Kerajaan Allah dan kebaikan dunia ini.

Paulus lebih lanjut mendorong orang-orang Kristen di Filipi untuk memandang kualitas-kualitas ini sebagai pemberian-pemberian dari Allah: “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis (indah), semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan, semua yang patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (4:8).

Oleh karena itu, mengucap syukur yang alkitabiah dibentuk oleh apa yang Allah anggap indah, benar, mulia, adil, dan patut dipuji. Sebagaimana yang dijelaskan oleh John Chrysostom dalam khotbahnya tentang Filipi, “Apa artinya, ‘semua yang indah? Indah bagi orang percaya, indah bagi Allah.”

Pemberian-pemberian dari Kerajaan Allah seperti itu memberi kita segala yang kita butuhkan untuk menjadi sahabat Allah selamanya—tetapi sering kali pemberian-pemberian ini sangat berbeda dari jenis berkat yang dihargai oleh dunia. Yesus berbicara tentang hal ini ketika Dia memuji Allah Bapa karena menyembunyikan Kerajaan surga dari “orang bijak dan orang pandai” dan mengungkapkannya kepada “orang kecil” (Mat. 11:25).

Sering kali, pemberian-pemberian Allah tidaklah sederhana atau jelas. Bahkan, pemberian Allah itu dapat mengguncang kita dan mengungkapkan kerapuhan, kekosongan, kebutuhan, dan kesesatan mendasar kita. Oleh karena itulah, dibutuhkan upaya untuk memupuk rasa syukur kepada Allah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jen Pollock Michel dalam Teach Us to Want, ini adalah bagian dari sebuah proses yang lebih besar di mana kita belajar mengembangkan “keinginan kudus” yang selaras dengan Kristus.

Dalam sebuah khotbah Natal, teolog Samuel Wells pernah berkata bahwa Allah adalah materialis sejati karena Dia mengubah keinginan kita yang remeh akan mainan dan pernak-pernik menjadi kerinduan yang kudus akan Allah-beserta-kita di dalam Yesus yang berinkarnasi.

Ketika Paulus berkata, “segala sesuatu yang kamu lakukan, … lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur” (Kol. 3:17), ia mendasarkan rasa syukur melampaui anugerah penciptaan dan mendasarkannya pada anugerah hidup baru kita di dalam Yesus Kristus. Sebagaimana Michael Gorman sampaikan, Paulus mengajarkan bahwa keseluruhan kehidupan Kristen harus diperbarui “menurut gambar Kristus,” termasuk rasa syukur kita atas pemberian Allah yang tidak konvensional.

Hanya kehidupan yang diubahkan—seperti yang Paulus gambarkan sebagai “di dalam Kristus” (2Kor. 5:17)—yang dapat menciptakan dalam diri kita serangkaian keinginan kekal yang baru dan rasa syukur yang berbeda.

Jadi, bukan berarti orang Kristen harus lebih bersyukur dibanding rata-rata orang lain, tetapi mengikut Yesus memungkinkan kita untuk bersyukur atas pemberian-pemberian Allah yang tidak terduga—yang mungkin mengejutkan, membuat kesal, dan membingungkan dunia yang tidak percaya dan bahkan membingungkan kita sendiri dalam kedagingan kita.

Oleh karena itu, ucapan syukur orang Kristen adalah tanda kehidupan baru yang diberdayakan oleh Roh Kudus saat kita dilatih dan diubahkan—terkadang dengan cara yang menyakitkan—menjadi orang-orang dengan keinginan yang aneh, yang dapat menerima dan menikmati pemberian-pemberian yang aneh, yang ditawarkan dengan cara yang aneh, oleh Allah yang aneh.

Ini adalah cara hidup yang sama sekali baru di dunia. Sebagaimana yang Barth katakan, “Rasa syukur harus dipahami tidak hanya sebagai kualitas dan aktivitas, tetapi sebagai keberadaan dan esensi sejati orang Kristen.”

Pada intinya, rasa syukur orang Kristen yang pertama dan terutama adalah belajar untuk menerima diri kita sendiri dari Allah. Dan kekristenan itu sendiri adalah pelatihan jangka panjang tentang bagaimana bersyukur atas siapa kita yang pada dasarnya adalah makhluk yang membutuhkan, yang hidup oleh kasih karunia. Ini adalah pemberian—tetapi pemberian yang sulit untuk diterima dengan ucapan syukur.

Ketika kita belajar menerima hidup kita sebagai pemberian dari Allah, kita mulai melihat dengan lebih jelas apa yang Allah anggap patut dipuji. Hal ini, pada gilirannya, memungkinkan kita untuk menghargai cara baru untuk merasa puas dan mengidentifikasi serta menikmati kebajikan dan yang patut dipuji dalam terang yang benar-benar baru.

Kent Dunnington adalah profesor filsafat di Biola University di La Mirada, California. Benjamin Wayman adalah James F. dan Leona N. Andrews Chair dalam Christian Unity di Greenville University, Greenville, Illinois.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Bersyukur Mengubah Keinginan Kita

Kent Dunnington dan Ben Wayman

Orang Kristen menyembah Pemberi yang aneh, yang mengaruniakan pemberian-pemberian yang aneh dengan cara yang aneh.

Air mata Natal

Jonah Sage

Kehidupan Yesus dimulai dan diakhiri dengan air mata, supaya melalui kebangkitan, hari-hari kita yang penuh air mata akan dihitung.

Tak peduli betapa pun gelapnya

Russ Ramsey

Betapa pun gelapnya dunia ini, kita dikenal dan diperhatikan oleh Allah yang menciptakan kita dengan begitu ajaib dan mengetahui kebutuhan kita yang terdalam.

Undangan untuk percaya

Barnabas Piper

Ketika seorang peragu yang sedang bergumul lalu membawa keraguannya kepada Yesus dan meminta pertolongan, Yesus tidak menolak atau menghakimi dia atas pergumulannya.

Jadilah Harapan

Chad Bird

Seberapa pun ganasnya raungan kesedihan di tengah malam, duka itu akan merintih dalam kekalahan kala fajar mulai merekah dalam tawa.

Pendeta yang Menyelamatkan Orang-orang dari ‘Tebing Bunuh Diri’ di Jepang

Kazusa Okaya di Shirahama, Jepang

Yoichi Fujiyabu telah menghabiskan tiga dekade membagikan kasih Allah kepada orang-orang yang ingin mengakhiri hidup mereka.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube