Theology

Problem Kepanikan

Editor in Chief

Di tempat di mana Petrus pernah berdiri di tempat Pan, kita dapat mendengar suara yang mengubah segalanya.

Pan following a woman on her phone
Christianity Today October 29, 2025
Illustration by James Walton

Lebih dari 40 tahun yang lalu, sutradara Steven Spielberg menakuti penonton bioskop dengan sebuah film yang dengan cepat menancap dalam imajinasi budaya Amerika. Seperti kebanyakan film seram, Poltergeist dimulai dengan hal-hal yang familier―sebuah rumah di perumahan baru di pinggiran kota. Lalu mulai muncullah hantu-hantu yang tidak puas hanya dengan sesekali mengerang atau mengguncang rantai, melainkan menciptakan kekacauan dan teror.

Roh jahat dalam Poltergeist menjungkirbalikkan seluruh rumah tangga dan mendorong keluarga di film itu hingga ke ambang kegilaan. Pada akhirnya, terungkap bahwa lingkungan yang tenang itu dibangun di atas kuburan-kuburan tua. Tujuan para hantu itu adalah menciptakan kepanikan, membebani sistem limbik penghuni agar rumah tersebut kembali menjadi tempat yang mati.

Baru-baru ini, ketika saya mendengarkan seorang pria muda Kristen menjelaskan bagaimana ia memandang dunia di sekitarnya, saya bertanya-tanya apakah cerita Poltergeist muncul satu generasi terlalu cepat, dan apakah rumah berhantu itu bisa menjadi metafora untuk masa kita saat ini.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Pria itu membahas statistik seputar krisis kesehatan mental di antara kelompok usia sebayanya. Ia mengatakan bahwa ia tidak terlalu khawatir dengan situasi medis kecemasan dan depresi di antara orang-orang yang ia kenal—karena hal itu dapat diobati—dibandingkan fakta bahwa “seluruh dunia tampaknya sedang mengalami serangan panik.” Ia berhenti sebentar dan berpikir apakah panik merupakan kata yang tepat.

“Rasanya seperti segalanya berada dalam siklus yang gila,” lanjutnya. “Kita seolah terpental bolak-balik antara panik dan kebosanan.” Ia berhenti lagi, merenungkan apakah siklus adalah kata yang tepat. “Maksud saya, ini tidak masuk akal,” katanya. “Segalanya terasa di luar kendali dan menakutkan—sekaligus membosankan dan tak bernyawa—di saat yang bersamaan.”

Jelas pria ini bukan satu-satunya orang yang merasakan kepanikan yang membosankan dan kebosanan yang panik di dunia saat ini. Namun, ia salah jika menganggap kebosanan dan kepanikan adalah dua realitas yang bertentangan. Bahkan, keduanya sangat terkait erat.

Dalam bukunya Superbloom: How Technologies of Connection Tear Us Apart, Nicholas Carr mengutip penelitian yang menunjukkan bahwa jalur saraf otak begitu mendambakan dopamin sehingga hal itu menjadi “dorongan yang paling tak terpuaskan dari semua dorongan, melampaui nafsu sekalipun.” Dalam penelitian itu, sebuah elektroda ditanamkan di jalur saraf otak yang berkaitan dengan dopamin dari seekor tikus. Elektroda tersebut disambungkan ke tuas di dalam kandang.  Setiap kali hewan menekan tuas, tuas akan mengirimkan impuls listrik kecil langsung ke jalur dopamin di otaknya yang akan memicu pelepasan dopamin, yang menciptakan sensasi senang. Bagai kecanduan, tikus itu akan terus menekan tuas itu hingga kelelahan dan pingsan.

Algoritma media sosial, Carr berpendapat, menghilangkan jenis “gesekan” yang selama ini diandalkan manusia untuk menjaga “naluri pencarian” ini tetap terkendali. Algoritma tersebut diprogram untuk mempelajari apa yang dicari seseorang dan memberikan lebih banyak impuls secara terus-menerus, seolah-olah tanpa henti, terlepas dari apakah sensasi yang dicari adalah gairah, ketakutan, rasa jijik, kebencian, kemarahan, atau sekadar gangguan biasa.

“Dunia nyata tidak bisa bersaing,” kata Carr. “Dibandingkan dengan kenikmatan yang diprogram dalam dunia virtual, dunia nyata terasa membosankan, lambat, dan, ironisnya, tak bernyawa.” Akibatnya, sistem limbik yang selalu “aktif” ini menghasilkan kebosanan.

Biarawan Siserius, Thomas Merton telah mengamati tren budaya ini pada tahun 1948 ketika ia menulis:

Kita hidup di masyarakat yang seluruh kebijakannya adalah merangsang setiap saraf dalam tubuh manusia dan menjaga tegangan buatan pada tingkat tertinggi, memaksakan setiap keinginan manusia hingga batasnya, dan menciptakan sebanyak mungkin hasrat baru dan gairah sintetis, agar dapat memenuhinya dengan produk dari pabrik, percetakan, studio film, dan sebagainya.

Hasil akhir dari ketegangan buatan ini sama dengan apa yang terjadi setelah panik yang berkepanjangan: Kelumpuhan dan sikap apatis. Kebosanan kemudian mencari kemiripan kehidupan dengan menstimulasi libido hingga mencapai tingkat kegilaan, yang mengarah pada lebih banyak kebosanan, dan prosesnya dimulai lagi.

A person sitting next to pan looking bored

Panik adalah kata yang sangat tepat untuk menggambarkan zaman kita. Seperti kebanyakan kata lainnya, panik adalah semacam catatan fosil, tertanam dengan makna yang sebagian besar dari kita tidak pernah selidiki tetapi telah membentuk penggunaan dan pemahaman kita terhadap istilah tersebut. Kata ini dihantui oleh hantu makna, dan untuk mengungkapnya, kita harus bertanya, kuburan siapa yang ada di bawah kaki kita.


Kata panik berasal dari nama dewa Yunani kuno Pan, dewa para gembala, kawanan ternak, dan tempat-tempat liar. Ia dikenal karena libidonya, berusaha melanggar kehormatan nimfa secara seksual dan mengobarkan hasrat erotis mereka yang bersentuhan dengannya. Ia melambangkan kekuatan liar, jenis kekerasan yang kita lihat dalam aspek alam yang lebih menakutkan. Ia juga bisa menenangkan dan menghipnotis dengan memainkan serulingnya, membuat pendengarnya membeku dalam ekstasi. Dan mungkin yang paling penting dari semuanya, ia bisa menimbulkan ketakutan yang mengacaukan pikiran. Dengan kata lain, ia adalah dewa kepanikan. “Senjata militer Pan cukup unik, yaitu suaranya yang nyaring, teriakan paniknya, yang terbawa oleh angin,” tulis  psikolog Jungian, Sharon L. Coggan pada tahun 2020.

Contoh nyata dari pengaruh Pan adalah ketika kita melihat satu kompi tentara dibuat kocar-kacir karena panik. Inilah “suara tangis yang menyeramkan dan tak berwujud” milik Pan yang menjadi senjatanya. Senjatanya pada dasarnya bersifat psikologis: Kepanikan melemahkan ikatan sosial dan mengubah anggota kerumunan massa menjadi liar.

Ciri lain dari Pan adalah “naluri untuk mempertahankan diri,” kata psikolog Jungian lainnya, Sukey Fontelieu. Pan memakai kebingungan dan serangan mendadak untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, tambah Fontelieu, dan “baik musuhnya maupun para nimfa biasanya bereaksi terhadap tindakannya dengan mundur karena panik. Kedua tema ini, panik dan mempertahankan diri, saling terhubung.”

Sejarawan kuno Plutarch menceritakan bagaimana, sekitar waktu kelahiran Yesus, para pelaut mendengar seruan, “Pan yang hebat sudah mati!” Sejak saat itu, mereka yang berusaha menggambarkan pelucutan daya magis dunia yang tidak lagi dipenuhi dewa-dewa, mengulangi kata-kata Plutarch sambil meratap. Jika Pan adalah dewa kepanikan dan gairah, modernisasi dikaitkan dengan kematian Pan dan permulaan kebosanan.

Misalnya, sastrawan jenius dari Skotlandia, Robert Louis Stevenson, mengatakan pada tahun 1881 bahwa ilmu pengetahuan modern “menulis tentang dunia seolah-olah dengan jari dingin seekor bintang laut.” Jawaban atas kebosanan ini, lanjutnya, adalah dengan merebut kembali semangat Pan, untuk kembali “ke mitos lama, dan mendengarkan peniup seruling berkaki kambing bermain musik, yang sebenarnya merupakan pesona dan teror dari segala sesuatu itu sendiri.”

Senada dengan itu, novelis Inggris, D. H. Lawrence, berpendapat seabad yang lalu bahwa kematian Pan identik dengan kemajuan teknologi. Kita telah bertekad untuk menaklukkan alam semesta di sekitar kita, kata Lawrence, dan dalam banyak hal kita telah berhasil. Namun “dunia yang ditaklukkan tidak ada gunanya bagi manusia,” ia menulis. “Ia duduk terdiam karena bosan di atas penaklukannya.” Solusinya, usul Lawrence, adalah kembali pada apa yang dimaksud penganut agama pagan kuno ketika mereka memanggil Pan: Gagasan bahwa segalanya—semua keliaran kosmos dan sifat kita sendiri—sangat hidup dan aktif, tak terduga, dan tak terkalahkan.

Nah, jika Pan pernah pergi, sekarang ia sudah kembali. Terlepas dari fakta bahwa kita hidup dalam kemakmuran ekonomi dan kemajuan teknologi yang lebih besar daripada generasi mana pun sebelum kita, kita juga hidup dalam masa kecemasan, ketidakpuasan, dan ketakutan yang meluas—terlihat dalam politik yang terpecah belah, gereja  yang kehilangan kredibilitas, dan perdebatan di media sosial yang penuh amarah.

In our day, the wildness of uncontrolled human impulses and the deadness that comes with technological mastery are not the answers to each other. They are both part of our problem. We are panicking ourselves to boredom and boring ourselves to panic. But why?

Di zaman kita, nafsu manusia yang liar serta tak terkendali dan kehampaan yang datang bersama penguasaan teknologi bukanlah jawaban yang kita cari. Keduanya adalah bagian dari masalah kita. Kita membuat diri sendiri panik menuju kebosanan dan membuat diri kita bosan menuju kepanikan. Mengapa? Sosiolog kontemporer, Hartmut Rosa berargumen bahwa sebagian besar masalah kita adalah bahwa kita sekarang berharap dunia di sekitar kita—termasuk kehidupan kita sendiri—menjadi dapat diprediksi, dapat dikendalikan, dapat direkayasa, dan bermanfaat. Ponsel pintar kita memperkuat hal itu. Kita memiliki akses ke hampir semua hal, atau setidaknya ke segala sesuatu yang virtual.

Ironisnya, ia menjelaskan, harapan akan kemampuan untuk mengendalikan inilah yang membuat kita gila dengan “ketidakmampuan untuk mengendalikan yang termanifestasi dalam bentuk yang mengerikan dan menakutkan.” Yang hilang dari kita, katanya, adalah apa yang ia sebut “resonansi”—kemampuan untuk disapa, dipengaruhi, dan diubah oleh apa yang tidak dapat kita kendalikan.

Pan sneaking up behind a woman on her computer

Bayangkan kegembiraan yang dirasakan seorang anak, kata Rosa, ketika bangun dan melihat salju pertama musim dingin. Kita bisa merekayasa hal itu. Para orang tua bisa membeli meriam salju dan menembakkan serpihan es di luar jendela. Namun, itu bukanlah pengalaman yang sama. Pengalaman melihat pegunungan atau berdiri di kaki air terjun besar atau menatap mata bayi yang baru lahir untuk pertama kalinya, semuanya menemukan maknanya karena semua itu tidak dapat diprediksi, tidak dapat diproduksi, atau tidak dapat dikendalikan.

Kita sekarang dapat menemukan kelompok orang secara daring yang berpikir persis seperti kita atau yang memiliki minat yang selaras dengan kita—tetapi kita lebih kesepian daripada sebelumnya. Kita dapat bercakap-cakap dengan program kecerdasan buatan dan merasa seolah-olah kita telah menemukan seorang teman yang benar-benar “mengerti” kita atau a pasangan  yang “jatuh cinta” pada kita, tanpa risiko dan ketidakpastian hubungan yang dapat menghancurkan hati kita. Namun, bahkan orang yang paling menipu diri sendiri pun tahu bahwa tidak ada yang nyata atau hidup di dalamnya.    

Harapan ganda kita akan kendali dan resonansi membuat kita tidak mendapatkan keduanya, terputus dari apa yang sebenarnya dapat memberikan makna dan tujuan. Kita menjadi dingin, tidak terpengaruh oleh apa pun, dan dengan demikian menjadi mati rasa terhadap keajaiban, sukacita, dan kasih. Atau kita menjadi panas, dikendalikan oleh nafsu dan kemudian amarah atau ketakutan ketika dunia, institusi kita, budaya kita, keluarga kita, politik kita, dan agama kita gagal memenuhi harapan kita.

Apa yang kita harap bisa—dan tidak bisa—dikendalikan, kini menjadi apa yang Rosa sebut sebagai “titik agresi.” Dan seperti mereka yang menenggak sedikit lebih banyak wiski untuk lepas dari kecanduan alkohol atau mengambil satu dosis kokain lagi untuk mengakhiri kecanduan narkoba mereka, kita berpikir bahwa cara Pan adalah jalan keluar kita dari kepanikan.

Kepanikan yang membosankan dan kebosanan yang panik membantu memperjelas mengapa seluruh dunia seolah-olah terlibat dalam perang budaya yang penuh kebencian—yang baru-baru ini disebut oleh filsuf Mark Lilla sebagai “nostalgia politik”: Kerinduan akan zaman keemasan yang dianggap hilang, yang berujung pada kemarahan terhadap mereka yang dianggap telah mencurinya. Beberapa orang dengan nostalgia politik, tulis Lilla,

menjadi lumpuh, tidak mampu mengambil manfaat dari apa yang masih ditawarkan oleh kehidupan, dan mulai layu. Atau mereka merasa peti mati tertutup dan panik; adrenalin memacu jantung mereka, dan mereka menjadi mampu melakukan apa saja. Pertanyaan filosofis yang asli—bagaimana saya harus hidup?—tidak bermakna apa-apa bagi mereka. Kapan harus hidup?—itulah pertanyaannya. Dan Sekarang bukanlah jawaban yang dapat diterima.


Satu dekade lalu, saya memimpin sekelompok orang Kristen Amerika dalam tur ke situs-situs Alkitab di Israel dan Palestina. Saya tidak sabar untuk menunjukkan kepada mereka salah satu tempat favorit saya: Pegunungan yang dulunya dikenal sebagai Kaisarea Filipi. Di sana, Yesus berkata kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat. 16:18).

Pan wearing a sign saying the the end is nigh

Saat saya berjalan bersama rombongan tur, saya melihat sekelompok kecil orang Eropa berpakaian serba hitam, berkerumun dan berbisik-bisik sambil melihat ke tanah. “Apakah mereka sedang berdoa?” tanya saya kepada pemandu wisata Israel kami. Ia tertawa sinis. “Ya, semacam itu,” katanya. “Kadang-kadang penganut Neopagan ingin datang ke sini  karena, Anda tahu, ini dulunya adalah tempat khusus untuk hal-hal semacam itu. Di sinilah mereka dahulu menyembah dewa Pan.”

Sekularisasi tidak melenyapkan spiritualitas, melainkan mengalihkannya, seperti yang didokumentasikan oleh pengamat budaya, Tara Isabella Burton. Orang-orang, seperti para penyembah Pan, menemukan suku spiritual baru dan ritual serta praktik yang mereka ciptakan sendiri, salah satunya dengan berusaha mengembalikan “dewa-dewa lama” dari agama pagan kuno.  

Sebagian dari daya tariknya adalah bahwa spiritualitas ini tampak kuno, tetapi juga bebas dari sejarah organisasi yang dapat dilacak. Sebagian besar kekecewaan terhadap institusi hari ini disebabkan oleh kegagalan organisasi tersebut untuk memenuhi cita-cita mereka sendiri. Spiritualitas ini, di sisi lain, memiliki idealisme tanpa harus menunjukkan secara historis bagaimana mereka berdampak pada struktur dan komunitas.

Pemandu wisata kami mengejek para penyembah Pan modern. “Semua itu hanya rekayasa,” katanya. “Tidak ada lagi agama pagan yang tersisa. Pan sudah lama mati, dan dia tidak akan kembali.”

Para penganut pagan modern Eropa yang saya temui itu mungkin sedang membangun spiritualitas “palsu,” tetapi mereka tidak salah tentang lokasi di mana mereka berdoa. Tempat itu dikenal oleh orang Kristen sebagai Kaisarea Filipi, tetapi nama modernnya adalah Banias, versi bahasa Arab dari Panias, yang diambil dari nama dewa Pan. Signifikansi makna yang beragam dari tempat ini ditekankan pada tahun 2020 ketika sebuah penggalian arkeologi  menemukan sebuah gereja Kristen kuno di bawah situs tersebut yang berasal dari abad ke-4 Masehi.

Hal ini tidak mengherankan. Lagi pula, masuk akal untuk membangun gereja di tempat di mana Yesus berjanji akan membangun gereja-Nya—di atas batu karang. Namun para arkeolog menemukan di bawah gereja itu ada struktur tempat ibadah lain, kali ini berasal dari sekitar tahun 20 SM: Sebuah kuil untuk dewa Pan. Seorang pakar menjelaskan kepada pers bahwa penyembahan terhadap dewa Pan telah terjadi di tempat tersebut setidaknya sejak 300 tahun sebelum Kristus.

Ketika Yesus berbicara kepada Petrus dalam Matius 16, Ia melakukannya di atas situs kuno Pan ini. Barangkali tidak ada pasal dalam Alkitab yang lebih menggambarkan krisis kita saat ini—dan bukan karena alasan yang dipikirkan banyak orang Kristen.

Pan on a swing

Orang percaya yang cemas akan berusaha menutupi kepanikannya dengan mengutip ayat 18, dengan mengatakan, “Namun kita tahu bahwa Yesus berkata alam maut tidak akan menguasai gereja.” Ini biasanya diucapkan sebagai semacam harapan yang dipaksakan, mirip dengan mengatakan kepada seorang janda yang berduka di pemakaman, “Yah, setidaknya suamimu tidak kesakitan lagi.” Namun, dengan berbuat demikian, kita melakukan hal yang sama pada kata-kata ini seperti yang sering kita lakukan terhadap ayat-ayat yang agung lainnya: Mengubahnya menjadi slogan yang terlepas dari konteks dan dengan demikian memisahkan kata-kata tersebut dari kekuatannya.

Kenyataannya adalah bahwa apa yang Yesus katakan sama pentingnya dengan di mana Dia mengatakannya. Ketika Yesus berdiri di Kaisarea Filipi dan berbicara dalam Matius 16:13–28, Ia tahu itu adalah tempat kepanikan, tempat pemujaan terhadap dewa nafsu yang membara dan tinju yang mengamuk. Ia juga tahu bahwa tempat itu sekarang milik keluarga Herodes, di mana putranya, Filipus, menamainya dengan namanya sendiri dan nama kaisar Romawi. Tempat itu mewakili apa yang tampaknya menjadi dua kutub yang berlawanan—kekacauan alam liar dan kendali kekuasaan politik, kepanikan alam dan kepanikan sejarah.

Namun, Yesus menyadari bahwa kekuasaan manusia dan keliaran alam bukanlah hal yang terpisah. Keduanya adalah satu. Kekuasaan Kaisar yang menyalibkan Kristus digambarkan kemudian di sepanjang Kitab Wahyu sebagai umat manusia yang bercita-cita untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali tertinggi, yang hanya dimiliki Tuhan. Namun, dengan berbuat demikian, Kaisar justru menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang liar dan seperti binatang—bahkan, seekor binatang buas.

Yesus menyatakan kuasa-Nya di Kaisarea Filipi. Namun, kuasa-Nya sangat berbeda dari cara Kaisar maupun cara Pan.

Matius menempatkan pertemuan Yesus dengan Petrus di antara dua pengungkapan penting dalam pelayanan Yesus: Memberi makan 4.000 orang dan Transfigurasi. Ini adalah serangkaian ujian yang mengungkapkan aspek mendasar dari matriks kepanikan-kebosanan yang kita semua hadapi sekarang. Dalam setiap kasus, Yesus mematahkan kekuatan siklus kepanikan.

Pasal 16 dimulai dengan orang Farisi dan Saduki yang meminta tanda (ay. 1). Mereka ingin pertanyaan tentang makna tertinggi dikonfirmasi dan dianggap dapat direkayasa. Namun, Yesus berkata kepada mereka, “Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus” (ay. 4).

Demikian pula, Yesus mendapati para murid-Nya khawatir tentang kekurangan roti (ay. 7)—pemenuhan yang dapat dikendalikan untuk nafsu makan mereka yang belum terpenuhi. Namun, Yesus memberi tahu mereka bahwa mereka salah memahami intinya: “Bagaimana mungkin kamu tidak mengerti bahwa bukan roti yang Kumaksudkan” (ay. 11).

Kemudian, di tempat penyembahan Pan, Yesus menyebut Petrus dengan identitas barunya, “batu karang.” Namun, stabilitas batu karang ini segera dipertanyakan. Petrus menanggapi gagasan tentang salib dengan dorongan naluriah untuk melindungi diri, mengancam akan melawan siapa pun yang mencoba menangkap Kristus (ay. 22). Petrus tidak hanya memperlihatkan bahwa ia tidak mengerti apa maksud Kristus, tetapi ia juga tidak cukup mengenal dirinya sendiri untuk tahu bagaimana ia akan merespons dalam krisis.

Petrus pasti akan melawan siapa pun yang mengatakan bahwa ia adalah penyembah Pan atau pengikut setia dari Kaisar. Bahkan, ia adalah murid pertama yang menyatakan—di Kaisarea Filipi—bahwa Yesus adalah “Mesias, Anak Allah yang hidup” (ay. 16). Namun, dalam satu paragraf setelah pengakuan ini, Yesus berkata kepadanya, “Enyahlah Iblis!” (ay. 23). Ini karena, kata Yesus, Petrus tidak memikirkan “apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Lebih spesifik lagi, apa yang diinginkan Petrus adalah menyelamatkan nyawanya dan nyawa Yesus—ia ingin mengalahkan musuh-musuhnya dan agar hidupnya mengikuti cetak biru yang tertuang dalam perasaannya, nafsunya, dan akalnya. Ia memancarkan kewaspadaan berlebihan dari orang yang panik, mengandalkan sistem limbik yang aktif untuk menegaskan dominasi dalam menghadapi ancaman. Namun, Yesus berkata jawabannya bukanlah merekayasa masa depan atau mengalahkan musuh atau bahkan menjaga nyawa seseorang.

Sebaliknya, Dia mengatakan ini: “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (ay. 25).


Di tempat kepanikan di Kaisarea Filipi, Yesus tampak sangat tenang. Kita mungkin berpikir para penyebar kepanikan akan menyimpulkan bahwa Yesus tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun, dunia luar terlalu familier dengan kepanikan untuk berpikir demikian. Dunia dapat mengenali jenis “kepercayaan diri” yang sebenarnya merupakan keberanian Petrus yang panik dan membedakannya dari ketenangan Yesus yang unik.

Ketika dunia Pan dan Kaisar melihat gerakan yang menyandang nama Yesus tetapi penuh kegilaan, kemarahan, kebencian, dan dendam, mereka mengenalinya apa adanya. Mereka dapat mengidentifikasinya sebagai jawaban yang beragam tetapi kosong, yang akan mereka berikan terhadap pertanyaan “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” (Mat. 16:13). Mereka dapat melihat gerakan itu berfokus pada hal-hal duniawi dan bukan pada hal-hal dari Allah.

Berbeda dengan Petrus dan usulannya untuk menunjukkan kekuatan, Yesus mengatasi tempat kepanikan dengan suara-Nya. Dia berbicara, dan Dia didengar. Pertanyaan “Siapakah Anak Manusia itu?” tidak dapat dijawab melalui pengumpulan pendapat banyak orang atau kelihaian atau kekuatan fisik. Jawaban yang dimaksud, pemenuhan kebutuhan, mengatasi bahaya, dan bahkan menyelamatkan nyawa sendiri, semua bergantung pada janji Yesus semata—sebuah kata yang tidak terlihat, yang tidak dapat diciptakan atau diungkapkan oleh “manusia” (ay. 17).

Apa yang disebut “resonansi” oleh Hartmut Rosa dan pengamat lain pada zaman ini mencerminkan apa yang Alkitab katakan tentang realitas dunia, seperti samudera raya yang berpanggil-panggilan (Mzm. 42:8). Kita membutuhkan suara seperti Yesus di tengah kepanikan kita, seseorang di luar kendali kita untuk menerobos masuk dan membuat kita takjub seperti melihat salju pertama.

Dalam menggambarkan jalan pemuridan, Yesus memakai gambaran domba dengan gembala—jenis kawanan nomaden yang seharusnya merespons panggilan Pan. Suara gembala Yesus, bagaimanapun, tidak menciptakan kepanikan. Dia menghancurkannya. Dan domba-domba itu merespons—beresonansi dengan—suara gembala, mengikuti-Nya ke masa depan yang tidak terduga dan tidak dapat dikendalikan (Yoh. 10:3–5). Hal itu memang bisa menakutkan, tetapi itu adalah jenis ketakutan yang menuntun kita keluar dari, bukan menuju, kepanikan.

Pan hiding in bed

Kita tidak bisa berbuat banyak dengan kepanikan di sekitar kita. Kita tidak bisa menghapuskan kepanikan panas yang memanifestasikan dirinya berupa agresi politik, berusaha membagi dunia menjadi teman yang harus diberi hadiah dan musuh yang harus dikalahkan, menggelorakan libido sampai kita melihat orang lain sebagai objek untuk dieksploitasi secara seksual atau ekonomi. Kita juga tidak bisa berbuat banyak dengan kepanikan dingin yang mendorong orang untuk mematikan rasa dengan menggunakan zat tertentu, pencapaian, atau kelelahan mental sampai tidak berdaya.

Namun, yang dapat kita lakukan adalah membuat diri kita dapat dijangkau. Kita dapat berdoa untuk apa yang Yesus sebut dengan telinga untuk mendengar dan mata untuk melihat (Mat. 13:15–16). Kita dapat menumbuhkan makna sejati melalui ibadah, doa, komunitas, dan mendalami Alkitab.

Hal-hal seperti itu tidak dapat merekayasa makna atau kekudusan dengan kekuatannya sendiri. Namun, hal-hal itu dapat menempatkan kita di samping Petrus di mana ia pernah berdiri di tempat Pan. Dan di sana, kita dapat mendengar suara yang mengubah segalanya.

Sama seperti Petrus, kita juga merasa resah. Kita menginginkan kendali dan kepastian serta prediktabilitas, meskipun hal-hal seperti itu hanya akan membuat kita lebih merasa hampa. Namun suara itu selalu ada tepat di depan kita, memanggil kita untuk maju, bukan dengan mengaktifkan sistem limbik kita, melainkan dengan memperbarui pikiran kita.

Kisah ini adalah kisah yang selalu ada. Ini adalah Petrus versus Pan. Kita dapat memilih untuk menyelamatkan hidup kita atau kehilangannya, memuaskan nafsu kita atau menumbuhkan kerinduan untuk sesuatu yang lebih baik, untuk merencanakan masa depan atau memercayakan diri kita pada yang tidak diketahui. Kita dapat memilih kemenangan sesaat atau keselamatan kekal.

Dalam pusaran air Kaisarea Filipi diri sendiri ini, kita harus menutup telinga kita terhadap seruling yang dimainkan di sekitar kita dan mendengarkan suara yang berbeda. Pertanyaan yang diajukan kepada kita bukanlah bagaimana membaca tanda-tanda masa depan atau bagaimana melindungi diri dari bahaya. Pertanyaan di hadapan kita adalah “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Hanya ketika kita mengingat pertanyaan itu, kita dapat menunduk dan melihat batu karang yang kokoh tempat di mana kita berdiri—dan mengenali bahwa ini bukanlah tempat untuk panik.

Russell Moore is editor in chief at CT.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Public Theology Project

Problem Kepanikan

Di tempat di mana Petrus pernah berdiri di tempat Pan, kita dapat mendengar suara yang mengubah segalanya.

Masalah Besar dalam Kelompok Kecil

Seorang pendeta memberikan saran praktis bagi tiga kendala utama dalam kelompok kecil gereja: Penitipan anak, komitmen, dan anggota yang terlalu banyak bicara.

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube