Pastors

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

CT Pastors October 2, 2025
Source image: Z Wei / Getty

Dalam banyak hal, kesaksian saya tidaklah istimewa. Saya dibesarkan dalam keluarga yang stabil, dengan seorang ayah yang melayani penuh waktu dalam pelayanan dan ibu yang tinggal di rumah untuk membantu saya mengatasi gangguan belajar. Pada usia enam tahun, saya percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya. Saya sering mengajukan banyak pertanyaan kepada orang tua saya, dan kini tibalah saatnya. Saya merasa Tuhan memanggil saya.

Setelah bertobat, saya menjadi anak gereja yang biasa-biasa saja. Saya tidak minum alkohol, merokok, atau bahkan menari—meskipun soal menari itu karena saya sangat pemalu dan tidak bisa mengikuti irama dengan benar. Level pemberontakan saya saat remaja hanya sebatas beberapa kata kasar dan hubungan remaja yang menjadi terlalu serius.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Di kelas 10, Tuhan mengubah hidup saya. Saya selalu menjadi orang yang ingin menyenangkan orang lain dan takut sendirian. Saya sering kali mengelilingi diri saya dengan orang lain untuk menghindari isolasi. Hari pertama sekolah di tahun itu, saya datang ke sekolah dan mendapati bahwa saya tidak punya seorang teman pun di kelas atau di jam makan siang. Hal itu mungkin terdengar sepele sekarang, tetapi saat remaja, dunia saya seakan runtuh. Malam itu, orang tua saya menenangkan kegundahan masa remaja saya dan mendorong saya untuk membawa Alkitab ke sekolah.

Nasihat sederhana ini mengubah hidup saya. Saat saya membawa Alkitab ke sekolah, saya mulai membacanya secara teratur. Jika sebelumnya saya bergantung pada orang lain untuk persahabatan, kini Yesus menjadi sahabat saya. Hubungan saya dengan Tuhan bertumbuh, dan dalam setahun saya merasakan panggilan untuk melayani.

Berselang sekitar 10 tahun, saya melayani sebagai pendeta di Duncan, Oklahoma, di sebuah gereja Baptis. Itu adalah suatu tantangan. Gereja tersebut telah mengalami kemerosotan selama bertahun-tahun. Mereka pernah mencoba memecat dua dari tiga pendeta sebelum saya, dan tentu saja ada sekelompok orang yang tidak menyukai saya.

Sebagai orang yang selalu ingin menyenangkan orang lain (people pleaser), saya merasa terganggu jika orang tidak menyukai ide saya. Mereka memanggil saya untuk menjangkau kaum muda, tetapi kenyataannya, tugas saya adalah mempertahankan status quo dan melayani bagian senior di gereja.

Kekacauan besar yang pertama di gereja terjadi ketika seorang wanita merasa kesal karena anak-anak kami yang berusia satu dan dua tahun selalu ada di sekitar kami saat kami berada di gereja. Dengan serius, dia menatap saya dan berkata, “Alasan gereja ini mati adalah karena anak-anakmu.” Anak-anak saya tidak berbuat nakal atau bertingkah—mereka hanya ada di sana.

Ledakan kedua terjadi beberapa bulan kemudian. Ada dua anak lelaki yang enggan datang ke gereja karena bus gereja menjemput mereka. Mereka duduk di barisan belakang gereja dengan mengenakan topi. Seorang diaken mengatakan kepada saya bahwa anak-anak itu harus melepas topi mereka atau diusir dari gereja. Saya sampaikan bahwa mereka adalah orang-orang yang kepadanya kita dipanggil untuk berbagi kasih Tuhan dan topi mereka bukanlah masalah besar. Namun jawaban itu rupanya menjadi pertanda yang tidak baik bagi saya.

Ledakan ketiga terjadi saat anak-anak perempuan kami mulai masuk pra-TK. Istri saya, Jennifer, dan saya tidak menghasilkan cukup uang di gereja untuk mampu membayar cicilan mobil, dan hingga saat itu, kami berbagi mobil bekas kami. Saat anak-anak perempuan saya bersekolah, saya menyadari bahwa saya membutuhkan sarana transportasi kedua. Jadi kami mendapatkan apa yang kami mampu: Sepeda seharga $50 dari Walmart. Saya pun mulai bersepeda setiap hari ke gereja. Tanpa saya ketahui, banyak anggota gereja mulai berkendara untuk melihat apakah pendeta mereka sedang bekerja atau tidak. Ketika mereka tidak melihat mobil pendeta mereka di tempat parkir, mereka berasumsi saya tidak masuk kerja.

Segalanya memuncak pada suatu malam dalam sebuah pertemuan gereja. Bagi seorang pendeta, pertemuan gereja Baptis dapat terasa seperti didatangi 85 bos yang mengeluh tentang pekerjaan Anda. Namun, pertemuan ini berbeda dari sesi keluhan biasanya. Biasanya gereja hanya dihadiri sekitar 85 orang di setiap hari Minggu, tetapi pada pertemuan kali ini setidaknya ada 150 orang yang hadir. Saat saya membagikan rencana anggaran tahun ini dan membuka kesempatan untuk diskusi, terungkaplah sebuah rencana untuk menyingkirkan saya. Meskipun pihak yang menentang saya tidak memperoleh dua pertiga suara yang dibutuhkan untuk memutuskan, mereka tampaknya memiliki 50 persen suara yang diperlukan untuk memotong gaji saya dari anggaran gereja. Dengan istri dan anak-anak saya di dalam ruangan, satu persatu orang berdiri dan berteriak kepada saya soal nyanyian pujian, fakta bahwa saya berkhotbah dari iPad, bahwa saya membiarkan anak-anak “punk” masuk dengan “topi punk” mereka, dan—tentu saja—mempersoalkan anak-anak saya juga.

Saya menangis. Hati saya hancur. Kami voting, dan pihak oposisi kalah dengan dua suara. Beberapa minggu kemudian, setengah dari jemaat keluar dan gereja terpecah.

Saya menjadi kepahitan.

Pada tahun yang sama, kami pindah—dengan hancur, tersakiti, dan terluka—dari Oklahoma. Kami pindah ke Houston, dengan percaya bahwa awal yang baru akan menyembuhkan kepahitan kami yang hancur.

Di gereja kami berikutnya, kami menghadapi serangkaian tantangan baru. Saya masih mencoba memperbaiki masalah saya dengan menyenangkan orang lain, tetapi tidak berhasil. Mengabaikan lukamu akan membuatnya hilang, bukan?

Beralih secara cepat ke Vidalia, Louisiana, tempat saya saat ini melayani sebagai pendeta. Orang-orang bilang waktu akan menyembuhkan semua luka, tetapi sejujurnya, jika luka tidak ditangani, waktu tidak banyak membantu. Lukanya bernanah dan semakin parah. Saya ingat ketika bertemu orang-orang di minggu-minggu pertama kami di gereja, sambil berpikir, Siapa di antara orang-orang ini yang akan menyakiti kami? Saat kami bertemu teman-teman baru, kami melihat sekilas jejak anggota gereja sebelumnya dalam diri mereka—ada yang baik dan ada yang buruk.

Pemicu kesedihan kami semakin membesar dari tahun ke tahun. Ada hari-hari ketika saya pulang dari pertemuan gereja dan merasakan kembali kepedihan mendalam dari tahun-tahun lalu. Beberapa minggu yang lalu, komentar yang merendahkan Jennifer membuatnya menangis karena kepedihan terhadap gereja selama bertahun-tahun muncul kembali ke permukaan. Saya tidak dapat menghitung berapa kali saya bersumpah untuk tidak lagi menggunakan Facebook karena orang-orang menggunakan platform ini untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang pelayanan dan kehidupan saya.

Dua tahun lalu, Jennifer dan saya mulai melayani di pelayanan mahasiswa Celebrate Recovery, yaitu The Landing. Saat bertugas, saya terkadang diminta menyampaikan pengumuman, yang berarti saya harus berbagi masalah saya. Awalnya, saya hanya menyebutkan tentang hal-hal yang dangkal. Namun seiring berjalannya waktu, saya diingatkan terus-menerus untuk mengakui kebiasaan, kekhawatiran, dan luka saya pribadi dan semua itu membuat saya menghadapi lautan penderitaan yang belum pernah saya tangani. Saya menyadari bahwa kecanduan saya terhadap makan, berolahraga, menyenangkan orang lain, kepahitan, dan amarah, semuanya berakar pada luka-luka yang terpendam selama masa pelayanan saya.

Kemudian, sekitar setahun yang lalu, Jennifer dan saya menghadiri sebuah konferensi gereja di Denver, Colorado. Saya mengusulkan kepada istri saya agar membawa anak-anak perempuan kami ke sana untuk berlibur, tetapi menggunakan rute tidak langsung untuk mengunjungi gereja kami di Oklahoma. Kami tidak pernah mendapat penyelesaian atas konflik yang lalu. Kami juga tidak pernah mengatasi rasa sakit hati kami. Delapan bulan setelah perjalanan itu, saya menerima telepon dari gereja saya sebelumnya. Rupanya Tuhan telah menaruh pemikiran yang sama dalam hati pendeta yang melayani di sana saat ini. Mereka mengundang saya kembali untuk berkhotbah dalam acara KKR mereka.

Berbagai emosi membanjiri pikiran dan hati saya saat itu. Saya berkata iya.

Saat tiba di Duncan untuk menghadiri acara KKR tersebut, jantung saya berdebar kencang. Tuhan punya rencana. Dia tahu saya butuh sembuh. Kami bertemu teman-teman lama yang mengasihi kami. Setelah berbicara dengan sang pendeta dan berbagi kisah perjalanan pelayanan kami di gereja itu, dia meminta maaf.

Pada malam ketiga KKR tersebut, salah satu orang yang pernah menghasut tentang kami masuk ke dalam ruangan. Jika jantung saya berdebar kencang saat kami tiba di Duncan, kini jantung saya seakan meledak saat pria ini masuk. Berkali-kali selama bertahun-tahun setelah meninggalkan Oklahoma, saya memikirkan momen ini. Dalam mimpi, saya akhirnya mendapat kesempatan untuk menegur pria ini. Namun Tuhan melembutkan hati saya. Tidak, pria itu tidak meminta maaf atas siksaan yang ia timbulkan pada keluarga saya, tetapi itu tidak masalah. Tuhan memberi saya kedamaian. Pengampunan pada saat itu tidak bergantung pada apa yang dia lakukan. Sebaliknya, itu adalah anugerah dari Tuhan untuk saya.

Pendeta tidaklah sempurna. Di balik senyuman, sebagian besar dari kita sebenarnya sedang terluka. Sebagai pendeta, saya sering kali tidak mengatasi masalah saya karena, sejujurnya, saya tidak ingin orang tahu bahwa saya sedang bergumul. Saya takut orang akan memanfaatkan pergumulan saya untuk menyerang saya.

Saya belum selesai dalam perjalanan menuju kesembuhan saya. Bahkan minggu ini, saya merasa sakit hati secara emosional setelah mendengar kata-kata tajam dan menyakitkan. Dalam sebagian besar Sabtu malam, saya kesulitan tidur karena berbagai kekhawatiran dan sakit hati menyerang saya bagaikan setan. Saya masih punya kepahitan yang belum saya serahkan kepada Tuhan. Namun, melalui pergumulan yang terus-menerus saya alami, saya menjadi orang percaya yang bersyukur kepada Yesus Kristus, dan saya dapat melihat bagaimana Dia menuntun saya untuk menyerahkan segala kekhawatiran saya kepada-Nya. Saya dapat melihat Tuhan bekerja dalam hidup saya untuk membawa kesembuhan.

Wes Faulk adalah pendeta senior di First Baptist Church Vidalia, Louisiana. Artikel ini pertama kali terbit di situs webnya, wesfaulk.com.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube