Tulisan ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini .
Media sosial Kristen Amerika minggu waktu lalu diramaikan dengan kisah seorang pemengaruh (influencer) penipu. Sebuah[akun](https://x. com/harmonizedgrace/status/1891713204281303489) yang mengaku dikelola oleh seorang “istri tradisional” pendukung patriarki dengan 14 anak ternyata adalah seorang wanita lajang tanpa anak dengan identitas palsu dan kisah hidup yang direkayasa.
Kasus ini merupakan contoh nyata dari kebenaran yang lebih luas yang seharusnya menjadi peringatan di era ekstremisme ideologis: Anda menjadi seperti yang Anda pura-purakan—tetapi hanya dalam satu arah. Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.
Ahli biologi evolusioner, Hanno Sauer, menulis sebuah buku, The Invention of Good and Evil, yang membuat saya mengerutkan kening mulai dari membaca judulnya saja. Argumen Sauer cukup umum dari perspektif materialis reduksionis: bahwa moralitas dan amoralitas, baik dan jahat, tidak mencerminkan apa pun yang transenden tentang realitas, melainkan menunjukkan bagaimana manusia berevolusi untuk bekerja sama demi berkembangnya kumpulan gen.
Namun, analisis Sauer lebih menarik ketika dia membahas penelitian sosiologis sekitar 50 tahun terakhir. Dia penasaran bagaimana, dalam momen budaya ini, orang-orang menavigasi apa yang benar dan salah. Di antara hal-hal lain, dia menunjuk pada peran kepura-puraan.
Setelah diskusi panjang tentang perluasan pandangan hak asasi manusia, termasuk apa yang disebut sebagian orang sebagai perang “kesadaran” yang terjadi beberapa tahun terakhir, Sauer mengkaji reaksi keras sayap kanan global, terutama yang dimediasi melalui media sosial. Di sana, dia menggambarkan pola ironi yang mengarah pada kenyataan yang telah saya saksikan berulang kali dalam ribuan kisah tragis.
Pertama-tama, ia bertanya, mengapa begitu banyak orang menerima apa yang dipandang di hampir semua zaman lain sebagai kekejaman ala kartun? Menurutnya, sebagian besar alasannya adalah pencarian yang putus asa terhadap sesuatu yang dapat ditentang.
“Dalam kasus banyak remaja, apa lagi yang bisa dilawan ketika orang tua Anda yang mantan kaum hippie tidak memiliki masalah dengan narkoba dan seks pranikah?” tulisnya. “Tak jarang, langkah selanjutnya adalah swastika, misogini kasar, dan pengakuan akan fantasi pembunuhan.”
Pada awalnya, banyak dari pemberontakan ini hanya dijadikan bahan tertawaan. “Aspek mana dari reaksi keras sayap kanan yang benar-benar serius, dan mana yang hanya provokasi, terlepas dari apakah tujuan akhirnya membenarkan hampir semua cara?” tanya Sauer. Awalnya, sebagian besar jawabannya adalah jawaban yang terakhir, “hanya dimaksudkan secara ironis, atau lebih tepatnya meta-ironis: Ironi di sini adalah untuk membuat tidak jelas apa yang benar-benar dimaksudkan secara ironis dan apa yang tidak,” tulisnya.
Psikologi manusia, bagaimanapun, tidak memungkinkan hati untuk mempertahankan “sinyal keburukan” semacam ini pada level menjahili. “Sayangnya, beberapa orang yang ikut-ikutan dalam lelucon ini lupa bahwa kita harus berhati-hati dengan yang kita pura-purakan, karena pada suatu saat nanti kita akan menjadi seperti orang yang kita pura-purakan,” ujar Sauer. “Banyak orang, setelah mereka menanggalkan sikap ironis mereka, menjadi Nazi sejati atau misoginis sejati (dan sering kali keduanya).”
Menurutnya, hal ini terutama berlaku di masa “inflasi ekstremisme” yang didorong oleh ekonomi perhatian. Jika Anda bertanya-tanya mengapa banyak hal yang Anda saksikan dalam kekristenan daring tampak seperti kebalikan langsung dari gambaran penatua Kristen—yang “tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang” (1Tim. 3:2–3)—Anda tidak gila.
“Hampir setiap kelompok sosial, baik sayap kanan maupun kiri, harus bergumul dengan masalah inflasi ekstremisme, terutama karena segelintir ekstremis tersebut akhirnya mendominasi perdebatan,” tulis Sauer. “Ideologi suatu kelompok pada akhirnya akan didominasi oleh orang-orang yang mewakili versi paling ekstrem dari ideologi tersebut, dan setelah melampaui titik tertentu, versi ekstrem ini pada akhirnya menjadi hal yang lumrah.” Dia melanjutkan,
Siapa pun yang ingin bergabung dengan kelompok tersebut atau naik pangkat di dalamnya harus mampu menunjukkan loyalitas tertentu terhadap tujuan tersebut, dan itu biasanya berarti memperparah lingkaran radikalisasi ini lebih jauh lagi. Dari sana, hanya selangkah kecil lagi untuk menyatakan bahwa Kim Jong Un dapat teleportasi atau bahwa “Führer” tidak pernah salah. Sangat sedikit orang yang benar-benar memercayai omong kosong ini, atau bahkan percaya bahwa ada orang lain yang memercayainya. Namun, ekstremisme ideologis menjadi sinyal yang mahal, karena dirancang untuk membangun kepercayaan dalam kelompok dengan membakar jembatan dengan akal sehat—dan dengan orang lain—dan selanjutnya memperkuat ikatan kelompok.
Dengan cara ini, nasihat yang tidak masuk akal bagi orang-orang agar “berpura-pura sampai berhasil” sebenarnya benar. Berpura-pura bersikap ekstrem pada akhirnya akan membuat orang biasa menjadi ekstremis. Berpura-pura melihat belas kasih sebagai racun atau kesetiaan sebagai kelemahan, pada akhirnya akan mengarah pada kehidupan batin yang kejam dan kasar yang sesuai dengan penampilan luar.
Hal tersebut disebabkan karena keinginan untuk berpura-pura itu sendiri sudah merupakan hilangnya integritas. Mereka yang meniru cara hidup suatu berhala, menurut Alkitab, pada kenyataannya, akan menjadi seperti berhala itu seiring berjalannya waktu (Mzm. 115:8).
Karena alasan ini, rasul Paulus memperingatkan tentang bahayanya tidak menentang imoralitas dengan alasan pelakunya anggota gereja: “Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan?” (1Kor. 5:6, dst). Apa yang dinormalisasi akan ditiru, dan imoralitas yang ditiru pada akhirnya akan menjadi kenyataan.
Namun, hal itu tidak berlaku sebaliknya. Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan. Anda bisa saja menganggap sepele kejahatan kecil, tetapi Anda akan sampai di titik di mana Anda tidak bisa kembali.
Itu karena integritas, moralitas dan kesalehan tidak datang dari penampilan lahiriah. Mengecat kuburan dengan cat putih tidak akan menghidupkan kembali mayat-mayat yang membusuk di bawahnya (Mat. 23:27–29). “Secara lahiriah menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya” (2Tim. 3:5) bukanlah langkah pertama menuju kesalehan sejati, melainkan perlawanan dan penodaan terhadap hal tersebut.
Jalan menuju imoralitas dimulai dengan membangun jalan sendiri menuju ke atas, dan Anda dapat berpura-pura memiliki pijakan untuk berjalan di pendakian itu. Namun jalan Kristus dimulai dengan pengakuan akan kekurangan—jenis mengosongkan diri yang menyingkirkan kepalsuan (Ef. 4:25).
Berpura-puralah menjadi seorang Nazi cukup lama, dan Anda akan segera menemukan diri Anda menjadi salah satu dari mereka. Tertawalah atas pelecehan seksual dan perdagangan manusia cukup lama, dan Anda akan menjadi predator.
Mereka yang mengedipkan mata dan mengangguk setuju dengan jahil “Bukankah kita nakal?”, berpikir mereka tidak akan pernah menjadi yang mereka pura-purakan, namun sebenarnya mereka menciptakan sebuah ironi yang menyedihkan. Mereka tampaknya mengira mereka dapat menciptakan negara Kristen hanya jika negara tersebut cukup memaksa orang-orang berpura-pura menjadi orang Kristen sampai mereka benar-benar menjadi orang Kristen. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Anda tidak dapat memalsukan cara Anda untuk hati yang diubahkan atau pikiran yang diperbaharui, apalagi untuk mencapai kedewasaan Kristen. Bukan begitu cara kerja Roh Kudus.
Yesus akan menanyakan apa yang Dia tanya kepada setiap orang: “Apakah yang kamu cari?” (Yoh. 1:38). Namun, Anda tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah tanpa kesesuaian antara hati dan mulut. Masuknya kita ke dalam Kerajaan Allah hanya melalui belas kasihan dan kasih karunia saja, yang hanya diberikan kepada mereka yang sudah menyerah pada usaha untuk memperoleh dan mencapai (Rm. 10:9–11).
Berabad-abad lalu, Alkitab telah memperingatkan kita tentang semua ini. “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni, dan dari iman yang tulus ikhlas,” tulis Paulus kepada Timotius. “Tetapi ada orang yang tidak sampai pada tujuan itu dan yang sesat dalam omongan yang sia-sia. Mereka itu hendak menjadi pengajar hukum Taurat tanpa mengerti perkataan mereka sendiri dan pokok-pokok yang secara mutlak mereka kemukakan” (1Tim. 1:5–7).
Berhati-hatilah dengan yang Anda pura-purakan. Pura-pura menuju neraka akan membawa Anda ke sana—dan pura-pura menuju surga pun akan membawa Anda ke neraka juga.
Iman yang tulus ikhlas, hati nurani yang murni: Hal-hal ini tidak berguna untuk mendapatkan pengaruh di masa inflasi ekstremisme. Namun tanyakanlah pada diri Anda sendiri: Apakah itu yang benar-benar Anda inginkan?
Russell Moore adalah pemimpin redaksi Christianity Today dan memimpin Proyek Teologi Publik.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.