Ideas

Masalah Sebenarnya dengan Doa Buatan AI

Pujian atau permohonan buatan komputer terdengar sangat mirip dengan bahasa manusia yang Kristen. Namun, sebenarnya tidak sama.

Glitching praying hands on a computer screen.
Christianity Today July 29, 2025
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Pexels, Unsplash

Pada konferensi Gospel Coalition baru-baru ini, pendeta terkenal John Piper menceritakan kepada audiensnya tentang tugas yang ia berikan kepada ChatGPT: Tulislah sebuah doa yang didasarkan pada teologi Don Carson. Ia kemudian membacakan teks yang dihasilkan. “Doa” buatan ChatGPT tampaknya memenuhi semua kriteria teologis; jemaat bergumam, tampak terkesan. Namun John Piper tidak. Ia menyatakan bahwa “doa” seperti itu bukanlah doa sama sekali, melainkan merupakan hasil dari mesin tanpa jiwa dan bukan ungkapan hati manusia yang penuh penyembahan.

Perkembangan terkini dalam kecerdasan buatan (AI) telah menimbulkan pertanyaan yang meresahkan tentang kemanusiaan kita; memang, setiap kemajuan baru dalam teknologi AI seolah-olah mengikis keunikan manusia yang dulunya sangat aman. Kita yang dahulu terletak di wilayah luas antara makhluk liar dan para dewa, kini terancam oleh meningkatnya kemampuan ciptaan kita sendiri, yang membayang-bayangi akan menggantikan keberadaan kita. Jadi, apa lagi yang membuat manusia unik? Seiring dengan terjadinya gelombang PHK akibat adanya AI, akankah AI akan membuat manusia sendiri menjadi tidak berguna?

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Pertanyaan-pertanyaan tentang keunikan manusia ini penting. Manusia diciptakan menurut gambar Allah; sedangkan kode tidak. Saya kira itulah yang ingin disampaikan John Piper dalam kritiknya.

Namun, apa yang dilakukan Piper juga menimbulkan pertanyaan menarik tentang bahasa itu sendiri. Doa yang dihasilkan mesin benar-benar dapat terdengar seperti doa yang dihasilkan manusia, karena kita cenderung kembali pada formulasi yang umum dan bahasa-bahasa yang klise. Jika doa AI bukanlah doa yang sejati, apa implikasinya terhadap pujian dan permohonan kita, yang sering kali menunjukkan bahwa kita juga “memprogram” diri kita dalam bahasa dan kebiasaan Kristen?

Dalam Khotbah di Bukit, Yesus memperingatkan para murid-Nya agar “janganlah bertele-tele [“menggunakan pengulangan yang sia-sia,” menurut salah satu terjemahan Alkitab] seperti kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah” (Mat. 6:7). Ia kemudian mengajarkan para murid akan kata-kata spesifik dari Doa Bapa Kami.

Sekilas, doa yang diajarkan secara spesifik ini tampaknya bertentangan dengan peringatan di ayat-ayat sebelumnya. Alih-alih “bertele-tele,” kaku dan terlalu biasa, kita seharusnya mengutamakan spontanitas dalam komunikasi kita dengan Allah.

Namun di era AI, “spontanitas” doa-doa kita (bahkan segala sesuatu yang kita katakan) mungkin terdengar kurang meyakinkan. Model bahasa besar (Large Language Models; LLM) telah menunjukkan kepada kita bahwa ucapan yang awalnya dianggap mewujudkan ekspresi pemikiran, individual, dan kreatif mungkin hanyalah fungsi rutin yang beroperasi pada data generik, tanpa memerlukan refleksi internal.

Dalam Doa Bapa Kami, Yesus membahas masalah doa yang “bertele-tele” bukan dengan memuji keaslian doa yang spontan dan disusun atau dihasilkan secara pribadi, melainkan dengan memberikan para pendengar-Nya doa yang spesifik, dengan permohonan yang kedalamannya telah direnungkan oleh para pengikut-Nya selama sekitar 2.000 tahun.

Jelas, peringatan Yesus sebelumnya pasti ada kaitannya dengan cara kita menggunakan Doa Bapa Kami. Jika kita tanpa sadar dan asal-asalan mengulang-ulang kata-kata Doa Bapa Kami tanpa peduli maknanya, kita sama seperti memutar roda doa Tibet, menjadikan doa sebagai sesuatu yang otomatis. Para kritikus liturgi sering mengeluh tentang “membaca doa-doa yang ditetapkan” dan sering kali dengan alasan yang sah. Doa-doa yang ditetapkan ada untuk didoakan. Kata-kata dalam doa itu harus menjadi kata-kata kita.

Kata-kata itu menjadi kata-kata kita bukan karena komposisinya, juga bukan karena spontanitas atau individualitas, dalam konteks liturgi. Kita tidak menciptakan kata-kata dari Doa Bapa Kami, dan kita tidak secara independen menentukan untuk memanjatkan doa tersebut pada saat tertentu dalam suatu kebaktian. Sekalipun mulut kita mengucapkan sesuatu, bukan berarti kita mengucapkannya dari hati. Kitab Suci sering kali menyerukan soal integrasi antara hati, perkataan, dan perbuatan, serta mengutuk orang-orang yang memuliakan Allah dengan bibirnya sementara hati mereka jauh dari-Nya (Mat. 15:8).

Jika kita mencari keunikan manusia dalam kapasitas kita untuk menghasilkan artefak tekstual, maka AI menjadi ancaman eksistensial. Hal ini bukan hanya menunjukkan sulitnya membedakan produk mesin dari produk manusia, tetapi juga menunjukkan betapa banyaknya ucapan dan tulisan manusia yang bisa begitu mekanis dan tanpa pikiran, terutama dalam masyarakat yang birokratis.

Namun ada cara lain untuk memahami hubungan kita dengan bahasa, hubungan yang lebih jelas terlihat dalam masyarakat sebelum dominasi kata-kata tertulis dan tercetak. Dalam budaya lisan, kata-kata tidak ditemukan dalam teks otonom, melainkan dalam pembicara, upacara, dan pertunjukan—dalam penyair dan penyanyi, liturgi dan drama, pencerita dan orator, pendeta dan pembaca publik, politisi dan filsuf. Kendaraan utama dari kata adalah manusia.

Meskipun perbedaan yang tampak antara manusia dan AI sebagai penghasil kata-kata mungkin semakin berkurang, tetapi perbedaan antara manusia dan AI sebagai makhluk kata-kata sangatlah besar dan jelas.

Kaum Injili umumnya memandang Kitab Suci menurut pola pikir kaum modern yang terpelajar: Kitab Suci disetarakan dengan objek fisik Alkitab pribadi kita, yang kita pelajari untuk mengenal Allah. Namun Kitab Suci sendiri menyajikan gambaran yang lebih rumit kepada kita. Ya, ada teks-teks Kitab Suci yang bersifat fisik di luar kita—ini penting. Akan tetapi, di sepanjang Kitab Suci, Firman Tuhan secara progresif memakai manusia sebagai sarana yang tepat. Juga, dalam sebagian besar sejarah umat Allah, Kitab Suci terutama dijumpai bukan dalam objek tekstual laten berupa Alkitab milik pribadi, melainkan dalam sabda hidup yang dibacakan dan dikhotbahkan di depan umum, dalam liturgi, dalam nyanyian mazmur, dan dalam teks yang disimpan dalam ingatan pribadi.

Tuhan adalah Allah yang berbicara. Dia menyampaikan Hukum Taurat kepada umat-Nya di gunung Sinai, dan memanggil mereka untuk menerima Hukum itu, menaati semua perintah-Nya, menghayatinya, dan melayani Dia dengan kasih. Hukum adalah kata yang eksternal, yang menentang orang-orang yang menentang dan menghakimi mereka atas pemberontakannya.

Kitab Mazmur dibuka dengan kisah orang yang berbahagia, yang kesukaannya adalah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam (1:1–2). Ini menggambarkan orang benar yang memiliki Taurat Allah di dalam hatinya, yang mengatakan keadilan dan memiliki hikmat (37:30–31). Dalam kitab Mazmur, perintah-perintah dari Hukum Taurat dalam bentuk orang kedua, diungkapkan dalam kegembiraan dan komitmen orang pertama—“Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari” (119:97).

Kitab Mazmur menggambarkan dan mendorong relasi dengan Hukum Taurat yang ditandai dengan perenungan, hafalan, kesukaan, pengagungan kata-kata dalam nyanyian, dan dilakukan secara bersama-sama. Hal serupa dapat dilihat dalam kitab-kitab hikmat, di mana perintah-perintah eksternal dari Hukum Taurat memberi jalan bagi pernyataan orang bijak, yang telah menghayati hikmat dan keadilan Hukum, serta dapat berbicara dengan wawasan dan otoritas.

Dalam kitab-kitab para nabi, manusia menjadi pembawa Firman Tuhan dengan cara yang baru dan lebih dipertegas. Yehezkiel memakan gulungan kitab agar dapat menyampaikan Firman Tuhan kepada umat dengan penuh kuasa (Yeh. 3:1–9). Bibir Yesaya disentuh dengan bara dari mezbah ilahi sehingga ia dapat berbicara dengan kekudusan yang membara (Yes. 6:5–8). Mulut Yeremia disentuh sehingga dapat membawa Firman Tuhan dan diperlengkapi dengan otoritas atas bangsa-bangsa “untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam” (Yer. 1:9–10).

Dalam Yesus Kristus, Firman Tuhan datang kepada umat manusia secara pribadi. Dalam Yesus, hikmat, otoritas, kebenaran, keadilan, dan kehidupan Firman Tuhan sepenuhnya terwujud dalam tubuh manusia. Dunia tidak dapat menampung kitab-kitab yang dapat ditulis tentang Dia. Yesus pun tidak pernah menulis kitab apa pun. Dia sendiri adalah Firman.

Dan Dia membentuk umat Tuhan menjadi kata-kata yang hidup. Dalam 2 Korintus 3:3, rasul Paulus menggambarkan jemaat Korintus sebagai “surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” Pada bagian lain, di Kolose 3:16, ia berbicara tentang “perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu” melalui nyanyian mazmur, himne, dan nyanyian rohani. Gereja adalah pesan Kristus yang hidup, suatu umat yang dibentuk sebagai pembawa Firman ketika Kitab Suci diinternalisasikan ke dalam diri kita melalui hafalan, perenungan, nyanyian, doa, khotbah, pembacaan, dan pujian.

Tentu saja, inilah tujuan dari doa seperti Doa Bapa Kami: bahwa dengan terus kembali kepada kata-kata ini, kita dapat dibentuk melaluinya, menjadi tipe orang yang dapat memanjatkan doa tersebut sepenuhnya. Spontanitas dan orisinalitas dapat bermanfaat, tetapi yang jauh lebih penting daripada kata-kata yang kita hasilkan adalah kata-kata yang meresap ke dalam diri kita dan tersimpan dalam hati kita.

Dalam Phaedrus karya Plato, Socrates mengamati bagaimana tulisan dapat menggantikan ingatan internal dengan pengingat eksternal, dan karena itu berisiko mendorong terjadinya mudah lupa pada mereka yang bergantung pada tulisan. Dengan mengandalkan tulisan, mereka tidak perlu lagi menyerap kata-kata ke dalam diri mereka, sehingga kehilangan hikmat dalam prosesnya.

Dalam banyak hal, AI merupakan intensifikasi radikal dari eksternalisasi kata yang pertama kali didorong melalui tulisan. Mungkin bahaya terbesarnya adalah mudah lupa yang semakin mendalam dan hilangnya hikmat. Dalam penciptaan, hanya pada manusialah kata (Firman) memperoleh karakter hidup yang sebenarnya, ditemukan dalam kesukaan, hikmat, ketaatan yang rela, keadilan, dan otoritas. Meskipun AI dapat mensimulasikan produk dari manusia, tetapi AI tetap tanpa jiwa.

Ketika kita berdoa, mempersembahkan diri kita kepada Tuhan sebagai makhluk ciptaan dari Firman-Nya, hal itu lebih penting daripada mempersembahkan ciptaan verbal kita sendiri. Kata-kata doa kita yang tampaknya spontan, yang jarang se-orisinal atau se-ekspresif seperti yang terlihat, memiliki nilai yang jauh lebih rendah daripada hati dan kehidupan yang menghargai, menghayati, dan mewujudnyatakan Firman Tuhan itu sendiri. Ini adalah penyembahan yang tidak akan pernah bisa ditawarkan oleh AI mana pun juga.

Alastair Roberts adalah Senior Fellow Tamu di Theopolis Institute dan profesor di Davenant Hall. Anda dapat mengikuti karyanya di The Anchored Argosy Substack.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube