Pastors

Menggembalakan Orang Tua dari Anak yang Hilang

Seiring semakin banyak orang dewasa muda yang meninggalkan gereja, peran Anda bukanlah untuk memperbaiki keluarga mereka, melainkan untuk setia berjalan bersama mereka dalam pengharapan.

CT Pastors July 15, 2025
Source images: Iknuitsin Studio; Pakin Songmor / Getty

Jalanan di pedalamanan Texas Panhandle yang penuh lubang membuat truk gandeng yang saya kemudikan seperti melompat-lompat. Sambil tangan sibuk memindahkan perseneling, pikiran saya, seperti malam-malam sebelumnya, memutar kembali fragmen kenangan hidup saya yang dulu bahagia. Saya dulu mengajar di seminari, tetapi sekarang mengangkut air limbah melewati ladang minyak. Dari yang biasa memakai sepatu pantofel, sekarang memakai sepatu bot berujung baja. Dulu menjalani cita-cita, sekarang menjalani hidup yang kacau—kehidupan yang saya pilih, dan kini saya sesali.

Di sanalah saya berada, seorang anak bungsu dalam kisah anak yang hilang. Saya dibesarkan di rumah Bapa, tetapi dengan bodohnya mengikuti jejak anak yang hilang ke negeri yang jauh, untuk hidup—atau lebih tepatnya, sekadar untuk eksis—dalam pengasingan yang dicari-cari sendiri untuk menjauh dari gereja. Bau solar dan kegagalan mengikuti saya.

“Di tengah perjalanan hidup kami, aku tersesat dari jalan lurus dan terbangun untuk mendapati diriku sendirian di hutan yang gelap.” Saya bisa saja menato kata-kata pembuka dari Dante di Inferno ini di dada saya. Namun tidak seperti Dante, saya tidak mempunyai Virgil yang membimbing saya, tidak ada Beatrice yang menunggu saya. Hanya bayangan malu dan hantu rasa bersalah yang membayangi langkah saya seiring saya maju sambil terhuyung-huyung.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Apa yang tidak saya lihat kala itu—tetapi saya lihat sekarang—adalah tangan tak kasat mata dari Bapa yang mendorong saya maju dengan langkah lambat tetapi pasti, yang dengan gigih menarik saya menuju harapan.

Cara saya tersesat sama seperti dosa pada umumnya, tidak ada yang berbeda atau menarik. Kejahatan meniru kebaikan tetapi dengan sentuhan suram. Saya tidak jatuh; saya menyelam—saya dengan sengaja memilih untuk memakan buah terlarang, yang dipetik dari pohon ketidaksetiaan. Saya menghancurkan taman Eden saya: Pernikahan dan keluarga yang utuh, pekerjaan mengajar yang ideal, karier yang sedang menanjak, relasi yang dekat dengan para mahasiswa dan kolega, serta jabatan saya di gereja.

Di sanalah saya duduk, dengan hati getir dan hancur, mengangkut sampah di siang hari dan membenci diri sendiri di malam hari.

Bahkan sekarang, 20 tahun kemudian, saya masih ingat pola saya menjalani minggu demi minggu. Pada hari Senin, saya marah kepada Tuhan dan kepahitan terhadap dunia. Pada hari Rabu, saya tercekik oleh rasa malu dan bersalah. Pada hari Jumat, saya berdoa dengan napas tersengal-sengal memohon belas kasihan—agar Tuhan membenarkan saya di hadapan-Nya dan kemudian secara ilahi mengakhiri hidup saya yang menyedihkan ini. Setiap hari Minggu sama saja: hari di mana saya tidak berani datang ke gereja. Saya membayangkan setiap mata menghakimi saya. Saya tidak yakin apakah Tuhan berada di pihak saya, menentang saya, atau, yang lebih buruk lagi—tidak peduli.

Kita yang meninggalkan gereja semuanya punya kisah masing-masing. Ini adalah kisah saya.

Ini kisah yang menyakitkan, tetapi bukan kisah yang asing. Orang tua saya mengalaminya. Mungkin Anda juga sedang mengalaminya. Kemungkinan besar, ada orang tua di jemaat Anda yang sedang mengalaminya.

Sebagai seorang pendeta, saya tidak perlu memberi tahu Anda betapa umum kisah ini di antara para orang tua yang ada di gereja Anda. Anda pernah duduk bersama orang tua yang hatinya terasa berat karena kesenyapan dari putra mereka. Anda pernah berdoa bersama para ibu yang memikul beban kerinduan rohani terhadap anak perempuannya. Anda pernah menyaksikan dengan bingung ketika para kakek-nenek berduka atas cucu lelaki atau perempuan mereka yang terkasih, yang telah meninggalkan komunitas orang percaya. Anda pernah mendengar pertanyaan di balik air mata mereka: Di mana letak kesalahan kami? Apakah kami terlalu memaksakan—atau kurang memaksakan? Apa yang bisa kami ubah? Apa yang bisa kami lakukan sekarang?

Sebagian dari pertanyaan itu diwarnai rasa bersalah. Sebagian lainnya dipenuhi air mata ketidakberdayaan. Namun di balik itu semua, ada orang tua yang pernah menidurkan anaknya, mendoakan pembaptisannya, dan membayangkan masa depan di mana mereka akan beribadah duduk berdampingan di gereja yang sama. Mimpi itu kini terasa sangat jauh. Dan sebagai pendeta mereka, Anda dipanggil bukan untuk menyelesaikan rasa sakit itu, melainkan untuk berjalan bersama mereka melewatinya.

Para orang tua yang bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa sakit ini bukanlah minoritas yang makin sedikit. Justru sebaliknya. Seperti yang dijelaskan Jim Davis, Michael Graham, dan Ryan P. Burge dalam buku The Great Dechurching, kita berada di tengah eksodus besar-besaran di mana orang-orang keluar dari gereja dan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kita berbicara tentang 40 juta orang. Mereka menyebutnya “pergeseran agama terbesar dan tercepat dalam sejarah AS.” Namun bagi orang tua, angka itu bukan sekadar statistik. Itu adalah wajah putra-putri mereka.

Saya meninggalkan gereja sebelum kata “dechurching” masuk dalam kosa kata kita. Alasan saya beragam dan kompleks secara emosional. Namun, alasan yang teratas adalah kekecewaan terhadap kepemimpinan gereja. Saya ingat seorang pemimpin denominasi mengirim email untuk “memperingatkan” para pendeta sekitar bahwa saya tinggal di daerah mereka, seolah-olah kehadiran saya dalam kebaktian, mencari pertolongan dan pengampunan, merupakan sebuah ancaman.

Pengalaman saya, yang juga dirasakan oleh banyak orang yang kini meninggalkan gereja, adalah ini: Gereja sering kali tidak terlihat seperti tempat yang menerima orang berdosa ke dalam komunitas anugerah, dan lebih mirip seperti pengadilan yang menilai dosa, di mana beberapa dosa tertentu dianggap “lebih buruk” daripada dosa mereka sendiri. Seolah-olah Alkitab berbunyi, “Karena semua orang telah berbuat dosa…tetapi dosamu lebih banyak daripada dosaku.”

Anda mungkin pernah mendengar kekesalan serupa dari para orang tua di jemaat Anda. Beberapa anak mereka tidak percaya lagi kepada Tuhan. Beberapa orang masih percaya, tetapi tidak datang ke gereja. Yang lainnya berhati-hati, terluka, dan enggan untuk kembali terlibat lagi dalam kehidupan berjemaat. Alasan mereka beragam, mulai dari gereja yang terlalu dekat dengan kelompok politik hingga kekecewaan atas isu-isu seperti ajaran gereja tentang seksualitas. Tidak ada narasi tunggal yang berlaku sama untuk semuanya.

Akan tetapi, ini bukanlah masalah satu pihak saja yang menanggung semua kesalahan. Apakah orang tua juga bisa disalahkan? Ya, terutama jika mereka mencontohkan pendekatan iman yang legalistik dan tidak berdasarkan Injil, yang menggambarkan Yesus lebih sebagai pemberi perintah daripada sebagai Juru Selamat, seolah-olah Dia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, dan Aku akan memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepadamu.” Apakah pendeta juga bisa disalahkan? Ya, jika mereka memilih untuk mengatakan kebenaran tetapi tanpa kasih, atau mengasihi tetapi tidak mengatakan kebenaran—sehingga menciptakan kekristenan yang tidak memiliki belas kasihan atau spiritualitas yang dangkal.

Apakah anak-anak yang meninggalkan gereja juga bisa disalahkan? Tentu saja, apa pun alasan atau dalih mereka, dapat dimengerti atau tidak, tidak pernah ada alasan yang dapat dibenarkan untuk meninggalkan Kristus dan gereja-Nya. Ketika Paulus menulis surat kepada jemaat di Korintus yang sedang dilanda skandal, ia tidak pernah menyarankan untuk meninggalkan jemaat tersebut. Yesus, dalam surat-surat kepada ketujuh jemaat di kitab Wahyu, Ia menegur tetapi tidak pernah menyarankan untuk meninggalkan gereja. Disfungsi gereja bukanlah penemuan baru di abad ke-21.

Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk melihatnya dengan jelas. Dalam autobiografi rohani saya, Night Driving: Notes from a Prodigal Soul, saya menggambarkan bagaimana Roh Kudus akhirnya mengembalikan saya ke gereja ketika saya “menyadari sebuah fakta yang merendahkan hati dan menyadarkan saya: gereja menganggap saya sama tidak menariknya seperti halnya anggapan saya terhadap gereja.” Apakah gereja punya masalah? Oh, ya. Apakah saya punya masalah? Tentu saja, dan itu sangat jelas. Apakah ada banyak kelemahan yang tidak menarik di dalam kehidupan jemaat dan pendetanya? Kita tahu itu ada. Dan semua keburukan, kepicikan, keegoisan, dan sikap sok tahu itu tercermin dalam jiwa saya yang ternoda oleh dosa.

Gereja dipenuhi dengan orang-orang berdosa. Sebab itu, oleh karena anugerah Kristus saja, saya termasuk di dalamnya.

Ayah saya, Carson, beralih dari bumi menuju surga pada tahun 2022, tetapi saya bersukacita bahwa ia masih hidup untuk melihat saya kembali, selangkah demi selangkah dengan enggan, ke tengah umat Kristus yang beribadah dan berdoa. Ibu saya, Jeanette, juga ada di sana. Kalau saja mereka bisa mengunjungi orang tua lain yang sedang bergumul akan anak-anaknya yang meninggalkan gereja, saya yakin mereka akan mengangguk sambil menangis. Mereka pernah berada di sana.

Jika Anda menggembalakan seseorang yang sekarang berada “di sana,” dalam kondisi yang tidak menyenangkan, dipenuhi kecemasan dan rasa bersalah, tidak tahu bagaimana harus berdoa atau apa yang harus dikatakan, ingatkan mereka: Tuhan tidak meninggalkan mereka tanpa bimbingan atau tanpa tempat untuk meraih pengharapan.

Pertama dan yang terpenting, jika mereka merasa bertanggung jawab atas keterasingan anak mereka, mereka harus mendengar kebenaran yang indah ini: Yesus telah membayar lunas untuk kegagalan itu. Mereka tidak bisa menebus dosa dengan menanggung rasa malu. Injil bukanlah untuk orang tua yang sempurna—karena memang tidak ada orang tua yang sempurna!—melainkan untuk kita semua yang berjuang keras sebagai orang tua yang tidak sempurna tetapi dikasihi dengan sempurna oleh Bapa Surgawi kita.

Kuatkanlah mereka juga, bahwa kesetiaan mereka dalam ketenangan itu penting. Orang tua saya tidak mendesak saya untuk kembali ke gereja. Mereka tidak menggurui atau menghakimi. Mereka tidak membuat saya merasa bersalah atau tertekan. Mereka hanya terus berjalan bersama Tuhan. Mereka tetap pergi ke gereja. Dan mereka terus mencintai saya serta berdoa untuk saya. Kesaksian mereka yang konsisten dan tak terucapkan merupakan suatu khotbah tentang anugerah yang menanam benih di tanah hati saya.

Pada saat-saat tertentu, banyak orang tua akan lebih merasa ditinggalkan Tuhan daripada dikasihi-Nya. Hal ini menyakitkan sekaligus normal. Kitab Mazmur mengungkapkan kesedihan ini:

Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus?

Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?

Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku,

dan bersedih hati sepanjang hari?

Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku? (Mzm. 13:2–3)

Empat kali ia berseru, “Berapa lama lagi?” Namun, bahkan dalam kesenyapan, Tuhan tetap hadir sepenuhnya, memeluk mereka dan mengasihi anak-anak mereka.

Ingatkan mereka bahwa Bapa kita di surga mengasihi putra-putri kita lebih dari yang bisa kita lakukan. Seperti yang Tuhan nyatakan dalam Yesaya 49, bahkan sekalipun seorang ibu melupakan anaknya, Dia tidak akan melupakannya. Anak-anak mereka tidak dilupakan. Tidak oleh Yesus. Dia tidak lupa, dan tidak akan melupakan mereka yang untuknya, dengan kasih, Dia mencurahkan darah-Nya.

Yesus tidak pergi memburu buluh yang terkulai untuk dipatahkan dan sumbu yang pudar untuk disiram seember air. Dia merawat mereka. Dia mengejar yang hilang. Seperti yang diungkapkan melalui kata kerja Ibrani yang digunakan dalam Mazmur 23:6, “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti [ radaf ] aku, seumur hidupku.” Tidak mudah untuk menjauh dari Yesus. Bahkan jika anak Anda hanya memiliki iman yang kecil, tetapi iman yang kecil itu pun mengandung Kristus yang utuh. Keselamatan tidak datang dalam bentuk pecahan.

Jika anak mereka dibaptis, ingatkan mereka: Air itu masih berbicara. “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rm. 6:4).

Hidup dalam hidup yang baru. Itu kisah saya. Tuhan menjumpai saya ketika saya masih jauh. Dia melihat saya dan berbelas kasihan, berlari dan memeluk saya, lalu membawa saya pulang. Dia memulihkan jiwa saya dan, dengan menambahkan anugerah demi anugerah, beberapa tahun kemudian, Dia memberi saya tujuan baru dalam pelayanan dengan menghubungkan saya dengan lembaga Kristen nirlaba, 1517, tempat saya sekarang melayani sebagai cendekiawan residen. Bahkan di masa-masa terkejam dalam hidup kami—kematian putra kami yang berusia 21 tahun, Luke, dan dua kali perjuangan istri saya melawan kanker—kami tetap hidup dalam kehidupan baru karena kami berjalan dalam hidup Yesus yang selalu baru.

Inilah kehidupan di gereja, tubuh Kristus. Para orang tua menyemangati orang tua lain yang menanti kepulangan anak-anaknya. Para pendeta menggembalakan mereka yang menanti. Kita semua ditopang oleh pengharapan yang sama, yang tak tergoyahkan: Yesus tidak akan pernah meninggalkan kita, atau anak-anak kita.

Chad Bird adalah seorang cendekiawan residen di 1517 dan salah satu pembawa acara siniar 40 Minutes in the Old Testament. Ia juga penulis sejumlah buku, termasuk Hitchhiking with Prophets: A Ride through the Salvation Story of the Old Testament.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube