Ideas

Kesuksesan Anak Bukanlah Mahkota Kejayaan Orang Tua

Dalam budaya yang menghargai prestasi akademis, doa untuk anak-anak kita dapat terdengar seperti negosiasi dangkal dengan Tuhan.

A crown made from an A+ graded homework paper.
Christianity Today June 26, 2025
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Getty

Di hari Kamis ketiga bulan November, kehidupan di Korea Selatan terhenti. Tahun ini, sekitar 350.000 siswa SMA dan 200.000 peserta ujian ulang di negara tersebut akan mengikuti ujian Suneung, salah satu ujian standar tersulit di dunia dan pintu gerbang penting bagi siswa yang ingin masuk perguruan tinggi di Korea Selatan.

Pada hari ujian, kantor-kantor pemerintah dan perusahaan menunda jam buka kantor mereka untuk mencegah kemacetan lalu lintas sehingga siswa dapat tiba di tempat ujian paling lambat pukul 8 pagi, sementara tentara nasional menghentikan pelatihan militer untuk mengurangi polusi suara. Petugas polisi bahkan memberikan tumpangan kepada pelajar yang terlambat.

Gereja-gereja Korea juga menganggap ujian Suneung sangat serius. Gereja saya sebelumnya di Seoul mengadakan pertemuan doa khusus selama minggu ujian diadakan. Dalam kebaktian pagi ini, para orang tua dan kakek-nenek akan berlutut berdoa dengan sungguh-sungguh agar Tuhan membantu anak-anak mereka berprestasi secara akademis.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Banyak orang Kristen Korea memandang ujian Suneung sebagai salah satu ujian yang berat dan mereka berdoa agar anak-anak mereka tampil sebagai pemenang dalam ujian ini. Di mata mereka, dunia membutuhkan lebih banyak orang Kristen sukses dan punya posisi berpengaruh yang akan memberi dampak bagi masyarakat yang belum percaya. Untuk mencapai posisi tersebut, mereka perlu memperoleh nilai bagus dan masuk perguruan tinggi yang bagus. Pendeta saya akan meminta Tuhan untuk memberikan para siswa “hikmat Daniel” (Dan. 1:20) dan menyatakan bahwa “yang dahulu terlihat kecil” akan menuntun mereka “menjadi sangat mulia” pada akhirnya (Ayb. 8:7).

Meskipun saya belum menjadi orang tua saat menghadiri gereja itu, saya merasa terdorong untuk bergabung dengan keluarga-keluarga itu dalam permohonan tulus mereka kepada Tuhan agar anak-anak mereka bertumbuh menjadi orang bijak dan pemenang di dunia yang rusak ini. Berdoa untuk anak-anak orang lain dengan cara ini tampak masuk akal dan menginspirasi. Nilai yang bagus dapat memuliakan Tuhan, dan orang tua serta kakek-nenek juga dapat menikmati kebanggaan dalam memuliakan Tuhan dengan membesarkan pemuda atau pemudi yang berbakat.

Namun kini, sebagai ibu dari lima anak berusia 3 hingga 12 tahun, saya semakin yakin bahwa saya harus mengubah cara saya berdoa untuk kesuksesan anak-anak saya. Melalui studi di seminari, saya jadi sadar bahwa kisah-kisah tentang pahlawan Alkitab seperti Daniel bukanlah tentang kemenangan pribadi mereka, melainkan tentang kebergantungan mereka kepada Tuhan di masa-masa penderitaan. Saya belajar melawan tekanan budaya untuk mencari kemuliaan melalui prestasi pendidikan anak-anak saya, baik di Korea Selatan maupun Amerika, di mana keluarga saya pindah pada tahun 2015.

Banyak ibu Kristen yang saya kenal—termasuk saya di antaranya—merasa berkewajiban untuk merekayasa keberhasilan pendidikan anak-anak kami. Sebuah video parodi YouTube Korea baru-baru ini menggambarkan sentimen ini dengan baik. Dalam klip berdurasi 10 menit tersebut, komedian tunggal Soo-ji Lee berperan sebagai “Ibu Jamie” yang kaya raya, yang mengenakan jaket Moncler tebal yang mahal dan mengantar putranya yang berusia empat tahun ke Daechi, sebuah kawasan elit di Seoul yang terkenal karena banyaknya tempat bimbel.

Ibu Jamie melakukan semua hal yang dilakukan ibu-ibu Daechi di dunia nyata, seperti mendiskusikan kemajuan putranya dengan guru bahasa Inggrisnya dan dengan bangga menyoroti bakat barunya dalam belajar bahasa Mandarin. Dia terobsesi untuk menemukan “momen ajaib” yang mengungkap bakat terpendam putranya. Dia bertekad tidak akan melewatkan bahkan sekecil apa pun tanda-tanda tersebut karena itulah yang “seharusnya dilakukan para ibu,” ungkapnya. Dia berbicara tentang manfaat melakukan kegiatan ekstrakurikuler ini mengingat putranya akan segera masuk kuliah.

Video Lee menjadi viral di Korea Selatan, ditonton lebih dari delapan juta kali dan memicu reaksi beragam. Sebagian memuji video ini karena kritiknya yang tajam dan bersifat satir terhadap kerusakan sistem pendidikan Korea, sedangkan sebagian lain mengecamnya karena memicu kebencian terhadap para ibu yang bermaksud baik. “Anda dan saya tidak berbeda—kita semua adalah Ibu Jamie,” komentar salah satu penonton.

Saya melihat diri saya dalam figur Ibu Jamie dan para orang tua serta kakek-nenek yang berdoa dengan tekun bagi para siswa yang mengikuti ujian Suneung. Saya ingin anak-anak saya sukses dalam dunia yang kompetitif ini dan hidup bebas dari kecemasan akan masa depan yang tidak pasti.

Seorang teman mendaftarkan anaknya yang berusia lima tahun di “sekolah alternatif bahasa Inggris” K–12 di Seoul, yang menawarkan kursus bahasa Inggris AP untuk siswa SMP dan menjanjikan penerimaan di universitas-universitas Ivy League. Dia tidak mampu menyekolahkan putranya di luar negeri dan merasa sekolah ini adalah pilihan terbaik berikutnya. “Keputusan itu membahayakan keuangan keluarga kami,” ia mengakui. “Tetap saja, kamu tahu, kita sebagai orang tua harus berkorban agar anak kita bisa memuliakan Tuhan.”

Dalam mengupayakan yang terbaik bagi anak-anak kita, kita mulai memercayai bahwa ini adalah tugas suci kita untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan uang sehingga anak-anak kita dapat dipersiapkan untuk meraih kesuksesan dan memuliakan Tuhan melalui prestasi mereka. Kita merasa berkewajiban melakukan apa saja untuk melindungi mereka dari penderitaan, berharap mereka akan memuliakan Tuhan seperti Daniel dan teman-temannya. Kita berpegang teguh pada janji seperti “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu” (Mat. 7:7).

Hal ini menunjukkan bagaimana Injil kemakmuran telah memengaruhi cara kita berdoa syafaat bagi anak-anak kita. Doa-doa kita menggambarkan Tuhan sebagai jin yang hanya memberikan hal-hal yang menguntungkan. Doa-doa kita juga mengungkap ketakutan mendasar bahwa kegagalan akademis anak-anak kita akan membuat mereka menderita, khususnya dalam konteks Korea Selatan.

Peringkat siswa pada ujian Suneung sangat terkait erat dengan potensi penghasilan mereka di masa depan. Tekanan akademis yang tinggi untuk unggul dalam ujian nasional ini telah meningkatkan biaya pendidikan swasta di daerah seperti Daechi, sehingga membuatnya semakin tidak terjangkau bagi rata-rata keluarga Korea. Akibatnya, hanya orang-orang yang sanggup menanggung tingginya biaya pendidikan itulah yang cenderung memperoleh pekerjaan bergaji tinggi, yang pada gilirannya memungkinkan mereka berinvestasi dalam pendidikan anak-anak mereka sendiri.

Sementara itu, mereka yang gagal secara akademis dan gagal mencapai karier berpenghasilan tinggi sering kali merasa tidak mampu untuk menikah atau membesarkan anak. Ironisnya, dorongan untuk memastikan kesuksesan bagi generasi mendatang telah menyebabkan negara ini memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia yaitu 0,75.

Dalam pola pikir kita yang dipenuhi Injil kemakmuran, kita mungkin terlibat dalam negosiasi yang dangkal dengan Tuhan: “Jika Engkau membuat anak-anakku sukses, aku akan memuliakan-Mu.” Namun Tuhan tidak membutuhkan anak-anak kita untuk sukses agar Ia dimuliakan. Dan bukan tugas seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya dari pergumulan dan penderitaan.

Berdoa agar anak-anak kita memperoleh “hikmat Daniel” untuk ujian Suneung, seperti yang dilakukan pendeta saya di Korea Selatan, dapat terlihat seperti memakai tokoh Alkitab sebagai model untuk pencapaian pribadi. Namun, kehidupan Daniel lebih baik dipahami sebagai kesaksian dari maksud kedaulatan Allah. Tuhan mengangkat dan menurunkan raja-raja dunia, memulihkan harapan bagi umat-Nya yang diasingkan melalui orang-orang seperti Daniel, yang tetap setia di tengah penganiayaan.

Menariknya, kesuksesan Daniel di dunia ini bukannya tanpa penderitaan yang mendalam. Dia adalah seorang buangan, terpisah dari negaranya, dan mungkin diangkat menjadi kasim. Segala kemuliaan yang terkait dengan Daniel—orang yang di dalam dirinya tinggal Roh Allah yang kudus (Dan. 5:14)—hanya milik Allah semata.

Ayat dalam Ayub 8 yang juga dirujuk oleh pendeta saya di Korea Selatan dalam doanya—tentang berpindah dari awal yang terlihat kecil menuju masa depan yang sangat mulia—bukan pula tentang meraih kesuksesan dalam hidup.

Dalam pasal ini, Bildad menegur Ayub, mendesaknya untuk bertobat agar Tuhan dapat memulihkan keadaannya, meskipun Tuhan telah menyatakan Ayub benar. Perkataan Bildad mencerminkan teologi keliru yang menyamakan penderitaan dengan hukuman ilahi dan ketaatan dengan kesuksesan yang diberikan Tuhan.

Namun, kitab Ayub menyoroti keniscayaan penderitaan dalam kehidupan orang benar—bukan sebagai hukuman atas dosa, tetapi sebagai bagian dari pertempuran rohani yang lebih dalam yang dipicu oleh si musuh utama, yaitu Iblis.

Ayat-ayat Perjanjian Lama ini mengajarkan kepada kita bahwa meskipun kita mungkin tergoda untuk melindungi anak-anak kita dari penderitaan dan berdoa agar mereka menikmati hidup yang lancar dan sukses, kita tidak boleh menghalangi Tuhan untuk menuntun mereka ke tempat-tempat di mana Dia akan mengajarkan mereka ketaatan sejati dan ketekunan melalui pencobaan.

Merenungkan kehidupan Daniel dan Ayub dengan cara yang lebih holistik telah membantu saya mengubah cara berpikir saya tentang kesuksesan anak-anak saya. Tuhan telah menempatkan keluarga kami di pusat kota Dallas, dan di sinilah anak-anak saya mengalami masa keemasan dan juga kesulitan. Meskipun mereka tidak harus mengikuti ujian Suneung seperti teman-teman mereka di Korea, mereka akan mengalami ujian-ujian berat mereka sendiri—termasuk ujian standar di setiap tingkat kelas dan tekanan yang semakin besar saat masuk perguruan tinggi.

Saya tidak lagi merasa bersalah karena tidak memberikan apa yang dunia anggap sebagai kesempatan pendidikan “terbaik” untuk anak-anak saya. Saya tidak membutuhkan jaket Moncler seperti Ibu Jamie atau nilai bagus anak saya untuk melambangkan berkat Tuhan dalam hidup saya. Saya tidak harus memenuhi tuntutan dunia untuk mendapatkan bukti kesuksesan, baik untuk diri saya sendiri maupun untuk anak-anak saya.

Yang saya butuhkan adalah menanggapi panggilan Tuhan dalam hidup saya dengan iman. Dalam dunia yang makin penuh masalah ini, peran saya sebagai seorang ibu adalah membimbing anak-anak saya agar bertumbuh secara rohani, sehingga saat mereka menghadapi kesulitan hidup, mereka tidak akan takut, melainkan justru menemukan Penolong yang senantiasa hadir di tengah-tengah mereka.

Saat ini, saya berhenti hanya sekadar berdoa agar mereka berprestasi di sekolah. Sebaliknya, saya memohon kepada Tuhan agar iman mereka semakin dalam saat mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman maupun yang tidak beriman. Saya memanjatkan doa sederhana ini: “Tuhan, aku memercayakan hidup anak-anakku kepada-Mu. Aku berdoa agar mereka dapat mengenal-Mu, karena hanya dengan begitu mereka dapat berdiri teguh dalam iman ketika penderitaan datang.”

Ahrum Yoo adalah mahasiswa PhD Perjanjian Lama di Dallas Theological Seminary.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube