Matius 16:24
Bagi Yesus, jalan menuju sukacita membentang di sepanjang Yerusalem. Jalan itu adalah jalan penyangkalan diri, pengorbanan, dan kematian—sebelum akhirnya menjadi jalan menuju sukacita, penebusan, dan kemuliaan.
Demikian juga bagi semua orang yang ingin mengikuti jejak-Nya. Berjalan bersama Yesus berarti menempuh jalan Salib. Masuk ke dalam Kerajaan-Nya berarti dengan sadar dan rela memilih sukacita dalam penyangkalan diri.
Bagaimana kita bisa mengatakan “sukacita” dari penyangkalan diri? Sukacita sejati tidak menghindar dari penderitaan, juga tidak menempuh jalan pintas menuju kemuliaan. Sukacita sejati bergerak melalui kesulitan. Sukacita sejati berjalan bersama Yesus melewati Yerusalem. Jalannya sempit, dan gerbangnya kecil, tetapi kebebasan dan sukacita menanti setiap murid yang tetap setia di jalan itu.
Yesus berkata, ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (Mat. 16:24). Maka sangatlah tepat jika hal ini dipahami sebagai salah satu tantangan dari Yesus yang paling mengintimidasi. Akan tetapi, ini juga merupakan salah satu undangan-Nya yang paling subversif. “Tinggalkanlah jalan yang menuju kebinasaan,” kata-Nya. “Pilihlah jalan yang tak terduga ini untuk menuju kehidupan yang baik—melalui penyangkalan dan kematian terhadap diri sendiri.”
Memang, penyangkalan diri kita merupakan langkah penting untuk menjadi serupa dengan Yesus. Dallas Willard menulis bahwa “pergeseran ke arah penyangkalan diri diperlukan untuk menata ulang … diri manusia dalam ketundukan kepada Allah. … Formasi spiritual kristiani bertumpu pada fondasi yang tak tergantikan ini yaitu kematian terhadap diri sendiri dan tidak dapat berlanjut kecuali sejauh fondasi itu diletakkan dan dipertahankan dengan kuat.” Kehidupan diri apakah yang disangkal dan ditanggalkan? Diri yang lama itulah yang perlu dilepaskan. Kehidupan lama itulah yang sebenarnya tidak terlalu menarik juga.
Menyangkal diri dan mengikut Yesus adalah hal yang paling membebaskan dan mengagumkan; ini berarti melepaskan apa yang sejak awal memang tidak pernah berhasil. Kehidupan baru dan tanpa pamrih yang menggantikannya adalah kehidupan yang benar-benar baik—suatu hati yang baru yang dipersembahkan bagi Tuhan, kehidupan yang penuh kejujuran, keterbukaan, penerimaan, persahabatan, persekutuan, dan tujuan.
Yang pasti, penyangkalan diri tidaklah sama dengan penolakan diri. Penolakan diri terjadi ketika jiwa berkata pada dirinya sendiri, “Lihat, semua orang benar. Saya adalah orang yang buruk. Saya adalah pecundang dan sebuah kesalahan.” Penolakan diri juga berkata, “Saya tidak begitu percaya pada diri saya sendiri, jadi saya harus bangkit dan membuktikan diri saya, harus berjuang dan mempertahankan diri saya.” Ini bukanlah jalannya Yesus dan ini bukanlah penyangkalan diri. Ini adalah penolakan terhadap apa yang telah Allah ciptakan dan nyatakan baik. Bagaimana kita tahu bahwa kita sedang melakukan penolakan diri dan bukan penyangkalan diri? Penolakan diri mengarah pada rasa malu, bersembunyi, dan mengkritik diri sendiri. Hal ini juga membuat kita menjadi kritis dan menuntut orang lain. (Kita kritis terhadap orang lain, saat kita meyakini Tuhan juga kritis terhadap kita.)
Sebaliknya, penyangkalan diri menuntun kita pada ketundukan yang penuh sukacita kepada Bapa. Ini adalah kebebasan untuk menolak cara-cara dunia—kemarahan, keserakahan, dan iri hati. Penyangkalan diri adalah sebuah pilihan yang aktif untuk menjadi seperti Yesus dalam kesederhanaan batin-Nya yang radikal dan pengabdian Dia yang sepenuh hati kepada Bapa. Inilah yang disebut oleh mendiang Tim Keller sebagai “pelupaan diri sendiri yang mendatangkan berkat.”
Dan tidak seperti penolakan diri, penyangkalan diri membebaskan kita untuk mengasihi dan melayani orang lain dengan tulus. (Kita berbelas kasihan kepada orang lain saat kita percaya bahwa Tuhan berbelas kasihan kepada kita.)
Oleh karena itu, penyangkalan diri merupakan hal tersulit dalam kehidupan Kristen, sekaligus hal yang paling sederhana. Menyerahkan hidup kita tidak bisa terjadi hanya sekali; ini adalah penyerahan diri sepenuhnya yang kita lakukan dari waktu ke waktu, setiap hari. Hanya jika kita benar-benar merangkul kematian Yesus yang penuh penyangkalan diri dan tidak membela diri di kayu salib, maka kita dapat percaya bahwa kita diterima ke dalam perkenanan Bapa-Nya.
Namun dalam ketegangan tantangan dan undangan ini, ingatlah siapa yang memberi kekuatan dan hikmat untuk hidup dalam penyangkalan diri. Dia adalah Yesus. Dia menyediakan segala yang kita butuhkan untuk meneladani kasih-Nya yang penuh pengorbanan diri—yaitu, Roh-Nya. Ketika kita tinggal di dalam Dia dan berjalan dalam Roh-Nya, kita akan mengalami sukacita yang penuh (Yoh. 15:11).
Dalam dunia yang dipenuhi dengan ambisi untuk mendapatkan, membuktikan, dan membela diri, penyangkalan diri tampak seperti sesuatu yang radikal dan berisiko. Namun, dalam Kerajaan Yesus yang sangat berbeda dari cara dunia, penyangkalan diri justru menjadi tempat yang paling aman, sederhana, dan membahagiakan. Di dalam Dia, kita tidak kekurangan apa pun dan memiliki segalanya. Apakah Anda mau menerimanya? Apakah Anda bersedia menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Yesus menuju sukacita yang penuh dan kekal?
Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau menyertaiku. Bukan aku yang memilih Engkau, tetapi Engkau yang memilihku, dan menetapkanku untuk mati bagi diriku sendiri, dan meneladani hidup-Mu. Berilah aku kekuatan dan hikmat-Mu untuk memilih hidup yang demikian, bukan hanya sekali, melainkan setiap saat. Hidupku adalah milik-Mu. Pimpinlah aku dengan Roh-Mu dan kasih-Mu yang penuh pengorbanan, menuju sukacita yang kekal.
Jeremy Linneman (D.Min. Covenant Theological Seminary) melayani sebagai pendeta utama Trinity Community Church di Columbia, Missouri. Dia adalah penulis buku Pour Out Your Heart: Discovering Joy, Strength, and Intimacy with God through Prayer. Jeremy dan istrinya, Jessie, memiliki tiga putra.
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.