Church Life

Para Pria Muda Membutuhkan Panutan, Bukan ‘Übermensch’

Gereja tidak dapat bersaing dengan para influenser “manosphere.” Namun, hal itu tidak harus terjadi.

Christianity Today February 28, 2025
Illustration by Christianity Today / Source Images: Getty / WikiMedia Commons

Keadaan yang buruk dari para pria muda Amerika telah menjadi perhatian serius akhir-akhir ini. Mereka memperoleh gelar sarjana lebih sedikit dibanding wanita, tersingkir dari pasar tenaga kerja, dan lebih banyak meninggal karena overdosis atau bunuh diri dibanding wanita. Banyak yang kecanduan pornografi, gim video, atau meluapkan amarah secara daring.

Mereka “mencoba identitas baru, banyak di antaranya sangat buruk, tetapi semuanya menunjukkan keinginan untuk diterima,” tulis Christine Emba dalam esai yang tajam untuk The Washington Post. “Rasanya seperti krisis identitas yang meluas—seakan mereka tidak tahu bagaimana menjadi diri mereka.”

Apa penyebab semua masalah ini? Beberapa orang berpendapat bahwa penyebabnya murni materialis, dengan melihat penurunan pekerjaan di bidang manufaktur yang dulunya memberikan penghasilan tetap bagi pria tanpa gelar sarjana. Sementara yang lain berpendapat bahwa laki-laki hanyalah anak manja yang merasa berhak—begitu terbiasa dengan sistem patriarki sehingga kini “kesetaraan terasa seperti penindasan.” Sementara yang lain, seperti Richard Reeves di The Atlanticmenunjuk adanya masalah dengan sistem pendidikan kita.

Luasnya cakupan masalah ini telah memunculkan para influenser “manosphere yang menawarkan visi maskulinitas dan langkah-langkah untuk mencapainya.

Aaron Renn telah menjadi kritikus yang gigih terhadap feminisasi gereja yang berlebihan, menuduh orang Kristen liberal dan konservatif atas “sikap negatif yang kejam terhadap laki-laki dan pemujaan yang berlebihan terhadap perempuan” yang “membuat pria merasa jijik.” Psikolog populer Jordan Peterson telah membangun percakapan soal ini selama bertahun-tahun. Pada sisi paling kanan, ada Andrew Tate, mantan juara kickboxing yang didakwa atas tuduhan perdagangan seks, memiliki pengaruh besar di media sosial yang dibangun dari hedonisme vulgar dan materialisme yang tak tahu malu.

Jika jumlah pengikut mereka yang banyak itu menjadi indikasinya, jelas bahwa banyak pria muda tertarik pada visi maskulinitas yang lebih banyak mengambil inspirasi dari Nietzsche daripada Yesus Kristus. Kontributor American Reformer John Ehrett menyebutnya sebagai vitalisme.

Beberapa komentator memperingatkan bahwa kalangan sayap Kanan pasca-Kristen akan menggoda kaum muda yang tidak memiliki tujuan dan ingin mencari jati diri. Mereka mendesak gereja untuk menganut “Kekristenan yang maskulin,” yang menekankan kekuasaan, kepemimpinan laki-laki di rumah dan gereja, dan kebugaran fisik untuk menjaga laki-laki agar tidak terjerumus ke dalam dunia keji yang memandang perempuan sebagai objek seks dan menyebarkan propaganda Nazi tentang ras yang unggul.

Saya tidak akan menentang panutan yang positif dan kesehatan fisik. Akan tetapi, di sinilah letak kesalahan para pengkritik tersebut: Kekristenan tidak akan pernah bisa bersaing dengan vitalisme berdasarkan cara-cara vitalisme, sama seperti kebaktian gereja akan selalu kurang menarik dibandingkan konser musik rok berdasarkan ketentuan konser musik rok.

Jika seorang pemuda menginginkan ideologi yang memperbolehkannya untuk memperlakukan wanita dengan hina dan menganggap dirinya sebagai Übermensch-nya (manusia unggul) Nietzsche, para pakar media sosial akan selalu menang atas Alkitab. Anda dapat mengadakan konferensi pria dengan kembang api dan tank militer yang berfungsi, tetapi Alkitab akan tetap menunjukkan kepada kita bahwa manusia terhebat yang pernah hidup telah menyerahkan diri-Nya pada kematian yang memalukan dan memberitahukan kita bahwa orang yang lemah lembut sungguh diberkati.

Krisis maskulinitas memiliki konsekuensi besar bagi gereja. Rasanya lebih sulit dari sebelumnya, bagi para wanita muda Kristen yang ingin menikah dan memiliki anak, untuk menemukan pria muda yang dapat menjadi suami dan ayah yang baik. Lebih luas lagi, jemaat-jemaat menderita karena para pemuda, yang seharusnya dapat memberkati gereja, malah menyia-nyiakan hidup mereka di depan layar kaca.

Bagaimana seharusnya orang Kristen menanggapinya?

Gereja selalu bergumul dengan ketidakseimbangan gender, seperti yang dicatat Lyman Stone. Sejak era Romawi, lebih banyak wanita daripada pria yang berbondong-bondong pergi ke tempat-tempat suci, dan menemukan pria Kristen yang layak dinikahi tidak pernah mudah.

Lebih jauh lagi, setiap gereja berbeda. Pada sisi ekstremnya, beberapa gereja masih menerapkan hierarki gender yang lebih kaku, sementara gereja-gereja lainnya mengabaikan gagasan tentang perbedaan gender yang diberikan Tuhan.

Sebagai misionaris di Afrika Timur, saya dapat memberi tahu Anda bahwa budaya yang masih menghormati perbedaan gender tidak menarik lebih banyak pria ke gereja. Di sini, jumlah wanita juga masih lebih banyak daripada pria. Lalu komitmen budaya terhadap etika seksual tradisional membawa banyak masalah, termasuk tingkat kekerasan yang jauh lebih tinggi terhadap wanita.

Perbaikan yang paling sederhana mungkin adalah menghapuskan perbedaan gender dan mendorong setiap pemuda untuk menjadi “orang yang baik” dan bukan “pria yang baik.” Hal ini ada benarnya juga, karena gereja adalah tempat para pria menyebut diri mereka sebagai pengantin dan para wanita dapat mengatakan bahwa mereka lebih dari pemenang. Buah Roh berlaku sama untuk kedua jenis kelamin.

Namun, sebagaimana yang dikatakan Emba dalam esai lanjutannya, “para pemuda dan anak laki-laki memberi tahu kita, sering kali secara harfiah, bahwa mereka sangat membutuhkan dan menginginkan arahan, norma, dan pedoman konkret tentang bagaimana menjadi seorang pria.”

Secara teologis, kita diciptakan menurut gambar Allah, laki-laki dan perempuan, dan perbedaan itu berdampak pada cara kita berpikir tentang diri kita sendiri. Ketika sekumpulan arus budaya mencoba menghapus semua perbedaan itu secara keseluruhan, dengan mengatakan kepada kaum pria bahwa kejantanan mereka tidaklah nyata atau tidak berarti, banyak dari mereka yang akan patah semangat, bahkan tidak mau berusaha menjadi orang yang baik.

Dalam buku The Toxic War on Masculinity, Nancy Pearcey menyerukan fokus pelayanan yang lebih besar pada anak laki-laki yang tidak memiliki ayah, dan ia sepenuhnya benar. Daripada bersaing dengan para influenser manosphere yang menganggap bahwa mobil mahal dan penaklukkan seksual mendefinisikan maskulinitas, kita membutuhkan keluarga Kristen untuk mengundang para pemuda ke dalam kehidupan dan rumah mereka. Di sana, mereka dapat belajar tentang nilai-nilai maskulinitas melalui observasi, bukan melalui instruksi yang bersifat didaktis (dan sering kali berbahaya).

Para lajang, pasangan lanjut usia, dan keluarga dengan anak-anak, semuanya dapat berpartisipasi. Membantu merawat anak-anak orang lain, berbagi kehidupan bersama, dan berbicara tentang sesuatu selain media sosial, akan jauh lebih bermanfaat bagi para pria muda dibandingkan blog atau siniar mana pun. (Kiat profesional bagi pria muda yang ingin mencari istri Kristen: Cucilah piring setelah makan malam. Percayalah pada saya dalam hal ini.)

Krisis maskulinitas adalah nyata dan gereja memiliki peran untuk dijalankan. Daripada mengeluh tentang feminisme atau pendeta “pria beta,” kita perlu berpartisipasi dalam membimbing dan membangun hubungan dengan para pemuda. Peralatan militer dan nasihat kosong untuk “menjadi seorang pria” tidak dapat menggantikan hubungan yang tulus di antara orang-orang. Gereja memiliki panggilan untuk merayakan kebaikan dan keindahan pilihan Tuhan dalam menciptakan kita menurut gambar-Nya, pria dan wanita, dan identitas yang berbeda itu muncul paling baik di dalam komunitas.

Ketika kita menghadapi krisis maskulinitas, membuka pintu dan menyediakan ruang di meja makan kita adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh kita semua untuk mencegah anak laki-laki yang terhilang agar tidak semakin tersesat.

Matthew Loftus tinggal bersama keluarganya di Kenya, tempat ia mengajar dan berpraktik kedokteran keluarga. Anda dapat mempelajari lebih lanjut tentang karya dan tulisannya di matthewandmaggie.org.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Menggembalakan dengan Senyuman Palsu

Saya sering menyembunyikan pergumulan saya dari gereja karena saya takut orang-orang akan memanfaatkannya untuk menyerang saya.

Apakah Sudah Saatnya Menghentikan ‘Saat Teduh’?

Keterlibatan alkitabiah yang efektif haruslah lebih dari sekadar pengalaman pribadi seseorang dengan Kitab Suci.

Public Theology Project

Berhati-hatilah dengan yang Anda Pura-purakan

Anda dapat memalsukan cara Anda untuk kejahatan, tetapi tidak untuk kebaikan.

Ketika Jemaat Menyimpan Derita

Cara berkhotbah dan memimpin di kala jemaat Anda mengalami trauma.

Bagaimana Kabar Saya? Buruk!

Gereja bukanlah tempat untuk senyum yang dipaksakan dan kata-kata penghiburan yang dibuat-buat.

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube