Saya tidak akan pernah melupakan sore Minggu yang indah itu, ketika kami mengantre di perpustakaan setempat untuk pemungutan suara lebih awal. Itu adalah tahun pertama kami membawa anak-anak kami ke bilik suara. Awalnya mereka tidak begitu gembira berada di sana, tetapi saat kami semakin dekat ke depan, kami dapat merasakan semuanya meningkat: Penantian, kegembiraan, harapan.
Pada usia 9 dan 11 tahun, anak-anak perempuan saya menyaksikan saya dan suami memilih orang yang kami yakini akan menjadi presiden Amerika Serikat yang paling memenuhi syarat, Wakil Presiden Kamala Harris. Kini mereka menyaksikan duka yang timbul karena mengetahui kandidat yang kami dukung telah kalah dalam perlombaan. Mereka menyaksikan wajah kami berubah ketika mendengar hasilnya. Mereka merasakan kesedihan kami, bukan hanya karena kekalahan ini, melainkan juga karena ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di hari-hari dan tahun-tahun mendatang.
Dengan mantan presiden Donald Trump sebagai presiden kami berikutnya, saya sangat menyadari kegelapan yang menyelimuti bayang-bayang kemenangannya. Negara kami masih terbagi secara politik, dan sementara banyak pendukungnya merayakan terpilihnya kembali, saya khawatir perpecahan ini akan semakin dalam, yang berpotensi menyebabkan jurang pemisah yang besar antara saya dan mereka yang memilih Trump—banyak dari mereka adalah saudara-saudari di dalam Kristus.
Namun, betapapun cemasnya saya terhadap hasil ini, saya juga sadar bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya jabatan presiden. Negara kami telah membuktikan kesetiaannya, dan meskipun saya kesal dan khawatir karena Trump terpilih kembali, saya juga menyadari kelegaan dan kegembiraan yang dialami banyak pendukung Trump.
Reaksi yang berbeda-beda itu memang tidak dapat dihindari, tetapi membenci pesaing politik kita bukanlah hal yang dapat dihindari. Bahkan putri bungsu saya telah memperhatikan kehidupan publik kita yang terpecah. Teman-teman sekelasnya juga menyuarakan pernyataan orang tua mereka bahwa orang yang memilih Trump adalah “bodoh”—atau bahwa mereka yang memilih Harris “bukan penganut Kristen.”
Sebagai orang tua, saya selalu berharap dapat berdiskusi dengan anak-anak saya tentang cara hidup di dalam kasih. Namun pada masa pemilu kali ini, kami harus memperluas pembicaraan tersebut menjadi pelajaran tentang bagaimana anak-anak kami dapat menolak jenis iblis semacam ini dan melindungi diri mereka dari orang-orang yang dapat menjahati mereka atau suami saya dan saya sebagai orang tua mereka.
Seharusnya tidak seperti ini. Saya tidak terpengaruh oleh perayaan politik atas kemenangan atau kekecewaan atas kekalahan, yang merupakan bagian normal dari setiap pemilihan. Namun saya khawatir terlalu sedikit ruang bagi mereka yang menangis untuk bisa berada dalam komunitas yang langgeng bersama mereka yang bersukacita. Tindakan merayakan bersama orang yang berduka—dan sebaliknya—merupakan sumber keseimbangan yang diperlukan, suatu pengendalian yang diperlukan terhadap dorongan untuk tidak peduli dalam kebahagiaan atau kepahitan dalam kesedihan. Bagi orang beriman, keseimbangan itu membantu menjaga politik dalam perspektif yang benar, tunduk kepada Yesus.
Kebutuhan untuk bersama-sama dalam sukacita dan tangisan kita bukanlah sekadar suatu tantangan politik. Hal ini juga mengikuti pola Alkitab yang kita lihat dalam kisah orang Israel yang membangun fondasi bait suci kedua dalam Ezra 3. Mereka yang menangis karena kehilangan apa yang pernah mereka miliki, hadir bersama mereka yang bersukacita karena kemungkinan akan apa yang mungkin terjadi. Menjadi mustahil untuk “membedakan mana suara sorak kegirangandan mana suara tangis rakyat,” catat Ezra, “karena rakyat bersorak-sorai dengan suara nyaring, sehingga bunyinya terdengar sampai jauh” (ay. 13).
Catatan singkat tentang campuran kemenangan dan keputusasaan ini penting karena mengingatkan kita bahwa apa pun perasaan mereka, orang-orang tetap bersama. Perjanjian mereka dengan Tuhan mengharuskan mereka belajar untuk bekerja bersama di tengah segala perbedaan mereka, bukan sekadar demi persatuan di antara mereka sendiri, melainkan demi persatuan melawan musuh-musuh dari luar. Perikop ini hendaknya mengingatkan kita bahwa kita juga membutuhkan persatuan nasional di tengah perbedaan-perbedaan kita, bahwa persatuan diperlukan untuk menjaga kebebasan dan demokrasi kita.
Sementara mereka berbeda dalam hal menangis dan bersukacita, orang banyak di Ezra 3 bersatu dalam memuji dan percaya kepada Tuhan. “Sebab Ia baik! Sesungguhnya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya kepada Israel,” demikianlah mereka bernyanyi bersama (ay. 11). Umat Kristen Amerika dari semua afiliasi politik harus mengingat kebenaran yang lebih tinggi ini dalam minggu-minggu mendatang.
Bagi kita yang tidak senang dengan hasil ini, izinkan saya menyemangati Anda untuk tidak putus asa. Saya berdoa untuk Anda, dan saya harap Anda akan berdoa untuk saya—dan untuk presiden kita berikutnya “dan semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan” (1Tim. 2:2). Siapa pun yang akan memimpin Amerika, kita dapat mencari hikmat Tuhan untuk bagaimana kita dapat terus “mengusahakan kesejahteraan kota” sekalipun ketika kita merasa berada dalam pengasingan (Yer. 29:7).
Bagi mereka yang senang dengan hasilnya, izinkan kisah Ezra mengingatkan Anda untuk bersikap tegas dalam menuntut akuntabilitas dan keadilan dari pemerintahan yang Anda pilih. Ingatlah bahwa kesetiaanmu kepada dunia tidak boleh menggantikan kesetiaanmu kepada Tuhan. Kemudian ingatlah untuk berdoa bagi presiden kita berikutnya, kabinetnya, bangsa kita, diri kita sendiri, dan sesama orang Kristen yang khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Minggu ini, saya akan meluangkan waktu untuk berduka bersama putri-putri saya dalam keadaan yang bagi saya terasa seperti kekalahan yang sesungguhnya. Namun saya akan melakukannya bersama para tetangga saya dan banyak saudara Kristen yang merasa tenang atau sangat gembira bahwa Presiden terpilih, Trump, menang. Saya juga akan memuji Tuhan bersama mereka, karena Dia tetap baik, dan kasih-Nya tetap kekal untuk selamanya.
Nicole Massie Martin adalah chief impact officer di Christianity Today.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.