Cover Story

Mitos Orang Tua yang Sempurna

Alasan mengapa teknik pengasuhan terbaik tidak menghasilkan anak-anak yang kristiani.

Childs legs sticking out of a pew in a church
Christianity Today November 28, 2024
Edits by CT / Getty

Beberapa tahun lalu, saya dan keluarga bepergian di Guatemala. Kami mengunjungi seorang pria yang telah mengabdikan hidupnya untuk melayani jemaat miskin. Kami ngobrol di meja makan bersamanya, seorang pria yang telah dibentuk menjadi rendah hati melalui berbagai pergumulan penggembalaan di sebuah negara yang berjuang dengan kemiskinan sambil membesarkan empat orang anak. Masih dalam situasi sulit sebagai orang tua dengan lima putra dan satu putri, kami pun mengakui kepadanya perasaan ketidakmampuan kami.

“Anak-anakmu sudah dewasa. Apa yang Anda pelajari ketika melihat kembali tahun-tahun yang pernah Anda lalui saat membesarkan anak? Apakah Anda punya saran untuk kami?” Kami menatapnya, penuh harap dan sangat membutuhkan.

Rupanya dia tidak memiliki satu pun dari hal itu. “Saya bukan orang yang tepat untuk diajak bicara. Saya tidak punya rekam jejak yang sempurna.” Salah satu anaknya terjerumus dalam kecanduan, ungkap dia kepada kami, dengan wajah yang tampak sedih. Anaknya yang lain gagal dalam pernikahan.

Dia terdiam sejenak, mengangguk perlahan, lalu melanjutkan. “Saya juga tidak pernah bisa memenuhi harapan ibu saya. Saya sedang membaca jurnal hariannya akhir-akhir ini, dan saya melihat bagaimana dia berdoa untuk saya, juga apa yang dia doakan. Namun saya tak pernah mampu memenuhi harapannya pada saya,” ujar dia, dengan suara lirih. “Menurut saya, dia menganggap saya pecundang.”

Dalam benak saya sebagai seorang ibu, saya memberikan kata-kata terakhir: “Dan menganggap dirinya gagal sebagai orang tua.” Percakapan ini sangat mengguncang saya, menyentuh salah satu keprihatinan saya yang terdalam.

Kepanikan Orang Tua yang Merajalela

Saya bukan satu-satunya yang terobsesi akan hal ini. Lebih dari generasi lainnya, orang tua masa kini sangat khawatir bahwa mereka akan merusak kehidupan anak-anaknya. Sebuah studi yang masif di tahun 2006 mengungkapkan bahwa orang tua menunjukkan tingkat depresi yang jauh lebih tinggi daripada orang dewasa tanpa anak. Buku karya Judith Warner di tahun 2005, Perfect Madness: Motherhood in an Age of Anxiety, menyingkap obsesi di tingkat nasional terhadap pengasuhan anak yang sukses dan upaya berlebihan untuk menjamin kebahagiaan serta kesuksesan anak-anak—dan, terlebih lagi, diri mereka sendiri sebagai orang tua. Artikel Joan Acocella di New Yorker pada November 2008, yang berjudul “The Child Trap,” dengan sinis mengungkapkan kecemasan dan ekstremnya pola asuh berlebihan yang didorong oleh keinginan akan kesuksesan.

Begitu banyak keresahan yang terjadi sehingga reaksi negatifnya telah melahirkan gerakan dan sub-genre tersendiri, yakni ibu pemalas, yang terlihat dalam buku-buku seperti Confessions of a Slacker MomThe Three-Martini Playdate: A Practical Guide to Happy Parenting, dan Bad Mother: A Chronicle of Maternal CrimesMinor Calamities, and Occasional Moments of Grace. Dalam buku-buku tersebut dan buku-buku populer lainnya, para wanita berlomba-lomba untuk mengklaim kelalaian yang paling berseni dan jenaka dalam tanggung jawab mereka sebagai ibu.

Saya mendapati sebagian besar orangtua Kristen berada di barisan terdepan—barisan kecemasan dan kesuksesan, bukan barisan pemalas. Dengan anak-anak saya sendiri yang berusia mulai dari kelas satu SD hingga kuliah, saya bergantian melangkah di antara keduanya, menyempurnakan perpaduan antara kegelisahan dan ketenangan, tergantung pada masalah yang dihadapi. Namun, satu pertanyaan ini membuat saya bergegas ke depan antrean kecemasan, di mana saya juga menemukan sebagian besar teman-teman dan sesama orang percaya. Kekhawatiran terbesar kita adalah apakah anak-anak kita “berhasil”—yakni apakah iman dan nilai-nilai Kristen kita berhasil diwariskan? Apakah anak-anak kita akan tumbuh menjadi orang dewasa yang pergi ke gereja dan menghormati Tuhan?

Tampaknya banyak di antara kita yang tidak berhasil. Eksodus kaum muda dewasa dari gereja-gereja Injili di AS banyak diberitakan, mungkin berlebihan dan dibesar-besarkan. Barna Group melaporkan pada tahun 2006 bahwa 61 persen dari orang dewasa muda yang pernah menghadiri gereja saat remaja kini tidak lagi terlibat dalam kegiatan rohani, tidak lagi berpartisipasi dalam ibadah atau disiplin rohani. Setahun kemudian, LifeWay Research merilis temuan serupa, bahwa tujuh dari sepuluh orang Kristen Protestan berusia 18-30 tahun yang beribadah secara teratur di sekolah menengah, berhenti menghadiri gereja pada usia 23 tahun. Terlepas dari penelitian mana yang paling akurat, tidak diragukan lagi bahwa banyak anak muda yang dibesarkan di gereja tidak serta-merta bertahan.

Jika ini belum cukup untuk membuat orang tua panik, laporan lain yang meresahkan muncul dalam artikel Newsweek musim panas 2008, dengan judul “But I Did Everything Right!” (Namun Saya Melakukan Segalanya dengan Benar!) karya Sharon Begley melaporkan bahwa, bertentangan dengan pendapat para ahli selama puluhan tahun, genetika mungkin memiliki dampak yang lebih kuat pada perkembangan anak daripada praktik pengasuhan kita sendiri. Begley merangkum temuan penelitian di Pusat Perkembangan Anak di Universitas Harvard dan Universitas Birbeck di London. Jay Belsky dari Birbeck menemukan bahwa anak yang paling mungkin mengadopsi nilai-nilai orang tuanya bukanlah anak yang lembut dan penurut sebagaimana yang diharapkan, melainkan anak yang cerewet dan sulit diatur. Anak yang cerewet secara genetis terbentuk melalui adanya varian DNA sehingga menjadi lebih peka serta selaras dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya. Anak yang lembut lebih seperti panci Teflon; pola asuh yang baik, dan bahkan pola asuh yang buruk, cenderung tidak melekat. Temuan-temuan ini, di antara yang lainnya, merupakan bagian dari studi terdepan yang “menjanjikan untuk merevolusi pemahaman kita tentang perkembangan anak.”

Kekhawatiran terbesar para orang tua adalah agar anak-anak mereka ‘berhasil’—agar mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang pergi ke gereja dan menghormati Tuhan.

Jika kita memutuskan untuk memercayai temuan baru-baru ini, kita akan menghadapi banyak pertanyaan, bahkan mungkin kemarahan yang benar. “Jadi, permainannya sudah diatur?” mungkin kita akan gugup bertanya. “Upaya kita untuk membesarkan anak-anak kita dalam asuhan dan nasihat Tuhan mungkin sia-sia pada anak-anak tertentu dengan varian DNA tertentu? Jadi peluang kita untuk mewariskan tongkat estafet lebih bergantung pada DNA mereka daripada pada pola asuh kita sendiri?”

Kita bertanya dengan terbata-bata untuk alasan yang bagus. Lagipula, hal ini secara langsung bertentangan dengan ayat yang paling sering dikutip dan dihargai dalam Kitab Suci terkait dengan pengasuhan anak: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Ams. 22:6). Ayat ini telah memberikan penghiburan dan petunjuk kepada banyak generasi orang tua, meyakinkan mereka bahwa didikan, didikan kita, adalah kekuatan yang berlaku dalam kehidupan anak kita, dan jika kita melakukannya dengan benar, hasilnya pasti baik.

Namun reaksi awal untuk membantah dan membela diri seharusnya dipertimbangkan kembali. Temuan-temuan ilmiah ini pada akhirnya tidak hanya memberikan harapan dan membantu para orang tua; yang lebih penting, temuan-temuan tersebut juga mendukung Kitab Suci dalam suatu area yang telah dipenuhi dengan anggapan, behaviorisme, dan pemikiran yang salah selama berpuluh-puluh tahun.

‘Seperti Ranting yang Dibengkokkan …’

Salah satu mitos yang paling kuat dan dianut dalam mengasuh anak adalah bahwa pengasuhanlah yang membentuk anak: “Seperti ranting yang dibengkokkan, demikianlah cabangnya tumbuh.” Meskipun perdebatan tentang nature (alami/genetika) dan nurture (pola asuh/lingkungan) telah berlangsung selama berabad-abad, pola asuh telah menjadi favorit yang populer di antara sebagian besar pakar pendidikan anak dan orang tua. Kita menangkap sebagian semangat dan keyakinan yang kuat terhadap kepercayaan ini dari salah satu pendukungnya yang paling vokal, John B. Watson, seorang psikolog terkenal di Universitas Johns Hopkins. Pada tahun 1924, ia mengklaim bahwa jika ia diberi 12 bayi yang sehat dan kendali penuh atas lingkungan mereka, ia dapat “menjamin untuk mengambil salah satu dari mereka secara acak dan melatihnya untuk menjadi tipe spesialis apa pun yang dapat saya pilih—dokter, pengacara, seniman, pedagang, koki, ya, bahkan pengemis dan pencuri, terlepas dari bakat, kegemaran, kecenderungan alami, kemampuan, panggilan, dan ras leluhurnya.”

Meskipun hanya sedikit yang mendukung behaviorisme ekstrem Watson, gagasan tentang bayi yang baru lahir sebagai tabula rasa, yang di atasnya kita tuliskan rancangan kita, tetap tertanam kuat dalam budaya kita. John Rosemond, seorang psikolog keluarga Kristen dan kolumnis sejumlah publikasi, sering mendengar dari orang tua yang yakin bahwa mereka telah gagal ketika anak-anak mereka memiliki masalah. “Mereka berpendapat demikian,” tulisnya, “karena mereka percaya pada determinisme psikologis—khususnya, bahwa pola asuh menghasilkan pembentukan diri anak.”

Banyak penulis dan orang tua Kristen telah menyerap nilai-nilai ini dan hanyut ke dalam apa yang disebut determinisme rohani. Kita telah menyerap kepercayaan budaya dalam determinisme psikologis tetapi merohanikannya dengan ayat-ayat Alkitab, dan satu ayat khususnya. Hasilnya adalah versi Kristen dari mitos budaya tersebut. Bunyinya seperti ini: “Teknik pengasuhan Kristen menghasilkan anak-anak yang saleh.”

Amsal 22:6 telah diterima secara luas sebagai premis psikologis dan janji teologis, meskipun ada pengakuan luas bahwa secara hermeneutik, Amsal bukanlah janji dari Tuhan, melainkan merupakan berbagai pengamatan dan pepatah umum. (Ironisnya, jika Raja Solomon benar-benar menulis amsal ini, seperti yang diyakini banyak pakar Alkitab, dia sendiri gagal menunjukkan kebenarannya: Pada usia tuanya, dia mengabaikan ajaran dan teladan ayahnya, karena “isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, ayahnya” [1Raj. 11:4].)

Terlepas dari semua persoalan ini, berbagai rumusan dan program telah diciptakan untuk memperkirakan dan memberi petunjuk mengenai jenis pelatihan parental yang akan menjamin hasil yang diharapkan. Setidaknya satu dari program ini, yang mengklaim memberi petunjuk tentang cara membesarkan anak menurut jalan Tuhan, telah terjual jutaan eksemplar. Beberapa penulis yang sangat konservatif begitu percaya diri dengan metode dan hasil pola asuh mereka. Mereka menggambarkan pelatihan pengasuhan anak sebagai usaha bebas risiko yang dianalogikan seperti menata tanaman tomat, melatih anjing, dan mengajari keledai, yang secara samar menutupi teknik ala B.F. Skinner (psikolog behaviorisme Amerika) dengan potongan ayat-ayat Alkitab yang ditempatkan secara strategis.

Seorang penulis memperingatkan para ibu agar berhati-hati dalam berkata dan berbuat, karena pikiran anak mereka, “seperti perekam kaset video,” yang “dengan cermat menyalin setiap kata, sampai ke nada suara dan ekspresi wajah.” Untuk memperkuat argumennya lebih jauh, ia memperingatkan bahwa pikiran dan “pola emosional” seorang anak mungkin sudah terbentuk dengan kuat pada saat ia berusia 2 tahun, sebuah “kesadaran yang mengejutkan bagi para ibu,” ungkapnya dengan serius.

Meskipun beban tanggung jawab ini tidak mungkin dipikul, namun ada keuntungan yang jelas: Kita jadi lebih mudah mengukur keberhasilan pola asuh kita. Kita cukup memeriksa buktinya—bagaimana anak-anak kita bertumbuh. Seorang penulis tentang pola asuh memperingatkan, “Jika pendekatan orangtua kita tampak mendekati pola asuh yang berdasarkan Alkitab, tetapi menghasilkan buah yang buruk, kita dapat yakin bahwa itu tidak berdasarkan Alkitab.” Kita dapat mengetahui hal ini, tegasnya, karena Firman Tuhan memberi kita persis apa yang kita butuhkan untuk membesarkan anak-anak yang saleh, dan jika kita menerapkan prinsip-prinsip itu dengan benar, “orang tua tidak akan kecewa.”

Seluruh cabang ilmu tentang pengasuhan anak kristiani mengambil pendekatan ini. “Amati dan belajarlah dari orang tua yang sukses,” saran seorang penulis. Para orang tua yang menang adalah mereka yang anak-anaknya “patuh” dan “hormat,” yang “mengetahui kehendak Tuhan,” yang “menjalani kehidupan Kristen yang setia,” tulisnya. Kita harus meniru orang tua yang “sukses, bukan yang gagal.”

Salah satu penulis buku terlaris mengambil pendekatan yang lebih numerik terhadap pengasuhan anak. Ia memulai dengan mengidentifikasi tujuan pengasuhan anak sebagai upaya membesarkan “para pemenang rohani.” Untuk memaksimalkan kemampuan pembaca dalam menghasilkan para pemenang rohani, si penulis, yang juga seorang ahli statistik, membuat model berdasarkan survei, studi statistik, dan wawancara pribadi. Penelitiannya mengungkap bahwa keluarga kecil lebih baik daripada keluarga besar dalam menghasilkan pemenang rohani, bahwa anak sulung adalah yang paling mungkin menjadi pahlawan rohani, dan bahwa rumah tangga dengan orang tua tunggal jarang berhasil dalam menghasilkan pemenang-pemenang seperti itu.

Pada akhir bagian ini, ia menasihati kita, sebelum kita memiliki anak, untuk “… menghitung biaya membesarkan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak anak yang Anda miliki, semakin sulit pula untuk memfasilitasi kesehatan dan kedalaman rohani masing-masing anak.” (Tentu saja, ini adalah berita buruk bagi saya dan orang lain yang memiliki banyak anak, meskipun ini merupakan kabar baik bagi penulis, yang memiliki dua anak.) Buku ini diakhiri dengan kata-kata motivasi berikut: “Antara Anda dan pasangan, apakah kalian telah menempuh jalan yang diperlukan untuk menghasilkan anak-anak yang hidupnya memuliakan Tuhan dan memajukan kerajaan-Nya?”

Maka jelaslah, sebagian orang tua adalah pemenang dan sebagian lagi adalah pecundang. Banyak rekan yang langsung terlintas dalam pikiran saya: pasangan suami istri yang mencintai Tuhan dengan anak yang dipenjara, dengan anak yang agnostik, dengan anak perempuan yang terhilang, dengan anak-anak yang imannya suam-suam kuku, dengan anak-anak yang belum menyatakan iman. Dengan ukuran ini, mereka semua adalah pecundang.

Para Orang Tua yang Buruk di Alkitab

Teladan para pemenang rohani di Alkitab membawa kita ke arah yang sama sekali berbeda. Pemaparan besar-besaran tentang iman dalam Ibrani 11 memberi kita daftar pria dan wanita yang melalui kesetiaan yang luar biasa “menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, dan memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat”—mereka adalah orang-orang percaya dengan iman yang begitu besar sehingga “dunia ini tidak layak bagi mereka” (lih. 11:32-38).

Namun, para pahlawan rohani ini dibesarkan di dalam keluarga yang sama sekali tidak bukan keluarga teladan, dan banyak di antara mereka adalah orang tua yang memiliki banyak kekurangan. Abraham memiliki anak dengan seorang hamba perempuan, lalu setuju untuk mengusir anak itu ke padang gurun. Ishak dan Ribka terjebak dalam favoritisme orang tua terhadap Esau dan Yakub. Ribka menuntun putranya melakukan perbuatan yang tak terbayangkan: Mencuri hak kesulungan saudaranya. Yakub belajar banyak dari ibunya dan terus menempuh jalan penipuan dan, kemudian, jalan pilih kasih yang merusak di antara kesepuluh putranya. Ibu angkat Musa adalah putri Firaun yang masih muda, kafir, dan belum menikah. Yefta adalah putra seorang pelacur, dan membunuh putri satu-satunya karena sebuah nazar yang tergesa-gesa.

Masih banyak lagi contoh dari Kitab Suci yang membingungkan harapan kita dalam mengasuh anak, tetapi ada dua lagi yang harus disebutkan. Yonatan, sahabat karib Daud, merupakan teladan kebenaran dan kemurnian, sangat kontras dengan ayahnya yang suka membunuh, yaitu Raja Saul. Lalu raja muda Yosia, yang secara khusus dipuji sebagai orang yang melayani Tuhan “dengan segenap hatinya dan dengan segenap jiwanya dan dengan segenap kekuatannya” (2Raj. 23:25), adalah putra Amon, seorang pria yang “melakukan apa yang jahat di mata Tuhan” (2Raj. 21:20).

Berdasarkan standar masa kini, sebagian besar keluarga ini akan dianggap sebagai kegagalan yang menyedihkan. Mereka termasuk keluarga poligami yang penuh dengan perpecahan dan kecemburuan, ibu-ibu pelacur, ayah-ayah kafir, klan-klan yang penuh dengan favoritisme dan pembunuhan antar saudara. Satu-satunya pola yang dapat dilihat di sini tampaknya adalah pola dosa manusia.

Jika anggapan kita—bahwa kita dapat mengukur keberhasilan pola pengasuhan kita melalui hasil yang dicapai anak-anak kita—berdasarkan Alkitab, kita seharusnya dapat menerapkan pengujian tersebut kepada Tuhan sendiri. Lagipula, Allah bukan saja penulis Kitab Suci kita, Dia juga adalah orang tua, yang mengidentifikasi diri-Nya sebagai Bapa kita. Perjanjian Lama khususnya menyajikan pandangan yang panjang dan mendalam tentang hati Bapa. Meski demikian, saat kita kita melihat anak-anak-Nya, beritanya adalah berita buruk.

Pemberontakan bahkan dimulai sejak anak-anak pertama-Nya, Adam dan Hawa, dan berlanjut hingga zaman Nuh, yang berakhir dengan kehancuran dunia. Kemudian lahirlah sebuah keluarga baru, yaitu bangsa Israel, yang dengan penuh kasih sayang disebut oleh Allah sebagai “anak-Ku yang sulung” (Kel. 4:22). Akan tetapi hubungan itu pun menyakitkan, ditandai oleh pemberontakan terus-menerus dan hancurnya hati Bapa di surga. Catatan kita sendiri sebagai anak-anak-Nya tidak jauh lebih baik.

Jika keberhasilan Tuhan sebagai orang tua dinilai oleh anak-anak-Nya, apa yang dapat kita simpulkan? Bahwa Tuhan sendiri tidak lulus dalam ujian pengasuhan kita?

Siapa yang Mengendalikan?

Kalau begitu, kita mesti berasumsi bahwa ada kekeliruan yang serius dalam keyakinan kita tentang pengasuhan anak. Kita telah terlalu mementingkan diri sendiri dan terlalu meremehkan Tuhan, mencerminkan kecenderungan kita yang berdosa untuk menganggap diri kita lebih penting dan lebih berkuasa daripada yang sebenarnya. Itu juga warisan kita sebagai warga Amerika yang baik, demikian yang diamati oleh psikolog Harriet Lerner dalam bukunya di tahun 1998, The Mother Dance: Kita percaya bahwa kita dapat memperbaiki setiap masalah, bahwa kita adalah penguasa nasib kita sendiri. Akar dari banyaknya rasa sakit yang kita alami dalam mengasuh anak, tulisnya, adalah “keyakinan bahwa kita harus memiliki kendali atas anak-anak kita, padahal mengendalikan diri kita sendiri saja sudah cukup sulit.”

Refleks untuk menghakimi diri kita sendiri melalui anak-anak kita, dan menghakimi orang lain melalui anak-anak mereka, mempunyai implikasi lebih jauh: Hal ini menyingkapkan pandangan yang salah mengenai pembentukan rohani. Kita sering berharap bahwa anak-anak dari orang tua yang percaya Kristus, terlepas dari apakah anak itu sudah mengakui Kristus atau belum, akan menunjukkan jenis sikap dan perilaku kedewasaan rohani yang sama seperti yang kita harapkan untuk kita lihat dalam diri satu sama lain: kasih, sukacita, kedamaian, kesabaran, kebaikan, dan ketaatan, sebagai daftar awal.

Ketika kita terlibat dalam determinisme spiritual dan pandangan manusiawi tentang pembentukan spiritual, kita dapat dengan mudah menghakimi orang lain. Jeanine, seorang teman saya selama bertahun-tahun, bercerita kepada saya bahwa putrinya yang duduk di kelas enam, Julia, yang sedang berjuang dengan identitasnya dan mencari teman, dicap “kerasukan setan” oleh keluarga lain di gereja. “Beberapa orang—bahkan di gereja—sudah menganggapnya tidak ada lagi. “Padahal dia baru berusia 11 tahun,” kata Jeanine kepada saya. Penghakiman itu tidak hanya ditujukan pada kondisi rohani putrinya, tetapi juga pada dirinya sendiri.

Ketika seorang anak mengambil keputusan untuk mengikut Kristus, kita kerap kali mengharapkan transformasi yang nyata dan langsung terlihat. Alkitab menunjukkan realitas lain. Allah mendidik bangsa Israel selama 40 tahun untuk menuntun mereka dari penyembahan berhala menuju iman kepada satu-satunya Allah yang benar. Para murid Yesus tinggal bersama-Nya selama tiga tahun, tetapi iman mereka masih sangat kecil meskipun telah terus-menerus menyaksikan mukjizat dan kebangkitan orang mati. Penebusan kita telah sepenuhnya digenapi ketika Kristus mengucapkan “Sudah selesai” dari kayu salib, tetapi transformasi kita menjadi gambar-Nya terus berlanjut selama kita masih bernafas.

Gagasan tentang bayi yang baru lahir sebagai tabula rasa, yang di atasnya kita tuliskan rancangan kita, tetap tertanam kuat dalam budaya kita.

Model Pengasuhan dari Yehezkiel

Pertanyaan yang kita ajukan pada diri sendiri mesti dibingkai ulang. Kita perlu berhenti bertanya, “Apakah saya mengasuh anak dengan sukses?” Kita juga perlu berhenti bertanya, “Apakah orang lain mengasuh anak mereka dengan sukses?” Sebaliknya, kita perlu bertanya, “Apakah saya mengasuh anak dengan setia?” Kesetiaan, bagaimanapun juga, adalah persyaratan tertinggi Allah bagi kita.

Kita melihat ini dengan jelas dalam pemanggilan para nabi, dan khususnya dalam pemanggilan Yehezkiel. Meskipun Yehezkiel (sejauh yang kita ketahui) bukan seorang orang tua, penugasannya kepada bangsa Israel memiliki persamaan yang mencolok dengan peran sebagai orang tua dan pertanyaan tentang kesuksesan.

Ketika Allah mengutus Yehezkiel untuk menjadi seorang nabi, Ia memperingatkannya bahwa ia diutus kepada bangsanya sendiri, suatu bangsa yang memberontak terhadap Allah. Tugas Yehezkiel adalah menjadi corong bagi Allah, untuk mengatakan, “Beginilah firman Tuhan ALLAH” (Yeh. 2:3-4). Allah memberikan pengungkapan yang menyeluruh dan mengecewakan bahkan sebelum tugas itu dimulai: Bangsa Israel, teman sebangsa Yehezkiel sendiri, tidak mau mendengarkan dia, sebagaimana mereka tidak mau mendengarkan Allah sendiri. Pekerjaan itu akan sulit, lebih sulit daripada yang dapat disadari oleh sang nabi saat ia melakukannya. Namun Allah tidak membiarkan Yehezkiel tak berdaya. Ia tidak membuat tugasnya menjadi lebih mudah, tetapi Ia membuat Yehezkiel lebih kuat, meneguhkan hatinya “seperti batu intan, lebih keras daripada batu” (3:8-9).

Respons Yehezkiel terhadap semua ini sangat manusiawi, seperti halnya saya sendiri pada banyak kesempatan dan seperti banyak orang tua yang saya kenal. Dengan Roh Tuhan yang ada padanya, ia kembali kepada umatnya di tepi sungai selama tujuh hari, “duduk tertegun” dan “dengan hati panas dan perasaan pahit” (3:14-15).

Kemudian pekerjaan kenabian untuk menyampaikan dan mewujudkan firman Allah pun dimulai.

Seberapa sukseskah Yehezkiel? Kehancuran yang dinubuatkannya terwujud dalam setiap detail yang mengerikan. Dari sudut pandang kita, misi Yehezkiel tampak seperti kegagalan total. Namun Allah mengucapkan beberapa kata dalam narasi ini yang mengubah segalanya. Ketika Allah mengutus Yehezkiel untuk menyampaikan firman-Nya kepada Israel, tiga kali Ia mengawali perintah-perintah-Nya dengan frasa ini: “baik mereka mendengarkan atau tidak” (2:5, 7; 3:11). Salah satu dari ketiga kali itu Tuhan melengkapi kalimatnya: “Baik mereka mendengarkan atau tidak … mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka” (2:5).

Inilah tanggung jawab Yehezkiel: Menyampaikan dan mewujudkan firman Allah di hadapan umat sedemikian rupa, sehingga mereka dapat mengetahui siapa dia, seorang nabi Allah yang saleh, dan agar mereka dapat mengetahui siapa Allah itu. Tentu saja, Yehezkiel menginginkan lebih dari ini. Ia sangat ingin mengembalikan umat kepada Allah yang hidup dan mencegah penghakiman serta kematian mengerikan yang akan datang. Catatan Alkitab tidak memberi tahu kita apakah ada orang yang bertobat sebagai hasil dari perkataannya, tetapi Yehezkiel tidak bertanggung jawab atas pertobatan orang lain. Dia hanya bertanggung jawab atas ketaatannya yang teguh.

Iman, Bukan Formula

Kemungkinan besar kita mengajukan pertanyaan yang salah sebagai orang tua. Kita begitu fokus pada diri kita sendiri—pada kebutuhan kita sendiri untuk meraih kesuksesan dan kesuksesan anak-anak kita—hingga kita memandang peran sebagai orang tua sebagai suatu pertunjukan atau ujian. Tampaknya kita gagal dalam ujian ini, karena sejumlah besar anak muda kita meninggalkan gereja ketika mereka meninggalkan rumah kita. Kini penelitian genetika memberi tahu kita bahwa tes tersebut mungkin saja dicurangi.

Saya khawatir, kita tidak akan mampu lulus ujian ini, dan kita tidak akan pernah mampu. Kalau kita dinilai berdasarkan kurva, kita akan selalu menemukan orang tua dan anak yang lebih penurut, lebih gembira, dan lebih damai daripada kita. Kita akan menemukan orang tua yang anak-anaknya tumbuh lebih baik dari anak-anak kita, orang tua dengan persentase “pemenang rohani” yang lebih tinggi daripada yang dapat kita akui sebagai hasil usaha kita.

Jika kita dinilai berdasarkan skala pengukuran absolut—seperti yang saya yakini—kita akan gagal lebih menyedihkan. Namun karena itulah Juru Selamat disediakan dan dikaruniakan kepada kita melalui kasih karunia, melalui iman—“dan ini bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada seorang pun yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-9). Jika kemampuan untuk percaya kepada Allah saja diberikan oleh Allah, maka seberapa besar peran sebagai orang tua yang dapat kita lakukan sendiri? Kita harus melangkah, dengan berlutut terlebih dahulu, seperti pengemis di hadapan tahta, jika kita ingin menjadi orang tua yang baik.

Kita juga harus memikirkan kembali asumsi-asumsi dan panggilan kita. Kita bertanggung jawab untuk mengajarkan takut akan Tuhan kepada anak-anak kita, untuk menanamkan hukum-hukum-Nya kepada mereka, baik ketika kita “duduk di rumah, ketika [kita] sedang dalam perjalanan, ketika [kita] berbaring, dan ketika [kita] bangun”—artinya sepanjang waktu (Ul. 6:7). Kita juga diperintahkan untuk tidak membangkitkan amarah anak-anak kita, tetapi untuk “mendidik mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef. 6:4). Namun kita pun harus jelas mengenai batasan kita sendiri. Kita tidak mampu menghasilkan pengikut Kristus yang sempurna, seolah-olah kita sendiri sempurna. Pekerjaan kita tidak dapat membeli keselamatan atau pengudusan orang lain. Para orang tua dengan anak-anak yang tidak percaya, sahabat dengan anak-anak di penjara, penemuan para ahli genetika, dan para pahlawan iman dalam Ibrani 11 semuanya merupakan pengingat yang kuat akan kebenaran ini: Kita akan mengasuh anak dengan tidak sempurna, anak-anak kita akan membuat pilihan mereka sendiri, dan Allah akan secara misterius dan ajaib memakai semua itu untuk memajukan kerajaan-Nya.

Begley menyimpulkan artikel “But I Did Everything Right!” dengan mengatakan, “Sudah saatnya mengakui bahwa pengaruh yang dapat dimiliki orang tua terbatas.” Kitab Suci telah mengajarkan kita hal ini selama ini. Kita tidak berdaulat atas anak-anak kita—hanya Tuhan yang berdaulat. Anak-anak bukanlah tomat yang harus ditata atau keledai yang harus dilatih, mereka juga bukan angka yang harus dimasukkan ke dalam persamaan. Mereka adalah manusia seutuhnya yang diciptakan secara dahsyat dan ajaib. Mengasuh anak, seperti semua pekerjaan di bawah matahari, dimaksudkan sebagai upaya dari kasih, risiko, ketekunan, dan, yang terutama, iman. Imanlah, bukan formula; anugerahlah, bukan jaminan; kesetiaanlah, bukan kesuksesan, yang menjembatani kesenjangan antara upaya kita dalam mengasuh anak, dan seperti apa, dengan anugerah Tuhan, anak-anak kita kelak bertumbuh.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Copyright © 2010 Christianity Today. Click for reprint information.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, FacebookTwitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

News

Generasi Z Protestan Ingin Dikenal karena Hobi dan Bakat Mereka

“Lebih mudah mengatakan kepada seseorang [bahwa] Anda pandai bernyanyi atau bermain sepak bola daripada memiliki iman atau terlibat aktif di gereja.”

Gereja yang Cemas

Mengapa gereja kesulitan menangani penyakit mental dengan baik dan bagaimana kita dapat membantu mereka yang sakit mental dengan lebih baik?

Imam Besar Saya Memahami Penderitaan Saya

Belas kasih Yesus terletak pada pemahaman-Nya yang menyeluruh terhadap luka kita, bukan hanya pada kemampuan-Nya untuk membereskan luka tersebut.

Tidak Apa-apa Jika Anda Mengalami Tahun Baru yang Tidak Menyenangkan

Kita tahu kekudusan tidak selalu membawa pada kebahagiaan. Namun bagaimana jika ketidakbahagiaan kita itu sendiri bisa menjadi sesuatu yang kudus?

12 Artikel Terpopuler dalam Bahasa Indonesia di Christianity Today Tahun 2024

Temukan topik-topik yang paling diminati oleh pembaca CT dalam Bahasa Indonesia sepanjang tahun ini.

Tuhan Setia dalam Kemenangan dan Keputusasaan

Saya memilih Kamala Harris dan berduka atas kekalahannya. Namun saya ingin menjaga politik tetap pada tempatnya, tunduk kepada Yesus.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube