Ideas

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Christianity Today October 31, 2024
Ilustrasi oleh Elizabeth Kaye / Sumber Gambar: Getty / Wikimedia Commons

Dalam kumpulan esainya tahun 1990, Wendell Berry merenungkan pertanyaan “Untuk apa manusia diciptakan?” Jawabannya, sesuai dengan gaya Berry, adalah serangkaian jawaban yang rumit dan indah yang berkontribusi pada perkembangan manusia.

Perkembangan itu terkait dengan kemakmuran lingkungan sekitar kita, dan jawaban ini juga memiliki akar teologis yang dalam. Janji-janji Tuhan dalam Perjanjian Lama berulang kali berkisar pada memberkati tanah dan manusia secara bersama-sama, bukan secara terpisah. Kita tumbuh subur bila ditanam, berakar, dan dipelihara bersama-sama dengan orang lain di sekitar kita. Yang terutama, kita tumbuh subur ketika berakar bukan hanya dalam komunitas manusia tetapi juga dalam relasi dengan Tuhan.

Dari premis bahwa manusia diciptakan untuk berkembang, kita dapat mengajukan pertanyaan yang sama tentang peran manusia yang spesifik, seperti peran orang tua: “Apa fungsi orang tua?” Pedoman apa yang ditawarkan Alkitab untuk menjawab pertanyaan ini?

Masa pencarian saya atas pertanyaan tersebut bukanlah suatu kebetulan. Selama beberapa tahun terakhir, saya telah menyaksikan cacian kejam dalam kalangan Kristen terhadap orang tua Kristen yang mendukung sekolah umum dan mereka yang memilih sekolah rumah.

Perang tentang pola asuh anak lainnya tidak pernah ada habisnya, baik di dalam gereja maupun di luar gereja. Grup Facebook tentang pengasuhan anak telah menjadi terkenal karena semua alasan yang salah. Grup ini adalah tempat untuk mencaci dan dicaci atas setiap pilihan pengasuhan yang dapat dibayangkan: Menyusui ASI atau botol, pakai Tylenol (obat penghilang rasa sakit) atau tidak, bertanding olah raga di tempat yang jauh atau hanya pertandingan lokal. Para penentang vaksin yang vokal bertemu dengan para pejuang obat cacing di akhir pekan, bertemu dengan para penganut makanan mentah alami, dan masih banyak lagi—setiap orang yakin bahwa jawaban mereka sendiri tidak hanya akan menyelamatkan anak-anak mereka tetapi juga dunia.

Pertemuan itu akan menjadi lucu, kecuali kecemasan itu begitu nyata hingga siapa pun tidak dapat menertawakannya. Tidak ada campuran minyak esensial yang dapat membantu mengatasi hal ini.

Saya berpendapat bahwa, seperti banyak masalah lain yang kita hadapi, akar masalah ini adalah teologis. Kita telah kehilangan pandangan akan imajinasi teologis yang nyata untuk memahami tujuan orang tua. Itulah yang terjadi pada gereja dan masyarakat kita yang lebih luas dewasa ini, dan kita menjadi semakin buruk karenanya.

Memang benar, Alkitab bukanlah buku petunjuk yang sangat rinci—Anda tidak bisa begitu saja membuka indeks, mencari “sekolah umum” atau “vaksinasi” atau “pilihan popok,” dan mencari tahu dengan pasti apa yang telah Tuhan tetapkan pada setiap isu tertentu. Jika itu yang ingin kita temukan, bahkan secara tidak sadar, maka ada masalah lain di dalam diri kita. Artinya, kita memandang pengasuhan anak sebagai serangkaian tugas yang terinstrumentalisasi—memberi makan, memandikan, mengantar ke berbagai kegiatan—dan melupakan visi yang lebih besar, panggilan sejati untuk tujuan yang jauh lebih besar daripada daftar tugas apa pun.

Kebetulan, Alkitab menawarkan visi seperti itu: Orang tua dipanggil untuk menjadi penatalayan anak-anak kita. Baik kita yang melahirkan anak-anak ini sendiri atau mengadopsi atau mengasuh mereka, kita menerima mereka sebagai pemberian hanya untuk waktu yang singkat. Selama waktu ini, kita hanyalah penatalayan yang ditunjuk oleh Tuhan untuk memegang amanah harta yang telah diberikan kepada kita: Penyandang gambar Allah dengan jiwa yang kekal! Pada akhir masa pertumbuhan mereka, dalam sebagian besar kasus, mereka pun menuju ke masa dewasa.

Namun—dan ini kuncinya—meskipun ajaran Alkitab tentang visi keseluruhan ini jelas, kita juga melihat berulang kali bahwa ada lebih dari satu cara untuk menjadi penatalayan yang setia.

Dalam salah satu bagian yang paling menyentuh, bagian pembukaan doa Shema dan petunjuk yang mengikutinya dalam Ulangan 6:4–25, kita belajar tentang kewajiban orang tua untuk senantiasa mengajar anak-anak kita tentang Tuhan, di rumah maupun di luar rumah, saat duduk maupun berbaring, dan saat berjalan sepanjang hari. Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti itu akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan rohani yang sungguh-sungguh:

“Apabila di kemudian hari anakmu bertanya kepadamu: Apakah peringatan, ketetapan dan peraturan itu, yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN Allah kita? maka haruslah engkau menjawab anakmu itu: Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi TUHAN membawa kita keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat. TUHAN membuat tanda-tanda dan mujizat-mujizat, yang besar dan yang mencelakakan, terhadap Mesir, terhadap Firaun dan seisi rumahnya, di depan mata kita; tetapi kita dibawa-Nya keluar dari sana, supaya kita dapat dibawa-Nya masuk untuk memberikan kepada kita negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyang kita. TUHAN, Allah kita, memerintahkan kepada kita untuk melakukan segala ketetapan itu dan untuk takut akan TUHAN, Allah kita, supaya senantiasa baik keadaan kita dan supaya Ia membiarkan kita hidup, seperti sekarang ini. Dan kita akan menjadi benar, apabila kita melakukan segenap perintah itu dengan setia di hadapan TUHAN, Allah kita, seperti yang diperintahkan-Nya kepada kita.” (Ul. 6:20–25)

Kita melihat di sini bahwa adalah tugas kita sebagai orang tua untuk terus mengajar anak-anak kita tentang Tuhan pada setiap kesempatan yang kita dapatkan. Merupakan tugas kita juga untuk bersiap menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis yang mendalam dari anak-anak kita ketika pertanyaan-pertanyaan tak terhindarkan itu muncul.

Tanpa adanya pengajaran dari orang tua, seperti yang tersirat dalam ayat tersebut, bagaimana generasi berikutnya dapat mengetahui apa pun tentang Allah? Hal ini membuat tugas pendidikan teologi dan pembinaan rohani yang dipercayakan kepada orang tua menjadi semakin mendesak dan perlu. Hilangnya kebenaran teologis yang penting selalu hanya berjarak satu generasi.

Proses memberi tahu anak-anak tentang Tuhan melalui setiap aktivitas yang dapat dibayangkan merupakan bagian dari apa yang sekarang kita sebut pemuridan. Meskipun pengajaran langsung juga diperintahkan, teladan kehidupan Kristen ini lebih banyak ditangkap daripada diajarkan. Dengan kata lain, melalui kehidupan sehari-hari dalam keluarga, anak-anak belajar mengikuti Yesus. Waktu-waktu tertentu yang dikhususkan untuk hal-hal yang bersifat rohani saja tidaklah cukup.

Tentu saja, cara lain untuk melihatnya adalah bahwa seluruh kehidupan keluarga itu sendiri adalah waktu khusus yang ditetapkan untuk pemuridan. Setiap momen kehidupan adalah milik Tuhan, dan kita sebagai orang tua harus mencontohkan kebenaran ini. Pemuridan seperti itu adalah cara kita menjalankan panggilan kita untuk menjadi penatalayan yang setia bagi anak-anak kita.

Allah memiliki harapan yang tinggi dari mereka yang diberi kepercayaan-Nya, 1 Korintus 4:2 mengingatkan kita. Perumpamaan dalam Matius 25:14-30 menguraikannya lebih lanjut. Dalam kisah ini, Yesus menceritakan tentang seorang tuan yang mempercayakan sejumlah talenta yang berbeda kepada tiga hamba yang berbeda—masing-masing “menurut kesanggupannya.” Dua di antaranya menginvestasikan dananya dan mendapat laba, sehingga mendapat pujian dan penghargaan lebih lanjut. Akan tetapi yang ketiga hanya menyembunyikan talenta itu di dalam tanah dan mengembalikannya kepada tuannya sebagaimana ia menerimanya, tanpa keuntungan apa-apa. Dia pun mendapat teguran keras atas kemalasannya.

Dipresentasikan melalui serangkaian cerita yang menerangi kerajaan Allah, perumpamaan ini bukan tentang keutamaan investasi keuangan yang bijaksana. Sebaliknya, investasi yang sesungguhnya adalah pada manusia. Para penatalayan adalah orang yang—atau seharusnya—membagikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang Allah. Itu termasuk para orang tua yang mengajar anak-anak kita melalui perkataan dan teladan, mempersiapkan mereka agar menjadi orang percaya yang bijaksana.

Bagian lain dari Alkitab juga menggambarkan harapan tinggi yang Allah miliki bagi para penatalayan yang dipercayakan dengan tanggung jawab serius. Namun, Matius 25 juga menjelaskan bahwa ada lebih dari satu cara untuk menjadi penatalayan yang baik. Tidak semua penatalayan yang terpuji mengambil keputusan yang sama, namun selama mereka masing-masing dengan bijaksana menginvestasikan harta yang diberikan kepada mereka, sang tuan merasa senang.

Tentu saja, kita juga dapat mencatat banyaknya kisah malang dari orang tua dan anak-anak di seluruh isi Alkitab. Kisah-kisah tersebut merupakan contoh apa yang terjadi ketika orang tua tidak mendidik anak dengan baik.

Ini adalah tema utama dari Kitab 1 dan 2 Raja-raja, di mana raja-raja Israel kuno berulang kali tampak menjadi ayah yang mengerikan yang mengabaikan pendidikan rohani anak-anak mereka, mengabaikan anak laki-laki mereka kecuali ketika mempertimbangkan potensi mereka sebagai ahli waris. Hasilnya adalah munculnya satu demi satu raja yang membawa bencana, yang melakukan kegagalan bukan hanya dalam hal rohani melainkan juga dalam hal duniawi. Dalam setiap kasus tersebut, Alkitab menggambarkan kegagalan rohani dan relasional dalam keluarga. Masalahnya bukanlah pada jenis pilihan pengasuhan yang membuat kita berdebat: gaya pendidikan, tim olahraga, atau pola makan.

Saya telah menulis sebelumnya mengenai preferensi kuat yang saya miliki terhadap anak-anak saya, yang merupakan para penyandang gambar Allah yang mana secara pribadi saya dipanggil untuk menatalayani dan membimbing mereka bersama suami saya. Namun, pilihan investasi saya bukanlah apa yang akan dipilih oleh setiap penatalayan baik dan setia lainnya, dan orang tua Kristen memiliki hak dan tanggung jawab—baik secara rohani maupun hukum—untuk membuat pilihan investasi tersebut bagi diri mereka sendiri, dengan dipandu oleh doa, Kitab Suci, dan nasihat yang bijak sebagaimana dibutuhkan.

Pemahaman akan pujian dari Allah bagi para penatalayan dengan strategi investasi yang berbeda-beda ini seharusnya mendamaikan kita dengan perbedaan dalam keputusan pola asuh dan pendidikan di antara orang Kristen yang percaya Alkitab. Kita tidak perlu mengelola dengan cara yang sama persis untuk menjadi hamba yang setia.

Nadya Williams adalah penulis Cultural Christians in the Early Church dan Mothers, Children, and the Body Politic: Ancient Christianity and the Recovery of Human Dignity (IVP Academic, 2024).

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube