News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Christianity Today September 13, 2024
Edits by Christianity Today / Source Image: Courtesy of Sunoko Samiadji

Andar Ismail, seorang penulis Kristen produktif yang menyajikan kebenaran teologis menjadi cerita pendek yang mudah dipahami masyarakat Indonesia pada umumnya, meninggal karena gagal jantung kongestif pada 25 Agustus 2024. Ia berusia 84 tahun.

Dari tahun 1981 hingga 2022, pendeta dan dosen sekolah teologi ini telah menulis 33 buku, masing-masing berisi 33 cerita pendek, untuk seri Selamat karyanya. Ismail menggambarkan gaya sastranya sebagai gado-gado (“campuran”) karena ceritanya merupakan gabungan berbagai genre: eksposisi Alkitab, cerita tentang Yesus atau tokoh-tokoh Alkitab, sejarah gereja, biografi tokoh-tokoh Kristen, komentar tentang buku atau seni, anekdot lucu, dan refleksi pribadi.

Sementara para penulis Kristen Indonesia lainnya menulis untuk kalangan terpelajar, buku-buku Andar Ismail sangat menghibur dan cukup sederhana untuk dipahami oleh orang Kristen awam—serta orang-orang dari agama lain. Jumlah pembacanya pun banyak sekali: Buku-bukunya telah terjual puluhan ribu eksemplar, sebuah prestasi yang langka di Indonesia, di mana minat baca sangat rendah.

Bahkan setelah menyelesaikan seri Selamat, ia menerbitkan dua koleksi cerita pendek lagi. Selain sumbangsihnya bagi dunia sastra, dia juga menjadi pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Samanhudi di Jakarta selama 40 tahun serta mengajar teologi dan pendidikan Kristen di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, seminari tertua di negara ini.

Andar Ismail pernah bercerita kepada Validnews Indonesia bahwa seri Selamat berjumlah 33 buku, dan 33 cerita di setiap buku, sesuai jumlah tahun Yesus hidup di bumi,

“Saya terpesona … oleh 33 tahun kehidupan Yesus,” kata Ismail. “Betapa mudanya Dia, tetapi Dia telah berbuat begitu banyak. Kehidupan yang singkat namun sangat berdampak.”

Lahir dengan nama Siem Hong An pada tahun 1940, Andar Ismail dibesarkan dalam keluarga Tionghoa-Indonesia Kristen miskin di Bandung, Jawa Barat. Saat Andar masih sangat belia, ayahnya yang merupakan seorang pemilik pabrik kecil menderita penyakit paru-paru dalam jangka waktu lama sehingga membuatnya tidak dapat bekerja. Keadaan ini memaksa ibu Andar untuk menghidupi keluarga dengan berjualan kue buatan sendiri. Sebagai anak keempat dari enam bersaudara, Andar Ismail mengingat keluarganya menerima makanan dan pembiayaan sekolah dari gereja lokal mereka.

Namun, meski mereka kekurangan uang, ibu Andar Ismail tetap memupuk imajinasi putranya dengan bercerita dan mendorongnya untuk membuat cerita sendiri. Walau hanya bermodalkan dedaunan dan ranting pohon sebagai mainan, dia menciptakan dunia imajinasinya sendiri.

Sejak berusia empat tahun, ibunya membawanya ke Sekolah Minggu, tempat di mana dia senang mendengarkan cerita Alkitab. Dia mengenang dalam bukunya Tukang Ngantar Selamat, bagaimana suatu kali guru Sekolah Minggunya, Sioe Bing, dengan antusias menceritakan kisah Yesus yang meredakan badai di danau Galilea. Saat dia menggerakkan tangannya untuk menggambarkan lautan yang mengamuk, dia tak sengaja menampar wajah Andar Ismail.

Namun ia mengenang kembali momen itu dengan penuh rasa sayang, karena momen itu membangkitkan mimpi baru dalam dirinya. Ketika “ombak danau Galilea” mendarat tepat di wajahnya, benih masa depannya pun tertanam. Kemudian hal itu berkembang beberapa tahun kemudian ketika dia menulis, “Saya ingin berjalan di jalan yang sama seperti Om Sioe Bing. Saya ingin menjadi pendongeng Alkitab.” Andar Ismail memupuk kecintaannya terhadap cerita dengan sering mengunjungi perpustakaan Bandung, tempat dia membaca buku-buku karya Hans Christian Andersen dan Charles Dickens, serta toko buku Kristen setempat, tempat dia membaca karya-karya teolog Belanda Johannes Verkuyl dan Hendrik Kraemer. Pada usia mudanya, dia melihat kekuatan dari menulis. Sewaktu dia bekerja sebagai pengantar koran, dia menyadari bahwa orang-orang akan menunggu dengan penuh semangat sampai dia membawakan mereka koran edisi terbaru dan penantian seperti ini membuatnya merasa penting. Andar Ismail berpendapat, jika pengantar koran saja ditunggu-tunggu, apalagi penulis koran? “Sejak saat itu, saya ingin menjadi penulis,” kata beliau kepada Validnews.

Pada usia 18 tahun, ia belajar di Institut Pendidikan Theologi Balewiyata di Malang, Jawa Timur, untuk menjadi seorang rohaniwan. Sekali lagi, gerejanya mendukung dia dengan membantu membiayai sekolahnya. Kadang kala, dia merasa guru-gurunya sulit dipahami, karena mereka menggunakan kata-kata yang terasa misterius dan memberikan ceramah yang panjang lebar. Namun tantangan ini justru semakin memotivasinya untuk menjadi penulis dan guru. “Saya menulis, didorong oleh keinginan untuk menjelaskan sesuatu yang sulit dengan mudah, tidak panjang melainkan singkat, tidak membosankan tetapi memikat, dan dengan humor,” kata Andar kepada Validnews.

Setelah lulus pada tahun 1963, dia mulai melayani di GKI Samanhudi, sebuah gereja Presbiterian. Dua tahun kemudian, dia ditahbiskan dan menikah dengan Constance (Stans) Budihalim, seorang guru Sekolah Minggu. Dia mengabdi di GKI Samanhudi selama 40 tahun, dan sesekali belajar ke luar negeri. Beberapa di antaranya, dia pernah belajar di sebuah universitas di Utrecht, Belanda; Universitas Presbiterian dan Seminari Teologi di Seoul; dan Seminari Union Presbiterian di Richmond.

Untuk memperlengkapi generasi pendeta Indonesia berikutnya, Andar Ismail mulai mengajar teologi dan pendidikan Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (sekarang Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta) sebagai dosen paruh waktu pada tahun 1978. Dia kemudian menjadi dosen penuh dan mengajar di sekolah teologi tersebut hingga tahun 2005.

Saat pemakaman Andar Ismail, salah seorang muridnya, Nanang, bercerita bahwa dia pernah dipanggil ke kantor Andar setelah mengikuti kelas menulis pedagogi. “Jantung saya berdebar kencang karena beliau dikenal sebagai dosen yang sangat tegas,” kata Nanang. Saat Nanang memasuki ruangan, Andar Ismail sedang memegang kertas yang pernah Nanang serahkan. Kecemasannya memudar ketika Andar meminta izin untuk membagikan tulisan Nanang sebagai contoh bagi murid-muridnya yang lebih muda.

“Saya menganggap ini sebagai cara beliau menghargai tulisan saya,” kata Nanang. Kini sebagai pendeta di gereja GKI Mangga Dua Jakarta, Nanang kerap membagikan tulisannya di media sosial.

Impian Andar Ismail sejak kecil untuk menjadi penulis pertama kali terwujud pada tahun 1981 saat dia belajar di Seoul. Ketika di sana, dia menulis koleksi pertamanya yang terdiri dari 33 cerita pendek, berjudul Selamat Natal. Isinya meliputi biografi Yohanes Pembaptis dan raja Herodes, cerita berjudul “Kalau Sekarang Yesus lahir di Jakarta,” dan esai tentang bagaimana Natal hanya bermakna jika kita menerima kematian Yesus di kayu salib untuk dosa-dosa kita. Buku keduanya, Selamat Paskah, diterbitkan setahun kemudian, pada tahun 1982.

Buku tersebut mendapat tanggapan positif dari para pembaca. Namun butuh satu dekade lagi sebelum akhirnya Andar Ismail menerbitkan lebih banyak buku dalam seri tersebut, karena dia sibuk mengajar dan menempuh pendidikan doktornya di AS. Ketika dia kembali ke Jakarta untuk menjadi dosen penuh waktu di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, penerbit yang menerbitkan bukunya, BPK Gunung Mulia, meminta dia untuk melanjutkan seri tersebut.

Butuh beberapa tahun lagi baginya, tetapi pada tahun 1992, dia menulis buku ketiga dalam seri tersebut, Selamat Pagi Tuhan! kemudian mulai menulis satu buku setiap tahun hingga dia menyelesaikan semua 33 buku pada tahun 2022. Ismail menulis setiap buku dengan tangan, dan teman dekatnya, Sunoko Nugroho Samiadji, kemudian menyalinnya di komputer. Samiadji, yang menganggap Ismail sebagai ayah rohaninya, terinspirasi oleh kedisiplinan dan ketekunan Ismail untuk terus menulis meski dalam kondisi sakit.

“Beliau bahkan telah menyelesaikan sepuluh draf cerita untuk buku-buku berikutnya, meski kesehatannya menurun drastis selama empat bulan terakhir ini,” tutur Samiadji setelah Andar Ismail wafat.

Kisah-kisah dalam seri Selamat karya Andar Ismail berfokus pada kehidupan, ajaran, dan tindakan Yesus, termasuk doa, pelayanan, pengajaran, pekerjaan, integritas, dan kasih. Dengan menggunakan bahasa yang membumi, ia berharap dapat membantu para pembaca menelaah kehidupan dan iman mereka.

Untuk terhubung dengan orang-orang dari agama lain, beberapa ceritanya menggambarkan bagaimana penyair dan seniman muslim memandang Yesus.

Seorang jurnalis dan penulis terkenal, Sobron Aidit, memberi komentar di sampul belakang salah satu buku Andar Ismail bahwa meskipun dia seorang Komunis dan mengenal Islam di masa mudanya, dia “sering kali bingung, mencari jalan keluar dari berbagai masalah.” Lalu teman-temannya mengiriminya seri Selamat, dan dia berkata, “Hati saya tersentuh, dan semakin saya menyukai tulisan Andar. Dari tahun ke tahun, saya terus meneliti buku-bukunya. Akhirnya di usia 66 tahun, saya mengakui Kristus sebagai Juru Selamat saya.”

Selama dua dekade, buku Selamat menjadi buku terlaris BPK Gunung Mulia. Atas kontribusinya terhadap gereja Indonesia, pada Agustus 2018 Andar Ismail memenangkan penghargaan di Festival Seni dan Sastra Kristen untuk kategori Tokoh Inspiratif.

Pada bagian belakang buku Selamat, Konferensi Kristen Asia menyebut Andar Ismail dan rekan penulisnya Eka Darmaputera “tidak diragukan lagi adalah penulis Kristen paling produktif di nusantara ini.” “Tulisan-tulisan mereka didasarkan pada kajian teologis yang mendalam, tetapi mudah dipahami oleh umat pada umumnya. Baik Eka maupun Andar telah menjadi aset penting bagi gereja-gereja di Indonesia … dalam mengomunikasikan inti Injil ke dalam hati umat Kristen.”

Binsen Samuel Sidjabat, dosen di Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus, sangat memuji karya Andar Ismail, tetapi dia mencatat adanya pergeseran teologis dalam dua cerita Ismail selanjutnya. Walaupun karya-karya awalnya menekankan keselamatan hanya melalui Yesus, tetapi karya-karya selanjutnya tampaknya mempertanyakan Yohanes 14:6, yang mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Tulisannya yang berjudul “Satu-satunya Jalan?” mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan rasa hormat yang tinggi dari gereja mula-mula kepada Yesus, dan tulisannya yang berjudul “Apakah Kristus Satu-satunya Jalan?” mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan hubungan Yesus dengan Bapa.

Anak-anak Andar Ismail ingat, ayah mereka terus-menerus mengarahkan mereka kepada Kristus.

Putrinya, Atikah, mengenang saat dia berusia sekitar 12 tahun dan adiknya Syarif berusia 10 tahun, ayahnya pulang ke rumah suatu malam dan mengatakan dia punya hadiah untuk mereka. Dia menyerahkan Alkitabnya kepada mereka, dan anak-anak bertanya-tanya apakah hadiah itu tersembunyi di dalamnya. Atikah menuturkan, “Kami sudah cari dari halaman depan sampai halaman terakhir, tetapi tidak ditemukan amplop atau barang lainnya.” Kemudian, dia menyadari bahwa ayahnya ingin mengajarkan mereka bahwa hadiah paling berharga yang dapat diberikan seorang ayah kepada anak-anaknya adalah Firman Tuhan.

Menjelang akhir hayat Andar Ismail, Samiadji pindah untuk membantu merawat beliau, yang menjalani operasi prostat pada bulan April, dan istrinya. Saat kesehatan Andar Ismail memburuk pada akhir Agustus, Samiadji mengatakan bahwa beliau pernah berdoa, “Tuhan yang terkasih, Engkau telah memberiku begitu banyak hal. Namun, dengan persetujuan-Mu, aku meminta agar aku tidak jatuh sakit terlalu lama, yang akan membuat orang lain sengsara karena harus merawatku.” Samiadji mengakui Andar khawatir akan membebani istrinya.

Tidak lama kemudian, Andar Ismail meninggal dunia dengan tenang. Ia meninggalkan seorang istri, dua orang anak, dan dua orang cucu.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Mengapa Ada Begitu Banyak Teolog yang Marah?

Teologi seharusnya menghasilkan buah Roh, bukan perbuatan daging.

Silsilah Alkitab Memberitakan Kabar Baik

Pohon keluarga Yesus menyampaikan lebih dari sekadar pelajaran sejarah.

Kesengsaraan Perlu menjadi Bagian dalam Khotbah Kita

Matthew D. Kim percaya bahwa membahas tentang penderitaan adalah bagian dari panggilan seorang pengkhotbah.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube