Kita bergurau bahwa kebanyakan orang lebih takut berbicara di depan umum daripada kematian, tetapi itu tidak berlaku bagi saya. Saya kerap kali berada di belakang mikrofon dan mengajar Alkitab kepada sekelompok besar orang disertai rasa takut yang sehat terhadap teks Alkitab, tetapi hanya dengan sedikit rasa takut terhadap hadirin. Jadi saya terkejut oleh kepanikan yang saya rasakan ketika salah satu pendeta meminta saya untuk membacakan sebuah perikop. Itu saja. Hanya bacaan sederhana sebelum ia berkhotbah—tanpa penafsiran, tanpa embel-embel, hanya membaca saja dan duduk.
Mengapa tiba-tiba saya mengalami krisis kepercayaan diri? Teksnya adalah Lukas 3:23–38, silsilah Yesus, terdiri dari 77 nama yang rumit, memerlukan waktu dua setengah menit untuk membacanya dengan suara lantang dari awal hingga akhir.
Pendeta tersebut, yang juga seorang teman baik saya, memperhatikan ekspresi wajah saya dan bertanya, “Anehkah membaca ayat-ayat sebelum saya berkhotbah?” Dalam hati saya tahu seharusnya saya menjawab tidak, tetapi saya ingin berteriak, “Ya! Jadi saya akan membaca nama-nama yang sangat banyak itu dan kembali ke tempat duduk saya dalam keheningan yang canggung?”
Jangan salah paham. Saya menyukai silsilah-silsilah keluarga dengan segenap hati saya yang menggemari Alkitab. Karena saya mengajar Alkitab baris demi baris setiap minggu, saya secara teratur membahas bagian-bagian teks yang sering diabaikan. Saya tahu bahwa dengan berjuang menggali ayat-ayat yang sulit, aneh, atau membosankan, di sisi yang lain, iman kita akan semakin diperdalam. Bagian-bagian itu menantang saya sebagai pengajar, tetapi tidak membuat saya takut.
Saya sangat tertarik pada bagian silsilah keluarga ketika saya mengajar kitab Kejadian. Untuk pertama kalinya saya diharuskan untuk bertanya mengapa daftar nama-nama individu ini disimpan dengan sangat hati-hati. Seiring bertumbuhnya afeksi saya terhadap nama-nama tersebut, saya menjadi lebih sering menyuarakan tentang perlunya kita memerhatikan daftar-daftar yang sering diabaikan ini.
Berbeda dengan bagian-bagian Kitab Suci yang lebih umum, perikop-perikop silsilah menguji apakah kita benar-benar percaya bahwa seluruh isi Kitab Suci memang bermanfaat. Saya menikmati kesempatan untuk mengajar tentang perikop-perikop silsilah dan menunjukkan manfaatnya.
Akan tetapi, membaca salah satu silsilah yang lebih panjang dari silsilah lainnya dengan suara lantang tanpa komentar membuat saya takut setengah mati. Tampaknya itu adalah cara yang sempurna untuk memperkuat kesalahpahaman bahwa daftar nama tersebut usang, membosankan, dan tak berarti. Jujur saja, tidak banyak yang bisa dilakukan dengan intonasi dan nada suara.
Jadi berdirilah saya, dengan mikrofon yang agak bergetar di satu tangan dan teks silsilah itu di tangan lainnya. Lalu saya membaca di tengah keheningan: “Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf.” Anak dari anak dari anak dari anak seorang anak. Baris demi baris, nama demi nama. Waktu berjalan lambat. Keheningan makin mendalam. Terbuai oleh irama dari perikop tersebut, ketakutan saya pun mulai sirna. Dua pertiga perjalanan, tenggorokan saya terasa sesak, dan saat saya membaca "Metusalah," pandangan saya kabur karena mata yang berkaca-kaca.
“… anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah.”
Setiap nama menunjuk pada kebutuhan kita akan Dia yang menyandang Nama di atas segala nama.
Saat saya mengucapkan nama-nama terakhir, tepuk tangan pun mulai terdengar, dan terus bertambah hingga tepuk tangan meriah dan sorak-sorai.
Saya menengadah dengan tak percaya, melihat orang-orang juga berurai air mata, merasakan hal sama yang saya rasakan.
Terkadang saya begitu tidak beriman. Saya sering merasa tergoda bahwa kata-kata Kitab Suci memerlukan bantuan saya, seolah-olah Roh Kudus tidak akan berbicara kecuali saya menambahkan “kebijaksanaan” saya di sekitarnya. Saya tidak percaya bahwa 77 nama itu dengan sendirinya bisa dengan jelas menyampaikan kasih setia Tuhan kepada semua generasi. Dan saya telah salah besar.
Seluruh isi Kitab Suci diilhamkan oleh Allah. Semuanya bermanfaat. Dalam silsilah itu, Allah berbicara kepada kita tentang perhatian-Nya terhadap individu. Ia melihat kita bukan sebagai kumpulan besar umat manusia, tetapi sebagai nama, wajah, dan kepribadian, yang masing-masing memiliki kisah kita sendiri yang berperan dalam kisah penebusan yang lebih besar.
Dalam silsilah itu, Allah membuktikan kesetiaan-Nya untuk melakukan apa yang Ia katakan akan Ia lakukan—bekerja melalui para pahlawan dan penipu yang semuanya jauh dari sempurna. Tak ada satu pun rencana-Nya yang dapat digagalkan. Setiap nama adalah sehelai rumput yang layu, namun tujuan kekal-Nya tetap abadi.
Setiap nama menunjuk pada kebutuhan kita akan Dia yang menyandang Nama di atas segala nama. Setiap nama yang dicatat dan diingat oleh Allah, memberi kita kepastian bahwa nama kita dicatat dan diingat oleh-Nya juga. Oleh karena itu, kita memahami keberhargaan nama-nama tersebut dan memanjatkan rasa syukur kita atas pelestarian nama-nama itu.
Allah kita punya tujuan dengan pemberian nama. Bacalah nama-nama tersebut dan rayakanlah, karena ini—bahkan ini, khususnya ini—adalah Firman Tuhan. Syukur kepada Allah.
Jen Wilkin adalah seorang istri, ibu, dan pengajar Alkitab yang bersemangat untuk melihat para wanita menjadi pengikut Kristus yang berkomitmen. Dia adalah penulis buku None Like Him.
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.
–