AI Mungkin Bisa Mengajar, Tetapi Tidak Bisa Berkhotbah

Tidak, anak cucu kita di masa depan tidak akan diinjili oleh robot.

Christianity Today July 3, 2024
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Alex Workman / Lightstock

Bagian ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini.

ChatGPT, bot percakapan untuk pengumpulan dan penulisan informasi dengan kecerdasan buatan (AI) yang sangat akurat yang diluncurkan pada bulan November 2022 lalu, membuat banyak orang khawatir.

Para pengajar bertanya-tanya bagaimana esai di sekolah menengah atau perguruan tinggi akan bisa dibuat dengan murni lagi ketika setiap siswa dapat menghasilkan, dalam hitungan menit, sebuah makalah yang lengkap, orisinal, dan memiliki catatan kaki. Sebagian orang bertanya apakah AI saat ini atau di masa depan dapat melakukan tinjauan kinerja untuk karyawan. Lalu sebagian lagi mulai merenungkan apakah teknologi pintar ini dapat digunakan di tempat lain: di mimbar gereja kita.

Jurnalis Matt Labash, dengan kata-kata kasar gaya “neo-Luddite” yang menyenangkan dalam buletinnya, mencatat bahwa rabi New York, Josh Franklin, menyuruh bot percakapan tersebut untuk menulis sebuah khotbah utuh untuknya. Awalnya ia tidak memberi tahu jemaatnya bahwa bukan dia yang menulis khotbah itu. Namun kemudian akhirnya ia memberi tahu mereka.

Ketika dia meminta mereka menebak siapa yang menulisnya, mereka menyebutkan mendiang rabi Jonathan Sacks—mungkin pengkhotbah Yahudi paling terkenal dalam 20 tahun terakhir. Bayangkan reaksi jemaat sinagoga itu ketika mereka diberi tahu bahwa khotbah yang sangat mereka sukai itu ternyata disusun tanpa kontribusi manusia sama sekali.

Apakah itu masa depan khotbah Kristen? Anda mungkin menjawab, “Tentu saja tidak.” Mungkin Anda tidak percaya hal seperti itu bisa terjadi. Namun bayangkan jika Anda mencoba menjelaskan tentang Google atau aplikasi Alkitab di ponsel pintar kepada seseorang 30 tahun yang lalu. Bagaimana jika AI yang dapat diakses di mana saja dapat menulis khotbah yang benar-benar ortodoks, berlandaskan Alkitab, dan memberikan argumentasi yang menarik bagi para pendeta setiap minggunya?

Garrison Keillor menceritakan sebuah kisah tentang seorang pria yang ditanya oleh pendetanya mengenai apakah dia percaya pada baptisan bayi. Pria itu menjawab, “Percaya? … Saya sudah melihat hal itu dilakukan!” Jika kita bertanya apakah kecerdasan buatan dapat mengetahui Alkitab, meneliti tema dan latar belakang, serta menulis penerapan-penerapan hidup dan kewajiban-kewajiban untuk bertindak—ya, kita sudah melihatnya.

Namun pertanyaan yang sesungguhnya bukanlah tentang kemungkinan teknologi. Bukan pula tentang etika kepemimpinan gereja. Pertanyaannya adalah tentang apa sebenarnya khotbah itu.

Ketika saya pertama kali memberi tahu pendeta saya bahwa saya pikir Tuhan mungkin memanggil saya untuk melayani penuh waktu—pada usia 12 tahun atau lebih—dia mengatakan kepada saya bahwa saya akan berkhotbah dalam tiga minggu lagi pada hari Minggu malam. Saya berkata, “Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Dia memanggil saya sekarang; maksud saya, ketika saya dewasa nanti.” Dia menjawab, “Baiklah, saya akan memanggilmu sekarang, dan saya akan mengajarimu apa yang harus kamu lakukan.” Dan dia melakukannya. Dia memberi saya sebuah buku yang berisi “panduan khotbah bagi pemula,” garis besar teks-teks Alkitab, dan penerapan-penerapan yang memungkinkan. Dia memberikan beberapa tips untuk menyampaikan dan menafsirkan teks.

Ketika Minggu malam itu tiba, saya pergi ke kamar mandi kecil di samping tempat pembaptisan di gereja Baptis kami lalu muntah sebelum dan sesudah berkhotbah. Khotbah itu sangat buruk—dan saya senang khotbah itu tidak direkam.

Saya tidak akan merekomendasikan untuk menangani situasi seperti itu, tetapi ada sesuatu yang indah di dalamnya. Pendeta saya tahu bahwa saya akan memperhatikan dengan cermat jemaat yang terdiri dari orang-orang yang saya kasihi dan mengasihi saya—yang mengajar saya di Sekolah Minggu dan kelas Training Union serta Sekolah Alkitab Liburan dan Bible sword drill. Dia tahu bahwa saya akan melihat wajah-wajah mereka yang akrab itu memandang saya dengan berseri-seri, meyakinkan bahwa mereka tetap ada bersama saya, tidak peduli betapa saya terbata-bata atau kehilangan arah.

Dia tahu bahwa setelah itu mereka akan menyemangati dan mendoakan saya, tidak peduli seberapa buruk khotbah yang saya sampaikan. Dan dia pun tahu bahwa kehadiran pria kecil ini di mimbar akan mengingatkan jemaat bahwa Injil terus berkembang di masa depan—bahwa Allah masih “mengirimkan terang” dan memanggil mereka yang terpanggil.

Pada saat itu, sesuatu terjadi pada saya—melampaui konten di halaman naskah khotbah saya atau cara saya mengucapkan kata-kata. Bahkan, saya tidak yakin apakah saya bisa mendeskripsikan apa sebenarnya “sesuatu” itu.

Selama bertahun-tahun, ketika mengajar kelas seminari atau melayani kelompok pendeta, saya mendapati bahwa masalah utama sebagian besar murid saya bukanlah kurangnya kompetensi dalam memahami kebenaran Alkitab atau berbicara di depan orang banyak.

Saya tahu ada beberapa pengkhotbah saat ini dan calon pengkhotbah yang tidak menganggap Alkitab atau pelayanan khotbah dengan serius. (Mengetahui hal itu? Saya pernah melihatnya!) Namun hal itu jarang terjadi pada hampir semua orang yang pernah saya ajar. Sebaliknya, bagi sebagian orang, kecenderungannya adalah membandingkan berbagai tafsiran dan kemudian membuat diagram teks menjadi poin-poin, subpoin, dan sub-subpoin.

Apa yang akhirnya mulai dilihat oleh banyak murid itu adalah bahwa momen khotbah lebih dari sekadar penggabungan dari bagian-bagiannya. Dan dalam kasus terbaik, audiens kita juga harus menyaksikan hal yang sama. Ya, berkhotbah membutuhkan seseorang yang mengetahui teks dan dapat menyampaikannya kepada jemaat—tetapi hal ini bukan hanya sekadar menyampaikan informasi.

Pengkhotbah sedang menyampaikan kabar baik. Hal ini berlaku bahkan ketika khotbah tersebut berbicara tentang penghakiman Allah. Setelah Yohanes Pembaptis memberi tahu para pendengarnya bahwa mereka adalah ular beludak yang harus melarikan diri dari murka yang akan datang, debu jerami yang akan segera dibakar dalam api yang tidak terpadamkan, Lukas menulis, “Dengan banyak nasihat lain Yohanes memberitakan Injil kepada orang banyak” (3:18).

Saat Anda mendengar khotbah, Anda tidak sedang mendengarkan pidato motivasi atau bahkan seminar alkitabiah, teologis, atau etika. Sebuah program AI kemungkinan besar akan mampu melakukan semua itu—bahkan mungkin dengan perhatian khusus diberikan pada tradisi doktrinal, afiliasi denominasi, dan terjemahan Alkitab pilihan.

Oleh karena ChatGPT dapat mereplikasi tulisan Ernest Hemingway atau William Shakespeare berdasarkan perintah, tidak ada alasan mengapa ChatGPT tidak dapat mengikuti instruksi untuk menulis khotbah dengan gaya, misalnya, Charles Spurgeon, John Piper, atau Joel Osteen.

Kepada gereja di Korintus, rasul Paulus menulis tentang dirinya dan orang-orang yang bersamanya seperti ini: “Jadi kami ini adalah utusan-utusan (duta besar) Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor. 5:20). Ketika kita mendengarkan firman yang diberitakan, kita tidak hanya mendengar satu kata tentang Tuhan tetapi satu kata dari Tuhan.

Bisakah duta besar mengacaukan komunikasi dari kedutaan? Tentu. Bisakah seorang diplomat yang tidak bermoral menulis ulang transmisi tersebut? Hal ini sering terjadi. Itulah sebabnya mengapa jemaat memerlukan landasan alkitabiah dan hikmat Roh Kudus untuk mempertimbangkan pesan yang disampaikan.

Bobot pemberitaan Firman tidaklah sama dengan mengumpulkan data dan menyajikannya. Dan yang terbaik, kita sebagai audiens mendengarkan dari sesama orang berdosa yang telah ditebus—orang yang telah bergumul dengan teks tersebut. Saat kita mendengarkan, kita tidak seperti peneliti yang sedang mencari informasi, melainkan seperti orang tua dari seorang prajurit yang hilang dalam tugas, yang sedang menunggu petugas di depan pintu untuk memberi kabar tentang anak kita.

Bahkan, kepentingannya lebih signifikan lagi—Kabar Baik itu malah lebih menggembirakan.

Pesan tersebut—baik “Anak Anda ditemukan hidup” atau “Anak Anda hilang”—dapat benar-benar menjungkirbalikkan kehidupan orang tua. Kata-kata dalam pesan tersebut sangat penting. Namun intinya di sini adalah bahwa jenis pesan seperti ini tidak boleh disampaikan melalui teks atau email. Berita yang mengubahkan hidup seperti itu perlu disampaikan oleh manusia, secara langsung.

Bot percakapan dapat melakukan penelitian. Bot percakapan bisa menulis. Mungkin bot percakapan bahkan bisa berpidato. Namun bot percakapan tidak bisa berkhotbah.

Russell Moore adalah pemimpin redaksi Christianity Today dan memimpin Proyek Teologi Publik.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube