Memerangi Perdagangan Seks dengan Menghadirkan Diri

Compassion First Indonesia tidak memaksa masuk ke rumah-rumah, melainkan merawat para korban dan membimbing para orang muda berisiko yang tinggal di area permakaman.

Mala (kiri) dan Susi (kanan), yang mengikuti kelas Compassion First.

Mala (kiri) dan Susi (kanan), yang mengikuti kelas Compassion First.

Christianity Today June 26, 2024
Photography by Angela Lu Fulton

Dalam sebuah kompleks permakaman di Jawa Barat, seorang wanita beristirahat di kasur yang diletakkan di atas nisan di bawah pohon ek. Permakaman ini bukan hanya rumah bagi mereka yang telah meninggal, tetapi juga bagi mereka yang hidup miskin dan tidak punya tempat tinggal.

Warga komunitas Permakaman Mawar mengumpulkan sampah, menarik becak, atau membersihkan kuburan di siang hari. Pada bagian utara permakaman, sekitar 200 keluarga tinggal di bangunan batu bata dan seng yang berjajar di atas selokan yang dipenuhi sampah dan air limbah yang keruh. Pada malam hari, banyak wanita melakukan prostitusi untuk menafkahi keluarga mereka. Anak-anak perempuan mereka sering kali dijual—atau diculik—untuk perdagangan seks. (CT mengubah nama-nama permakaman dan hanya menggunakan nama depan penghuninya untuk alasan keamanan.)

Compassion First (CF) menawarkan bimbingan belajar, kelas pengasuhan anak, dan kelas memasak bagi komunitas tersebut di teras beratap biru di kompleks permakaman. Baru-baru ini mereka pindah ke pusat komunitas baru di dekatnya. CF berfokus pada upaya memerangi perdagangan seks di Indonesia, dan di permakaman ini, hal tersebut berarti mengembangkan komunitas di antara keluarga-keluarga yang rentan terhadap eksploitasi.

Susi dan Mala, dua ibu yang telah tinggal di komunitas ini sepanjang hidup mereka, mengatakan bahwa dahulu para tetangga jarang sekali mengenal satu sama lain. CF hadir di masa pandemi COVID-19—awalnya untuk menyediakan makanan bagi masyarakat sekitar dan beasiswa untuk anak-anak. Sejak itu, lingkungan tersebut menjadi lebih akrab dan memiliki sumber daya yang lebih baik. Bagi para gadis muda, hal ini dapat membuat perbedaan antara apakah mereka diperdagangkan atau tidak.

Susi belajar dari kelas memasak tentang cara membuat seblak (makanan pedas yang terbuat dari kerupuk basah dan daging atau makanan laut yang disiram sambal) dan kini ia bisa menjualnya untuk menambah penghasilan. Mala belajar tentang lima bahasa kasih di kelas pengasuhan anak dan hal ini membantu dia dalam berelasi dengan anak dan suaminya. “Saya belajar bahwa anak-anak itu seperti buah durian,” katanya. “Runcing di luar dan lembut di dalam.”

Mala mengatakan, sejak CF memulai programnya, semua ibu telah memulai usaha kecil-kecilan.

“Biasanya suatu kelompok hanya datang sebentar [lalu pergi], tetapi YKYU datang ke sini secara berkelanjutan,” kata Mala. (YKYU adalah nama Indonesia untuk CF.) “Mereka sangat peduli kepada kami, baik anak-anak maupun ibu-ibu.”

Berada di dalam sebuah komunitas “secara berkelanjutan” adalah hal yang menjadikan Compassion First efektif di Indonesia dan unik di antara upaya-upaya anti-perdagangan seks internasional di sana. Selain dua program pengembangan komunitas di permakaman Jawa Barat, organisasi yang berbasis di Oregon ini juga mengelola dua tempat penampungan untuk para gadis yang diselamatkan dari perdagangan seks dan sebuah rumah singgah.

Mereka juga bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu memulangkan gadis-gadis yang diperdagangkan itu agar bisa kembali ke rumah mereka, bermitra dengan kelompok-kelompok lain untuk memantau terminal penyeberangan yang digunakan para pelaku perdagangan orang, dan mengadakan pelatihan bagi polisi, gereja, dan komunitas setempat tentang cara mengenali perdagangan orang.

Pekerjaan ini berjalan lambat dan penuh tantangan, serta tentangan dari para pelaku perdagangan orang yang memiliki koneksi dengan mafia dan polisi korup telah mendorong para pemimpin CF mempertimbangkan untuk menyerah. Namun, di tengah kelelahan itu, mereka mengatakan bahwa mereka telah melihat Tuhan mendatangkan orang-orang yang tepat dan sumber daya yang tepat pada waktu yang tepat.

“Kami menceritakan tentang pekerjaan kami … mengenai perawatan sehari-hari, advokasi setiap hari,” kata Traci Espeseth, direktur pengembangan Compassion First. “Dan itu semua benar-benar kembali lagi kepada kesetiaan untuk hadir hari demi hari dan mengatakan 'ya' terhadap undangan Tuhan.”

Sebuah permakaman di Jawa Barat yang dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang miskin.Photography by Angela Lu Fulton
Sebuah permakaman di Jawa Barat yang dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang miskin.

Menyediakan sumber daya bagi korban perdagangan seks anak

Diperkirakan 70.000–80.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual, menurut laporan Trafficking in Persons (TIP; Perdagangan Orang) Departemen Luar Negeri AS tahun 2021 tentang Indonesia. Oleh karena wilayah kepulauan ini sangat luas, anak-anak perempuan sering dipindah-pindahkan di antara 6.000 pulau yang berpenghuni, sehingga sulit untuk melacak dan membawa mereka pulang.

Para pelaku perdagangan seks sering menggunakan utang atau tawaran pekerjaan palsu untuk menjebak para anak perempuan—terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin—untuk menjadi pekerja seks. Tempat-tempat wisata seperti pulau Bali menjadi tujuan wisata seks anak dari mancanegara maupun lokal.

Pada tahun 2022, laporan TIP menempatkan Indonesia pada peringkat 2, yang berarti bahwa meskipun pemerintah belum mencapai standar minimum untuk memberantas perdagangan orang, namun pemerintah telah melakukan upaya bersama.

Pemerintah telah menempuh perjalanan panjang sejak pendiri dan CEO CF, Mike Mercer, pertama kali bekerja di Indonesia pada tahun 2010. Sebelumnya, Mercer mengerjakan bantuan pasca-Badai Katrina melalui gereja Foursquare-nya di Beaverton, Oregon. Setelah mengetahui tentang perdagangan seks di Asia Tenggara, ia berusaha untuk bekerja di negara yang kurang terlayani. Kenalan-kenalan dia mengatakan kepadanya bahwa Indonesia mempunyai kebutuhan yang besar, sebab LSM lain telah mencoba dan gagal karena sulitnya pekerjaan tersebut.

Ketika kelompok-kelompok anti-perdagangan seks lainnya berkumpul di Thailand dan Kamboja, ia pergi ke Indonesia, di mana denominasinya memiliki 13.000 gereja. Dia tahu bahwa untuk berhasil, dia memerlukan mitra lokal.

Pada tahun 2010, CF membuka sebuah tempat penampungan bagi anak-anak korban perdagangan seks di provinsi Sulawesi Utara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Karena kemiskinan di provinsi ini dan fakta bahwa perempuan dari wilayah tersebut berkulit cerah (yang dianggap menarik di Indonesia), provinsi ini memiliki jumlah perempuan yang diperdagangkan tertinggi kedua di Indonesia.

CF membangun koneksi dengan penegak hukum di kota tersebut, khususnya dengan kepala unit investigasi perempuan dan anak. “Kami saling bahu-membahu sejak awal karena kami memiliki tujuan yang sama,” kata Mercer. “Menurut saya, ini adalah pengaturan Tuhan.”

Kala itu, polisi sangat ingin CF membangun sebuah tempat penampungan karena mereka baru saja membongkar jaringan perdagangan seks dan memulangkan gadis-gadis tersebut ke rumah mereka di Sulawesi Utara. Namun karena keluarga dan masyarakat belum siap menerima mereka–beberapa berasal dari rumah yang tidak aman dan banyak yang mendapat stigma atas masa lalu mereka–maka mereka pun kesulitan untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat, dan semua gadis-gadis itu pun kembali diperdagangkan.

Polisi pun merasa kehilangan semangat. Jadi ketika CF menghubungi mereka untuk memberikan layanan perawatan lanjutan bagi para gadis yang berhasil diselamatkan, penegak hukum setempat sangat ingin membantu.

Kesulitan CF di awal pelayanannya

Dengan dana yang didonasi dari Amerika Serikat, CF mempekerjakan staf dari Indonesia, melatih mereka dengan bantuan kelompok-kelompok veteran perdagangan seks seperti Transitions Global, dan mulai menampung anak-anak perempuan. Namun, semua itu masih belum cukup.

“Pada awalnya, kami harus mencukupi kebutuhan sambil mengerjakan pelayanan ini,” kata Winda Winowatan, presiden CF Indonesia. Berasal dari Sulawesi Utara, Winowatan bekerja di gereja sebelum bergabung dengan organisasi ini. Ia mengatakan bahwa meskipun mereka memiliki panutan dari belahan dunia lain, tetapi secara lokal, “kami tidak memiliki siapa pun yang bisa mengajari kami.”

Ervisllia Valentina, salah satu ibu asuh pertama di Rumah Sarah di Sulawesi Utara, mengalami banyak tantangan tersebut secara langsung. Ia tinggal 24 jam sehari, 7 hari seminggu, di rumah singgah bersama ibu asuh lainnya dan dua penjaga keamanan. Bahkan di hari liburnya, Ervillia tidur di rumah singgah tersebut. Bersama-sama, mereka merawat empat orang gadis.

Suatu malam, keempatnya melarikan diri. “Mereka ketakutan karena mereka akan menghadapi kasus hukum,” di mana mereka harus memberikan kesaksian yang memberatkan para pelaku perdagangan orang, kata Ervillia. Upaya penuntutan ini akan membuat marah para pelaku perdagangan orang, yang terkait erat dengan mafia. Ervillia ingat para anggota mafia mengendarai sepeda motor di luar rumah singgah untuk mengintimidasi mereka. Terkadang, para gadis dan tim CF juga harus menginap di hotel.

Ketika seorang gadis melarikan diri, personel yang menangani kasus ini akan menghubungi orang tua, teman, dan media sosial mereka untuk mencari tahu ke mana mereka pergi. Kemudian mereka membawanya kembali dan berdiskusi apakah rumah singgah tersebut merupakan tempat yang tepat bagi mereka. Awalnya keempat gadis itu memutuskan untuk kembali ke rumah singgah.

Suatu saat setelah seorang gadis melarikan diri dan Ervillia menemukannya, gadis itu mengambil pisau dari dapur dan mengancam akan membunuh Ervillia. Sejak saat itu, CF memutuskan bahwa para ibu asuh tidak boleh tinggal di rumah singgah 24 jam sehari, melainkan tinggal di luar dan bertukar giliran dengan yang lain.

Valerie Bellamy, direktur operasional CF, mengatakan bahwa meskipun para gadis itu memilih untuk masuk ke rumah singgah, sebagian besar dari mereka mencoba melarikan diri. Setiap saat hal itu terjadi, CF akan mencari mereka lagi: “Ada saatnya di mana ia menyadari bahwa dia layak untuk diperjuangkan.”

Di kompleks permakaman, Compassion First mengadakan kelas di teras beratap biru.Fotografi oleh Angela Lu Fulton
Di kompleks permakaman, Compassion First mengadakan kelas di teras beratap biru.

Intervensi yang ajaib

Terkadang, bahaya yang dihadapi sangat besar. Mercer mencatat bahwa salah satu kasus pengadilan pertama mereka di tahun 2011 terjadi di sebuah kota kecil, dan CF menghadapi perlawanan tidak hanya dari mafia, melainkan juga dari kepolisian yang korup. Selama persidangan, seorang gadis memberikan kesaksian dan menyebutkan nama tujuh pejabat pemerintah yang membeli dirinya. Beberapa dari mereka sedang duduk di ruang sidang.

“Di [saat-saat seperti inilah] setiap orang dalam tim kami seharusnya sudah … pulang ke rumah, dan semua orang seharusnya ingin berhenti,” kata Mercer. “Salah satu cara kami mengetahui bahwa tangan Tuhan menyertai kami adalah bahwa semua orang itu masih bekerja untuk kami hingga saat ini. Ini sangat fenomenal.”

Kisah mereka dimuat di surat kabar, yang dilihat oleh seorang pejabat kedutaan AS, yang kemudian meminta untuk bertemu dengan Mercer dan staf CF. Sebuah foto dari pertemuan itu pun dipublikasikan, dan tiba-tiba semua penentangan itu berhenti ketika polisi menyadari bahwa dunia sedang memperhatikan. Melalui koneksi CF dengan kedutaan besar di Indonesia, mereka dapat mengundang kepala Biro Kepolisian Portland dan pejabat pemerintah AS lainnya untuk melatih polisi Indonesia setempat tentang cara menyelidiki kasus perdagangan seks dan cara mengidentifikasi serta berinteraksi dengan para korban.

“Orang Barat tidak bisa benar-benar menerobos masuk dan mendobrak pintu,” kata Mercer. “Siapa pun yang mengatakan bahwa mereka melakukan hal itu, melakukan tindakan yang berbahaya. … Kami di sini untuk bermitra dengan rekan-rekan kami yang secara hukum mampu melakukan pekerjaan tersebut, dan kemudian kami di sini untuk menjaga orang-orang yang mereka tangani.”

Dijadikan percontohan oleh pemerintah

Seiring berjalannya waktu, CF telah mampu meningkatkan pelayanan mereka terhadap anak-anak perempuan serta staf mereka. Mercer mengatakan bahwa mereka menyadari perlunya mengumpulkan lebih banyak uang untuk mempekerjakan lebih banyak orang dan membayar upah yang kompetitif untuk mempertahankan mereka, karena bahaya dari pekerjaan tersebut. Dengan memberikan pelatihan ekstensif kepada staf mereka dan dukungan untuk mengatasi trauma yang mereka alami, mereka telah mencegah pergantian staf yang sering terjadi pada lembaga-lembaga lain. Saat ini CF memiliki lebih dari 100 staf dan 90 persennya adalah orang Indonesia.

Di rumah singgah, CF memberikan konseling traumatik, homeschooling, advokasi hukum kepada anak-anak perempuan tersebut dan kesempatan untuk mengeksplorasi keterampilan serta hobi mereka sehingga mereka dapat mengejar jalur karier yang berbeda di masa depan.

“Ada kebutuhan untuk bertransisi dari bertahan hidup hari demi hari menuju kehidupan yang memikirkan hari esok, apa yang menjadi impian mereka,” kata Bellamy. Merujuk pada tipikal anak perempuan yang mereka layani, ia berkata, “Kami berharap perdagangan orang tidak menjadi bagian dari kisahnya, meski demikian masa depannya lebih cerah dari sebelumnya.”

Pada saat yang sama, mereka bekerja sama dengan keluarga dari para gadis tersebut untuk memastikan mereka siap menerima kepulangan anak perempuan mereka. Dalam beberapa kasus, orang tualah yang memutuskan untuk menjual putri mereka, sehingga CF perlu mencari keluarga lain yang aman di dalam masyarakat.

Sejak didirikan, CF telah membantu 67 anak perempuan dan 24 kasus disidangkan, dengan total 23 pelaku perdagangan orang divonis bersalah. Beberapa kasus menghasilkan putusan hukuman berlapis dan beberapa lainnya tidak.

Pemerintah Indonesia kini menjadikan Rumah Sarah sebagai percontohan. Winowatan telah membuat petunjuk langkah demi langkah bagi pemerintah Sulawesi Utara dalam menangani korban perdagangan orang.

CF juga telah membuahkan hasil dari kemitraannya dengan penegak hukum setempat: Pada tahun 2015, seorang pejabat pemerintah di provinsi Papua mengatakan kepada Mercer bahwa sejak adanya pelatihan dua tahun sebelumnya, mereka telah melihat adanya penurunan sebesar 50 persen dalam perdagangan anak perempuan dari Sulawesi Utara ke Papua.

Sejak tahun 2022, CF bermitra dengan Love Justice International untuk memantau terminal penyeberangan di Sulawesi Utara. Mercer mendengar bahwa para pelaku perdagangan orang kini tidak bisa menurunkan anak perempuan dari kapal di Sulawesi Utara, sehingga mereka harus mencari anak perempuan dari provinsi lain atau mengambil rute yang lebih mahal.

Pergi ke tempat mereka diundang

Ada banyak kebutuhan di tempat lain di Indonesia, namun Mercer tidak ingin kelompok ini mendikte ke mana mereka harus pergi untuk memberikan bantuan. Sebaliknya, mereka menunggu untuk diundang ke berbagai tempat yang berbeda.

Mereka memperluas pelayanan mereka ke permakaman-permakaman di Jawa Barat pada tahun 2012 setelah beberapa pekerja seks wanita mengundang mereka ke dalam komunitasnya. Mercer pernah mendengar bahwa permakaman di pusat-pusat kota adalah akhir perjalanan bagi para pekerja seks, karena para wanita di sana terjebak dalam siklus prostitusi dari generasi ke generasi atau telah “beradaptasi dengan jaringan prostitusi yang jahat ini dan mereka menua dalam segala hal,” Mercer dikatakan. “Ini adalah perhentian terakhir.”

Bersama pemimpin pelayanan Kristen setempat, tokoh perdamaian, dan sekotak roti isi, staf CF mengunjungi tempat yang mereka sebut “Permakaman Marigold” setelah hari gelap dan berkenalan dengan para wanita yang menjual diri di antara batu-batu nisan. Pada kunjungan kedua, mereka bertanya apakah mereka dapat mengatur dan mengundang para wanita tersebut ke sebuah perayaan Natal. Para wanita itu setuju.

Dari sana, relasi pun berkembang. CF mulai lebih memahami kebutuhan mereka, dan pada tahun 2015, mereka membuka pusat komunitas pertama di dekat permakaman, menyediakan beasiswa, bimbingan belajar, dan kelas-kelas. Setiap tahun, mereka rutin mengadakan perayaan, sekarang untuk merayakan_Thanksgiving_, bukan Natal.

Kelas kewirausahaan CF mengajarkan orang dewasa dan remaja cara membuat jurnal dengan menggunakan kain sisa dari batik Indonesia yang bermotif cerah. Jurnal-jurnal tersebut kemudian dijual di Amerika atau kepada wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada para pelajar.

Salah satu anggota kelas, Asya, 22 tahun, telah datang ke pusat pelatihan tersebut sejak ia kelas enam SD. Ia mulai membuat jurnal saat remaja di sela-sela mengikuti kelas di pusat pelatihan tersebut. Dari keterampilan yang ia pelajari di kelas itu, termasuk mengelola keuangan dan memotret produk, ia memulai usaha kecil-kecilan dengan berjualan sate di pinggir jalan dan membuat rangkaian bunga untuk acara-acara khusus.

Yang paling ia hargai adalah komunitas yang ia temukan di kelas tersebut. “Saya berbagi segalanya dengan mereka,” kata Asya.

Ekspansi di Jawa

Undangan untuk bergabung ke komunitas Permakaman Mawar, tempat Mala dan Susi tinggal, datang ketika COVID-19 memporak-porandakan komunitas yang sudah bergumul berat. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan tidak bisa memberi makan anak-anak mereka.

CF membantu menyediakan makanan bagi keluarga-keluarga tersebut dan mengundang mereka untuk bergabung dalam perayaan Thanksgiving di Pusat Pelatihan Marigold. Pada acara itu, keluarga-keluarga tersebut mengatakan kepada staf bahwa mereka juga menginginkan sumber daya dan peluang yang sama. CF dengan penuh semangat menyetujuinya.

“Saya berharap tahun 1997 YKYU ada di sini sehingga saya juga bisa belajar dan bukannya menikah di usia 16 tahun,” kata Mala dengan sedih. Dia putus sekolah setelah tahun pertama SMP karena ayahnya meninggal, dan keluarganya tidak punya uang untuk menyekolahkannya. “Saya maunya lebih memilih bersekolah, jadi itulah yang saya katakan kepada anak-anak saya. …Saya mengajak mereka untuk mengikuti program [YKYU] agar mereka bisa mendapat dukungan untuk pendidikan mereka, karena sebagai seorang ibu, saya tidak bisa membantu mereka.”

Ketika polisi menghubungkan CF dengan lebih banyak anak perempuan yang diselamatkan dari Jawa Barat yang mayoritas penduduknya muslim, CF menyadari bahwa mereka perlu membuka sebuah rumah singgah di wilayah tersebut. Hal ini akan memungkinkan anak-anak perempuan itu untuk tetap berada dalam komunitas mereka dan menghilangkan kekhawatiran di kalangan orang tua muslim bahwa anak perempuan mereka akan “dikristenkan” jika mereka pergi ke Sulawesi Utara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Oleh karena itu pada tahun 2019 CF membuka rumah singgah kedua yang diberi nama Rumah Anugerah. Ervillia, yang bekerja di rumah singgah tersebut sebagai koordinator program, mengatakan bahwa mereka tidak pernah memaksakan agama Kristen pada anak-anak perempuan yang sebagian besar muslim, namun mereka diberi kesempatan untuk belajar tentang Yesus. Seminggu sekali, mereka mengadakan “malam berbagi” di mana para pendeta dan relawan berbagi tentang kehidupan mereka dan menceritakan kisah-kisah dari Alkitab.

“Salah seorang gadis dalam program perawatan kami mengatakan bahwa dia merasa sangat dikasihi dan diterima oleh staf kami, sehingga dia merasa senang mengikuti program ini,” kata Ervillia. “Begitulah cara kami melihat perubahan dalam hidupnya dan keberhargaan dirinya.”

Meskipun Rumah Anugerah ditutup pada tahun 2021 karena masalah pemilik tanah, pada waktu yang hampir bersamaan, seorang pendeta di Jawa Barat menyumbangkan propertinya kepada CF, mengajak mereka membangun sebuah rumah singgah di sana untuk membantu gadis-gadis setempat. Saat ini, rumah singgah tersebut merawat tiga anak perempuan.

Pada masa mendatang, Mercer menilai CF akan terus memasuki tempat-tempat baru yang membutuhkan pelayanan mereka. Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa mereka berharap Compassion First dapat melayani di setiap provinsi di negara ini. Saat ini, CF memiliki empat kantor—termasuk kantor manajemen kasus di Bali.

“Selama Indonesia masih mengajak kami untuk melayani, maka itulah yang akan kami lakukan,” kata Mercer. “Kami bertumbuh karena penugasan, bukan karena ambisi.”

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

News

Generasi Z Protestan Ingin Dikenal karena Hobi dan Bakat Mereka

“Lebih mudah mengatakan kepada seseorang [bahwa] Anda pandai bernyanyi atau bermain sepak bola daripada memiliki iman atau terlibat aktif di gereja.”

Gereja yang Cemas

Mengapa gereja kesulitan menangani penyakit mental dengan baik dan bagaimana kita dapat membantu mereka yang sakit mental dengan lebih baik?

Imam Besar Saya Memahami Penderitaan Saya

Belas kasih Yesus terletak pada pemahaman-Nya yang menyeluruh terhadap luka kita, bukan hanya pada kemampuan-Nya untuk membereskan luka tersebut.

Tidak Apa-apa Jika Anda Mengalami Tahun Baru yang Tidak Menyenangkan

Kita tahu kekudusan tidak selalu membawa pada kebahagiaan. Namun bagaimana jika ketidakbahagiaan kita itu sendiri bisa menjadi sesuatu yang kudus?

12 Artikel Terpopuler dalam Bahasa Indonesia di Christianity Today Tahun 2024

Temukan topik-topik yang paling diminati oleh pembaca CT dalam Bahasa Indonesia sepanjang tahun ini.

Tuhan Setia dalam Kemenangan dan Keputusasaan

Saya memilih Kamala Harris dan berduka atas kekalahannya. Namun saya ingin menjaga politik tetap pada tempatnya, tunduk kepada Yesus.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube