Bagaimana Kita Tetap Berada di Gereja Sama Penting dengan Alasannya

Para penyintas pelecehan rohani yang bergabung dengan jemaat gereja baru masih perlu sembuh dari luka hati mereka.

Christianity Today May 31, 2024
Denys Amaro / Unsplash

Saat ini, orang-orang meninggalkan gereja karena berbagai alasan—mulai dari pelecehan rohani atau seksual yang dilakukan oleh para pemimpin, perpecahan gereja, legalisme, atau hiper-politisasi. Sebuah survei Barna baru-baru ini menemukan bahwa dua sumber utama keraguan bagi sebagian besar orang percaya adalah pengalaman negatif di masa lalu dengan lembaga keagamaan dan kemunafikan orang-orang beragama.

Namun tidak semua orang yang mempunyai pengalaman buruk dengan komunitas iman memilih untuk meninggalkan gereja atau kekristenan sama sekali. Beberapa dari mereka tetap berada di gereja yang melukai mereka, sering kali karena relasi yang berharga atau rasa kesetiaan terhadap institusi tersebut. Sebagian lainnya mencoba untuk menekan tombol reset dengan memulai dari awal di gereja, denominasi, atau tradisi yang baru.

Bagaimanapun, luka masa lalu itu tidak akan hilang. Bahkan, pengalaman di gereja yang baru yang ditambahkan di atas pengalaman lama dapat memperburuk rasa sakit hati bagi beberapa orang yang bertahan. Bangku-bangku gereja saat ini penuh dengan orang-orang yang punya bekas luka—atau luka yang belum kering—karena gereja. Kita sering berbicara tentang mengapa orang harus tetap bertahan di gereja, tetapi terkadang itu adalah pertanyaan yang salah. Sebaliknya, saya pikir kita perlu berbicara lebih banyak tentang bagaimana kita tetap berada di gereja.

Saya harus menjawab pertanyaan ini untuk diri saya sendiri sebagai seorang penyintas dari luka karena gereja. Saya sekarang menghadiri gereja yang berbeda, tetapi perjalanan untuk tetap terhubung dengan gereja lokal setelah mengalami pelecehan tidaklah mudah.

Saya juga belajar dari bagaimana orang lain menjalani hubungan mereka dengan gereja lokal setelah tersakiti oleh saudara saudari seiman mereka. Dan apa yang saya temukan adalah bahwa mereka yang memilih untuk tetap terhubung dengan komunitas iman setempat meskipun mereka mengalami trauma, mereka memiliki wawasan bijaksana tentang kepercayaan, pengampunan, dan kearifan—yang sangat berharga tidak hanya bagi mereka yang terluka, melainkan juga bagi seluruh tubuh Kristus.

Sebutkan dan kemukakan secara spesifik luka karena gereja Anda.

Dalam hal memproses luka karena gereja, ada baiknya jika Anda mengetahui bahwa Anda tidak sendirian dan orang lain juga mengalami hal yang sama. Akan tetapi, penting juga untuk mengidentifikasi sumber trauma Anda sendiri dan memisahkannya dari narasi pelecehan lainnya di gereja pada umumnya.

Rachel Baker, seorang istri pendeta, menggambarkan proses berpikirnya setelah mengalami pengalaman yang menyakitkan di gereja sebelumnya: “Untuk memulai proses penyembuhan dan pengampunan, saya harus menunjukkan dengan tepat ‘siapa’ di balik rasa sakit itu. Begitu saya bisa mengidentifikasi ‘siapa’ yang sebenarnya melakukan tindakan yang menyakiti hati saya, maka saya bisa memisahkan mereka dari gereja secara keseluruhan. Tiba-tiba, saya tidak benar-benar mengalami ‘sakit hati karena gereja’ melainkan lebih kepada ‘sakit hati relasional.’”

Pembedaan tersebut bisa sangat membantu. Hubungan yang hancur dengan anggota gereja lain dapat meninggalkan luka yang mendalam dan meluas ke persahabatan lain dalam jemaat. Luka hati semacam itu mungkin merupakan bagian konstelasi yang lebih besar dari rusaknya hubungan yang berputar di sekitar pemimpin yang kasar secara rohani—atau mungkin hanya terbatas pada pergumulan antara dua individu. Itulah sebabnya mengapa penting untuk mengidentifikasi sumber dan cakupan dari luka tersebut.

Namun bagi banyak orang, menentukan hal ini tidaklah mudah. Meskipun tidak semua pengalaman luka karena gereja mengarah pada trauma agama, tetapi pola-pola cedera moral dan pelecehan rohani yang berulang jauh lebih meresap dibanding kerusakan hubungan yang terisolasi.

Seorang wanita mengatakan kepada saya bahwa ia melihat banyak contoh pemimpin pria yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, berbohong, dan menyembunyikan amoralitas. Sekarang ia berjuang untuk tetap membuka hatinya, melawan sinisme dan keinginan untuk menarik diri. Dia menghargai waktu yang dia habiskan bersama seorang konselor profesional berlisensi sebagai hal yang penting dalam membantunya tetap terhubung dengan gereja. “Saya sering menangis, mengakui kesalahan dan dosa saya dalam merespons, dan memilih untuk taat dibandingkan berputus asa,” katanya.

Di beberapa lingkungan gereja terdapat peningkatan kesadaran tentang perlunya jemaat untuk mendapatkan informasi tentang trauma agar bisa melayani para penyintas pelecehan rohani dengan lebih baik.

Pada tahun-tahun awal setelah saya mengalami pelecehan rohani, konseling dan sesi dengan pembimbing rohani yang matang membantu saya mengenali dan memproses rasa sakit saya dan mulai sembuh—dan belajar bagaimana menghadapi nasihat buruk yang saya terima dari orang lain.

Beberapa teman yang bermaksud baik menanggapi kebingungan, kemarahan, dan kesedihan saya dengan kata-kata klise seperti, “Kamu tahu, tidak ada gereja yang sempurna! Dan kalaupun ada, kamu atau saya akan merusaknya saat kita masuk ke dalamnya.” Saya sudah membaca Surat-surat para rasul (Epistles) dan mengetahui bahwa Alkitab penuh dengan studi kasus tentang gereja-gereja yang tidak sempurna.

Akan tetapi, seorang konselor yang baik membantu saya memahami bahwa respons semacam ini adalah bentuk jalan pintas rohani yang tidak dimaksudkan untuk menghibur saya, melainkan bertujuan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan oleh rasa sakit yang saya alami. Naluri serupa mempengaruhi teman-teman Ayub dalam tanggapan mereka (yang salah) terhadap penderitaannya.

Sebaliknya, penyembuhan holistik dari luka karena gereja memerlukan pengakuan yang jujur terhadap sifat dan tingkat kepedihan kita—daripada mencoba untuk “berpaling” (move on) terlalu cepat darinya.

Dalam episode bonus siniar The Rise and Fall of Mars Hill, Mike Cosper mewawancarai terapis Kristen, Aundi Kolber, yang mempelajari dampak trauma rohani pada tubuh kita—merujuk pada karya-karya yang berpengaruh seperti bukukarya Bessel van der Kolk, The Body Keeps the Score. “Kita membawa bekas luka, kita membawa cedera. … Dan pada titik tertentu, saya percaya tubuh berkata, Cukup,” kata Kolber. “Saya percaya itu adalah anugerah Tuhan.”

Seperti yang dicatat oleh Russell Moore, hal yang sama juga dapat terjadi dalam tubuh Kristus secara keseluruhan: “Apa yang tidak diperbaiki akan terulang kembali—dan apa yang tidak direformasi tidak dapat dihidupkan kembali.”

Ubah gereja, denominasi, atau tradisi.

Namun, bagi banyak penyintas, alasan utama mereka akhirnya tetap bertahan di gereja adalah karena mereka bergabung dengan jemaat, denominasi, atau tradisi yang berbeda.

Pelecehan rohani sering kali dapat membentuk kembali prioritas, perspektif, dan preferensi kita. Misalnya, jika seorang penyintas disakiti oleh seorang pemimpin yang narsistik atau gereja besar yang megah, dia mungkin akan mencari gereja lokal dengan struktur kepemimpinan yang terdesentralisasi atau jemaat yang lebih kecil dan sederhana. Atau para penyintas dari konteks gereja korporat mungkin mencari komunitas yang mengerjakan pelayanan lebih seperti sebuah keluarga daripada sebuah bisnis.

Namun ada juga orang-orang yang tercederai oleh gereja-gereja yang menampilkan diri sebagai keluarga yang sehat di luar, tetapi di dalamnya disfungsi. Dan sayangnya, doktrin yang kuat saja tidak serta-merta menciptakan komunitas rohani yang sehat.

Konselor Jeff VanVonderen mengingatkan kita bahwa model gereja yang sehat dalam Perjanjian Baru adalah tempat di mana ada dukungan, kasih, dan ruang untuk berproses. Dia menyarankan untuk mengamati bagaimana para anggota berinteraksi satu sama lain untuk mengidentifikasi apakah komunitas tersebut merupakan komunitas yang kuat atau apakah komunitas tersebut berpotensi menjadi tempat untuk pelecehan rohani.

Wendy Alsup adalah bagian dari gereja besar non-denominasi Mars Hill yang sekarang sudah tidak ada lagi di Seattle. Lebih dari satu dekade kemudian, dia sekarang tinggal di wilayah lain di negaranya dan menghadiri sebuah gereja denominasi yang kecil.

“Saya kini memiliki kedewasaan dan kebijaksanaan mengenai pemimpin seperti apa yang harus saya cari, yang tidak saya miliki beberapa tahun lalu,” kata Alsup. “Saya dulu terpikat dengan yang khotbah yang dinamis dan pertumbuhan yang cepat. Hal-hal itu sekarang membuat saya gugup… Saya tidak tertarik lagi dengan acara-acara besar di Minggu pagi dan hampir tidak tahan untuk menjadi bagian dari acara-acara tersebut.”

Meski begitu, masih banyak penyintas yang meninggalkan gereja yang melakukan pelecehan, tetapi belum menemukan atau bergabung dengan gereja lain karena berbagai alasan, termasuk pandemi. Bahkkan, seperti yang dikatakan Mike Moore dalam sebuah tulisan untuk CT, kekacauan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuat banyak orang percaya terjebak dalam “api penyucian gerejawi,” tidak yakin bagaimana caranya untuk kembali terlibat dengan gereja.

Setelah tujuh tahun berada di gereja pedesaan yang dipimpin oleh seorang pendeta yang narsis, seseorang yang saya kenal mengunjungi gereja lain di kota bersama suaminya sesaat sebelum COVID-19 melanda. Setelah bertahun-tahun kesepian di gereja lama mereka, pasangan mantan misionaris ini berharap untuk akhirnya dapat menikmati sebuah komunitas yang nyata. Namun karena beberapa masalah kesehatan yang serius, mereka tidak dapat menghadiri kebaktian secara tatap muka.

Saya bertanya kepada teman saya, apa yang membuat mereka tetap terhubung dengan gereja dan terpelihara secara rohani, dan dia menyebutkan beberapa hal. Selain mengikuti kebaktian hari Minggu secara daring dan berkomunikasi dengan tim kepemimpinan gereja lokal, mereka juga bersekutu dengan teman-teman rohani yang telah lama mereka kenal dan memanfaatkan beragam materi pengajaran serta materi renungan yang tersedia daring.

“Kami percaya bahwa ada sesuatu yang kuat dalam keterkaitan kita yang setia dengan gereja lokal, bahkan ketika gereja tersebut belum tentu setia kepada kita,” katanya. “Kami percaya bahwa Tuhan dapat bekerja di dalam dan melalui kami, terlepas dari apa yang kami lihat dan alami, dan sekalipun ada rasa sakit. Ini sulit. Ini menyakitkan. Kami berharap ini berbeda. Namun kami tetap bertekun.”

Pada masa-masa awal sakit hati saya dengan gereja saya sendiri, saat menghadiri kebaktian hari Minggu, bagi saya rasanya terlalu berat, namun saya memelihara hubungan dengan tubuh Kristus dengan bergabung dalam komunitas pemahaman Alkitab dan mencari cara lain untuk melayani Tuhan bersama rekan-rekan seiman. Tujuan saya bukan untuk meninggalkan gereja selamanya, melainkan mencari tahu bagaimana saya bisa tetap bertahan.

Sementara saya mencari hikmat Tuhan untuk melangkah maju, saya tahu bahwa saya harus menjaga hati dari kepahitan terhadap gereja lama saya dan terlibat dalam upaya pengampunan yang sedang berlangsung—sebagian besar alasannya agar saya tidak membawa beban itu ke dalam komunitas saya yang berikutnya.

Kepercayaan terlihat berbeda setelah adanya luka karena gereja.

Namun meskipun kita dapat menemukan trauma yang kita alami, memprosesnya dalam terapi, dan menemukan gereja baru yang membuat kita merasa nyaman, tetap berada di gereja mungkin membuat kita, sebagai penyintas, masih memiliki sikap defensif terhadap para pemimpin gereja di masa mendatang.

Jarak emosional ini dimaksudkan sebagai sistem peringatan dini dalam mengenali penyalahgunaan kekuasaan sebelum hal itu dapat mencederai kita. Perlindungan diri seperti ini dapat berasal dari kebijaksanaan pengalaman hidup, tetapi juga dapat menjadi penghalang bagi pertumbuhan dan hubungan baru di masa mendatang. Ini adalah tindakan penyeimbang yang rumit yang harus diseimbangkan oleh para penyintas dalam jangka panjang.

Meskipun kita mungkin tidak akan pernah bisa mendapatkan kembali kepercayaan tulus dan optimisme cerah seperti yang pernah kita miliki sebelumnya, namun ada beberapa cara untuk mengatasi ketidakpercayaan kita.

Bertahun-tahun yang lalu, seorang mantan pendeta yang memiliki kisah menyakitkan tentang luka karena gereja, mengatakan kepada saya bahwa alih-alih mencoba membungkam suara skeptis di dalam dirinya, ia belajar untuk mengelolanya—dengan mengakuinya sebagai bentuk perlindungan diri terhadap bahaya di masa mendatang. Ketika kita menyambut kritik batin kita terhadap gereja, kita sebenarnya dapat “mengukur dengan tepat” pengaruh suara itu jauh lebih efektif dibandingkan jika kita mencoba mengabaikan atau membungkamnya. Hal ini, pada gilirannya, akan membantu kita untuk tetap hadir di hadapan Tuhan dan orang-orang di sekitar kita, alih-alih menjaga jarak secara emosional.

Bagi para penyintas, ada baiknya juga mengingat bahwa kepekaan dan kearifan kita sebenarnya dapat berguna bagi misi gereja dalam jangka panjang.

“Para pria dan wanita pemberani melangkah maju dengan mengatakan, ‘Ini bukanlah visi Kristus mengenai gereja, kepemimpinan, dan relasi.’ Mereka menuntut lebih banyak dari kita sebagai pemimpin,” kata profesional pelayanan pastoral Chuck DeGroat dalam sebuah wawancara dengan CT. “Mereka bersedia bekerja keras untuk membongkar sistem dan relasi yang toksik, menyebutkan realitas yang berbahaya, dan bergerak menuju pengharapan serta kebenaran dalam kasih.”

Seorang pria mengatakan kepada saya bahwa dia memiliki pandangan sebagai orang dalam tentang pelanggaran keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan seorang pendeta korup sebelum mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penatua. “Saya tidak lagi secara otomatis memercayai atau menghormati siapa pun hanya karena mereka mempunyai gelar, jabatan, atau pengaruh.” Dia menghadiri gereja yang baru—meskipun keterlibatannya hanya sedikit di luar kebaktian hari Minggu—namun dia tetap waspada terhadap tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan.

Dan meskipun dia sering mempertimbangkan untuk keluar secara diam-diam dari gerejanya saat ini, dia memilih untuk tetap tinggal: “Saya tahu bahwa saya akan bertanggung jawab kepada Sang Kepala gereja, dan penderitaan-Nya jauh melebihi penderitaan saya.”

“Saya tidak ingin menggunakan pengalaman saya dengan ‘gembala-gembala di Yehezkiel 34’ sebagai alasan untuk melepaskan diri dari Yesus,” kata seorang teman lainnya yang meninggalkan jabatannya di sebuah gereja menengah setelah mengalami konflik yang menyakitkan dan berkepanjangan. “Memikirkan untuk meninggalkan Yesus saja membuat saya menangis.” Kata-katanya mengungkapkan pentingnya menjalin hubungan yang lebih dalam dengan Kristus meskipun—atau mungkin justru karena—kesedihan yang terus-menerus dia proses dalam doa.

Rasul Paulus menekankan kepemimpinan Kristus sebagai Kepala kepada setidaknya dua jemaat yang sedang bergumul. Doanya dalam Efesus 1:18-23 menekankan bahwa Yesus yang telah bangkit memegang seluruh otoritas dan kekuasaan atas setiap lembaga dan pemerintahan manusia—bahkan pada saat budaya yang dominan menceritakan kisah yang berbeda.

Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose—yang mendapat serangan dari guru-guru palsu yang memberitakan Injil yang berbeda—Paulus menegaskan bahwa Kristus “Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu.” (Kol. 1:18)

Para penyintas tahu lebih baik daripada kebanyakan orang bahwa tidak semua yang terjadi di dalam jemaat mencerminkan karakter dan otoritas Yesus. Namun mengingat bahwa Kristus adalah Kepala Gereja-Nya, hal ini memberi kita kejelasan dan perspektif mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh gereja lokal kita. Seperti yang dikatakan oleh pendeta Benjamin Vrbicek, kesadaran kita yang berlebihan terhadap “gembala yang buruk” menunjukkan “kerinduan yang lebih dalam akan gembala yang baik—dan pada akhirnya, akan Sang Gembala yang Baik.”

Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Tuhan tidak mempunyai Rencana B jika gereja-Nya gagal—walaupun kita telah gagal dalam berbagai cara yang menakjubkan dan mengerikan selama dua milenium terakhir. Para bapa dan ibu rohani kita dalam iman mengingatkan kita selama berabad-abad bahwa gereja akan selalu membutuhkan reformasi. Dan reformasi tersebut mencakup kita semua yang pernah terluka.

Michelle Van Loon adalah penulis tujuh buku, termasuk Becoming Sage: Cultivating Meaning, Purpose, and Spirituality in Midlife.

Diterjemahkan oleh Budi M. Winata.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube