Hanya sekali, selama jangka waktu sepuluh hari, para pengikut Kristus pernah didapati dalam keadaan menunggu. Tuhan sendiri tidak lagi hadir secara fisik untuk mengajar umat-Nya, dan Roh yang dijanjikan belum datang. Namun segera setelah Roh Kudus datang, kelompok tersebut digerakkan ke dalam aktivitas yang terarah. Mereka dimampukan untuk memberitakan suatu kesaksian yang menjungkirbalikkan dunia.
Pekerjaan-pekerjaan yang Lebih Besar
Sangat jelas bahwa Yesus telah memilih perkataan-Nya dengan hati-hati saat Dia memberi tahu kelompok orang pilihan-Nya di Ruang Atas bahwa lebih baik bagi mereka jika Dia pergi. Jika Dia tidak pergi, Dia menegaskan, Roh Kudus tidak akan datang. Para pengikut-Nya mungkin bertanya, apa yang bisa lebih menguntungkan mereka selain kehadiran terus-menerus dari Tuhan dan Guru mereka secara jasmani? Namun kini, di suatu hari yang hampir tidak dapat dipercaya, mereka telah hidup untuk mengalami penggenapan pernyataan Yesus. Roh Kudus telah datang dan dengan kedatangan-Nya, pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar telah mulai dinyatakan. Penuaian jiwa-jiwa yang lebih banyak daripada yang pernah dituai oleh Yesus selama tiga tahun yang panjang dan melelahkan, telah dituai dalam satu hari pencurahan berkat Pentakosta ini.
Kita tidak perlu meragukan keakuratan laporan Lukas mengenai hari yang sangat penting itu. Siapakah yang berani mengklaim bahwa pemberitaan para rasul mencapai keberhasilan yang lebih besar daripada upaya Tuhan Yesus? Namun keberhasilan ini, meskipun dikaitkan dengan Roh Kudus, telah menimbulkan masalah. Memang benar bahwa Yesus telah menubuatkan era baru yang penuh kuasa dan pencapaian ini; namun realisasi hal ini tampaknya mengkompromikan keunikan-Nya sendiri sebagai Pengantara, Pendiri Gereja, Allah Yang Mahatinggi. Bukankah Roh Kudus lebih berkuasa daripada Yesus? Bukankah pencapaian Roh Kudus lebih cemerlang daripada pencapaian Sang Juruselamat?
Semua ini hanya terlihat benar dalam penampilannya saja. Sebenarnya, jika Anak Allah tidak mengorbankan diri-Nya untuk dosa-dosa manusia dan jika Bapa tidak membangkitkan Dia dari kematian, maka tidak akan ada demonstrasi kuasa Roh Kudus pada hari Pentakosta. Lebih jauh lagi, otoritas tertinggi Sang Anak dijaga di dalam fakta bahwa Ia yang mengutus Roh Kudus. Pekerjaan Roh adalah karya Yesus yang terus berkelanjutan. Kesaksian dari Roh Kudus adalah apa yang didengar oleh Roh dari Kristus yang bangkit (Yoh. 16:13,14). Tuhan Yesus adalah Dia yang membaptis dengan Roh. Perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan melalui tangan para rasul oleh Roh juga berasal dari Kristus yang hidup (Rm. 15:18, 19). Karunia-karunia yang dilimpahkan oleh Roh secara cuma-cuma kepada Gereja pada akhirnya juga dapat ditelusuri berasal dari kemurahan Tuhan yang telah bangkit (Ef. 4:8 dst). Tidak pernah Roh Kudus bertindak secara independen tanpa keterlibatan Anak Allah yang ditinggikan.
Mengingat pentingnya Yesus menekankan kedatangan Roh Kudus dalam pengajaran-Nya kepada kedua belas murid dan mengingat partisipasi pribadi mereka dalam pengalaman dipenuhi dan dikuatkan oleh Roh, maka tidaklah mengherankan jika mereka mengaitkan keputusan-keputusan, tindakan-tindakan, dan hasil dari kerja keras mereka dengan tuntunan dan kendali Roh Kudus. Generasi-generasi orang percaya berikutnya pun dapat berbicara tentang doktrin Roh Kudus. Orang-orang ini lebih mengetahui fakta tentang kehadiran dan kuasa Roh dalam kehidupan mereka.
Api Roh Kudus
Gereja mula-mula dicirikan dengan penekanan yang terbatas pada organisasi. Tentu saja kita membaca tentang para rasul, penatua, dan diaken, tetapi jaminan sesungguhnya dari ketertiban, otoritas yang sebenarnya dalam disiplin, kemampuan yang sesungguhnya dalam pelayanan Firman terletak pada Roh Kudus. Ananias dan Safira belajar bahwa mencoba menipu Roh Kudus bisa berakibat fatal. Petrus belajar bahwa dia dapat dengan aman bergerak di tengah kelompok yang dilarang oleh tradisi dan kebiasaannya, selama dia yakin bahwa Roh Kudus mengutusnya. Diperhadapkan pada prasangka yang sama terhadap orang-orang bukan Yahudi seperti yang dialami Petrus pada awalnya, gereja di Yerusalem sampai pada titik mengakui bahwa orang dari luar bangsa Israel itu pun harus diterima dalam persekutuan Kristen tanpa keharusan untuk mematuhi hukum Yahudi. Gereja di Yerusalem dengan bebas mengakui bahwa keputusan mereka didorong oleh Roh Kudus (Kis. 15:28). Memang benar, jemaat ini hampir tidak mungkin bertindak sebaliknya, karena Roh Kudus telah menunjukkan arahan ini dengan datang ke atas orang-orang bukan Yahudi ketika Petrus berkhotbah kepada mereka (Kis. 15:8). Jemaat terkemuka lainnya, yaitu jemaat bukan Yahudi di Antiokhia, yang juga merupakan hasil dari kerja keras pelayanan misi, didorong oleh Roh Kudus untuk mengutus para pemimpinnya yang paling berpengaruh untuk menyebarkan berita Injil ini ke tempat-tempat yang lebih terpencil (Kis. 13:2).
Gereja apostolik inilah Gereja yang kita lupakan. Kita ingat bahwa Gereja ini adalah sebuah gereja yang misioner, dan kita berusaha menjadi seperti itu. Kita ingat kembali bahwa Gereja ini memberitakan Firman, dan kita menasihati satu sama lain untuk memberitakan Injil tanpa ragu-ragu. Namun entah kenapa roda-rodanya terasa berat. Kita terbebani dengan upaya-upaya kita. Kita senang dengan adanya gerakan, bahkan sekalipun kita tidak dapat dengan jujur menyebutnya sebagai kemajuan. Orang-orang yang memiliki hasrat yang sama dengan diri kita untuk membentuk Gereja apostolik. Mereka kadang-kadang bersalah karena ketidakharmonisan. Mereka berbuat kesalahan. Namun puncak kredensial mereka adalah bahwa mereka hidup dan melayani di bawah kesadaran akan otoritas Roh Kudus. Gereja di zaman kita tidak akan berhasil melayani di dalam krisis dunia saat ini jika Gereja tidak dapat menangkap kembali sikap dasar tersebut.
Rujukan-rujukan kepada Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul merupakan karakteristik yang menunjukkan bahwa hal itu adalah bagian dari situasi kehidupan Gereja mula-mula. Rujukan-rujukan tersebut bukanlah materi pengajaran formal tentang Roh Kudus. Untuk hal ini kita harus merujuk kepada Surat-surat para rasul. Data yang luas tidak dapat dengan mudah dirangkum dalam beberapa bagian saja, tetapi kami mengusulkan untuk memeriksa pengajaran ini dalam kaitan relasi Roh Kudus dengan Kitab Suci, dengan Kristus, dan dengan orang-orang kudus.
Roh Kudus dan Kitab Suci
Dari sudut pandang inisiasinya, kita belajar bahwa tidak ada bagian dari Kitab Suci yang dapat disebut sebagai hasil karya manusia. Sebaliknya, manusia berbicara dari Allah ketika mereka dibimbing oleh Roh (2Ptr. 1:20, 21). Oleh karena itu, mustahil untuk mengatakan bahwa Alkitab adalah karya manusia yang kemudian disahkan oleh Tuhan. Alkitab merupakan Firman-Nya karena aktivitas Roh Kudus dalam mendorong dan mengendalikan manusia sebagai penulisnya. Dari 1 Petrus 1:10-12 kita belajar bahwa beberapa hal yang diberikan kepada para nabi Perjanjian Lama begitu jauh melampaui pemahaman mereka sendiri sehingga mereka memerlukan penerangan khusus untuk dapat memahami aspek temporal dari nubuatan-nubuatan mereka mengenai karya penebusan Mesias.
Firman Tuhan bukan hanya rumah harta karun yang berisi informasi ilahi, melainkan juga gudang senjata yang dapat digunakan oleh para prajurit Kristen. Senjata-senjata peperangan kita adalah senjata rohani. Secara khusus, Firman Allah adalah pedang Roh (Ef. 6:17). Pedang itu menusuk ke dalam hati dan nurani. Pedang itu mengalahkan si jahat.
Jika Roh Kudus benar-benar menulis Firman yang tertulis, yang dengan Firman itu Tuhan kita berseru, baik di tengah pencobaan, perdebatan, maupun pengajaran, maka betapa tidak masuk akalnya bagi orang Kristen untuk merendahkan Firman itu dengan menyatakan bahwa ada tuntunan dan otoritas Roh Kudus yang melampaui Firman itu sendiri dan membebaskan seseorang dari belenggu nubuat-nubuat kuno dan statis. Ketika Paulus membedakan antara hukum yang tertulis mematikan dan Roh yang memberi hidup (2Kor. 3:6; Rm. 7:6), ia tidak bermaksud untuk memberikan pembenaran bagi pemikiran modern ini. Ia hanya mengontraskan karya dari Roh, yang menghasilkan Injil, dengan karya dari hukum Taurat, yang menghasilkan hukum Musa.
Tuhan dan Roh Kudus
Seiring kita beralih untuk mempertimbangkan relasi antara Roh Kudus dan Kristus, penting untuk dicatat di awal bahwa kritik yang keliru telah salah menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Penekanan Paulus pada Kristus sebagai Roh (1Kor. 15:45 dan mungkin 2Kor. 3:17) telah ditafsirkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan gagasan kebangkitan tubuh (sebuah pemutarbalikan yang ironis dari ayat yang terdapat di dalam pasal mengenai kebangkitan yang agung) atau sebagai indikasi bahwa bagi Paulus, Yesus yang historis tidak begitu penting; yang penting adalah persepsi seseorang tentang Dia di dalam eksistensi rohani-Nya saat ini. Antitesisnya terkadang dituangkan dalam bentuk ini: Yesus sebagai manusia versus Kristus sebagai Roh. Di tangan para kritikus, hal ini berfungsi untuk memberikan ketidakjelasan mistis pada sosok Kristus. Namun ketika Paulus menghubungkan Roh dengan Yesus, hasil yang sebenarnya bukanlah penyempurnaan Yesus menjadi Kristus, melainkan penajaman kepribadian dan historisitas dari Roh. Paulus telah berkomitmen pada pentingnya Yesus yang historis bagi iman Kristen (1Kor. 11:1).
Apa yang diberikan oleh rasul Paulus dalam Galatia 4:4-6 merupakan sebuah representasi yang khas. Allah mengutus Anak-Nya untuk menebus; kemudian ke dalam hati mereka yang menerima Sang Anak, Ia mengutus Roh Anak-Nya, yaitu Roh yang sama yang berdiam di atas-Nya pada waktu Ia menjadi manusia, dan yang sekarang datang untuk memuliakan Dia. Bagaimana mungkin Roh ini, dalam memenuhi fungsi-Nya, mengalihkan perhatian dari Yesus yang historis, Pribadi yang mengutus Roh itu untuk mewujudkan gambaran karakter-Nya yang hidup di dalam diri para pengikut-Nya dan untuk mengingatkan mereka kembali akan Firman dan perbuatan-Nya serta membimbing mereka ke dalam kebenaran-Nya?
Tidak diragukan lagi, Roh Kristus yang mengalir itu tidak hanya dimaksudkan untuk melihat kembali sekilas kehidupan Yesus di dunia, melainkan juga untuk menekankan bahwa hanya melalui Roh itulah maka Yesus yang ditinggikan di sebelah kanan Bapa dapat berdiam di dalam hati umat-Nya.
Roh dan Orang-orang Kudus
Sejauh ini, pengajaran paling kaya dalam Surat-surat para rasul tentang Roh Kudus berkaitan dengan relasi-Nya dengan orang-orang kudus. Di sini keseluruhannya dimulai dari pertobatan hingga penyempurnaan. Setiap fase kehidupan orang percaya berada di bawah pengaruh dari Sang Parakletos yang penuh kasih karunia dan kuasa. Kehidupan kristiani dalam kaitannya dengan ajaran Surat-surat para rasul tidak mungkin ada tanpa pemberdayaan-Nya. Dia bahkan adalah Sang Pemberi kehidupan (Rm. 8:2,6,10).
Karunia Roh
Oleh karena kita sudah familier dengan kebenaran bahwa setiap orang percaya memiliki Roh Allah (Rm. 8:9), kita berada dalam bahaya untuk mengabaikan kebenaran bahwa Roh itu kita peroleh berdasarkan anugerah ilahi. Kristus diberikan satu kali; Roh Kudus diberikan setiap kali hati terbuka terhadap kedatangan Kristus. Karunia-karunia Allah tidak dapat ditarik kembali. Berdiamnya Roh Kudus adalah permanen. Namun, orang tidak akan mengetahuinya jika menilai dari doa-doa dan nyanyian pujian kita. Berkali-kali kita memohon agar Roh Kudus datang. Doa seperti itu tampaknya merupakan pengakuan bahwa kita belum mengembangkan kehadiran-Nya dengan benar, bahwa kita masih asing dengan persekutuan Roh.
Secara garis besar, Roh Kudus diberikan kepada kita untuk mengembangkan potensi hidup baru kita di dalam Kristus Yesus. Roh itu selalu menjadi Hamba dari Tuhan kita yang terpuji, sama seperti Kristus yang mengambil rupa sebagai Hamba dalam hubungan-Nya dengan Bapa pada saat Ia menjadi manusia. Dalam pengudusan, urutannya bukanlah seperti dalam keselamatan, Kristus, kemudian Roh, melainkan sebaliknya. Kita dikuatkan oleh Roh di dalam batin kita agar dapat menyadari sepenuhnya akan Kristus yang berdiam di dalam hati kita (Ef. 3:16,17). Tujuannya adalah manusia baru di dalam Kristus yang sedang dibentuk di dalam diri kita (Gal. 4:19).
Kebenaran itu adalah demi kebaikan. Salah satu bagian dari pekerjaan Roh Kudus adalah memimpin umat Allah ke dalam kebenaran, menyingkapkan hal-hal terdalam dari Allah kepada mereka, agar mereka dapat menjadi “rohani,” yang Paulus definisikan sebagai memiliki pikiran Kristus (1Kor. 2:16). Dari penderitaan jemaat Korintus, kita belajar bahwa kebenaran Firman yang diperlukan untuk membangun kita dapat dijauhkan dari kita melalui hal-hal seperti perpecahan dan pertikaian, yang merupakan bagian dari kehidupan lama dan tidak sesuai dengan kehidupan yang baru. Dari Roh Kudus, kita harus “mempelajari Kristus,” menemukan apa yang tidak diinginkan-Nya dan apa yang selaras dengan kehendak-Nya.
Roh dan Daging
Sulit bagi seseorang untuk mempertimbangkan pengudusan tanpa memperhatikan sebutan yang berulang kali muncul, yaitu Roh Kudus. Meski hampir tidak ada dalam Perjanjian Lama, kata ini muncul sesekali dalam kitab-kitab Injil, sering sekali dalam Kisah Para Rasul (lebih dari 40 kali) dan cukup sering dalam Surat-surat para rasul (sekitar 25 kali). Namun ketika kita mencari kaitan antara penggunaan sebutan ini dan situasi di mana sebutan ini digunakan, hal ini sangat jarang terlihat di dalam Injil (mungkin Lukas 1:35 merupakan satu-satunya contoh). Dalam Kisah Para Rasul, hal ini hampir lazim, meskipun 5:3 mungkin merupakan pengecualian. Akan tetapi, dalam Surat-surat para rasul, sebutan tersebut tampaknya sengaja dipilih agar memperkuat tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan kehadiran-Nya yang kudus (1Kor. 6:19; Ef. 4:30; 1Tes. 4:8).
Paulus gemar menempatkan Roh dalam antitesis yang tajam dengan daging. Jika daging (yang mencakup sikap mental dan nafsu jasmaniah) tidak berdaya untuk menyenangkan Allah dalam keadaan manusia yang belum bertobat, maka sama halnya dengan daging yang masih ada di dalam diri orang percaya, tidak dapat menyenangkan Allah. Satu-satunya harapan untuk mengalahkan kecenderungan dari daging terletak pada ketundukan yang sungguh-sungguh kepada Roh (Rm. 8:4; Gal. 5:16).
Kehadiran dan Kepenuhan
Dalam Surat-surat para rasul, seperti dalam Kisah Para Rasul, terdapat perbedaan antara kehadiran Roh dan kepenuhan-Nya. Dalam keselamatan, orang percaya adalah penerima pasif Roh Kudus, yang datang sebagai meterai ilahi dari transaksi keselamatan tersebut. Namun dalam mencapai kepenuhan Roh, kehendak anak Tuhan adalah aktif. Kita diperintahkan untuk memiliki kepenuhan seperti itu (Ef. 5:18). Jelas bahwa ini bukanlah pengalaman esoteris. Perintah ini ditujukan kepada semua orang—para istri, suami, anak-anak, para budak, yang semuanya memiliki kewajiban khusus yang diuraikan dalam ayat-ayat berikutnya. Tentu saja implikasinya adalah bahwa bahkan tuntutan-tuntutan sederhana yang dibebankan kepada mereka tidak dapat dipenuhi tanpa adanya keterlibatan penuh dari Roh Kudus. Namun kepenuhan Roh Kudus ini tidak hanya terkait dengan realisasi tugas sederhana saja. Kepenuhan ini lebih terlihat sebagai upaya yang dilakukan dengan sukacita dan penuh ucapan syukur, sehingga segala kewajiban dapat ditangani dengan hati yang ringan (Ef. 5:19, 20).
Logikanya, kepenuhan Roh berhubungan erat dengan buah Roh (Gal. 5:22,23), meskipun dalam konteks terdekatnya, Paulus lebih memilih istilah-istilah seperti dipimpin oleh Roh dan hidup oleh Roh. Ia membedakan keadaan-keadaan ini dari sekadar hidup dalam Roh (Gal. 5:25). Sebagian orang percaya di zaman kita, seperti di zaman para rasul, terpikat oleh karunia-karunia Roh yang spektakuler seperti berbahasa roh. Sekalipun hal ini harus diselidiki dan dikembangkan, perlu diingat bahwa rasul Paulus merujuk pada buah Roh (yang tidak termasuk karunia-karunia spektakuler) sebagai cara yang lebih unggul. Jika buah Roh tidak ada, maka kuasa Roh Kudus tidak akan menghasilkan pembaruan. Kasih mempunyai keunggulan dalam membangun orang-orang kudus.
Hal ini menuntun kita pada pengamatan bahwa Roh yang sama yang menyatukan setiap orang percaya dengan Kristus, juga mempersatukan orang-orang kudus satu sama lain. Istilah tubuh Kristus sangatlah penting. Sebagaimana manusia terdiri dari tubuh dan roh, demikian pula gereja lebih dari sekadar kumpulan individu yang dipandang sebagai satu kesatuan. Gereja menjadi organisme yang hidup karena Roh Kudus yang mendiaminya.
Tugas Roh Kudus memang sangat lembut. Dalam Firman yang telah diilhami-Nya, Ia harus berbicara tentang diri-Nya sendiri. Namun Ia melakukannya dengan kerendahan hati yang sempurna. Ia tidak menamai diri-Nya sendiri. Gelar-gelar-Nya pun hampir tidak berbeda, karena Allah adalah Roh dan Allah itu kudus. Sebagai Roh Allah atau Roh Kristus, Ia menempatkan diri-Nya dalam ketergantungan yang nyata pada Allah Bapa dan Tuhan Yesus. Ia tidak pernah meminta tindakan iman tertentu terhadap diri-Nya sendiri. Ia senantiasa mengarahkan kita kepada Anak Allah dan melalui Yesus kepada Bapa. Merupakan kemuliaan bagi-Nya untuk memuliakan Kristus. Tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: “Terkutuklah Yesus!” dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan,” selain oleh Roh Kudus (1Kor. 12:3).
Everett F. Harrison lahir di Alaska dari orang tua misionaris. Beliau meraih gelar A.B. dari University of Washington, A.M. dari Princeton University, Th.B. dari Princeton Theological Seminary, Th.D. dari Dallas Theological Seminary dan Ph.D. dari Universitas Pennsylvania. Sejak tahun 1947 ia menjadi Profesor Perjanjian Baru di Fuller Theological Seminary. Dia adalah penulis The Son of God Among the Sons of Men dan A Short Life of Christ.
Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.
–