Filsafat terkadang mendapat reputasi buruk, bahkan di kalangan Kristen. Seperti yang mungkin dikatakan oleh beberapa kritikus: Filsafat adalah cara yang tidak praktis dan tak bernilai untuk menghabiskan waktu Anda. Bahkan hal itu mungkin akan melemahkan iman Anda.
Christian Philosophy as a Way of Life: An Invitation to Wonder
Baker Pub Group/Baker Books
208 pages
$19.89
Sebaliknya, Ross Inman berpendapat, “Sulit untuk melihat apa yang lebih praktis daripada hidup secara filosofis sebagai seorang Kristen.” Inman adalah profesor filsafat di Southeastern Baptist Theological Seminary. Bukunya, Christian Philosophy as a Way of Life: An Invitation to Wonder, memberikan argumen yang jelas dan meyakinkan tentang nilai filsafat.
Pendekatan Inman mensyaratkan suatu pandangan dunia Kristen. Sasaran pembacanya, seperti yang ia jelaskannya, adalah “orang-orang Kristen yang masih pemula dalam bidang filsafat, mereka yang baru pertama kali mempelajari filsafat.” Yang ia maksudkan bukanlah seseorang yang belajar filsafat hanya sekadar sebagai syarat kelulusan atau penambah IPK. Sebaliknya, yang ia maksud adalah seseorang yang memandang filsafat sebagai suatu cara hidup yang bermanfaat.
Ada sejarah panjang pemikiran filsafat dengan cara ini, antara lain sejak zaman Yunani kuno. Namun Inman mengambil pendekatan yang khas Kristen, dengan menyebutkan tiga syarat. Yang pertama, katanya, adalah berkomitmen pada peta eksistensial yang dibentuk oleh kisah Kristen. Ini berarti memandang iman Kristen sebagai sumber utama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi inti filsafat, seperti: Apakah yang nyata itu? Apakah yang dimaksud dengan kehidupan yang benar-benar baik? Dan bagaimana cara seseorang menjadi orang baik?
Kedua, kata Inman, para praktisi dari cara hidup Kristen yang filosofis harus mengarahkan kehidupan mereka pada peta eksistensial Kristen. Praktik sehari-hari mereka harus selaras dengan visi realitas dan kehidupan baik yang dibentuk oleh kisah Kristen.
Dan ketiga, mereka harus terlibat dalam praktik-praktik yang dikuatkan oleh anugerah dan diarahkan oleh kebenaran. Inman mencatat bahwa terdapat latihan rohani, seperti pemeriksaan diri dan menghafal, yang menjadi ciri khas kehidupan filsafat di Yunani kuno. Namun para filsuf Kristen zaman dahulu menekankan bahwa hanya anugerah Tuhan sajalah yang memungkinkan latihan rohani tersebut dapat terlaksana.
Mungkin lebih dari segalanya, cara hidup Kristen yang filosofis, jika dijalankan dengan baik, akan erat kaitannya dengan ketakjuban. Bagi Inman, ketakjuban memiliki dua ciri utama. Yang pertama adalah “keluasan yang dirasakan”—pengalaman akan sesuatu yang lebih besar dari diri kita atau dari cakupan perspektif kita yang terbatas. Ciri lainnya adalah “kebutuhan untuk mengakomodasi” perspektif baru ini. Seperti yang ditulis Inman, “Kita dipanggil untuk memperluas batasan-batasan sempit dari jiwa kita untuk memberi ruang bagi pengalaman baru dan bahkan mungkin untuk memperbaiki cara pandang kita yang keliru dalam memandang dunia.”
Mengaitkan kembali hal ini dengan filsafat Kristen, ia berkata, “Kita dapat menyimpulkan kehidupan Kristen yang filosofis sebagai kehidupan yang dikhususkan untuk menumbuhkan rasa yang mendalam akan ketakjuban atas segala hal, yang pada akhirnya dalam terang makna yang sesungguhnya dan tujuan yang sebenarnya dari semua hal yang diciptakan di dalam Kristus.” Hal ini menuntunnya untuk membuat klaim yang berani bahwa “hanya di dalam konsepsi Kristen tentang realitas itulah maka kehidupan filosofis yang penuh ketakjuban dapat terwujud.”
Bagaimana dengan kepraktisan dari filsafat? Kepraktisan dari suatu hal bergantung pada tujuannya. Mengenai hal ini, Inman mengutip buku Philosophy for Dummies karya Tom Morris, di mana Morris berpendapat:
Sesuatu disebut praktis jika hal itu membantu Anda mewujudkan tujuan Anda. Jika tujuan Anda termasuk mengetahui siapa diri Anda sebenarnya, apa arti kehidupan di dunia ini, dan apa yang paling penting, maka filsafat sangatlah praktis. Jika hal-hal ini tidak termasuk dalam tujuan Anda, maka Anda memerlukan tujuan baru.
Tujuan akhir orang percaya mencakup diorientasikan dengan benar kepada Tuhan dan sesama, baik secara kognitif (dalam kebenaran) maupun afektif (dalam kasih). Filsafat dapat sangat berperan dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut. Jadi bagi orang Kristen, menurut Inman, dari segalanya, filsafat mungkin merupakan cara hidup yang paling praktis.
Diskusi Inman menarik, tetapi saya ingin menawarkan dua saran minor untuk pengembangan. Pertama, saya mungkin menyarankan agar Inman berbuat lebih banyak hal untuk menjawab pertanyaan Apa yang sebenarnya dilakukan oleh para filsuf? Misalnya, beberapa bab pertama mungkin akan lebih baik jika diberikan contoh-contoh yang lebih terperinci mengenai argumen atau diskusi filosofis yang umum, dengan menonjolkan elemen-elemen ketakjuban dan kepraktisan.
Selain itu, Inman cenderung berfokus pada pertanyaan filosofis tentang realitas (metafisika), pengetahuan (epistemologi), dan nilai (etika). Namun filsafat, seperti yang dipraktikkan saat ini, sangat beragam, baik dalam topik yang dibahas maupun dalam metodologinya.
Jadi saran saya yang kedua adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apakah argumen Inman akan dapat diterima oleh filsuf Kristen yang terutama bekerja dengan logika dan bukti-bukti abstrak? Bagaimana dengan sejarawan filsafat, filsuf ilmu pengetahuan, atau filsuf bahasa? Secara umum, apakah beberapa bidang filsafat lebih cocok dengan diskusi Inman mengenai ketakjuban dan kepraktisan dibanding bidang-bidang lainnya?
Namun secara keseluruhan, buku Inman membantu membuka dunia filsafat yang menarik untuk dijelajahi. Dari sana, para pembaca dapat menuju ke berbagai arah yang berbeda untuk mempelajari lebih lanjut mengenai cara hidup Kristen yang filosofis. Secara historis, dua titik awal yang baik adalah Confessions karya Agustinus dan On the Consolation of Philosophy karya Boethius. Dari abad ke-20, buku Mere Christianity karya C.S. Lewis bisa menjadi pilihan yang bagus. Di antara pilihan-pilihan yang lebih baru, saya merekomendasikan buku Letters to Doubting Thomas karya C. Stephen Layman dan kumpulan esai karya Michael Murray yang berjudul Reason for the Hope Within.
Christian Philosophy as a Way of Life sangat bagus. Sebagai seseorang yang telah menggeluti filsafat secara profesional selama lebih dari 30 tahun, saya bukanlah pembaca yang dituju. Akan tetapi, saya masih belajar banyak. Dengan cara yang begitu jelas dan meyakinkan, sungguh sangat menenteramkan melihat pemaparan yang dibuat atas apa yang telah saya dedikasikan dalam hidup saya.
Christian B. Miller adalah Profesor Filsafat A.C. Reid di Universitas Wake Forest. Buku-bukunya antara lain The Character Gap: How Good Are We? dan Honesty: The Philosophy and Psychology of a Neglected Virtue.
Diterjemahkan oleh Samuel Jonathan.