Books

Dari Keturunan Naga menjadi Ahli Waris Allah

Budayanya mengatakan bahwa naga itu transenden. Alkitabnya mengatakan bahwa naga itu jahat. Bagaimana seharusnya umat Kristen Tionghoa menyikapi binatang shio tahun ini?

Christianity Today February 26, 2024
Disunting oleh Christianity Today / Sumber Gambar: Getty / WikiMedia Commons

Zodiak Tiongkok menandai tahun 2024 sebagai Tahun Naga (龙, long). Setiap 12 tahun sekali, banyak keluarga Tionghoa menaruh harapan untuk menyambut “bayi naga”—karena selama ribuan tahun, budaya Tiongkok sangat menjunjung tinggi naga, dan banyak orang Tionghoa mengidentifikasi diri mereka sebagai “keturunan naga” (龙的传人).

Meski demikian, berbagai kesalahpahaman dan ketakutan tentang naga terjadi di antara banyak umat Kristen di Tiongkok, karena mereka percaya bahwa Alkitab menganggap makhluk tersebut sebagai setan. Bagi mereka, makhluk imajiner tersebut bisa jadi simbol nasionalisme atau jelmaan Iblis.

Pada Tahun Naga ini, orang-orang percaya sebaiknya bertanya: Seperti apa Injil yang melampaui budaya naga Tiongkok? Dan apa artinya bagi orang Kristen Tionghoa ketika beralih dari mengidentifikasi diri mereka sebagai keturunan naga menjadi ahli waris Allah?

Bukan naga St. George

Nama marga saya Long (龙), yang berarti “naga.” Setelah pertobatan saya menjadi Kristen, banyak orang Kristen menyarankan untuk mengubah nama marga saya karena kata tersebut berarti naga dalam terjemahan Alkitab bahasa Mandarin, dan Wahyu 12:9 menyatakan bahwa naga itu adalah Iblis. Meskipun orang-orang Kristen ini mungkin berusaha menjaga saya dari keterkaitan dengan si Jahat, saya mendapati bahwa tafsiran mereka terlalu menyederhanakan dan membuat kesalahpahaman terhadap Alkitab dan budaya Tionghoa.

Pertama, ada perbedaan yang signifikan antara naga dalam budaya Tionghoa dengan naga dalam budaya Barat dan Alkitab (Yunani: drakōn), dimulai dari penampilannya. “Naga merah padam yang besar” dalam kitab Wahyu “berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh” (Why. 12:3), sedangkan naga Tiongkok hanya memiliki satu kepala dan dua tanduk. Naga di Barat mempunyai sayap dan dapat terbang, dapat mengeluarkan api dari mulutnya, sedangkan naga Tiongkok dapat terbang menembus awan (tanpa sayap) dan mengeluarkan angin dan hujan.

Lebih jauh lagi, naga-naga ini mewakili gagasan-gagasan yang berlawanan. Di Timur Dekat kuno, Yunani kuno, dan sejarah budaya Barat, naga melambangkan kejahatan, kekerasan, bencana, dan kehancuran. Namun di Tiongkok dan Asia Timur, naga melambangkan kesucian, keagungan, keberuntungan, dan keberkahan. William E. Soothill, seorang misionaris yang pernah di Wenzhou, Tiongkok, dan profesor Sinologi di Universitas Oxford, menulis bahwa di Tiongkok, naga selalu berbuat baik, sedangkan naga di Barat hampir seluruhnya dianggap jahat—menyakiti orang, mencuri putri-putri raja, dan memprovokasi para pahlawan, seperti St. George, untuk membunuh mereka.

Dari abad ke-13 hingga sekarang, berbagai cendekiawan Tiongkok dan asing telah menyarankan untuk tidak menerjemahkan kata Mandarin itu sebagai naga melainkan menggunakan transliterasi fonetik seperti loung atau loong. Demikian pula, Soothill menyarankan untuk menggunakan lung. (Dalam artikel ini, saya menggunakan Pinyin long modern.) Terjemahan yang lebih spesifik dan akurat untuk naga di kitab Wahyu mencakup e long (“naga jahat”); du long (“naga beracun”); dan mo she (“ular setan”).

‘Keturunan naga’

Gambaran naga pertama kali muncul di budaya Tiongkok pada periode Neolitikum (sekitar 8.000 SM), dibuat dari tumpukan batu atau dilukis pada tembikar. Sejak saat itu, naga diasosiasikan dengan empat cara yang berbeda dalam sejarah Tiongkok.

Pertama, pada zaman prasejarah, naga berfungsi sebagai totem suku. Kemudian, setelah dinasti Qin (221–206 SM) dan Han (202 SM–220 M), naga menjadi simbol kekuatan kekaisaran. Dinasti Qing akhir (1644–1912), misalnya, merepresentasikan dinastinya dengan “Bendera Naga Kuning,” bendera nasional pertama Tiongkok. Sejak saat itu, naga melambangkan Tiongkok sebagai sebuah bangsa.

Saat ini, naga telah menjadi suatu penanda pemersatu identitas masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, yang semuanya menganggap diri mereka sebagai anak-anak naga. Lagu “Descendants of the Dragon” memainkan peran penting dalam membentuk dan mempopulerkan pemahaman ini.

Pada tahun 1978, penyanyi dan penulis lagu campus folk Taiwan, yaitu Hou Dejian, menciptakan lagu ini untuk mengartikulasikan warisan bersama dari masyarakat di kedua sisi Selat Taiwan. Ketika Tiongkok kembali membuka tangannya kepada dunia pada tahun 1980-an, menyambut reformasi dan kemajuan, lagu ini pun menjadi terkenal.

Pada tahun 1988, Hou menampilkan “Descendants of the Dragon” di Gala Festival Musim Semi CCTV, menyuarakan perasaan ratusan juta orang Tiongkok: “Di Timur kuno, ada seekor naga, namanya Tiongkok; di Timur kuno, ada sekelompok orang, mereka semua adalah keturunan naga.”

Penegasan identitas Tionghoa ini jauh lebih penting daripada takhayul agama atau penyembahan berhala. Dari “abad penghinaan” hingga kebangkitan ekonomi dan politiknya, citra naga Tiongkok telah berevolusi secara dramatis dari “naga yang tertidur” menjadi “naga yang terjaga” menjadi “naga yang beringas.”

Menempatkan naga pada tempatnya

Diskusi mengenai naga ini memberi kita kesempatan untuk mempertimbangkan tiga dari lima cara yang berbeda dari filsuf H. Richard Niebuhr tentang interaksi antara Injil dan budaya.

Paradigma pertama menyatakan bahwa Injil hanya dapat dipahami oleh suatu budaya dalam konteksnya yang spesifik. Untuk itu, para penginjil Kristen yang ingin membagikan Injil dalam konteks Tionghoa harus mempelajari pentingnya naga. Seperti yang ditulis oleh cendekiawan buddhis Tiongkok/Taiwan, Nan Huaiji, “Kebudayaan Tiongkok adalah kebudayaan naga. … Naga kami dihormati oleh surga dan manusia, dan mewakili Tuhan dalam konsep-konsep keagamaan.” Meskipun pandangan ini mungkin sedikit berlebihan, umat Kristen harus mencoba memahami kesucian dan transendensi yang dilambangkan oleh naga Tiongkok.

Mirip dengan “empat makhluk hidup” yang disebutkan dalam Yehezkiel 1 dan Wahyu 4, para naga adalah gabungan berbagai bentuk binatang yang mewakili semua makhluk dan menuntun manusia menuju transendensi. Dengan cara yang sama, memahami peran naga dalam budaya Tionghoa dapat membantu menciptakan lebih banyak ruang untuk percakapan dan penginjilan.

Cara interaksi kedua yang diidentifikasi oleh Niebuhr menyatakan bahwa Injil dapat bertentangan dengan budaya. Naga jahat dalam Wahyu 12 berasal dari Lewiatan dalam Perjanjian Lama, yang sering melambangkan kekuatan bangsa non-Yahudi seperti firaun Mesir (Mzm. 74:14) dan bangsa Asyur serta Babel (Yes. 27:1), yang sering digambarkan sebagai antagonis bagi umat Allah. Demikian pula, banyak cendekiawan memandang naga yang jahat dan binatang yang keluar dari dalam laut di kitab Wahyu melambangkan kekuasaan Kekaisaran Romawi dan penganiayaan terhadap umat Tuhan (Why. 12). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, naga Tiongkok juga melambangkan kekuatan kekaisaran. Terlebih lagi, mengingat penganiayaan yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap gereja, umat Kristen di Tiongkok dapat dengan mudah dan sah mengidentifikasikan “naga jahat” sebagai kekuatan politik yang bermusuhan.

Terakhir, perspektif ketiga dari Niebuhr menyatakan bahwa Injil mentransformasi budaya. Mirip dengan impian orang-orang Yahudi di abad pertama untuk menghidupkan kembali Israel, impian orang Tionghoa di abad ke-21 adalah kebangkitan besar bangsa Tiongkok, seperti seekor naga yang membubung tinggi. Namun, sebagai umat kristiani, kita tahu bahwa kebangunan rohani yang sesungguhnya berasal dari kebangkitan iman.

Dalam tulisan klasik Tiongkok I Ching menyebutkan, “meskipun naga itu membubung tinggi di angkasa” (飞龙在天), pada akhirnya ia akan menjadi “naga perkasa yang menyesal karena terlalu agresif” (亢龙有悔). Alkitab mengatakan bahwa “setiap keluarga di surga dan di bumi” (Ef. 3:15 BIS) dinamai menurut nama Tuhan. Melalui iman kepada Yesus Kristus, orang-orang Tionghoa dapat menjadi keturunan Abraham, “bapa orang beriman.”

Oleh anugerah Tuhan, keturunan naga dapat diadopsi oleh Bapa surgawi, menjadi ahli waris Tuhan di dalam Kristus, dan menerima warisan berlimpah dari keluarga Allah. Sebab itu, bentuk kasih terdalam kepada bangsa dan negara adalah dengan meneladani rasul Paulus, yang berjuang untuk membawa Injil Kristus kepada sesama orang Yahudi (Rm. 9:3).

“Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat” (1Kor. 1:22); Orang Amerika menginginkan kebebasan dan orang Tionghoa mengejar kekayaan serta kekuasaan. Injil, yang peduli kepada segala bangsa, menantang dan memenuhi upaya berbagai kelompok budaya yang berbeda. Salib mungkin tampak sebagai “kebodohan” dan sebuah “batu sandungan,” tetapi salib adalah mukjizat, hikmat, kebebasan, dan kekuasaan yang sejati.

Ahli waris Tuhan karena anugerah

Setelah ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 2017, saya tidak mengubah nama marga saya. Sebaliknya, saya mengubah nama depan saya dalam bahasa Mandarin menjadi 降恩 ( Xiang’en), yang berarti “berserah pada anugerah Tuhan.” Saya juga memutuskan untuk mengklaim kembali dan menafsirkan kembali gagasan mengenai “keturunan naga” bagi gereja Tionghoa.

Untuk itu, saya telah mengorganisir dan mempromosikan gerakan misionaris kaum muda di daratan Tiongkok dengan tema “Ahli Waris” (传人) dan menulis sebuah lagu tema yang berjudul “Lagu Para Ahli Waris”:

_Di tanah Tuhan, keturunan Injil maju bergelombang-gelombang; Kepada bangsa-bangsa, Mereka yang memberitakan Injil, bangkit bagi Tuhan._

Umat Kristen Tionghoa bukan hanya penerima budaya tradisional, melainkan juga pembaharu budaya kontemporer dan pencipta budaya baru. Ketika merefleksikan hubungan yang kompleks antara Injil dan budaya, kita memerlukan cara pandang dunia Kristen yang luas dan holistik, yang mampu membawa toleransi, tantangan, dan pembaharuan budaya oleh Injil.

Sebelum Hou Dejian menggelar pertunjukkan “Descendants of the Dragon” pada tahun 1998, ia menyatakan, “Di antara 12 shio, orang Tionghoa memiliki kesukaan khusus terhadap naga. Hal ini karena, ketika Tuhan menciptakan 11 binatang lainnya, naga diciptakan oleh orang-orang Tionghoa.”

Terlepas dari apakah hal ini benar atau tidak, adalah benar bahwa orang Tionghoa diciptakan oleh Tuhan dan kasih Tuhan menaungi semua manusia. Tentu saja, orang Tiongkok dapat menghargai imajinasi dan budaya yang telah kita ciptakan seputar naga, tetapi jika hal ini membutakan kita akan kasih Tuhan, maka kita memprioritaskan hal-hal yang remeh di atas hal-hal yang esensial.

Pada langit dan bumi yang baru, naga imajiner tidak akan muncul. Namun keturunan Allah di Tiongkok akan hadir, berdiri di antara para penyembah dari segala bangsa (Why. 7:9).

Sean Long adalah seorang pendeta gereja rumah di Tiongkok yang saat ini sedang menempuh studi doktoral di Wheaton College.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube