Dapatkah Anda Menjadi Orang Indonesia Sejati Tanpa Menjadi Muslim?

Pertanyaan 3 dari 6 seri dalam diskusi Christianity Today tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch/Sumber Gambar: Getty

Sekitar 80 persen umat Islam percaya bahwa menjadi muslim itu penting untuk menjadi orang Indonesia sejati, menurut laporan khusus Pew Research Center. Kami bertanya kepada panel yang terdiri dari enam pemimpin Indonesia—tiga muslim dan tiga kristiani—mengenai pendapat mereka tentang bagaimana agama mereka berperan dalam arti menjadi orang Indonesia.

Responden Islam:

Halim Mahfudz: Dari sudut pandang Islam, agama Anda mewarnai semua tindakan Anda, termasuk perilaku, etika, dan hubungan Anda dengan manusia lain. Jadi, agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Jika pemerintahan diwarnai oleh nilai-nilai agama—tidak sebatas Islam tetapi enam agama yang diakui di Indonesia—konflik tidak akan terjadi.

Dalam Islam, tidak ada ayat yang memaksa orang lain untuk beribadah seperti yang dilakukan umat Islam, dan Al-Quran tidak mengizinkan pemerintah untuk memaksakan nilai-nilai Islam pada semua agama. Al-Qur’an mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus ke bumi ini tidak lain bertujuan untuk menjadi rahmat bagi semua makhluk dan bahwa kita harus menunjukkan kasih sayang kepada semua makhluk.

Pada tahun-tahun menjelang kematiannya, Muhammad mengirim sahabat-sahabatnya untuk bermigrasi ke Etiopia, yang diperintah oleh seorang Kristen, Raja Najash. Raja itu berkata bahwa dia tidak akan menyerahkan migran Muslim tersebut kepada orang Arab Quraisy, dan kemudian dia meninggal dunia. Muhammad pun melakukan doa pemakaman (salat al-gha’ib) untuk sang raja. Hal ini menunjukkan rasa hormat Muhammad terhadap sesama manusia, meskipun mereka bukan muslim.

Inayah Rohmaniyah: Kuatnya ikatan antara identitas keislaman seseorang dan identitas keindonesiaan tidak berarti bahwa orang non-muslim bukanlah orang Indonesia.

Yang perlu diperkuat, khususnya di kalangan generasi muda, adalah kesadaran historis akan hubungan negara dan agama yang dianut untuk meneruskan semangat para pendiri bangsa. Namun kaum muda kehilangan koneksi ini dan nasionalisme pun terkikis. Sejarah sering kali dianggap tidak penting, padahal sejarah berfungsi sebagai petunjuk yang menunjukkan jalan ke depan.

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak melulu persoalan mayoritas dan minoritas. Itu adalah hasil kerja dan perjuangan seluruh warga negara, perjuangan tanpa batas yang tidak dibatasi oleh suku, agama, dan ras. Ketika kita telah mencapai kemerdekaan, kita harus melindungi negara kita. Hal itu harus kita lakukan bersama-sama dengan merangkul semua agama, ras, dan antar-golongan, seperti halnya kita bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan di masa lalu. Dengan begitu, ancaman perpecahan bisa diminimalisir.

Amin Abdullah: Saya membedakan antara negara bangsa dan negara agama. Di India, sebagian umat Hindu menyatakan bahwa jika Anda bukan Hindu, Anda bukan orang India (gerakan Hindutva), meskipun India adalah sebuah negara-bangsa. Di Indonesia tidak seperti itu. Masih ada konstitusi yang perlu dipatuhi. Negara bangsa didasarkan pada konstitusinya, yang didalamnya terdapat aparatur negara dan masyarakat sipil dengan berbagai komponen yang saling berbagi tanggung jawab dan menjaga bangsa dan negara.

Oleh karena itulah tonggak sejarah bangsa menjadi penting. Pertama, Sumpah Pemuda tahun 1928 yang mengusung gagasan Indonesia bersatu, karena tidak menyebut agama, hanya satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa. Kedua, pada tahun 1945, lahirnya konstitusi dan Pancasila yang memperjelas bahwa kita beriman kepada Tuhan dengan memberikan ruang bagi agama yang berbeda. Inilah nilai-nilai yang perlu dipupuk dan disebarkan.

Dengan demikian, pemeluk agama lain dapat dengan yakin mengatakan, “Saya beragama Buddha atau Kristen, dan saya orang Indonesia.”

Responden Kristen:

Tantono Subagyo: Menjadi umat Kristen di Indonesia berarti menjadi bagian dari komunitas yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat serta berupaya mengikuti ajaran dan teladan-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Kita juga diminta untuk mencintai dan melayani sesama manusia, terutama yang berbeda dengan kita. Kita harus menghormati dan menghargai keberagaman agama, budaya, dan suku di Indonesia serta berkontribusi dalam membangun perdamaian, keadilan, dan kemajuan bersama.

Namun kita juga harus ingat bahwa kita adalah warga kerajaan Allah yang hanya tinggal sementara di dunia ini. Kita tidak boleh mengutamakan kepentingan bangsa di atas Kristus. Pada saat yang sama, kita tidak boleh terlibat dalam konflik, kekerasan, atau diskriminasi yang bertentangan dengan nilai-nilai Injil.

Ferry Mamahit: Banyak umat kristiani di Indonesia, didorong oleh rasa nasionalisme yang kuat, telah mengorbankan hidup mereka demi kemerdekaan dan demokrasi Indonesia. Hal ini bukan sekedar wujud kesetiaan dan pengabdian kepada bangsa dan negara, namun juga terhadap nilai-nilai kristiani seperti keadilan, kebenaran, cinta kasih, dan perdamaian.

Meskipun Alkitab tidak secara eksplisit menggunakan istilah nasionalisme, prinsip-prinsip seperti melindungi kedaulatan nasional, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan meningkatkan kesejahteraan bangsa sejalan dengan ajaran Alkitab (Rm. 13:1–7; Yer. 29:7). Praktisnya, hidup berdasarkan kebenaran Alkitab membuat seorang Kristen menjadi “Kristen Indonesia” yang sejati (100 persen Indonesia, 100 persen Kristen).

Farsijana Adeney Risakotta: Ketika seorang muslim menganggap bahwa menjadi seorang muslim juga berarti menjadi orang Indonesia sejati, hal ini menyiratkan penerimaan bahwa identitas keislamannya dibentuk dalam konteks menjadi orang Indonesia. Indonesia bukanlah negara Islam melainkan negara bertakwa di mana warganya bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda agama dan latar belakang.

Pada masa penjajahan Belanda, Belanda mengirimkan misionaris untuk membuka sekolah bagi rakyat jelata. Pesan pembebasan Kristus menjadi berkat bagi Indonesia.

Namun, kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari umat Kristen Belanda melainkan hasil pengorbanan dan perjuangan umat Kristen dan umat berbagai agama lain di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan yang melibatkan umat kristiani untuk menegosiasikan hak kewarganegaraannya—yang setara dengan umat muslim.

Baca biografi panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Also in this series

Our Latest

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube