Saya dibesarkan dengan kebiasaan mencari ayat dengan cepat. Guru Sekolah Minggu atau pemimpin kelompok remaja akan meneriakkan sebuah perikop, pasal dan ayat, dan kami akan berebut untuk menemukannya terlebih dahulu. Hal ini penting bagi gereja tempat saya bertumbuh dan sub-kultur Injili tempat saya dibesarkan sehingga kami disebut “orang-orang pecinta Alkitab.”
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya mulai mengambil program doktoral di bidang teologi politik, saya bergabung di sebuah gereja dengan tradisi yang berbeda dari tempat saya dibesarkan. Gereja baru saya masih tergolong “gereja sederhana” dalam banyak hal—tidak ada aroma atau lonceng atau jubah dan bangunan gereja yang sederhana. Namun dalam konteks ini, saya memahami Alkitab dengan cara yang berbeda dalam bentuk liturgi—yaitu kata-kata yang dimaksudkan untuk menanamkan Sabda Allah di dalam hati kita.
Setelah pembacaan Kitab Suci, sang pendeta berkata, “Demikianlah Firman Tuhan,” dan jemaat menjawab, “Syukur kepada Allah.” Dalam dua frasa singkat itu, saya menemukan sebuah teologi Kitab Suci yang kaya, yang secara langsung menjawab kecemasan kita tentang bagaimana menerapkan Alkitab di dunia yang sarat dengan teologi dan politik.
Seperti yang ditulis oleh teolog Brad East dalam bukunya The Church’s Book: Theology of Scripture in Ecclesial Context, penyebutan secara liturgikal dari sebuah teks sebagai “Firman Tuhan” mengingatkan komunitas jemaat yang berkumpul bahwa apa yang mereka dengar adalah “perkataan dari Allah yang hidup.”
Keajaiban kata-kata manusia dan Firman ilahi ini dimungkinkan karena Allah berkenan memakai manusia untuk tujuan penebusan di luar diri mereka sendiri. Meskipun manusia adalah “seperti rumput, dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput,” sebagaimana yang dikatakan 1 Petrus 1:24–25, namun “firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya.”
Dengan terbiasanya kita dengan keajaiban ini, mungkin jadi menyembunyikan betapa luar biasanya keajaiban tersebut. Meskipun kitab-kitab dalam Alkitab ditulis “oleh tangan manusia” seperti yang dikatakan teolog J. Todd Billings, namun “penegasan gereja akan Alkitab sebagai Firman Tuhan bukanlah kasus sederhana tentang pemindahan hak cipta dari ciptaan kepada Sang Pencipta.”
Sebaliknya, kita mengatakan bersama-sama sebagai komunitas iman bahwa penulis utama Kitab Suci adalah Allah, yang memilih untuk memakai manusia demi tujuan-Nya yang lebih besar agar bisa berkomunikasi dengan umat-Nya. “Demikianlah Firman Tuhan” tidak hanya mengomunikasikan pengakuan akan nilai atau kebenaran Kitab Suci; tetapi juga mengakar pada nilai dan kebenaran tersebut dalam keputusan Allah untuk berkomunikasi dan menciptakan sebuah komunitas.
Ketika kita merespons pembacaan Kitab Suci dengan “Syukur kepada Allah,” kita tidak hanya setuju dengan sebutan kata-kata yang dibacakan itu sebagai “Firman Tuhan.” Kita menggemakan 2 Korintus 9:15: “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!”
Dengan cara yang dapat dilakukan melalui ritme, liturgi, atau disiplin rohani yang terbaik, bahasa yang teratur ini telah menumbuhkan dalam diri saya suatu sikap alami untuk bersyukur. Bahkan ketika perikop Alkitab menjadi membingungkan, terdengar aneh, atau tampak kontradiktif, satu latihan kecil ini telah membuat saya terbiasa untuk menjawab “Syukur kepada Allah” ketika Alkitab dibacakan.
Jika hal ini terdengar terlalu pasif, hal itu mungkin karena kita sudah terbiasa (terutama dalam kalangan Injili Amerika) untuk melihat Alkitab sebagai tempat penyimpanan yang berisi bahasa, simbol, dan kisah-kisah yang yang sangat membantu dan penuh dengan otoritas ilahi yang dapat kita gunakan sesuka hati. Kita melihat banyak orang—baik pendeta maupun politisi—menggunakan Alkitab seperti senjata yang dapat mereka kendalikan sepenuhnya.
Para pendeta yang terlibat dalam skandal pelecehan, memakai ayat-ayat yang menentang bergosip atau ayat-ayat yang mendukung otoritas gereja. Para politisi mengutip ayat-ayat tentang Israel seolah-olah ayat-ayat itu ditulis tentang Amerika.
Posting Facebook dan percakapan di gereja ketika potluck juga memberi kita banyak contoh: tentang orang-orang yang menggunakan ayat Alkitab untuk membenarkan diri mereka sendiri, mendukung partai politik mereka, atau menyakiti orang lain dengan memakai otoritas ilahi. Alkitab telah disalahgunakan dengan sangat parah, dan kita mungkin tergoda untuk mengabaikan otoritas Alkitab sama sekali.
Namun praktik sederhana untuk mengungkapkan rasa syukur kita kepada Tuhan atas Firman-Nya mengingatkan kita bahwa Alkitab bukanlah sebuah artefak statis di mana kita berdiri di atasnya—baik dengan agenda pribadi atau politik—melainkan sebuah Firman yang berotoritas atas kita.
Pakar Alkitab Ellen Davis mengatakan banyak dari pembacaan Alkitab kita dilakukan hanya untuk meneguhkan anggapan kita, dan hal itu adalah berdosa. “Ini adalah sebuah tindakan perlawanan terhadap Firman Allah yang menyegarkan yang berbicara kepada kita,” tulisnya, “ini adalah suatu penyangkalan yang efektif terhadap Alkitab yang merupakan firman Allah yang hidup.”
“Demikianlah Firman Tuhan” mengingatkan kita tentang siapakah Firman itu sebenarnya—dan tentang kedaulatan Allah yang dengan penuh kasih menyatakan diri kepada umat-Nya.
Kita selalu cenderung untuk “memperebutkan Alkitab”—terkadang karena pertanyaan-pertanyaan penafsiran yang penting dan layak, tetapi sering kali juga karena kita ingin mengklaim jubah otoritas ilahi untuk diri kita sendiri.
Doktrin kita tentang Kitab Suci, yang dilatih ulang dalam dua kalimat singkat ini, mengingatkan kita bahwa Allah selalu memakai manusia yang telah jatuh dan terbatas untuk tujuan-Nya yang lebih besar. Tanggapan kita seharusnya bukan dengan menggunakan Firman-Nya seperti senjata tetapi untuk memuji Dia atas pemberian ini. Syukur kepada Allah!
Kaitlyn Schiess adalah mahasiswa doktoral teologi politik di Duke Divinity School dan penulis The Ballot and the Bible (yang akan diterbitkan Brazos Press, pada Agustus 2023) dan The Liturgy of Politics (IVP 2020).
Diterjemahkan oleh Cynthia Sentosa.