Artikel ini diadaptasi dari sebuah khotbah yang disampaikan Sam Storms pada 30 November 2008.
Fakta alkitabiah yang sesungguhnya adalah bahwa, pada akhirnya, Allah tidak membutuhkan kita.
Saya tahu ini menembus jauh ke dalam rasa penting diri kita, tetapi perhatikan baik-baik apa yang Paulus katakan kepada para filsuf di Atena: “Ia juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang” (Kis. 17:25). Dalam teks lain, Paulus memuji Allah sebab “segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Rm. 11:36). Jika Allah sudah memiliki segala sesuatu dan dalam diri-Nya sendiri sempurna sepenuhnya, apa yang kita pikir bisa kita tambahkan kepada keberadaan-Nya yang sudah sungguh-sungguh tercukupi itu? Kebenarannya adalah bahwa Allah dalam Alkitab adalah Allah yang kesukaan terbesar-Nya bukan berasal dari menuntut, tetapi dari memenuhi kebutuhan.
Namun tragisnya, banyak orang Kristen menguras tenaga mereka untuk mencoba menutupi apa yang mereka pikir sebagai kekurangan pada Allah. Pendekatan mereka terhadap kehidupan Kristen adalah berusaha memberi kepada Allah apa yang mereka pikir Ia kurang. Namun Allah paling dihormati bukan ketika kita mencoba menambah apa yang secara keliru kita anggap sebagai berkurangnya persediaan milik-Nya, melainkan ketika kita datang kepada-Nya dengan rendah hati untuk menerima dari belas kasihan dan kebaikan-Nya yang hanya Ia sendiri dapat berikan. Bertentangan dengan anggapan sebagian orang bahwa Hedonisme Kristen—karena banyak berbicara tentang mencari kesenangan dan kebahagiaan—berpusat pada manusia, sebenarnya ajaran ini sangat teosentris. Berikut penjelasannya.
Perhatikan gambaran dinamika rohani yang tampak ketika Daud mengerjakan apa yang mungkin menjadi proyek pembangunan terbesar dalam sejarah. Dalam 1 Tawarikh 29:6–20, kita membaca tentang kekayaan yang dikumpulkan untuk pembangunan Bait Allah. Dari sudut pandang manusia, tampaknya Daud dan bangsa Israel patut dipuji karena memberi dengan begitu murah hati untuk pekerjaan Tuhan. Namun kita harus melihat melampaui apa yang tampak dan memahami tangan Allah yang bekerja.
Kisah ini benar-benar kisah yang menakjubkan. “Dengan segenap kemampuan aku” (29:2) dan “oleh karena cintaku” (29:3), kata Daud, “aku telah mengadakan persediaan untuk rumah Allahku.” Umat pun “menyatakan kerelaannya” (29:6) dan “dengan tulus hati” (29:9) menyediakan sumber daya yang diperlukan bagi pekerjaan besar ini. Sekali lagi, “dalam kejujuran” hatinya Daud “dengan sukarela dan tulus ikhlas” (29:17) memberikan segala sesuatunya itu. Tidak ada yang memberi karena terpaksa atau karena takut atau merasa bersalah. Mereka bersukacita dalam kebebasan dan kesempatan untuk berpartisipasi.
Namun ada lebih banyak hal dalam kisah ini daripada yang tampak di permukaan. Agar kita dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, Roh Kudus telah mengilhamkan doa Daud bagi kita. Di balik segala upaya manusia yang penuh sukacita, kerelaan, dan kegembiraan, terdapat tangan Allah yang mencukupi segala sesuatu dan mencurahkan berkat-Nya dengan penuh limpah kepada umat-Nya.
Kita melihat hal ini pertama-tama ketika Daud segera memuji Allah (29:10). Responsnya terhadap limpahan kekayaan duniawi yang begitu besar ini adalah dengan memuji Allah, bukan manusia. Pujian ini diwujudkan dalam belasan pernyataan tentang siapa Allah dan apa yang Ia lakukan, yang semuanya tampak melalui kerelaan umat-Nya untuk memberi begitu banyak bagi pembangunan Bait Allah.
Dalam ayat 11, Daud menyatakan bahwa “segala-galanya yang ada di langit dan di bumi” adalah milik Allah. Inilah sebabnya mengapa memberi selalu kembali kepada Allah: Ia sudah memiliki segalanya. Ia memiliki pakaian Anda, mobil Anda, rekening bank Anda, tubuh Anda, rumah Anda, buku-buku Anda, perhiasan Anda, televisi Anda — semua adalah milik-Nya. Ia memiliki pikiran Anda, emosi Anda, roh Anda, mata Anda, telinga Anda, rambut Anda, darah Anda, dan bahkan kuku kaki Anda. Ia telah memberikan hal-hal ini dengan murah hati dan tulus untuk kita gunakan dan nikmati demi kemuliaan-Nya, dan Ia dapat mengambilnya kembali kapan saja Ia kehendaki. Kita hanyalah para pengelola atau penatalayan dari apa yang Allah miliki. Ia pun memiliki setiap sen (atau syikal) yang akan kita berikan kepada-Nya dengan sukacita dan kerelaan.
Pernyataan kesembilan dari kedua belas deklarasi ini tidak kalah menakjubkan dalam implikasinya. Dalam ayat 12, Daud berkata bahwa “kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu.” Allah bukanlah perampas sesuatu yang bukan hak-Nya. Dari sudut pandang manusia, uang dan kekayaan yang diberikan untuk membangun Bait Allah tampaknya berasal dari pekerjaan, usaha, simpanan, dan investasi umat itu sendiri. Mungkin ada yang memperoleh keuntungan dari transaksi bisnis yang cerdik. Mungkin beberapa mendapat laba besar dari penjualan tanah. Namun apa pun itu, Daud berkata bahwa seluruh kekayaan berasal dari Allah. Apa pun yang dikerjakan, dihasilkan, diinvestasikan, dijual, lalu diberikan seseorang, semuanya pertama-tama mereka terima dari Allah.
Masih dalam ayat 12, Daud menegaskan bahwa dalam tangan Allahlah “kuasa untuk membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.” Apa pun sumber daya atau pencapaian yang tampaknya berasal dari umat dan memungkinkan mereka memberi, semuanya pada akhirnya berasal dari Allah. Kuasa, pengaruh, kecerdasan, kesuksesan, komitmen, apa pun itu, adalah hasil dari karya Allah yang penuh kasih dan kemurahan, bekerja di dalam dan melalui umat-Nya demi kesejahteraan mereka dan kemuliaan-Nya sendiri.
Hal kesebelas yang Daud nyatakan muncul dalam bentuk pertanyaan: “Sebab siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan sukarela seperti ini?” Ini adalah cara Daud mengatakan bahwa Allahlah yang memampukan kita melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak pantas kita dapatkan pertolongan untuk melakukannya. Siapakah kami, tanya Daud, sehingga kami layak menerima pertolongan Allah yang mendorong kami untuk menghasilkan kekayaan ini dan kemudian menggerakkan hati kami untuk memberikannya? Kami adalah orang berdosa. Kami tidak layak menerima apa pun selain penghukuman.
Mungkin bagian yang paling memberikan pengajaran yang kuat dari perkataan Daud muncul berikutnya di ayat 14: “Sebab dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu” (atau dalam terjemahan NASB, “dari tangan-Mu kami telah memberikan kepada-Mu”). Ia tidak berkata “ke tangan-Mu” seolah-olah semuanya bermula dari kita lalu berakhir pada Allah. Sebaliknya, ia berkata “dari tangan-Mu.” Dengan kata lain, apa pun yang mereka berikan, mereka terlebih dahulu menerimanya dari Allah. Ia mengulangi hal serupa dalam ayat 16: “Ya TUHAN, Allah kami, segala kelimpahan bahan-bahan yang kami sediakan ini untuk mendirikan bagi-Mu rumah bagi nama-Mu yang kudus adalah dari tangan-Mu sendiri dan punya-Mulah segala-galanya.” Kita tidak mempersembahkan kepada Allah sesuatu yang Ia kekurangan. Dalam memberi, kita tidak menambah sumber daya-Nya atau meningkatkan saldo rekening milik-Nya. Bagaimana mungkin kita menambah kekayaan seseorang yang sudah memiliki segalanya? Pemberian kita hanyalah cerminan dari pemberian Allah.
Kedua belas, dan terakhir, Daud berdoa agar Allah “tetap (memelihara) untuk selama-lamanya kecenderungan hati umat-Mu yang demikian ini dan tetaplah tujukan hati mereka kepada-Mu. Dan kepada Salomo, anakku, berikanlah hati yang tulus sehingga ia berpegang pada segala perintah-Mu dan peringatan-Mu dan ketetapan-Mu” (ayat 18). Pemberian Allah dalam hal ini bukan hanya bahwa Ia memungkinkan kita untuk bekerja keras, bukan hanya bahwa Ia memberikan kekayaan kepada siapa pun yang Ia kehendaki, tetapi bahwa sebenarnya Ia memberikan kepada kita kerelaan untuk memberi. Ya, bangsa itu memang memberi (ayat 9). Mereka memberi dengan sukarela, dengan kehendak sendiri, dan dengan sukacita. Itu adalah pemberian yang sungguh-sungguh, dipilih secara bebas, dilakukan dengan hati gembira. Mereka membuat keputusan-keputusan. Keputusan yang nyata. Keputusan yang berkorban. Keputusan yang membawa dampak. Keputusan-keputusan yang tanpanya Bait Allah tidak akan dibangun. Namun secara misterius, dengan cara yang tidak akan pernah sepenuhnya kita pahami, di balik dan di bawah keputusan-keputusan itu bekerja anugerah Allah yang memampukan.
Semua ini berarti bahwa Allah kita adalah Allah yang memiliki kekayaan tak terbatas dan tak terukur. Ia memiliki segala sesuatu yang ada. Ia tidak memerlukan hadiah atau persembahan atau kontribusi seolah-olah Ia miskin, tak berdaya, atau bergantung. Kitalah yang miskin, tak berdaya, dan bergantung. Allah selalu adalah pemberi. Kita selalu adalah penerimanya. Kita harus memahami hal ini jika kita ingin bertumbuh dalam kehidupan Kristen dan dalam upaya kita mengejar kekudusan.
Dari Tawarikh ke Korintus
Mari kita melompat beberapa abad dari 1 Tawarikh ke 2 Korintus dan perhatikan bahwa pelayanan Allah bagi umat-Nya tidak berkurang seiring waktu (atau karena pergantian perjanjian).
Seruan Paulus yang penuh semangat dalam 2 Korintus 8–9 untuk memberi dengan murah hati muncul dari kondisi kemiskinan jemaat di Yerusalem (lih. 1Kor. 16:1–4; Rm. 15:25–27). Alasan-alasan yang menyebabkan krisis tersebut beragam: selain kelebihan populasi, ada pengasingan sosial dan ekonomi, kehilangan warisan setelah menjadi Kristen, retaknya hubungan keluarga, penganiayaan, dan dampak berkepanjangan dari kelaparan pada tahun 46 M (lih. Kis. 11:27–30). Usaha Paulus mengumpulkan dana untuk menolong orang-orang kudus di Yerusalem sangatlah tepat. Ini merupakan wujud nyata dari tekadnya seperti yang ia katakan dalam Galatia 2:10: “hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya.”
Dengan menunjuk pada teladan pemberian yang penuh pengorbanan dari jemaat Makedonia (orang Kristen di Filipi, Tesalonika, dan Berea), Paulus berharap dapat mendorong jemaat Korintus untuk menyelesaikan upaya mereka dalam berkontribusi kepada saudara-saudara mereka di Yerusalem yang hidup dalam kemiskinan (2Kor. 8:10–11).
Ya, Paulus mengacu pada apa yang dilakukan orang-orang percaya di Makedonia. Namun, seperti Daud dalam 1 Tawarikh, ia segera mengakui bahwa apa yang mereka lakukan dalam melayani saudara-saudara mereka adalah buah dari apa yang Allah lakukan terlebih dahulu dalam melayani mereka. Jika orang-orang Makedonia “memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah,” dalam pelayanan ini (ayat 5), itu karena Allah terlebih dahulu “menganugerahkan kasih karunia-Nya” kepada mereka (ayat 1). Apa pun pencapaian mereka yang dipuji, pada akhirnya semuanya dikaitkan dengan karya kasih karunia ilahi yang mendahului tindakan mereka. Di sini kita melihat keharmonisan antara kehadiran kasih karunia ilahi yang mendahului segala sesuatu dan tanggung jawab moral dari keputusan manusia. Dalam ayat 3, Paulus berkata bahwa mereka memberi “menurut kerelaan mereka sendiri,” tetapi dalam ayat 1 kerelaan mereka ditelusuri kembali kepada pemberian Allah: kasih karunia. Prinsip yang sama muncul dalam ayat 16 dan 17, ketika Paulus berkata bahwa Allah yang menaruh “kesungguhan” di hati Titus, yang kemudian pergi kepada jemaat Korintus “atas kerelaannya sendiri.”
Mereka tidak memberi karena Allah telah memberkati mereka secara finansial. Faktanya, Ia tidak melakukannya. Berkat finansial tidak menghasilkan sukacita. Sebaliknya, sukacita yang menghasilkan berkat finansial (bagi orang-orang kudus di Yerusalem). Sukacita mereka, karena itu, bukan terletak pada uang, tetapi pada Allah dan pengalaman akan kasih karunia-Nya. John Piper menjelaskan:
Bagaimana perilaku yang begitu bertentangan dengan budaya dan dengan kecenderungan alami manusia ini dapat terjadi? Bagaimana orang-orang Kristen dibebaskan dari cinta uang dan kenyamanan? Sebagian jawabannya dalam ayat 2 adalah bahwa kelimpahan sukacita mereka meluap. Sukacita dalam sesuatu yang lain telah memutus akar sukacita dalam uang. Mereka dibebaskan oleh sukacita untuk memberi kepada orang miskin. Tetapi dari mana datangnya sukacita yang begitu kuat dan tidak berasal dari dunia ini? Jawabannya adalah bahwa sukacita itu datang dari kasih karunia Allah. … Apa yang jemaat Korintus (juga Anda dan saya) seharusnya pelajari dari kisah ini adalah bahwa kasih karunia yang sama yang diberikan di Makedonia juga tersedia sekarang di Korintus (dan di kota mana pun Anda tinggal, di gereja mana pun Anda beribadah).
Jangan lewatkan dinamika rohani yang terjadi di sini: Kasih karunia turun, sukacita timbul, kemurahan mengalir keluar. Hanya karena kasih karunia Allah, mereka mengalami sukacita, dan karena sukacita dalam kasih karunia itulah, mereka memberi dengan begitu murah hati.
Ketika mereka mempertimbangkan kemampuan mereka untuk memberi, mereka pasti memikirkan keadaan mereka saat itu dan kebutuhan dan kewajiban mereka di masa depan. Setelah mempertimbangkannya, mereka kemudian mengabaikan semuanya. Bukan karena mereka bodoh. Tidak diragukan lagi mereka memahami konsekuensinya dan menerimanya dengan sukarela. Kemungkinan besar, mereka terlebih dahulu menentukan apa yang secara wajar dapat mereka berikan, lalu melampaui jumlah itu. Mereka mampu melakukan ini karena kasih karunia sedang bekerja dalam hati mereka. Allah sedang melayani mereka sehingga mereka dapat dengan sukacita melayani orang lain. Itu saja yang dapat menjelaskan betapa luar biasanya tindakan kasih dan kesungguhan mereka.
Dan sekali lagi, hal ini sama sekali tidak mengurangi nilai moral dari apa yang mereka lakukan, sebab Paulus menegaskan bahwa mereka memberi bukan karena terpaksa atau dipaksa, melainkan atas kehendak mereka sendiri — dengan bebas dan sukarela (ayat 3). Mereka tidak memberi karena serakah (berpikir bahwa dengan memberi mereka pada akhirnya akan mendapatkan kembali lebih banyak), bukan karena rasa bersalah, bukan karena takut, bukan karena perintah kerasulan, atau karena alasan-alasan lain semacam itu. Faktanya, Paulus menolak meminta uang dari mereka untuk pengumpulan bantuan, karena ia tahu benar kondisi keuangan mereka. Merekalah yang terdorong untuk mendesak, memohon kepada Paulus agar mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelayanan ini. Menakjubkan. Kebanyakan orang memohon untuk menerima uang; jemaat Makedonia memohon untuk memberi uang. Sekali lagi, Piper menulis:
Ketika orang-orang Makedonia yang sangat miskin memohon kepada Paulus agar diberi hak istimewa untuk memberi uang kepada orang-orang kudus lain yang juga miskin, kita dapat mengasumsikan bahwa itu adalah sesuatu yang mereka ingin lakukan, bukan sekadar sesuatu yang seharusnya dilakukan atau harus dilakukan, tetapi sesuatu yang benar-benar mereka rindukan untuk lakukan. Itu adalah sukacita mereka — perpanjangan dari sukacita mereka dalam Allah. Lebih jelasnya, mereka sedang ‘menyangkal diri’ dari berbagai kesenangan atau kenyamanan yang bisa mereka dapatkan dari uang itu, tetapi sukacita memperluas kasih karunia Allah kepada orang lain adalah upah yang jauh lebih baik daripada apa pun yang uang bisa beli. Jemaat Makedonia telah menemukan bentuk kerja keras dalam Hedonisme Kristen: kasih. Kasih adalah luapan sukacita dalam Allah yang dengan sukarela memenuhi kebutuhan orang lain.
Paulus menempatkan semuanya ini dalam perspektif pada pasal sembilan dengan dua pernyataan penting bagi pembahasan kita. Pertama, ia menyatakan bahwa “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (ayat 7). Tidak perlu dikatakan lagi, jika Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita, maka Ia tidak berkenan ketika orang memberi tetapi tidak melakukannya dengan sukacita, sekalipun jumlah pemberian itu besar. Piper menulis, “Ketika orang-orang tidak menemukan kesenangan (dalam istilah Paulus: sukacita) dalam tindakan-tindakan pelayanan mereka, Allah pun tidak berkenan atas tindakan itu.” Apakah itu berarti jika kita tidak memiliki sukacita, kita tidak boleh memberi sama sekali? Tidak. “Meskipun kasih tanpa sukacita bukanlah tujuan kita, tetap lebih baik melakukan kewajiban tanpa sukacita daripada tidak melakukannya sama sekali, asalkan ada roh pertobatan atas kekeringan hati kita.”
Selanjutnya, perhatikan juga janji kelimpahan dalam ayat 8–11, sebuah bagian yang sering disalahgunakan oleh mereka yang mengajarkan versi picik dari injil kemakmuran. Hasilnya, Allah berkata kepada mereka yang memberi dengan sukacita dan kemurahan: “Baiklah, Aku melihat engkau akan menanggapi ini dengan serius. Bagus. Engkau memang serius. Nah, Aku juga. Aku akan berjanji kepadamu. Selama engkau rela memberi (kerelaan yang kita lihat dalam 1 Tawarikh dan 2 Korintus 8, yang mana berasal dari pekerjaan kasih karunia Allah yang mendahului), Aku tidak akan pernah membiarkanmu kekurangan sumber daya untuk melakukannya. Aku tidak akan membiarkanmu memberi hingga jatuh ke dalam kemiskinan. Itu janji-Ku.”
Jelaslah, Allah berjanji untuk mencukupi dengan limpah mereka yang memberi dengan murah hati. Paulus ingin jemaat Korintus bebas dari ketakutan bahwa memberi dengan murah hati akan membuat mereka jatuh miskin. Tetapi untuk tujuan atau dengan maksud apa Allah membuat para penatalayan Kristen yang murah hati berkelimpahan?
Mengapa Allah menjanjikan kelimpahan finansial kepada mereka yang memberi dengan sukacita dan kerelaan?
Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, apakah Anda memperhatikan penggunaan kata-kata universal yang begitu tegas oleh Paulus dalam ayat 8? “Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.” Seolah-olah Paulus benar-benar ingin menekankan suatu hal penting di sini.
Sekarang, mengenai jawabannya: Allah berjanji untuk terus mencukupi kebutuhan kita secara finansial agar “kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (9:8b). Sekali lagi, hal itu dilakukan agar Ia dapat “melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu” (9:10). Dan akhirnya, agar “kamu diperkaya dalam segala macam kemurahan hati” (9:11). Poin Paulus adalah bahwa Allah tidak akan pernah menggerakkan hati Anda untuk memberi lalu gagal menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk melakukannya. Namun gagasan bahwa kita harus memberi demi mendapatkan kekayaan pribadi agar hidup lebih nyaman, lebih enak, atau membeli kekuasaan, sama sekali asing dari ajaran Paulus. Kekayaan pribadi di sini, bukan dipandang sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi: kemurahan hati terhadap mereka yang membutuhkan.
Akhirnya, ayat 12 dan 13 menghapus setiap keraguan tentang apakah seluruh situasi ini merupakan hasil dari Allah yang melayani umat-Nya. Paulus mengatakan bahwa pelayanan memberi ini membangkitkan syukur kepada Allah, sebab semua pemberian bersumber dari kasih karunia-Nya (ayat 12b). Lalu sekali lagi dalam ayat 13, ketika orang-orang merenungkan pemberianmu, kata Paulus, mereka akan terdorong untuk memuliakan Allah (ayat 13a), sesuatu yang hanya masuk akal jika memang Allahlah yang pada akhirnya sedang melayani kita dengan menyediakan sumber daya untuk memberi.
Sam Storms adalah pendeta di Bridgeway Church dan pemimpin Enjoying God Ministries di Kansas City. Sebelumnya ia adalah profesor teologi di Wheaton College.