Sebagian besar orang mengunjungi Shirahama, sebuah kota resor di pesisir selatan Jepang, untuk menikmati pantainya yang berpasir dan onsen (pemandian air panas) yang memulihkan. Namun beberapa orang pergi ke sana karena mereka ingin bunuh diri.
Di sebuah gereja dekat Pantai Shirahama, suara dering telepon yang nyaring memecah keheningan malam. “Moshi moshi?” jawab Yoichi Fujiyabu. Di ujung telepon, suara bergetar berbisik dalam bahasa Jepang: “Tolong … bantu.” Fujiyabu meraih kuncinya, bergegas masuk ke mobil, dan melaju ke dalam kegelapan malam. Tujuannya: Sandanbeki, tebing megah yang menghadap ke pantai Shirahama. Tempat itu juga merupakan salah satu lokasi bunuh diri paling terkenal di Jepang.
Cahaya lampu depan mobil menembus gelap yang menyesakkan. Di sana, sesosok orang berdiri sendirian di tengah sorotan lampu. Fujiyabu keluar dari mobil. Tanah berderak di bawah kakinya saat ia berjalan mendekati bayangan di depannya.
Adegan ini berasal dari film dokumenter tahun 2019 The Pastor and the Cliff of Life, dan merupakan adegan yang kerap terulang kembali dalam kehidupan Fujiyabu, pendeta Shirahama Baptist Christ Church, sering kali pada jam-jam paling sunyi di malam hari.
Selama hampir tiga dekade, Fujiyabu berdiri di garis depan pencegahan bunuh diri di Shirahama. Hingga kini, ia telah mencegah lebih dari 1.100 orang—ia mencatat detail setiap orang yang ia selamatkan—dari upaya bunuh diri di Sandanbeki.
Sandanbeki berjarak lima menit berkendara dari pusat kota. Karena tebing ini hampir setinggi 200 kaki dan laut di bawahnya memiliki arus yang kuat, tempat ini menjadi tujuan populer bagi mereka yang ingin bunuh diri, karena tubuh sering terseret arus tanpa jejak.
“Tempat ini begitu indah, dan justru itulah yang membuat perbedaannya semakin tajam,” kata Fujiyabu saat ia mengantar saya menuju tebing yang diterpa angin pada suatu hari yang terik di akhir Agustus. Angin berhembus dari laut sementara cahaya matahari menari di atas ombak. Semuanya tampak seperti gambar kartu pos yang sempurna, sampai mata saya tertuju pada sebuah monumen batu tunggal yang didirikan untuk mengenang mereka yang meninggal karena bunuh diri di Sandanbeki.
Saat saya berjalan menuju tebing bersama Fujiyabu, kami melewati sebuah bilik telepon umum. Kebanyakan bilik telepon seperti ini sudah menghilang di seluruh Jepang, tetapi kota ini mempertahankan yang satu ini untuk tetap berfungsi sehingga orang-orang yang putus asa dapat menelepon Shirahama Rescue Network (SRN), sebuah organisasi nirlaba yang dijalankan oleh Fujiyabu dan gerejanya.
Di luar bilik itu, sebuah papan besar bertuliskan Telephone of Life (Telepon Kehidupan) beserta kutipan parafrase dari Yesaya 43:4: “Engkau berharga dan mulia di mata-Ku. Aku mengasihi engkau.” Di bawahnya, tertera tulisan berhuruf tebal , “Tolong hubungi kami sebelum Anda membuat keputusan penting ini.” Nomor hotline SRN adalah satu-satunya nomor yang tertera di papan itu. Fujiyabu dan timnya telah memasang lima papan serupa di sekitar lokasi, dengan harapan orang-orang akan menghubungi mereka sebelum memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka. Di dalam bilik telepon itu, sebuah salib yang dihiasi bunga tergantung di atas Alkitab Jepang yang sudah lusuh serta telepon berwarna hijau terang.
Saat kami semakin mendekati tepi tebing, Fujiyabu menunjuk beberapa tempat di mana orang-orang pernah melompat dan area lain di mana ia berhasil menarik mereka kembali dari ambang maut. Setiap kali ia menerima panggilan telepon—sekitar tiga hingga lima kali setiap bulan—dan tiba di tebing, tugas pertamanya adalah menemukan si penelepon. Setelah ia menemukannya, ia berusaha membimbing orang itu untuk duduk di kursi belakang mobilnya, menjauh dari tepi tebing, lalu mendengarkan kisahnya.

Pertemuan-pertemuan seperti ini jarang berjalan dengan mudah. Ada yang langsung menolak kehadirannya atau bersikap agresif ketika sudah berada di dalam mobilnya, sering kali karena mereka bimbang dalam memutuskan apakah akan mengakhiri hidup mereka atau tidak.
Dalam situasi seperti itu, Fujiyabu biasanya mengemudi perlahan mengelilingi kota, berputar-putar melewati jalan-jalan sampai orang tersebut tenang dan merasa aman. Barulah sesudah itu ia membawa mereka ke rumahnya atau ke asrama yang dikelola SRN, karena banyak dari mereka tidak punya tempat lain untuk pergi setelah memutus hubungan dengan keluarga, meninggalkan pekerjaan, dan menjual semua harta benda mereka.
Dengan mengenakan kemeja Hawaii dan celana jeans, Fujiyabu, yang berusia 53 tahun, tampak atletis. Senyumnya yang ramah memberi kesan hampir seperti anak-anak. Namun di balik senyum polos itu, terdapat keteguhan hati yang tenang dan kekuatan kehendak yang tak tergoyahkan.
Fujiyabu pertama kali melangkah masuk ke Shirahama Baptist Christ Church saat masih kecil karena seorang gadis mengajaknya ikut ibadah. “Itu motif yangtidak murni, sama seperti anak-anak lain,” kenangnya. Namun seiring ia terus menghadiri gereja, ia perlahan mulai memahami kasih Allah. Saat berusia 10 atau 11 tahun, ia mulai menyadari imannya kepada Kristus.
Ia juga mengembangkan ketertarikan yang mendalam pada pekerjaan kemanusiaan setelah membaca novel anak-anak Harp of Burma, yang menceritakan kisah seorang tentara Jepang yang memutuskan untuk tinggal dan mendedikasikan hidupnya mengurus para korban perang di Burma (Myanmar).
Di sekolah dasar, ia mencoba menggalang dana untuk para pengungsi di Etiopia dan Kamboja. Setelah berbulan-bulan berusaha, ia hanya berhasil mengumpulkan 1.000 yen (sekitar 7 dolar AS), membuatnya merasa tidak berdaya. Kemudian, saat Fujiyabu berada di kamp musim panas gerejanya ketika ia duduk di kelas enam, pendetanya berkhotbah dari Kisah Para Rasul 3. Dalam perikop itu, Petrus berkata kepada seorang pengemis, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu” (ay. 6).
“Ayat itu sangat menghentak saya,” kata Fujiyabu. “Saya menyadari bahwa meskipun saya tidak punya banyak hal untuk diberikan, saya bisa membagikan Injil.”
Momen itu menanamkan benih panggilan hidup Fujiyabu: Membawa pesan pengharapan dari Kristus kepada mereka yang berada dalam keputusasaan. Dalam banyak hal, panggilan ini juga merupakan kelanjutan alami dari waktu yang dijalaninya selama di komunitas gereja Shirahama. Ia tumbuh besar dengan menyaksikan pendahulunya, Taro Emi, membangun pelayanan pencegahan bunuh diri di gereja. Emi memulai operasi penyelamatan di Sandanbeki pada tahun 1979, puluhan tahun sebelum Fujiyabu mengambil peran sebagai pendeta.
Fujiyabu mengingat pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang pernah dirawat oleh Emi. Suatu kali, ia melihat seorang wanita asing menangis di gereja. Di waktu lain, Emi tiba-tiba muncul bersama seorang anak kecil yang tinggal bersamanya selama beberapa bulan.
“Saya menjadi Kristen karena saya melihat kesesuaian antara pesan Injil yang dikhotbahkan di gereja dan cara pendeta Emi menghidupi imannya,” kata Fujiyabu. “Saya pikir, kasih Allah itu nyata, dan ada di sini.”

Saat menempuh studi pelayanan pastoral di Tokyo Christian University—satu-satunya institusi pendidikan tinggi Injili di Jepang—Fujiyabu sama sekali tidak berniat kembali melayani di jemaat kampung halamannya. Semua itu berubah ketika Emi memintanya pulang untuk menggembalakan gereja Shirahama. Ia menawarkan gaji 50.000 yen (sekitar 330 dolar AS) per bulan, jumlah yang jauh di bawah garis kemiskinan di Jepang.
Fujiyabu mengira Emi sedang mengujinya, ingin melihat apakah ia sungguh siap memikul tugas tersebut. “Namun ketika saya mulai bekerja, saya sadar [Emi] benar-benar serius,” kata Fujiyabu. “Itu memang gaji bulanan kami. Hal itu sungguh mengajarkan kami untuk percaya pada pemeliharaan Tuhan.”
Fujiyabu mulai melayani sebagai pendeta pendamping Shirahama Baptist Christ Church pada tahun 1996 dan menjadi pendeta senior tiga tahun kemudian. Saat itu, gereja tersebut nyaris tidak bertahan, karena hanya memiliki sekitar sepuluh jemaat yang beribadah setiap minggu.
Kini, gereja tersebut memiliki lebih dari 50 anggota tetap, termasuk orang-orang yang pindah ke Shirahama dari berbagai belahan dunia untuk bekerja. Sekitar 20 di antara mereka adalah orang-orang yang diselamatkan SRN dari Sandanbeki.
Pada awalnya, gereja menghadapi banyak konflik antara jemaat lama dan mereka yang diselamatkan dari tebing, yang biasanya masih bergumul dengan kecanduan judi atau pornografi, alkoholisme, atau masalah kesehatan mental. Barang-barang gereja sering rusak atau hilang. Beberapa jemaat mulai mengatakan bahwa mereka tidak ingin beribadah bersama para pendatang baru ini. Namun Fujiyabu berkali-kali menegaskan bahwa gereja adalah tempat bagi para pendosa yang tidak sempurna, dan mereka perlu saling menolong dalam kelemahan satu sama lain.
“Saya ingin gereja saya seperti kebun binatang,” katanya, menambahkan bahwa kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang rapi atau terpoles indah.
Pelayanan pastoral Fujiyabu jauh melampaui ibadah hari Minggu dan aksi penyelamatan dramatis di Sandanbeki pada larut malam. Pada awal pelayanannya, ia menyadari bahwa menyelamatkan orang dari tebing dan memberi mereka tempat tinggal sementara tidaklah cukup. Ia ingin menyediakan cara-cara yang lebih konkret untuk membangun pemulihan pribadi dan komunitas.
Selain mengelola asrama, SRN juga menjalankan berbagai usaha di kota. Ada restoran yang menyediakan makanan untuk dibawa pulang bernama Machinaka Kitchen, tempat retret perusahaan, layanan kebersihan, pertanian, dan lainnya. Tempat-tempat kerja ini menyediakan pelatihan dan pembekalan bagi orang-orang yang diselamatkan dari Sandanbeki serta menjadi sumber pemasukan bagi pelayanan tersebut.

Fujiyabu juga ingin membantu anak-anak muda agar tidak menjadikan bunuh diri sebagai pilihan ketika mereka menghadapi tantangan hidup. Gereja menyediakan program pendidikan setelah sekolah dan sekolah menengah jarak jauh bagi mereka yang putus sekolah. Dua tahun lalu, mereka meluncurkan Noko Noko, sebuah pusat pengasuhan anak yang didukung pemerintah yang bertempat di lantai dua Machinaka Kitchen, untuk menyediakan konseling bagi keluarga yang sedang mengalami krisis.
Sebagian besar infrastruktur yang digunakan SRN dan gereja didapatkan dengan biaya yang sangat rendah. Orang-orang Kristen dan pemerintah daerah bersatu mendukung pelayanan Fujiyabu dengan menyumbangkan gedung atau menawarkan harga sewa yang sangat murah.
Di antara staf SRN yang mayoritas adalah orang Kristen, terdapat Ching Khan Nem, yang berasal dari Manipur, India. Nem pertama kali datang ke Jepang untuk belajar bahasa Inggris di Tokyo Christian University. Pada tahun 2019, ia mengunjungi gereja Shirahama sebagai bagian dari perjalanan misi dan makan siang bersama beberapa orang yang tinggal di asrama SRN. Suasananya terasa sangat tegang, dan banyak orang yang makan bersamanya terlihat “tanpa harapan,” kata Nem. “Saya merasa sangat tergerak untuk melayani di sini dan membawa sukacita dan kehangatan ke dalam hidup orang-orang yang putus asa,” tambahnya.
Setahun kemudian, Fujiyabu mengundang Nem untuk bekerja di SRN. Saat ini, Nem terlibat dalam berbagai proyek, termasuk sekolah menengah jarak jauh, program bahasa Inggris yang ia bantu dirikan, kamp musim panas gereja, dan Machinaka Kitchen.
“Fujiyabu mencurahkan hidupnya untuk pelayanan dan bersedia bekerja tanpa lelah setiap hari,” kata Nem tentang pengalamannya bekerja bersama sang pendeta. “Orang-orang juga mengkritiknya karena terlalu banyak bekerja, tapi memang begitulah dirinya.”
Fujiyabu tidak tergoyahkan oleh komentar-komentar orang mengenai pelayanannya dan etos kerjanya. “Orang mengira saya ceroboh karena saya melakukan apa yang saya yakini benar, terlepas apakah itu masuk akal atau tidak,” katanya. “Saya hanya terus melakukan apa yang Tuhan panggil untuk saya lakukan—mendengarkan kebutuhan kota ini dan warganya.”
Tingkat bunuh diri di Jepang adalah yang tertinggi di antara tujuh negara maju, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2018. Meskipun angka bunuh diri secara keseluruhan di negara itu telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, tetapi jumlahnya tetap tinggi, dengan lebih dari 20.000 kematian setiap tahun. Tingkat bunuh diri di kalangan muda khususnya sangat mencemaskan: Tahun lalu, bunuh diri di kalangan anak-anak dan remaja mencapai rekor tertinggi dengan 527 kematian tercatat.
Jam kerja yang panjang, isolasi sosial, tekanan di sekolah, dan stigma terkait masalah kesehatan mental merupakan beberapa alasan yang sering disebut sebagai penyebab tingginya angka bunuh diri di negara Asia Timur ini. Rasa malu juga menjadi faktor penting, karena budaya Jepang mengajarkan bahwa seseorang harus menghindari menjadi meiwaku, atau beban bagi orang lain. Anggota keluarga sering kali menganggap pergumulan seseorang, seperti kehilangan pekerjaan atau utang yang menumpuk, sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Stigma seperti ini dapat mendorong sebagian orang ingin menghilang dari masyarakat sepenuhnya.
Gereja-gereja Injili di Jepang hanya melakukan sedikit tindakan substansial dalam menangani isu bunuh diri. Banyak yang berpandangan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan sosial merupakan ciri kekristenan liberal, sebuah kritik yang juga pernah Fujiyabu terima dari sesama orang-orang percaya dan misionaris. Akan tetapi, menurutnya, kebutuhan yang paling mendesak bagi Injil di Shirahama adalah bagaimana Injil dapat mengatasi masalah bunuh diri tersebut.
Sebagian besar orang di Jepang jarang datang ke gereja ketika mereka membutuhkan pertolongan, keluh Fujiyabu saat kami berkeliling di jalan-jalan Shirahama. “Gereja tidak relevan,” katanya. “Saya ingin mengubah itu. Saya ingin gereja menjadi tempat yang berarti bagi kota ini.”
Di balai kota Shirahama, Fujiyabu memperkenalkan saya kepada Itsuka Kiyomiya, satu-satunya pekerja sosial yang menangani kesehatan jiwa bagi wilayah yang memiliki populasi 21.000 orang tersebut. “Kami menganggap SRN sebagai aset sosial yang sangat penting,” katanya. “Bahkan ketika polisi menemukan seseorang di dekat tebing, yang bisa mereka lakukan hanyalah memberi uang atau tempat tinggal sementara. Itulah mengapa pekerjaan SRN begitu berharga.”
Kemitraan antara balai kota dan SRN berjalan dua arah. Pihak berwenang menghubungi organisasi nirlaba itu ketika seseorang membutuhkan tempat tinggal jangka panjang. Sebaliknya, SRN bergantung pada Kiyomiya untuk menghubungkan orang-orang dengan bantuan atau layanan yang mereka perlukan, seperti tunjangan pengangguran.
Namun gereja dan pemerintah kota memiliki pandangan yang berbeda tentang seperti apa pemulihan dan penyembuhan itu. Banyak orang akhirnya meninggalkan gereja setelah mereka merasa lebih baik, sesuatu yang oleh Kiyomiya disebut sebagai “kemandirian sejati,” karena orang-orang “tidak lagi harus bergantung pada gereja.”
Fujiyabu tersenyum, tetapi tidak sependapat: “Saya kurang senang dengan itu. Saya ingin mereka tetap tinggal, menjadi bagian dari gereja bahkan setelah mereka pulih.”
Fujiyabu mengingat contoh terbaru tentang seperti apa pertumbuhan dan penyembuhan dalam konteks Kristen. Sekitar tiga tahun lalu, seorang pria berusia 40-an sedang minum di sebuah bar dan mencurahkan masalahnya kepada pelayan bar, yang kemudian menanggapinya, “Kamu sebaiknya mencoba untuk datang ke gereja. Di sana ada orang-orang yang akan membantumu.”
Pria itu, yang sebelumnya tidak memiliki hubungan apa pun dengan orang-orang Kristen, datang ke gereja Fujiyabu, di mana komunitas menyambutnya dan berjalan bersamanya melalui pergumulannya. Ia mulai membaca Alkitab setiap hari dan terlibat dalam persekutuan gereja. Kini, ia adalah salah satu anggota baptisan terbaru di gereja tersebut.
Namun tidak setiap penyelamatan di Sandanbeki berakhir dengan hasil yang positif.
Pada tahun 2000, Fujiyabu menampung seorang pemuda rapuh yang tampaknya bertekad membangun kembali hidupnya. Meski Fujiyabu memperingatkannya agar tidak terburu-buru, pemuda itu bersikeras mencari pekerjaan dan segera mendapatkannya. Pada awalnya, Fujiyabu merasa optimis karena pemuda itu tampaknya bisa mengelola hidupnya dengan baik. Namun dalam beberapa minggu, pemuda itu mulai mengalami konflik di tempat kerja dan mengatakan kepada Fujiyabu bahwa ia ingin berhenti. Fujiyabu mendorongnya untuk bertahan.
“Saat itulah hubungan kami retak,” kata Fujiyabu. “Ia merasa saya tidak memahami dirinya.” Pemuda itu akhirnya keluar dari pekerjaannya dan memberitahu sang pendeta bahwa ia akan kembali tinggal bersama orang tuanya.
Dua bulan kemudian, polisi menelepon Fujiyabu. Mereka menemukan mayat seorang pria dengan kartu nama gereja di saku celananya. Pemuda itu ternyata tidak kembali ke keluarganya, melainkan mengakhiri hidupnya.
Kabar itu menghancurkan hati Fujiyabu. “Itu kesalahan saya,” katanya lirih. Ia merasa telah merusak kepercayaan pemuda itu dengan bersikap terlalu keras padanya. Selama berbulan-bulan, Fujiyabu mempertanyakan apakah ia masih bisa melanjutkan pelayanan. “Saya menyadari bahwa seberapa pun waktu dan upaya yang diberikan, seseorang tetap bisa memilih untuk mengakhiri hidupnya,” katanya. “Anda tidak bisa membuat keputusan terakhir itu bagi mereka.”
Istri Fujiyabu, Ayumi, yang membantunya bertahan. Pasangan ini bertemu saat di universitas, dan Ayumi kini membantu menjalankan program pendidikan setelah sekolah milik SRN, serta Machinaka Kitchen.

Pada tahun-tahun awal pelayanan mereka, panggilan larut malam dari Sandanbeki sering kali mengganggu makan malam keluarga. Dua anak Fujiyabu harus tetap diam sampai teleponnya selesai, dan pada akhirnya Ayumi meminta Fujiyabu untuk menerima telepon di ruangan lain.
Keluarga itu juga harus belajar hidup bersama orang-orang asing. Sebelum SRN mendirikan asrama, semua orang tinggal bersama di gereja. Keluarga Fujiyabu berbagi makanan bersama orang-orang yang diselamatkan dari Sandanbeki, yang kemudian tidur di aula gereja atau di ruangan lain dalam bangunan tersebut.
Mengintegrasikan kehidupan keluarga dan pelayanan adalah sesuatu yang penting bagi Ayumi. “Saya percaya Tuhan menciptakan setiap pribadi, dan dalam rencana-Nya Ia telah mengutus mereka ke gereja kami,” katanya. “Cara pandang itu mengubah segalanya.” Ketika Fujiyabu bergumul dengan langkah apa yang harus diambil setelah mendengar kabar bunuh diri pemuda itu, Ayumi berkata kepadanya, “Saya sudah mengambil keputusan. Saya akan mendedikasikan diri untuk pelayanan ini.” Keteguhannya menjadi titik balik bagi Fujiyabu.
Orang-orang yang diselamatkan SRN dari tebing saat ini tinggal bersama di sebuah asrama milik gereja, hanya lima menit berjalan kaki dari gereja. Meski jumlah penghuninya berubah-ubah, biasanya sekitar sepuluh orang tinggal di sana selama beberapa bulan atau bahkan kadang bertahun-tahun. Mereka mengikuti jadwal tetap yang diharapkan Fujiyabu dapat melatih mereka untuk menjalani kehidupan yang disiplin sebelum kembali ke masyarakat.
Setiap hari, para penghuni memulai hari mereka pukul 6 pagi dengan doa pagi di kapel, kemudian menghabiskan waktu dengan membersihkan, menyiapkan makanan, dan bekerja di berbagai usaha SRN seperti Machinaka Kitchen.
Pada malam hari, setiap orang menulis refleksi diri di buku catatan, yang akan dibaca dan diberi komentar oleh Fujiyabu. Dalam percakapan dengan orang-orang yang ia selamatkan, ia berfokus pada pembicaraan tentang pengampunan, kasih karunia, dan belas kasihan Tuhan. “Kunci perubahan adalah memahami bahwa Tuhan mengasihi mereka,” katanya.
Saat hari saya bersama Fujiyabu mendekati akhir, saya makan malam bersama tujuh orang—satu perempuan dan enam laki-laki—yang saat ini tinggal di asrama. Shimohira, seorang pria bertutur lembut berusia pertengahan 30-an, dengan jujur menceritakan masa lalunya kepada saya. CT hanya menggunakan nama belakangnya karena stigma budaya seputar bunuh diri masih kuat di Jepang.
Shimohira menghabiskan bertahun-tahun melarikan diri dari kegagalan dan kelemahannya, serta merasa terjebak dalam lingkaran pikiran negatif yang tampaknya hanya memiliki satu jalan keluar: kematian. Setelah Fujiyabu dan timnya menyelamatkan dia dari tepi tebing Sandanbeki, ia kesulitan beradaptasi dengan rutinitas ketat kehidupan asrama. Ia sering berselisih dengan teman sekamarnya dan tersinggung atas teguran Fujiyabu terhadap kelemahannya.
Seiring waktu, sesuatu dalam dirinya berubah. “Saya mulai menghadapi kelemahan-kelemahan saya,” kata Shimohira. “Saya mulai membawa rasa sakit saya bukan kepada diri saya sendiri, bukan kepada orang lain, tetapi kepada Tuhan.”
Gereja awalnya terasa asing baginya, sehingga ia duduk terpisah dengan acuh tak acuh selama doa pagi dan ibadah Minggu. Namun perlahan, khotbah dan lagu-lagu pujian mulai menyentuh hatinya. Fujiyabu membaptisnya awal tahun ini, dan kini ia bernyanyi di paduan suara gereja.
“Saya mulai melihat bahwa Tuhan mengasihi saya meskipun saya lemah,” kata Shimohira. “Saya tidak tahu apakah nanti di gereja ini atau yang lain, tetapi saya ingin meneruskan pekerjaan yang saya lakukan di sini sekarang.”
Masa depan Shirahama Baptist Christ Church dan SRN, bagaimanapun, kini terasa tidak pasti. Lima tahun lalu, Fujiyabu didiagnosis mengidap kanker lambung yang langka. Kemoterapi yang ia jalani menyebabkan efek samping parah seperti gagal ginjal kronis. Ada hari-hari saat rasa sakitnya begitu hebat sehingga ia tidak bisa bangun dari tempat tidur. Penyakitnya memaksanya membuat keputusan sulit, seperti membatalkan program musim panas untuk anak-anak.
Namun Fujiyabu menolak untuk menyerah pada keputusasaan. Ia ingin terus menanggapi kasih Yesus serta mendorong orang untuk mengenal dan percaya kepada Kristus. “Saya tetap berharap karena pada akhirnya ini bukan tentang saya atau organisasi ini,” katanya. “Ini tentang Tuhan.”