Ideas

Gereja di Masa Pembusukan Otak

Teknologi yang menjanjikan pemahaman bersama justru memunculkan kebingungan dan penipuan. Orang Kristen dapat menjadi teladan untuk menunjukkan jalan yang lebih baik.

Several diverse people tending a brain that is in the form of a tree.
Christianity Today November 20, 2025
Illustration by Lisk Feng

Lebih banyak hal yang baik, belum tentu berarti lebih baik. Dan sesuatu yang pada awalnya baik, belum tentu akan tetap demikian.

Inilah pelajaran yang harus kita pelajari berulang kali dalam beberapa tahun terakhir, saat kita hidup di tengah perubahan pesat teknologi komunikasi digital. Sungguh sangat memusingkan bagaimana sebuah alat atau platform dapat memiliki efek tertentu pada masa awalnya dan efek yang berlawanan pada tahap kematangannya.

Namun, mungkin hal ini seharusnya tidak mengejutkan: Skala dan proporsi itu penting. Tubuh kita memerlukan garam, misalnya, tetapi terlalu banyak garam akan membuat kita sakit. Teknologi komunikasi bekerja dengan cara yang serupa terhadap tubuh politik masyarakat. Alat yang sama di mana pada dosis kecil dapat menumbuhkan saling pengertian dan kesepahaman, ketika dipakai pada skala yang lebih luas, dapat menimbulkan kebingungan dan antipati.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Jika kita ingin tetap berpijak dengan kokoh di tengah perubahan yang membingungkan ini, orang Kristen harus belajar mengenali realitas paradoks ini dan bekerja sama untuk menempatkan teknologi yang begitu kuat tersebut pada tempatnya. Namun kita hanya akan mampu melakukannya jika rasa kebersamaan dan identitas kita mengalir dari ritme kehidupan bergereja kita bersama. Dengan kata lain, komitmen kita untuk hidup sebagai anggota tubuh Kristuslah yang akan memungkinkan kita melayani masyarakat yang kecanduan teknologi dan memanggil mereka menuju cara hidup yang lebih baik.

Nicholas Carr menjelaskan dinamika ini dengan baik dalam buku terbarunya, Superbloom: How Technologies of Connection Tear Us Apart. Sungguh merupakan sebuah kesalahan serius, ia memperingatkan, untuk berasumsi “bahwa cara kerja suatu sistem teknologi yang kompleks pada tahap awal perkembangannya akan tetap sama ketika sistem itu mencapai tahap kematangannya.” Namun, karena “cerita yang kita yakini tentang internet sejak awal adalah cerita tentang ‘demokratisasi,’” banyak orang lambat menyadari betapa mudahnya limpahan informasi dapat menumbuhkan permusuhan dan ketidakpercayaan.

Argumen Carr tentang dampak dari terlalu banyaknya konten yang mengalir melalui layar kita sejalan dengan wawasan dari kritikus teknologi Katolik, Ivan Illich, yang anehnya tidak pernah disebut oleh Carr dalam buku Superbloom. Pada tahun 1970-an, Illich mengemukakan bahwa penerapan teknologi bergaya industrial di bidang apa pun—pendidikan, kedokteran, transportasi, komunikasi, dan sebagainya—akan ditandai oleh dua titik balik.

“Pada awalnya,” jelas Illich, “pengetahuan baru diterapkan untuk menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan dengan jelas, dan alat ukur ilmiah digunakan untuk menilai efisiensi baru yang dihasilkan.” Keberhasilan seperti ini menumbuhkan optimisme besar, dan kemajuan awal tersebut kemudian dijadikan alasan untuk membenarkan “eksploitasi seluruh masyarakat secara keseluruhan demi” suatu ukuran keberhasilan yang terlalu sederhana, misalnya jumlah konten yang diproduksi dan disebarluaskan. Setelah titik balik kedua terlampaui, upaya untuk terus mengejar efisiensi teknologi justru gagal memperbaiki keadaan dan sering kali menimbulkan masalah baru.

Sebuah contoh dari masa sebelumnya—masa yang melahirkan istilah seperti konsensus, pembusukan pikiran (brain rot), dan bahkan, seperti yang dicatat Carr, media sosial—dapat membantu kita memahami perkembangan ini. Mesin cetak memainkan peran penting dalam mempersatukan para kolonis Amerika dan mengatur pemberontakan mereka terhadap Inggris. Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Amerika di masa awal, David Ramsay, pada tahun 1789, “Dalam menegakkan kemerdekaan Amerika, pena dan mesin cetak memiliki jasa yang setara dengan pedang.” Oleh karena itu, beberapa tahun kemudian, Philadelphia Typographical Society menyatakan bahwa mesin cetak adalah “batu nisan bagi kebodohan dan takhayul.”

Setelah pengalaman positif dengan mesin cetak manual itu, industrialisasi percetakan pada akhir 1820-an—bersama dengan munculnya teknologi komunikasi baru lainnya, terutama telegraf—disambut dengan antusiasime yang mesianik. Pesan pertama yang dikirim melintasi Samudra Atlantik pada tahun 1858 ditutup dengan kalimat yang nyaris terdengar seperti penghujatan, karena menyamakan kedatangan teknologi ini dengan kedatangan Kristus: “Eropa dan Amerika kini dipersatukan oleh telegraf. Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi, dan damai di bumi bagi manusia.”

Perasaan seperti itu lazim pada masa itu. Sebuah esai di New-York Tribune karya Horace Greeley menggambarkannya secara khas: “Telegraf Magnetik, yang secara harfiah merupakan pikiran dalam bentuk materi, dan terbang secepat kilat, benar-benar meniadakan ruang dan melampaui waktu, akan diperluas ke semua kota besar di seluruh negeri— sehingga jaringan saraf dari kawat besi, yang dialiri listrik, akan menjalar dari otak, New York, ke anggota-anggota tubuh yang jauh—menuju kota-kota di pesisir Atlantik, Pittsburgh, Cincinnati, Louisville, Nashville, St. Louis, dan New Orleans.”

Para pendukung era komunikasi baru ini meyakini, hasilnya akan menjadi penyebaran kebenaran dan pencerahan. Artikel di Tribune bahkan memperlakukan telegraf sebagai alat yang tak mungkin salah, sebuah teknologi yang akan membuat “penipuan dan kebohongan jurnalistik … menjadi nyaris mustahil.”

Kini, sulit dipercaya bahwa orang pada masa itu benar-benar mengira berita palsu atau informasi menyesatkan, apalagi gosip sensasional, akan hilang berkat telegraf —tetapi ingatlah, kurang dari 15 tahun yang lalu kita juga berpikir bahwa Twitter akan menyebarkan demokrasi di seluruh Timur Tengah. Seperti yang saya katakan, perubahan teknologi yang cepat memang bisa membuat kita kehilangan arah.

Salah satu konsekuensi paling mencolok dari koneksi baru yang diciptakan oleh telegraf dan percetakan skala industri adalah apa yang kini kita sebut sebagai konsensus: pengalaman akan perasaan bersama di seluruh masyarakat.

Konsensus, sebenarnya,adalah konsep yang relatif baru. Kata ini pertama kali masuk ke dalam bahasa Inggris pada pertengahan tahun 1800-an, mengacu pada suatu bangsa atau kelompok orang yang berbagi persepsi dan pendapat yang sama pada waktu yang bersamaan.

Seiring berkembangnya konsensus—ketika orang-orang mulai berpikir dan merasa sependapat berpadu dengan kecepatan dan totalitas yang hanya mungkin terjadi melalui komunikasi massa—bahaya groupthink (keseragaman pikiran tanpa refleksi kritis) menjadi semakin nyata. Slogan politik, meme, dan seruan emosional mengalir melalui jaringan-jaringan ini dan memenuhi pikiran kita. Dan ketika ada pengecualian terhadap kesatuan itu, suatu perbedaan pendapat yang tidak disukai atau bahkan menjijikkan oleh mayoritas, maka pengalaman tersebut terasa lebih pribadi dan karena itu lebih mengganggu.

Contoh paling jelas dari ketidaknyamanan semacam itu di abad ke-19 adalah persoalan perbudakan. Ketika orang-orang Utara membaca esai-esai yang mendukung perbudakan atau orang-orang Selatan membaca tulisan-tulisan abolisionis, perbedaan perasaan dan keyakinan mereka menjadi tak terhindarkan. Pada tahun 1830-an, ketika para abolisionis di Utara membanjiri wilayah Selatan dengan pamflet-pamflet anti-perbudakan, hasilnya bukan saling percaya atau saling pengertian, melainkan kerusuhan, pembakaran besar-besaran, dan seruan untuk menyensor pengiriman surat. Sentimen pro-perbudakan justru semakin menguat.

Saat ini, ketika aliran informasi digital kita terus-menerus menjadi pengingat terhadap apa yang dipikirkan sesama warga negara kita atau bahkan sesama orang Kristen tentang imigrasi, vaksin, atau gender, hasilnya biasanya bukan pemahaman yang lebih dalam, melainkan antipati yang mendalam. Teknologi jaringan yang memungkinkan terbentuknya konsensus publik juga membuat perbedaan pendapat yang masih ada menjadi semakin lebih jelas dan mengganggu.

Kita cenderung berfokus pada dampak-dampak individual yang merugikan dari teknologi komunikasi digital. Buku Carr sebelumnya, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains, adalah karya klasik dalam genre ini. Bagi para individu, masih mungkin untuk membuat pilihan-pilihan yang menetralkan dampak tersebut. Ketika Henry David Thoreau memperingatkan para pembacanya bahwa menaruh perhatian terhadap berita-berita sensasional akan menyebabkan “pembusukan otak” (brain-rot, istilah yang terpilih sebagai Oxford Word of the Year tahun 2024), ia menyarankan agar mereka memperbaiki hal itu dengan mengubah pola konsumsi informasi mereka.

Namun, lebih sulit untuk mengatasi masalah politik dan budaya dari masyarakat yang terlalu terhubung, karena masalah ini menuntut tindakan kolektif. Saya mungkin bisa memperbaiki kebiasaan saya dalam mengonsumsi berita, tetapi saya tidak bisa memilih untuk hidup di dunia tanpa TikTok.

Jadi, apa yang harus dilakukan terhadap temuan-temuan yang dirangkum Carr dalam Superbloom yang menunjukkan bahwa “berita palsu atau menyesatkan 70 persen lebih mungkin untuk dibagikan ulang dibandingkan berita faktual”? Dan bahwa orang-orang yang paling berpendidikan, dan yang paling rajin mengikuti berita, justru sering memiliki pemahaman yang paling menyimpang tentang peristiwa masa kini? Serta bahwa ketika kebanyakan dari kita menemukan “pandangan berbeda” secara daring, kita melihatnya “bukan sebagai kesempatan untuk belajar, melainkan sebagai provokasi untuk menyerang”?

Seperti yang disimpulkan Carr, “Membanjiri ruang publik dengan lebih banyak informasi dari lebih banyak sumber” tidak “membuka pikiran orang atau menumbuhkan diskusi yang lebih bijaksana.” Bahkan, hal itu tidak membuat orang menjadi “lebih terinformasi.”

Yang membuat tantangan untuk menghasilkan perubahan yang bermakna ini menjadi semakin sulit adalah kenyataan bahwa skeptisisme terhadap dunia yang terlalu terhubung ini sering kali justru diselewengkan atau dimanfaatkan. Carr memberikan contoh yang sangat ironis tentang Frank Walsh, yang suatu malam menembak televisi keluarganya—hanya untuk menjadi sensasi berita satu malam. Minggu berikutnya, ia memenangkan televisi baru di sebuah acara realitas di TV.

Kita kini telah terbiasa melihat fenomena “politikus yang menggunakan media sosial untuk mengekspresikan ketidaksukaannya terhadap media sosial, lalu memperhatikan jumlah orang yang menyukai (like) postingannya.” Pada tingkat masyarakat luas, apakah itu benar-benar hal terbaik yang bisa kita lakukan?

Carr memberi kesimpulan dari buku Superbloom dengan mengusulkan agar kita mencari cara untuk berbelok arah dan membentuk komunitas-komunitas alternatif di tepi jaringan digital ini. “Mungkin keselamatan, jika kata itu tidak terlalu berlebihan, terletak pada tindakan pengucilan pribadi yang dengan sadar dan sukarela,” tulisnya, dengan “mengambil posisi, pertama sebagai individu-individu dan kemudian, mungkin, bersama-sama, bukan di luar masyarakat, tetapi di pinggiran masyarakat, bukan di luar jangkauan arus informasi, tetapi di luar jangkauan kekuatannya yang dapat melelehkan.”

Ia benar, tetapi aspek kebersamaan dari respons ini sangat penting, karena teknologi komunikasi, berdasarkan sifatnya , menimbulkan tantangan yang hanya dapat dijawab melalui tindakan bersama. Apa yang tidak dikatakan Carr adalah bahwa komunitas dan bahkan lembaga-lembaga yang sudah ada di seluruh negeri sebenarnya telah memiliki kapasitas yang unik untuk menghadapi tantangan ini: Keluarga Kristen, sekolah Kristen, dan gereja.

Kita harus mengambil inisiatif dalam mewujudkan cara-cara alternatif untuk berkomunikasi dan merasakan bersama. Kita perlu berlatih mengembangkan jenis konsensus yang berbeda, yaitu konsensus anggota gereja yang selaras dengan pikiran Kristus (Rm. 12:2; 1Kor. 2:16), bukan konsensus masyarakat sekuler yang semakin berpusat di New York dan Silicon Valley. Jenis konsensus ini adalah stabilitas yang kita butuhkan untuk menghindari gelombang baru yang memusingkan akibat perkembangan teknologi yang dramatis, terutama di bidang kecerdasan buatan, yang terus berlanjut dengan cepat.

Tindakan komunal di tingkat komunitas gereja atau lembaga Kristen dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Kita dapat memulainya dengan kebaktian tanpa layar (screen-free church services). Keluarga dan kelompok kecil dapat mengadakan diskusi tentang buku seperti The Tech-Wise Family karya Andy Crouch dan membuat versi mereka sendiri dari Postman Pledge (komitmen untuk menggunakan teknologi secara bijaksana). Para siswa dapat membentuk klub Luddite (kelompok yang secara sadar membatasi penggunaan teknologi digital). Sekolah-sekolah Kristen dapat meneladani komunitas dan lokakarya Bruderhof yang menempatkan teknologi di bawah kendali komitmen mereka bersama.

Kita dapat mengamati sekaligus menghadirkan keteladanan yang menunjukkan kemungkinan terbentuknya konsensus Kristen yang unik, bahkan di tengah dunia yang begitu terhubung secara digital. Masih mungkin bagi orang-orang Kristen untuk berpikir dan merasakan berdasarkan keanggotaan kita dalam sebuah komunitas alternatif. Masih mungkin bagi kehidupan bersama kita yang berakar pada Firman Tuhan, persekutuan, dan doa, untuk membentuk suatu konsensus dalam komunitas kita yang tidak terikat pada massa publik, melainkan pada tubuh Kristus.

Jeffrey Bilbro adalah lektor kepala bahasa Inggris di Grove City College dan pemimpin redaksi di Front Porch Republic. Buku terbarunya berjudul Words for Conviviality: Media Technologies and Practices of Hope.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Natal Selalu merupakan Rencana Allah

Yesus tidak datang ke bumi hanya untuk menyelamatkan kita dari dosa, melainkan juga mengundang umat manusia untuk berpartisipasi dalam kehidupan ilahi.

Adven Memanggil Kita Keluar dari Keputusasaan

Joni Eareckson Tada

Duduk dalam kegelapan membantu kita untuk benar-benar menghargai terang.

Gen Z Tidak Butuh Injil yang Lunak

Kenna Hartian

Pemimpin Kristen dapat memenuhi kerinduan kita akan autentisitas dan stabilitas dengan pesan tentang kekudusan dan anugerah dari Kristus.

Public Theology Project

Problem Kepanikan

Di tempat di mana Petrus pernah berdiri di tempat Pan, kita dapat mendengar suara yang mengubah segalanya.

Masalah Besar dalam Kelompok Kecil

Nik Schatz

Seorang pendeta memberikan saran praktis bagi tiga kendala utama dalam kelompok kecil gereja: Penitipan anak, komitmen, dan anggota yang terlalu banyak bicara.

Dunia Berkata: Percepatlah. Gereja Berkata: Tinggallah.

Aryana Petrosky

Berdoa, berpuasa, dan membaca Alkitab bersama komunitas membuat hari-hari kita terasa lebih lapang.

Alkitab Lebih dari Sekadar Buku yang Harus Diketahui

J.T. English

Alkitab adalah kisah yang harus dihidupi dan para rohaniwan harus memimpin jalannya.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube